"Ya, itu penelitian bersama antara dosen geologi, pertambangan dan kimia mengenai struktur batuan dan air di kawasan karst Gunung Kidul." Pak Ronald memberikan gambaran singkat mengenai pekerjaan yang sedang dilakukannya bersama dosen-dosen jurusan lain di kampus.
"Lalu apa yang akan saya teliti di sana, Pak?""Kalau kamu bersedia kamu bisa ambil bagian untuk penelitian mengenai studi kelayakan air minum dari dalam goa, air bawah tanah."Elang sedikit mengerti, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta dikenal sebagai wilayah karst (kapur). Luas kawasan karst sekitar 807 km persegi. Kekayaan karst tersebut menjadi daya tarik dari para investor untuk melakukan penambangan batuan jenis gamping."Beberapa perusahaan pertambangan yang melakukan aktivitas eksploitasi karst di Gunungkidul sudah pada habis masa perizinannya ya, Pak? Tapi pasti masih ada saja yang melakukan penambangan ilegal.” Elang memberikan tanggapan singkat mengenai lokasi penelitian.Butuh perjuangan bagi Elang untuk membuat lagi rencana penelitiannya, terlebih ini dilakukan bersama dengan petinggi kampus yang sudah punya gelar minimal master di bidang masing-masing. Dia tidak bisa main-main dengan keputusannya bergabung dalam tim penelitian dosen di kampusnya.Selain Elang dari teknik kimia, ada Sandra dari teknik geologi dan Mario dari teknik pertambangan. Tiga mahasiswa yang ditunjuk untuk mewakili jurusan masing-masing dalam kerja sama di lapangan. Elang belum bertemu lagi dengan Nindya sejak insiden ciuman panas di kamarnya, selama tiga hari ini dia sibuk bimbingan awal dengan Pak Ronald. Elang sangat serius dan fokus pada lembaran materi yang diberikan Pak Ronald padanya, dia kembali optimis bisa mengejar jadwal wisuda sesuai target.Dalam hati, Elang merasa kalau Nindya sungguh-sungguh menghindarinya setelah membuangnya, jadi Elang pun bersikap adil dengan melakukan hal yang sama persis dengan yang sedang dilakukan Nindya. Elan
Elang tidak peduli suara ketus dan galak Nindya, dengan nakal dia sudah menghimpit Nindya dan menaikkan dagu dosen muda cantik di depannya agar menatap matanya.“Aku tidak akan membiarkan kamu lari, Nindya! Pertemuan seperti ini bukan sebuah kebetulan, pasti ada sesuatu dibaliknya." Elang berkata sambil menunduk hingga nafasnya menyapu wajah Nindya yang bersemburat merah."Baiklah, terserah kamu menganggap pertemuan ini sebagai apa! Sekarang tolong menjauh! Kamu membuatku sesak nafas." Nindya menjawab tegas sembari membuat gerakan mendorong tubuh Elang. Nindya tidak ingin terjadi sesuatu yang melibatkan perasaannya, meski tak dipungkiri bau parfum Elang mulai meracuni sarafnya. Namun, Nindya tidak mau melakukan kesalahan berulang."Menjauh? Seperti ini?" tanya Elang dalam bisikan menggoda.Nindya menahan nafas saat merasakan satu tangan Elang menahan dinding lift dan tangan yang lain justru melingkar di pinggangnya, menariknya perlahan untuk merap
Elang mampir ke warung yang tidak jauh dari kampus, kios kecil yang menjadi langganannya saat kepala pusing karena kebanyakan beban pikiran. Dua botol minuman beralkohol dibelinya dari sana sebelum pulang ke kontrakan. Apa yang baru saja dialaminya bersama Nindya di dalam lift tak urung membuat kepalanya menjadi berat. Elang sedang tidak ingin melampiaskan kekacauan dirinya bersama Vivian atau perempuan lain. Elang lebih memilih mabuk demi melupakan siksaan Nindya dalam nadi lelakinya.Mampir ke mesin pengambil uang di jalan, Elang menggerutu sambil memukul pelan pada layar penunjuk rupiah yang sangat tidak menyenangkan hatinya."Mak lampir ini … selalu saja telat transfer uang bulanan," geram Elang lirih. Dia jelas tak mau uang simpanannya yang lain berkurang.Kekesalan hati membuat Elang batal pulang ke kontrakan, dia melajukan kendaraannya ke arah Malioboro dan akhirnya masuk ke dalam salah satu penginapan di daerah Pajeksan.
