Keina terlihat terperangah mendengar ucapan Alden di hadapannya. Ia mengangkat alisnya dengan bingung, pria kemarin? Apa maksudnya Adrian? Kenapa tiba-tiba Alden membahas Adrian."Apa maksudmu?" Tanya Keina dengan raut wajah tersinggung.Alden bangkit dari duduknya, ia menatap tajam ke arah Keina, "Tidak perlu memasang raut wajah bodoh seperti itu. Kau pasti bersenang-senang dengannya hingga baru datang sekarang."Keina menghela nafasnya panjang, padahal ia baru saja tiba, tapi Alden sudah memulai perdebatan."Apa aku harus menjawabnya?" ujar Keina dengan lelah, merasa malas menjelaskan kepada Alden karena pria itu selalu saja salah paham.Alden terlihat mengibaskan tangannya, "Tidak, tidak perlu. Kau benar seharusnya aku tidak terlalu ikut campur. Sebaiknya kita mulai dari awal lagi, kau mengurus urusanku sendiri dan aku pun juga begitu."Keina memutar matanya dengan jengah. Saat ini ia merasa sangat lelah, "Terserah kau saja.""Baiklah, sebaiknya kita tidak perlu bersinggungan lagi
"Bisa gila aku!" gumam Alden kuat saat melihat arti dari bunga tulip merah. Ia tidak mempercayai penglihatannya saat ini, jadi bunga tulip merah memiliki arti sebagai pemberian cinta yang mendalam. Pantas saja! Pantas saja Keina tersenyum dan wajahnya memerah. Keina pasti menertawakannya di dalam hati."Bodoh! Bodoh! Bodoh!""Astaga, Pak! Itu laporan pekerjaan kita!"Alden seketika tersentak saat mendengar teriakan Nareen yang baru saja tiba. Ia menjatuhkan pandangannya ke arah tangan yang sedang meremas sesuatu. Apa yang sudah ia lakukan sebenarnya?Alden segera meletakkan berkas itu lalu menyusunnya kembali. Melihat hal itu, Naren menghela nafas lalu berkata, "Biar saya yang membereskannya lagi,"Meski terlihat dongkol, Nareen mengangkat wajahnya. Raut wajah Alden terlihat sangat frustasi membuatnya menjadi iba.Nareen terlihat berdeham lalu bertanya, "Apa saran yang saya berikan tidak berhasil?"Alden mengangkat wajahnya, raut wajahnya seketika menjadi kesal, "Ini semua memang gara
Uhuk!Keina hampir memuntahkan makanannya saat mendengar ucapan Alden. Kalimat Alden begitu ambigu di telinganya. Tidur bersama? Apa maksudnya?Sadar bahwa ia salah bicara, Alden segera menambahkan, "Maksudku kita tidur di kamar yang sama. Seperti dulu. Aku khawatir kau tidak bisa tidur dan membuat kesehatanmu kembali terganggu. Jika kau sakit, siapa pula yang terkena getahnya? Tidak, aku tidak mau diomeli kesekian kalinya oleh orang tuaku."Keina mendengus mendengar ucapan Alden. Jadi, Alden menjaganya hanya takut terkena omelan? Yang benar saja."Terserah kau saja."Keina segera meneguk air yang berada di hadapannya. Ia mengiba-ngibaskan tangannya di depan tubuh. Panas sekali rasanya, entah karena cuacanya atau karena ia memang sedang gugup.Setelah makan, Keina memilih mengerjakan sesuatu menghindari Alden yang bergerak ke ruang televisi. Entah kenapa saat ini ia sangat canggung berada di sekitar Alden. Yang benar saja, kenapa ia kembali menjadi seperti ini sebenarnya."Jika kau in
