Tidak ada obrolan di dalam mobil. Mas Bayu mengendarai mobil sudah seperti orang yang kesetanan. Lajunya cepat sekali, aku ketakutan. Namun, sebisa mungkin aku tahan agar tidak terlihat ketakutan.
Sesampainya di rumah, Mas Bayu menarik lenganku ke dalam rumah. Pegangannya erat sekali, lenganku sampai sakit dibuatnya. Dia tidak menghiraukan ringisan tanganku.
Dia mebantingku ke atas kasur. Lalu dia menatapku dengan penuh kemarahan. “Badan kamu udah kotor! Harus dibersihkan!”
Mas Bayu mulai mencium bibirku dengan ganas. Tidak! Ini tidak seperti permainan kami seperti biasanya. Mas Bayu bermain dengan kasar. Dia meremas dadaku dengan tenaganya.
“Mas! Jangan begini!”
Tanpa banyak bicara, dia mulai melepas seluruh pakaian kami. Setelah itu, dia memasukkan miliknya dengan sekali hentakan. Sontak saja aku berteriak, ini tidak mirip seperti bercinta.
“Lubang ini harus aku sucikan dengan milikku! Jangan pernah melawanku,
Malam itu sukses membuat hubungan kami renggang. Seperti sekarang, aku menyumpal telinga dengan earphone agar tidak mendengar ucapan Mas Bayu. Apa pun yang dia katakan, tidak ada yang terdengar. Paling-paling dia hanya berbicara kalau ingin meminta maaf. Apa itu penting sekarang? Aku sudah memaafkannya. Namun, tidak akan pernah terbesit olehku kalau akan mempertahankan pernikahan kami, semenjak malam itu. Dia menyenggol lenganku. Tidak aku indahkan. Mataku terus fokus dengan lukisan yang sedang kukerjakan. Setelah itu, dia berdiri dan mengambil lukisan dari tanganku. Dia menatapku penuh harap. Oleh karena itu, aku terpaksa melepas earphone. “Jangan diemin aku, Dek.” Aku berusaha mengambil lukisan itu, tetapi dia menariknya agar tidak tercapai olehku. “Maunya apa, sih?” “Jangan diemin aku! Jawab omonganku, seperti biasa aja.” Itu tidak akan pernah terjadi, karena aku sudah muak dengan tingkah lakunya. Aku menga
Rencana bermain dengan Rio hari ini batal.Ketika Mas Bayu meninggalkanku sendirian di rumah, aku langsung teringat kondisi Danu yang semalam habis dipukuli oleh Mas Bayu. Langsung saja aku hubungi dia saat itu.Untung saja lukanya tidak terlalu parah, aku jadi merasa lebih baik mendengarnya. Walaupun begitu, aku tetap ingin mengunjunginya. Bagaimanapun juga, dia telah berjasa membantuku semalam. Kalau dia tidak mau membantu, mungkin semalam Mas Bayu tidak akan mendengar semua ucapanku.Akhirnya, sekarang kami sudah bertemu di apartemen Danu. Tentu saja dia tidak tinggal sendiri, Danu masih belum memiliki seorang pacar. Terakhir kali Danu bilang kalau dia cinta padaku itu kelas XI SMA. Seharusnya sudah lebih dari delapan tahun cintanya padaku. Namun, tidak terbalas juga olehku.“Omongan kamu yang semalam itu bener, Nu?” tanyaku di sela-sela obrolan kami. Danu langsung tertawa sambil menahan sakit di rahangnya.“Omongan yang mana,
Setelah menyudahi percakapan dengan Danu, aku langsung bergegas menuju restoran yang sudah kami sepakati. Kalau terlalu lama, nanti Kiki bisa marah-marah. Pasti dia akan mengoceh panjang kali lebar, mengucapkan kalau aku super lambat. Sejak di dalam mobil, sudah ada beberapa panggilan tidak terjawab dari Mas Bayu. Apa dia sudah pulang? Entahlah, aku malas menerima panggilannya. Pasti obrolannya tidak jauh dari, kamu di mana? Aku sudah sampai di rumah. Padahal sudah aku katakan untuk tidak pulang ke rumah. Sepertinya dia memang ingin mencari muka saja. Ada satu pesan terbaru, dari Mas Bayu. Segera aku buka isinya, penasaran juga dengan isi pesan darinya. My Hubby: Dek, kamu di mana? Mas udah sampai di rumah. Sudah aku duga, dia sampai di rumah lebih awal. Semuanya terlalu kentara di mataku, dan membuatku ingin tertawa terbahak-bahak di depannya. Sebelumnya, dia tidak pernah pulang awal selama l