Bukan hanya rindu pada kenangan, tapi Elang yang sekarang merasa sangat kesepian dari kasih sayang. Hubungannya dengan sang ayah benar-benar memburuk sejak laki-laki paruh baya itu menikah dengan Bu Anita. Janda anak satu yang menggantikan posisi mamanya.Elang masih sulit menerima keadaan tersebut, sulit menerima kehadiran wanita lain yang minta dipanggil ibu olehnya. Alih-alih memanggil istri ayahnya dengan sebutan ibu atau tante, Elang justru dengan tidak sopan memanggil dengan sebutan Mak Lampir.Sebenarnya Elang tidak pernah diperlakukan buruk oleh ibu tirinya, tapi tetap saja Elang tidak sudi membangun hubungan baik dengan wanita yang sudah mengambil cinta ayahnya. Elang memiliki pandangan tersendiri mengenai cinta.Satu-satunya yang bisa mengajak bicara saat Elang di rumah adalah Dewa, anak laki-laki dari Mak Lampir yang terpaut empat tahun lebih muda darinya. Dewa bisa diterima Elang karena tidak pernah sedikitpun ikut campur urusannya. Tidak mende
Sore di Jalan kaliurang terasa dingin meskipun langit cerah. Nindya membersihkan tempat tinggalnya ala kadar karena sudah merasa lelah. Mbok Sumi yang biasa menemaninya di rumah meminta izin untuk pulang kampung menjenguk cucu.Hidup sendiri di kota Yogyakarta tidak menyurutkan nyali, Nindya senang mengajar, dia senang mendedikasikan hidupnya untuk berbagi ilmu, Nindya mencintai profesinya sebagai dosen. Seharusnya, hari ini Nindya pulang ke Semarang tempat ibunya. Karena begitulah rutinitas setiap Sabtu setelah selesai mengajar. Namun, karena besok siang ada janji dengan salah satu dosen yang tergabung dalam grup penelitian ekologi mengenai kunjungan lapangan berikutnya, Nindya menunda untuk bertemu ibunya sampai Sabtu berikutnya.Hari mulai gelap, Nindya menyeduh teh dan berniat menghabiskan malam minggunya dengan membaca. Tunangannya memiliki kesibukan sendiri di akhir pekan, dan Nindya tidak pernah menuntut untuk kencan malam mingguan. Dia bukan abg l
Elang meraih dua botol yang baru saja diletakkannya di atas meja. Dia berjalan santai ke ruang televisi, menyalakannya dan duduk di karpet tanpa mempedulikan Nindya. Elang sedang tidak ingin diganggu, dinasehati apalagi dimarahi.Satu tegukan kecil dan terus berulang membuat wajah Elang semakin memerah, matanya juga terlihat lebih sayu dari sebelumnya. Elang tidak berhenti menenggak minumannya, sesekali mendongak menatap langit-langit ruangan dengan pikiran rumit. Nindya hanya duduk mengawasi sambil membaca di perpustakan. Dia tidak pernah melihat ekspresi kesedihan sedalam itu dari seorang Elang. Bukankah menatap ke atas hanya dilakukan jika mungkin ada air mata yang akan tumpah? Nindya sangsi dengan penilaiannya meskipun isi kepalanya berkata demikian."Bu Nindya … apakah salah jika seorang anak merindukan ibunya yang telah tiada?" Mata Elang berwarna merah, menyorot tajam pada Nindya untuk mencari jawaban.Nindya menggeleng ringan dengan ekspr