Keina seketika tertegun saat mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Alden saat ini. Ia mengerjapkan matanya tidak percaya, apa ia tidak salah dengar? Alden mengajaknya menonton film?"Ah, sepertinya kau tidak mau... Baiklah kalau begitu, apa aku harus mengajak Shiren saja agar tiketnya tidak hangus?"Mendengar perkataan itu, Keina segera membuka mulut, "Aku mau!" teriaknya penuh semangat. Sadar bahwa ia berteriak dengan berlebihan, Keina berdeham kecil lalu berkata, "Maksudku kita harus memanfaatkan apapun yang diberikan dengan gratis. Kurasa tidak ada salahnya untuk memanfaatkan hal itu."Alden mengulas senyumannya mendengar ucapan Keina, "Kalau begitu aku pergi."Keina melambaikan tangannya saat Alden hendak pergi ke arah pintu. Sepeninggal Alden, tubuh Keina langsung melorot di lantai. Mimpi apa ia semalam? Alden mengajaknya menonton? Bahkan Alden terlebih dulu mengajaknya dibanding dengan Shiren, tapi apa maksudnya?Keina menggelengkan kepalanya dengan cepat kemudian bersorak den
Alden yang mendorongnya cepat untuk menjauh dari tubuhnya saat ada yang mengetuk pintu membuat Shiren merasa sangat kesal. Harga dirinya seakan terinjak karena Alden sekarang benar-benar tidak menghargainya."Siapa?""Saya Pak."Shiren mengepalkan sebelah tangannya mendengar suara Nareen. Wanita itu benar-benar telah mengganggu kesenangan mereka."Masuklah Nareen,"Dengan ragu-ragu sekertaris Alden terlihat membuka pintu. Shiren menarik nafasnya lalu menghembuskannya perlahan. Sabar Shiren jangan emosi. Ia harus terlihat seperti wanita elegan saat ini."Mohon maaf, tapi meeting Anda sebentar lagi akan dimulai.""Ah baiklah," Alden terlihat melirik ke arah Shiren, "Sebaiknya kau pulang dulu, Shiren."Shiren hanya bisa menurut pada Alden lalu keluar dari sana. Saat Nareen ikut keluar, Shiren segera membalikkan tubuhnya, "Kau sengaja melakukan itu?"Nareen terlihat mengangkat Alisa mendengar ucapan Shiren, "Apa maksudnya Bu Shiren?""Kau sengaja mengganggu waktuku bersama Alden karena ir
"Datang ke apartemenku, Alden. Akan ku ceritakan semuanya."Mendengar ucapan Shiren yang terbata, tanpa berpikir panjang Alden segera memutarbalikkan setirnya dengan cepat. Tujuannya seketika berubah saat mendengar suara Shiren yang terdengar sangat menderita di sebrang sana. Dengan kecepatan yang tinggi, Alden bisa mencapai apartemen Shiren dengan cepat, ia segera naik ke lantai dua tempat apartemen Shiren berada.Matanya terbelalak dengan lebar saat melihat keadaan apartemen Shiren yang kacau balau. Berbagai macam barang juga pecahan kaca berserakan seperti ada yang mengobrak-abriknya. Seperti apa yang terjadi."Astaga Shiren!"Alden segera berlari masuk ke dalam. Ia tersentak saat melihat Shiren yang menelungkupkan wajahnya dengan wajah yang penuh lebam. Dengan cepat Alden menghampiri wanita itu lalu membuka jasnya."Shiren, ini aku... Sebenarnya apa yang terjadi?"Shiren mengangkat wajahnya, untuk kemudian dalam beberapa detik wanita itu memeluk Alden kemudian menangis di sana. Ta
Sudah hampir tiga jam Keina menunggu di depan bioskop yang menayangkan film yang akan mereka nonton hari ini. Namun hingga kesekian kalinya, batang hidung Alden sama sekali tidak terlihat. Keina mengambil ponsel lalu menghubungi pria itu kembali, namun lagi-lagi Alden tidak menjawab panggilannya. Harapan Keina terasa musnah seketika. Kenapa Alden tidak datang? Kenapa pria itu mempermainkan dirinya seperti ini dengan memberikan harapan palsu seperti ini?Tubuh Keina melorot jatuh ke bawah. Ia menelungkupkan wajahnya ke atas lutut. Sakit sekali... Rasanya sangat sakit, ia merasa sangat bodoh karena melakukan banyak hal demi acara hari ini. Namun, lihat apa yang dilakukan oleh pria itu. Alden mengecewakannya lagi dan lagi. Kenapa Alden harus memberikan harapan jika ia hanya akan menjatuhkan dirinya dengan kejam seperti ini?Keina bangkit dari berlutut, tidak ada harapan. Lima belas menit lagi bioskop akan tutup dan Keina yakin Alden tidak akan datang. Ia menyerah, kakinya terasa seperti