“Sekarang lo mau tidur di rumah Rio?” tanya Kiki.“Iya, Ki. Gue mau tidur di sana aja, hitung-hitung nenangin pikiran gue yang lagi kacau,” jawabku.“Ya, udah. Mending lo kabarin Rio dari sekarang, takutnya dia pergi malam ini,” kata Kiki.Benar juga, aku harus mengabarinya. “Nanti aja sekalian di mobil, Ki. Kita pulang sekarang aja, yuk!”Kiki mengangguk. “Gue juga mau istirahat cepet-cepet malam ini. Pokoknya kalau malam ini lo kenapa-kenapa, certia sama gue, Cit!”“Iya, Ibu Kiki.”Kami tertawa sambil berjalan menuju mobil masing-masing. “Hati-hati, Cit!”Sesampainya di dalam mobil, aku langsung menekan nomor Rio untuk dihubungi. Lama panggilan itu tidak diangkat, sepertinya dia sedang tidak memegang ponsel. Aku akan jalan ke sana terlebih dahulu, nanti di tengah jalan akan menghubunginya lagi.Sebelum menjalankan mobil, pesan dari Mas Bayu be
“Dek, pulang, dong! Tidur di rumah aja sama Mas.”Telepon sudah aku abaikan, sudah aku letakkan di atas meja. Hanya kami dengarkan, tidak aku balas ucapannya. Namun, lama-lama Rio mulai geram. Akhirnya, aku memutuskan untuk menjawabnya.“Aku mau tidur di sini malam ini.”Setelah itu, aku tutup teleponnya. “Berisik banget!”Rio hanya tertawa menanggapinya. Kalau boleh jujur, aku ingin sekali menolak teleponnya tadi. Namun, Rio terus meminta untuk dijawab. Kalau tidak dijawab, mungkin tidak akan hilang mood-ku.Ketika menonton film, aku mulai tidak tenang. Seolah ada yang mengatakan kalau nanti Mas Bayu akan datang ke sini dan menjemputku. Hal itu karena aku memutuskan panggilan tiba-tiba.Bagaimanapun juga, itu hanyalah pikiranku saja. Mudah-mudahan nanti dia tidak datang ke sini. Mudah-mudahan ketika aku pulang besok, Mas Bayu sudah pergi dari rumah.“Pria yang ketemu saa lu waktu di
Ketika mataku terbuka, satu-satunya orang yang langsung terlihat adalah Rio, adik yang paling menyebalkan. Rio sudah berdiri bersandar di daun pintu dengan tangan yang dia lipat. Matanya menatap jengkel ke arahku. Sesaat setelah aku menatapnya, bola matanya memutar.Tentu saja itu membuatku jengkel dan bertanya-tanya, ada apa dengan adikku yang hanya satu-satunya ini? Dengan gerakan cepat, aku bangkit dan merapikan tempat tidur. Setelah itu, aku menatapnya balik dengan tangan yang sama dilipat dengannya. “Ada apa, nih? Pagi-pagi udah kayak bapak kos yang siap nerkam anak kosnya?”Rio tidak menjawab ucapanku. Dia bersikap aneh pagi ini. Baru saja dia pergi meninggalkanku di kamar sendirian. Bukannya tenang, aku justru penasaran dengan sikapnya. Akhirnya, aku ikuti Rio sampai ke lantai dasar rumah.Dia berdiri di dekat sofa, kemudian duduk. Setelah itu, tangannya mengacak-acak wajah dan rambutnya.“Kenapa, sih? Lo pagi-pagi udah kayak pera
Setelah Mas Bayu berangkat ke kantor tadi pagi, aku tidak melakukan aktivitas apa pun selain tertidur di atas kasur. Bukan karena aku sedang malas, tetapi aku sedang ingin tiduran saja hari ini. Padahal, masih ada hal yang bisa aku lakukan, seperti mencuci baju, membereskan rumah, atau yang lainnya.Sudahlah, sekarang sudah jam satu siang. Aku harus bergerak, setidaknya ada satu hal yang rapi hari ini. Ketika melihat tumpukan pakaian yang menggunung, saat itu juga aku langsung malas menatapnya. Jadi, mungkin aku akan mencuci saja hari ini.Sambil mencuci, aku putar lagi klasik yang dapat mengiringi kegiatan. Seperti orang luar negeri yang sedang beraktivitas dengan musik yang mengaluni saja.Oh iya, aku harus membuat satu keputusan yang sangat berarti. Jika sampai tiga hari ke depan Mas Bayu tidak memberikan surat cerai, mungkin aku yang akan membuat surat gugatan cerai untuknya.Hasil melamun hari ini memutuskan kalau aku memang harus berpisah dengannya.