Nindya tidak tidur nyenyak semalaman demi menjaga Elang, dia khawatir kalau pemuda yang tidur gelisah di dalam rumahnya membutuhkan sesuatu. Setidaknya dengan tidak lelap, Nindya juga secara otomatis sudah menjaga dirinya sendiri dari keusilan Elang yang mungkin terjadi seperti kejadian rafting beberapa waktu lalu.Dosen muda itu sedang memasak di dapur untuk membuat sarapan saat Elang terbangun. Dia melirik dan memperhatikan sekilas Elang yang sedang duduk sambil termenung.Tak lama, Elang pergi ke arahnya, tersenyum hambar lalu masuk ke kamar mandi setelah Nindya mengulurkan handuk bersih dan sikat gigi yang masih bersegel tanpa berbicara. Harus Nindya akui, pemandangan dada lebar Elang dan wajah yang baru bangun tidurnya benar-benar menunjukkan pesona Elang. Born to be awesome, istilahnya.Menit berikutnya suara air shower mengalir deras, menandakan yang ada di dalam kamar mandi mulai membersihkan diri. Nindya terpekur sejenak membayangkan tubuh telanja
Nindya cemburu saat mendengar pengetahuan Elang tentang urusan yang biasanya dibicarakan oleh pasutri tersebut. Kepalanya dipenuhi bayangan Elang berada di kamar bersama perempuan-perempuan seperti Vivian. Kenapa hal seperti itu jadi begitu sulit diterima Nindya? Bukankah gaya pacaran anak muda sekarang memang demikian?"Ya, sepertinya begitu. Aku sedang tidak subur waktu itu, jadi kamu nggak perlu khawatir!" Nindya membalas tatapan Elang dengan ekspresi datar lagi. "Kita makan sekarang saja, keburu dingin semua nanti!""Aku berharap kamu hamil,” kata Elang cuek. Menyembunyikan keterkejutan karena ucapannya sendiri. Elang bahkan tidak menyangka kalau kata-kata yang terucap spontan itu mampu membuat hatinya berdesir. Bukankah Elang cukup tolol dengan harapannya? Karena jika Nindya hamil, Elang sudah pasti menikahinya. Dan menjadi seorang ayah di usia muda? “No! Never!” timpal Nindya sarkas.“Jadi kamu memang tidak ingin aku bertanggung j
Dua bulan kemudian ….Elang mendapatkan ucapan selamat dari Pak Ronald, dua dosen penguji dan teman-teman dari teknik kimia yang hadir dalam seminar. Penelitian Elang sukses, membawa proyek kampus pada tahap berikutnya, yaitu menaikkan sumber air tanah yang telah teruji dari dalam goa untuk didistribusikan ke desa dan dijadikan kebutuhan sehari-hari oleh warga sekitar. "Sukses ya, El!" Mayra menjabat tangan Elang paling akhir, tulus mengucapkan doa untuk orang yang dicintainya. "Bisa langsung skripsi itu, jaminan lancar kamu sama Pak Ronald! Aku yakin tiga bulan kelar, bisa wisuda periode semester ini kamu, El!""Thanks, sukses buat kamu juga, May!" Elang bersyukur, Mayra tidak berubah sikap. Tetap baik dan ramah padanya. "Kayaknya kamu bakal lulus lebih dulu … ngomong-ngomong kemana Bu Nindya? Kok cepet banget ilangnya, padahal tadi masih sempat ngasih masukan buat revisi laporan!"Elang mengedikkan bahu, dia memang tidak tau
Bukan pernikahan mewah seperti yang diimpikan oleh semua gadis dan juga orang tuanya. Elang menikahi Nindya di rumah sakit sebagai permintaan maaf, sebagai hadiah untuk keteledorannya dan sebagai penyembuh untuk hati Nindya yang sedang terluka.Elang menebus semua rasa bersalahnya dengan berjanji akan mencintai Nindya selamanya. Hatinya ikut perih, bukan hanya karena kehilangan calon anaknya tapi karena dirinyalah yang telah merusak masa depan Nindya dan tunangannya, meski itu terjadi tanpa disengaja.Elang tidak ingin Nindya tidak bahagia di masa depan karena ulahnya, karena ada bekas yang mungkin akan jadi pemantik dalam kisah rumah tangga dosennya itu bila menikah dengan Daniel. Biarlah Elang yang menanggung semua itu terlepas Nindya mencintainya atau tidak.Sudah seminggu berlalu, Nindya masih di rumah ibunya untuk beristirahat, sementara Elang memulai kesibukannya dengan penelitian dan juga latihan untuk persiapan lomba.Nindya tidak mau dije