"Dokter tolong istri saya, dia–"Alden tersentak saat melihat siapa yang berada di hadapannya saat ia membawa Keina ke rumah sakit. Matanya mengerjap sempurna, bukankah pria ini adalah pria yang bersama dengan Keina saat itu, kalau tidak salah namanya Adrian. Jadi, Adrian adalah seorang dokter? Bahkan dia merupakan dokter kandungan.Alden segera menggeleng dengan kuat, tidak penting siapa pria yang berada di hadapannya kini. Ia harus mendahulukan kondisi Keina terlebih dulu."Sebaiknya Anda keluar dari sini.""Tidak, saya tidak mau. Saya akan menemani istri saya."Adrian menghela nafasnya panjang, ia mendorong tubuh Alden, "Apa Anda mau membahayakan kondisi istri Anda dengan berdebat terlebih dulu? Silahkan keluar."Mendengar peringatan Adrian, Alden seketika menyerah. Ia membuka pintunya kemudian keluar dari ruangan Keina. Alden menatap dengan cemas saat Adrian menangani Keina. Tangannya terkatup di depan dada, berdoa pada Yang Maha Kuasa agar Keina baik-baik saja.Setelah beberapa s
"Kau benar-benar akan pergi sekarang? Tanpa melihat pernikahanku terlebih dulu?" rengek Keina kepada Adrian. Hari ini adalah hari dimana Adrian memutuskan untuk melanjutkan perjalanan seperti yang ia sudah ia rencanakan sedari awal. Karena keadaan Alden sudah stabil, ia merasa cukup tenang meninggalkan Keina sendirian sekarang."Bukankah sudah ku bilang, aku tidak akan mau menanggung resiko menangis di hari itu."Keina membrenggutkan wajahnya, ia segera merentangkan tangannya di depan Adrian, "Kalau begitu aku akan memelukmu saja."Adrian tersenyum kecil mendengar ucapan itu, ia segera memeluk Keina dengan erat."Apa aku patung di sini?" timpal Alden yang sedari tadi hanya mengawasi tingkah Adrian dan juga Keina. Matanya menatap tajam ke arah mereka yang malah asyik berpelukan. Sebal melihatnya, Alden segera menarik tubuh mungil Keina untuk menjauh dari jangkauan Adrian, "Sudah hentikan, jika kau terus memeluknya seperti itu, ia akan mengurungkan niatnya kembali untuk pergi.""Astaga
Saat mengetahui bahwa Alden yang datang menjenguk dirinya hari ini, raut wajah Clara seketika berubah cerah, ia segera merangsek maju dengan antusias saat sampai di ruang tunggu para tamu."Alden, akhirnya kau menemuiku, bagaimana keadaanmu? Aku sungguh minta maaf karena membuat dirimu celaka tempo hari. Itu karena Keina–""Kau sedang membicarakan aku, Clara?"Kata-kata Clara seketika tergantung begitu saja saat melihat Keina yang ternyata mengikuti langkah Alden dari belakang."Kenapa diam? Lanjutkan saja perkataanmu." ujar Keina dengan tatapan tajam."Dia yang sudah membuat kita seperti ini, Alden. Kau harus mengeluarkan aku dari sini, aku sama sekali tidak bersalah, dia mencoba memisahkan kita.""Astaga wanita ini benar-benar gila." dengus Keina tidak percaya. Setelah semua yang ia lakukan, Clara sama sekali tidak merasa bersalah."Alden katakan sesuatu!" Jerit Clara dengan kesal karena melihat Alden yang hanya terdiam."Kau ingin aku mengatakan sesuatu?"Clara mengangguk kecil, "K