“Dari mana kamu?”Baru sampai di rumah, aku langsung ditanya oleh Mas Bayu. Belum juga masuk ke dalam rumah, dia sudah menghentikanku saja.“Dari rumah temen,” jawabku.Mas Bayu menahan badanku agar tidak masuk terlebih dahulu. Dia menarik lenganku ke arah ruang keluarga. Kemudian, dia menyuruhku duduk di depannya. “Duduk!”Aku langsung mengikuti perintahnya. Apa yang terjadi pada Mas Bayu? Dia terlihat marah sekali sekarang.“Kamu dari mana, Cit?” tanya Mas Bayu sekali lagi.Aku menarik napas panjang. “Dari rumah temen. Aku udah jawab pertanyaan itu tadi, Mas.”Mas Bayu mendecih dan menaikkan satu sudut bibirnya. “Temen yang mana?”“Harus aku jawab temen yang mana, ya?” tantangku.Sepertinya Mas Bayu menduga kalau aku ke rumah Danu, pria yang dia lihat di acara itu. Wajahnya terlihat sangat marah. Aneh!“Kamu masih menjadi i
Beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit, Mas Bayu sudah tidak menggunakan perban lagi. Walau masih terlihat bekas luka di beberapa bagian, setidaknya dia tidak perlu terikat oleh perban yang mengganggunya lagi.Dia belum pulang kerja, aku sudah menunggunya di depan pintu. Katanya dia sudah di jalan, sebentar lagi mungkin akan tiba.Aku harus bersyukur karena memiliki suami sebaik Mas Bayu. Andaikan aku disuruh menilai, mungkin nilai yang akan aku berikan adalah tanda tidak terhingga. Menurutku, masih ada nilai di atas nilai maksimum.Tidak setara apa yang aku lakukan padanya dibanding dia korbankan padaku.Suara derung mesin mobil membuatku berdiri dan membuka pintu. Mas Bayu berjalan ke arahku dengan wajah yang tersenyum."Nggak usah nungguin di depan, Dek. Di dalem rumah aja nggak apa-apa, kok," katanya.Aku mengambil tas dia, kemudian membuka jas yang Mas Bayu pakai. "Nggak apa-apa, lagian cuma duduk di dalem doang bosen. Jalanan la
Setelah beberapa jam menunggu kehadiran dokter untuk memeriksa Mas Bayu, akhirnya tiba saatnya dia boleh pulang. Luka yang dia dapat lantaran melompat dari mobil tidak terlalu parah, paling-paling hanya luka gores.Aku sudah menyiapkan barang-barang Mas Bayu di dalam tas untuk pulang. Dia sedang duduk saja sambil menonton tayangan televisi."Lu bener nggak butuh bantuan gua, Kak?"Yang sedang berbicara itu Rio. Kami menelepon dari tadi. Dia kukuh ingin meminta datang dan membantu aku. Namun, dia juga memiliki hal yang mendesak di kampus. Jadi, aku larang dia."Bener, Yo. Nanti gue yang bawa mobilnya, santai aja. Sini ke rumah nggak terlalu jauh, kok," jawabku."Ya udah, gua tutup teleponnya. Nanti malam gua ke rumah, mau nitip apaan?' tanya Rio.Aku menoleh ke Mas Bayu. "Nitip perban dan obat merah aja, deh. Buat jaga-jaga kalau nanti perban harus diganti.""Nggak ke dokter lagi aja?" kata Rio."Aduh, nggak usah, deh! Tan