Setelah beberapa waktu yang terasa sangat lama bagi Elang, akhirnya Nindya dipindahkan ke bangsal perawatan. Elang duduk gelisah di sisi ranjang tempat Nindya istirahat. Sesekali masih tersenyum sembari mengusap jemari Nindya yang terasa dingin."El, aku minta maaf!" Nindya menatap Elang sendu, dengan mata merebak dan penuh penyesalan.Elang mengeratkan genggaman, lalu mencium tangan Nindya dengan kasih sayang. "Sssttt …! No, kamu tidak boleh menangis! Itu salahku, jadi seharusnya aku yang minta maaf." "Aku tidak bermaksud berbohong," ucap Nindya serak."Kamu pasti punya alasan kuat melakukan itu semua, aku menduga ada dua hal yang menyebabkan kamu begitu. Pertama kamu akan menikah dengan Daniel dalam waktu dekat karena aku tidak pantas menjadi seorang suami. Kedua, kamu melakukan ini untuk Mayra." Elang menjeda kalimatnya dengan satu tarikan nafas panjang. "Aku kehilangan satu lembar surat mama!"Elang setiap beberapa hari sekali selalu
Nindya terengah-engah, nafasnya berat dan serasa hampir putus melewati tanjakan cinta. Padahal, dia berjalan setengah ditarik Elang. Melihat pemuda itu masih bisa cengengesan di depannya, Nindya menyadari kalau fisiknya terlalu lembek.Elang mengusap keringat di wajah Nindya, "Capek ya?""Sangat, rasanya aku tidak mungkin kuat berjalan lagi, El! Kakiku gemetar, perutku juga melilit." Nindya merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Rasa lelah menghampiri dengan dahsyat, tubuhnya lemas tak bertenaga dan perut bagian bawahnya sakit. Elang mengajak Nindya duduk di pinggir jalan, meluruskan kaki dosennya dan memberikan tasnya untuk bersandar. Wajah Nindya terlalu pucat, keringat dingin juga tidak berhenti memenuhi dahi Nindya. "Kamu sakit? Apa yang kamu rasakan?"Ada orang yang memiliki alergi dingin, ada juga yang mendadak sakit saat beradaptasi dengan cuaca gunung. Elang menemukan kasus serupa di beberapa kegiatan pendakian massal yang
Setelah mendapat izin dari ibu Nindya, Elang mengemudi ke tempat penyewaan alat-alat petualangan. Mereka akan berangkat langsung dari Semarang, Elang tidak akan sempat kembali ke Yogya mengambil semua kebutuhannya untuk di gunung nanti. Mereka juga mampir ke minimarket untuk membeli kebutuhan makanan.Elang cukup gila memilih jalur ngagrong sebagai pendakian pertama untuk Nindya. Selain lebih ekstrim, jalur tikus tersebut terbilang bukan jalur resmi yang direkomendasikan untuk mendaki Gunung Merbabu. Tidak ada pos pantau untuk mengawasi para pendaki dari jalur yang tidak resmi, sehingga membahayakan bagi pendaki yang tidak berpengalaman, karena tidak ada data yang tercatat di pos utama.Pendaki pemula kebanyakan lebih memilih jalur Selo dengan tingkat kesulitan medium. Elang pribadi kurang menyukai jalur tersebut karena terlalu ramai. Dia suka sepi saat di alam terbuka, agar suara alam terdengar jelas dan dia bisa lebih leluasa menikmati perjalanannya.Ela