"Tentu saja bodoh! Aku mengingat semuanya, semuanya termasuk rencana pernikahan kita sebelumnya."Keina membekap mulutnya, merasa sangat terharu dengan seluruh keajaiban ini, ia sungguh tidak menyangka akhirnya hari ini datang juga, hari dimana Alden akan kembali mengingat cinta mereka, "Astaga!""Tadi kau bilang apa? Kau mau menjauh dariku setelah ini? Dua kali aku hampir mati untukmu, tapi kau malah mau meninggalkan aku. Kau pikir siapa–"Alden tersentak saat tiba-tiba merasakan bibir Keina yang mengecupnya. Matanya mengerjap sempurna, merasa tidak percaya jika Keina akan melakukan ini.Setelah mengecup bibir Alden selama beberapa menit, Keina menjauhkan dirinya, "Aku senang kau selamat, aku senang kau mengingatku lagi, Alden." ujar Keina dengan berurai air mata. Penantiannya kali ini ternyata mendapat sambutan hangat, Alden akhirnya dapat mengingat dirinya.Alden tersenyum mendengar ucapan Keina, ia mengusap air mata Keina yang masih mengalir, "Aku minta maaf karena membuatmu kesuli
Puas menumpahkan semuanya di dalam bilik toilet, Keina segera bangkit. Perlahan Keina kembali ke ruangan Alden. Keina tersentak saat melihat Audrey dan juga Handika sudah ada di sana, raut wajah bersalah kembali memenuhi hatinya. Keina segera berlari ke arah Audrey hendak menjatuhkan diri untuk berlutut di hadapan kedua figur yang sudah ia anggap sebagai orang tuanya sendiri."Maafkan Keina Ma, sungguh maafkan Keina.""Bangun Keina, apa yang kamu lakukan?"Keina hanya bisa tergugu, ia bangkit dengan air mata yang masih mengalir tiada henti."Keina selalu membuat Alden seperti ini, maafkan Keina.""Sudahlah Sayang, Dokter sudah menangani Alden, kita berdoa saja yang terbaik untuknya. Kamu juga terluka saat ini."Keina mengangkat wajahnya merasa tidak percaya jika Audrey tidak menyalahkan dirinya, Audrey bahkan terlihat lebih tegar dibandingkan dengan saat Alden mengalami kecelakaan saat itu."Mama tidak marah padaku?""Untuk Mama marah? Mama marah pun tidak akan membuat Alden sembuh le
"Hentikan!!"Keina yang hampir frustasi dengan keadaannya segera mengangkat wajah saat mendengar teriakan itu. Harapan segera terlihat di sudut matanya, akhirnya Tuhan menjawab do'anya, Alden ada di sana mendobrak pintu gudang dengan tatapan nyalang yang ia berikan.Clara terlihat terkejut, ia tidak menduga akan kehadiran Alden yang berada di sini. Padahal ia sudah melakukan rencana serapi mungkin, tapi kenapa Alden ada di sini?Alden terhenyak melihat keadaan Keina, amarahnya segera naik ke ubun-ubun melihat beberapa pria tengah melecehkan Keina di sana. Baju Keina terlihat sudah compang-camping, dengan amarah yang teramat besar Alden segera menerjang maju ke arah mereka. Pukulan demi pukulan Alden layangkan, merasa tidak terima melihat orang lain menyentuh Keina sesuka hati. Mendengar tangisan Keina yang begitu menyayat membuat bara api di dalam hatinya semakin menyala-nyala. Berani sekali! Berani sekali mereka menyentuh Keina!"Kurang ajar kalian! Kurang ajar! Berani sekali kalian m
Tepat saat Alden merasa sangat frustasi dengan keadaan yang menimpa Keina, ponselnya berdering dengan nyaring. Alden segera mengangkat panggilan itu ternyata itu dari Erik."Bagaimana Erik? Kau menemukan jejak Keina di lokasi terakhir yang aku kirimkan?""Ya Pak, saya juga menemukan mobil yang membawa Nona Keina. Saya akan segera mengirim lokasi terakhir mobil itu ditemukan dengan bantuan orang-orang profesional kita."Mendengar hal itu Alden kembali memantapkan pemikirannya, Alden segera menyalakan mesin mobilnya lalu melihat ke arah pesan Erik. Keningnya berkerut dalam melihat lokasi pesan itu, lokasinya mengarah kepada tempat dimana pabrik makanan yang sudah terbengkalai. Pasti Keina ada di sana. Mata Alden segera berubah dengan yakin, ia harus bisa menemukan Keina secepatnya.****Keina mengerjapkan matanya saat kesadarannya mulai kembali. Ia terhenyak saat matanya menangkap pemandangan di hadapannya. Ruangan tempat ia berada sepertinya merupakan bangunan tua. Rasa pengap dan deb