Mas Bayu masih tertidur di dalam ruangannya. Aku sengaja keluar untuk berbicara dengan Leon. Mas Bayu tidak perlu tahu kalau aku sedang menjalankan rencana untuk penyergapan Luna."Jadi, apa rencana lu kali ini, Cit?"Aku sedang berbicara dengan Leon. Dia yang akan membantu aku dalam penangkapan Luna nanti."Gue udah chat Luna untuk ketemuan nanti siang. Tapi, gue yakin dia nggak akan sendirian. Setelah perusahaannya direbut, gue yakin dia bawa anak buahnya untuk nangkep gue nanti."Leon mendengus. "Lu mau bawa pekerja perusahaan itu juga? Lumayan, mereka pasti berguna. Setidaknya ada lawan untuk pengawal si Luna."Aku menjawabnya dengan kikihan. "Tentu aja tidak. Gue akan bawa polisi, Yon!""Lu mau laporin kasus ini ke polisi sekarang?" tanya Leon. "Lo udah punya semua bukti dari kejahatan Luna?""Iya, gue nggak mau ada bakteri yang hidup di sekitar gue dan Mas Bayu. Kalau ada, dia harus dimusnahkan segera. Semuanya udah gue kumpulin semala
Seharusnya aku senang mendengar pernyataan Leon. Namun, entah kenapa hatiku justru makin sakit.Sekarang, pria di hadapanku sudah membuka matanya. Menatapku dengan tatapan yang masih belum bisa aku artikan.Kemarahan? Sepertinya iya, dia sangat marah kepadaku. Kebencian? Pastinya, dia mungkin sudah benci kepadaku."Perusahaan itu milik Luna dan keluarganya, itu perusahaan yang menyediakan pembunuh bayaran, penjaga, dan apa pun yang berkaitan dengan penjagaan seseorang. Lu tahu artinya? Itu artinya Luna bisa kapan aja nyerang lu atau Bayu, Cit!""Kenapa harus gue? Sebelumnya bahkan gue nggak kenal sama Luna, Yon!""Karena lu istrinya Bayu! Lu nggak tahu kalau Luna itu nggak terima Bayu nikah sama lu. Dia benci pernikahan itu, makanya dia bisa mengancam Bayu sesuka hatinya!""Mengancam? Maksudnya?""Bayu ngelindungin selama ini!"Air mataku sukses mengalir ke pipi. Aku alihkan pandangan dari wajahnya. Takut, malu, sed
"Mungkin emang benar kalau dulu Mas Bayu cinta sama aku, Li. Benar kalau dulu Mas Bayu ngejar-ngejar aku. Nggak hanya kamu yang bilang, Mama dan temanku juga bilang begitu.""Tapi anehnya Mba, Mas Bayu masih bisa pacaran walau hatinya tetap ke Mba Citra," kata Loli.Aku jadi teringat kata-kata Kiki."Bayu itu playboy, Cit! Kalau lo mau masuk ke dunia dia, hati-hati aja. Apa lagi dunianya bukan pacaran lagi, udah ke nikah.""Jadi, dia pacaran karena cinta atau pacaran karena apa?" tanyaku."Mas Bayu pacaran karena dia mencari pelarian. Aku udah bilang kalau itu salah, tetapi Mas Bayu tetap Mas Bayu, orang paling keras kepala yang aku tahu."Aku pikir hanya aku sendirian saja yang menganggap Mas Bayu keras kepala."Tapi itu dulu, Li. Mungkin dulu, tetapi sekarang mungkin sudah berubah perasaannya. Setelah dia mengetahui sifat Mba, sikap Mba, perlakuan, dan keburukan Mba, dia bisa aja berubah, kan?"Loli mengerucutkan bibirnya. "Ent