"Kamu bisa pingsan di pelukanku!" Uh, Elang memang selalu penuh rayuan mematikan untuk Nindya yang sering naif dalam sebuah hubungan. "Apa Lala masih melihat kita?""Tidak, dia membuang muka!" Elang terkekeh, dia agak keterlaluan menciptakan suasana romantis bersama Nindya. Bukan hanya Lala yang gerah, tapi pria seumuran ayahnya yang sedari tadi memperhatikannya spontan memasang wajah dingin. "Siapa pria yang berdiri arah jam sembilan?"Nindya tidak menoleh tapi melihat dengan ekor matanya. "Oh … itu ayahku!""Hm … sepertinya aku dalam masalah!"Nindya terkikik melihat ekspresi Elang yang mendadak serius. "Tidak akan, kami sudah tidak bertegur sapa selama sepuluh tahun.""Apa alasan ibumu tidak mau datang karena situasi ini, karena ada ayahmu?""Mempelai wanita itu sepupuku dari keluarga ayah, jadi ayah pasti hadir, dan ibu menghindari masalah. Istri ayahku masih saja cemburu pada ibuku, dan selalu saja berusaha menying
"Pegang tanganku," perintah Elang pada Nindya ketika mereka turun dari mobil. Masuk ke dalam gedung serbaguna yang sudah disulap menjadi tempat resepsi pernikahan yang lumayan mewah.Sepupu Nindya cukup mujur karena mendapatkan suami dari kalangan orang banyak harta, sehingga pesta pernikahan pun tidak bisa dibilang sederhana. Beruntung Nindya dan Elang memakai pakaian yang pantas. Sangat serasi sebagai pasangan muda yang sedang jatuh cinta. Ups … sepertinya baru Elang yang jatuh cinta. Nindya baru tahap suka."Hm, ide bagus! Aku kurang nyaman dengan heels ini, terlalu tinggi!" Nindya mengaitkan tangan pada lengan mahasiswanya, selain agar tampak mesra sebagai pasangan, Nindya butuh bantalan kuat jika ada yang menyindir statusnya yang masih melajang di usia dua puluh delapan. Masalahnya tidak sederhana sederhana karena sepupunya yang sedang menggelar pesta pernikahan belum genap berusia 23 tahun. "Kenapa tidak pakai yang tanpa heels?" Elang mela
Sulit untuk menolak pria yang bisa membuatmu selalu tersenyum! Mungkin itu pepatah kuno yang dulu tidak pernah diyakini Nindya. Sekarang kalimat sakti itu membuktikan diri padanya, memberikan kebenaran yang mau tidak mau harus diakui. Nindya memiliki kesulitan menolak Elang! Pemuda itu terus saja menempel padanya di tiap kesempatan, membuat mereka selalu berdekatan tanpa rasa malu sedikitpun. Terlalu cuek atau terlalu percaya diri juga Nindya tak paham, yang jelas Elang cukup berani untuk ikut pulang bersamanya ke Semarang.Cinta? Ya Elang memang sudah menyatakan cinta padanya, tapi bagi Nindya cinta Elang bisa jadi hanya kamuflase dari nafsunya. Mereka menjadi dekat dan banyak bersentuhan karena sebuah kesalahan, yang berasal dari nafsu. Jadi kemungkinan untuk berubah menjadi cinta masih sulit untuk dipercaya Nindya. Lalu bagaimana Nindya nanti akan mengenalkan Elang pada ibunya? Entahlah! Bagaimana dia menjawab pertanyaan yang akan datang padanya saat
Di rumah, Nindya belum juga bersiap pulang ke Semarang. Hatinya masih terguncang dengan permintaan Daniel yang menurutnya kejam dan tak berperasaan. "Aku akan menikahimu setelah janin itu dihilangkan!""Aku tidak mau menjadi ayahnya, dia bukan anakku!""Untuk apa kamu mempertahankan bayi itu jika bapaknya saja tidak mau bertanggung jawab?""Kenapa kamu harus melindungi pria yang melecehkanmu?" "Gugurkan minggu depan dan kita atur pernikahan segera!""Aku juga salah karena terlalu sibuk!"Dan masih banyak kalimat-kalimat Daniel yang terngiang-ngiang di telinga Nindya. Namun, keputusannya sudah bulat, dia tidak akan melakukan aborsi. Soal Elang? Entahlah, Nindya juga masih dalam kebimbangan. Dia bukan wanita jahat, terlebih pada sesama wanita. Nindya tidak ingin merebut Elang dari siapapun, apalagi dari Mayra.Tangan Nindya mengambil satu kertas lusuh yang beberapa waktu lalu diambilnya dari tas Elang.