Keina mengulas senyumnya dengan lebar saat mendapati telepon dari Alden. Ia segera mengangkat panggilan itu lalu menempelkan ponselnya ke arah telinga.Keina berdeham sejenak, mencoba mengendalikan dirinya agar tidak terlalu terlihat antusias."Ya Alden?" Tanyanya dengan nada setenang mungkin."Kau ada di mana?""Aku ada di rumah, kenapa?" jawab Keina enteng."Mau bertemu?"Senyuman lebar kembali terukir di wajahnya saat mendengar pertanyaan yang diberikan oleh Alden, "Ya, boleh. Kapan?""Sekarang. Bisa?"Keina menundukkan wajahnya lalu melirik ke arah tubuhnya yang masih berantakan, "Ah bisa. Tapi, bisa kau beri aku waktu untuk bersiap dulu, tiga puluh menit?""Baiklah, tiga puluh menit, kita bertemu di rumah.""Rumah maksudmu–?""Rumah kita, Keina Nayara. Kita bertemu di sana. Aku rasa di sana tempat paling aman untuk kita bertemu.""Ah, baik."Setelah berkata seperti itu panggilan mereka seketika berhenti. Keina mengulas senyuman kembali lalu melesat ke arah kamar mandi, karena Ald
Meski merasa bingung dengan tindakan Alden, Keina hanya bisa membalas pelukan pria itu. Ia mengusap punggung Alden dengan perlahan, rasanya sudah lama sekali mereka tidak berpelukan seperti ini.Saat Alden melepaskan pelukan mereka, Keina segera bertanya, "Jadi, apa maksudnya?""Sebenarnya aku mengingatmu."Raut wajah Keina seketika berubah cerah mendengar ucapan Alden, ia mencondongkan tubuhnya ke arah pria itu, "Kau mengingatku? Jadi apa yang kau ingat?""Aku ingat dirimu dari masakan yang kau buat. Ku kira itu Clara yang membuatnya.""Astaga, jadi selama ini kau salah paham?""Begitulah,"Keina menggelengkan kepalanya tidak habis pikir, ternyata ia terlalu menganggap remeh Clara Benedict. Bisa-bisanya Clara berbohong pada mereka selama ini."Bahkan dia menyombongkan diri padaku bahwa dia bisa mengambil hatimu, ternyata firasatku benar, dia menipumu." gumam Keina sambil memijat kepalanya.Alden yang mendengar hal itu segera mengambil tangan Keina, merasa sangat bersalah karena ia te
Tepat sebelum Keina membuka mulutnya, ponsel Alden berbunyi dengan nyaring. Keina segera menggeser tubuh pria itu lalu berkata, "Ponselmu, ponselmu berbunyi!" ujarnya dengan gugup.Alden segera mundur, ia mengambil ponsel yang berada di saku jasnya. Sejenak Alden terlihat termenung melihat siapa yang memanggilnya saat ini. Clara."Kau tidak mengangkatnya?" tanya Keina yang melihat Alden hanya terdiam dengan ponsel di tangan.Alden mengangkat wajah lalu mematikan ponselnya dengan cepat, "Sudahlah, tidak penting."Keina yang melihat hal itu mengerutkan dahinya, bukankah itu adalah telepon dari Clara? Kenapa Alden tidak mau mengangkatnya?"Kita lanjutkan saja perjalanan kita, bagaimana kalau kita ke rumah itu?""Maksudmu rumah kita terdahulu?""Ya, mungkin kau benar akan ada sesuatu yang tertinggal di sana. Mungkin aku harus berada di sana sedikit lebih lama."Meski merasa aneh dengan tingkah Alden, Keina mengangguk kecil. Saat ini adalah waktu bersama Alden, ia harus bisa memanfaatkan w