"Sudah bangun?" tanya Aris. Aku sedang mengusap-ngusap dahi Mas Bayu yang berkeringat. Matanya masih tertutup, dengan napas yang sudah mulai teratur. "Belum, Ris. Dia masih mau tidur kayaknya." "Tadi Aris nggak sengaja ngeliat Bayu di dekat rumah kamu, Cit." Aku menoleh ke belakang. Sejak kapan Danu datang? Setahu aku tadi hanya ada aku, Rio, dan Aris di depan kamar rawat Mas Bayu. "Kamu jemput Aris, Nu?" tanyaku pura-pura mengalihkan pembicaraan. "Terima kasih, Ris." "Dia ada masalah apa sama Pak Wijaya, Cit?" kata Aris. Dia menunjukkan tayangan di ponselnya. "Tolong menyingkir! Saya lagi nggak bisa berbicara dengan Anda, Pak." Tayangan yang direkam dari dalam mobil. Suara Mas Bayu terdengar kecil, jaraknya terlalu jauh. "Saya ajukan beberapa penawaran. Saya tidak masalah jika kamu menginginkan hak paten perusahaan itu, tapi tolong berikan beberapa persen saham untuk saya." Aku tidak t
"Cari Bayu, Kak? Kenapa dia?" tanya Leon.Aku memberikan berkas itu kepada Rio. Dia membacanya perlahan-lahan. Bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri. "Ini berkas untuk lu?"Aku menganggukkan kepala. "Awalnya gue pikir itu berkas cerai kami, tetapi setelah Leon telepon dan gue lihat, ternyata itu bukan sama sekali.""Terus maksudnya dia apa mengambil alih perusahaan ini?" tanya Rio lebih lanjut."Itu ternyata perusahaan punya Luna, atau mungkin milik keluarganya. Kalau dilihat-lihat, perempuan itu seperti nggak punya pekerjaan. Dia bebas berkeliaran ke mana pun setiap hari. Jadi, gue pikir itu milik keluarga.""Maksudnya? Luna itu siapa, Kak?" Rio semakin bingung dengan penjelasanku."Luna itu perempuan selingkuhan Mas Bayu. Dia perempuan yang udah ngerebut Mas Bayu dari gue, Yo. Dia juga perempuan yang hampir menghancurkan hidup gue waktu itu."Rio tidak menjawab ucapanku lagi. Dia mulai mengerti sepertinya. "Oke, kita mau
Mungkin memang seharusnya aku tidak perlu percaya pada Mas Bayu. Aku tidak perlu mengatakan kalau aku masih mencintainya di depan Mama sampai dia mendengarnya. Hal itu membuatnya semakin besar kepala. Dia bertindak kalau aku berada atas segala kuasanya. Kemudian, dia akan melempar aku lagi ke dalam jurang kesakitan. "Dek!" Aku menoleh, Mas Bayu sedang berlari ke sini. Aku abaikan teriakan dia, aku alihkan tatapan ke jalanan yang sedang ramai. "Kamu mau ke mana?" tanya Mas Bayu setelah sampai di halte. "Nggak usah macem-macem! Ayo aku anter!" Mas Bayu menggenggam pergelangan tanganku. Namun, aku berusaha melepaskannya. Tetap saja, tenaga dia lebih besar. "Lepasin aku, Mas!" pintaku sambil berusaha melepaskannya. "Nggak, aku mau kamu pulang sama aku! Jangan pulang sendirian!" kata Mas Bayu. Dia mulai menarik tanganku agar bisa dia bisa memeluk tubuhku. Dia usapkan tangannya agar aku tenang. Namun, yang t
“Obrolan kita nggak lagi rahasia sekarang.” Mama menunjuk pintu, ada bayangan di celah bawah pintu. “Buka pintunya sana!” Aku menuruti keinginan Mama untuk membuka pintu. Perlahan-lahan aku tarik pintu agar terbuka. Kemudian, terpampanglah tubuh pria yang sedang berdiri membelakangi pintu. Aku langsung menyeka air mata yang masih membekas. Lalu, aku buka pintu lebar-lebar dan mundur beberapa langkah. “Bayu?” Mama memanggilnya. Mas Bayu membalikkan badannya. Dia juga mengusap wajah dengan lengannya. Kemudian, dia menatapku lekat. Basah, bulu matanya basah. Aku bisa melihat jelas bulu mata dan alisnya yang basah. Apa Mas Bayu juga menangis? Apa dia mendengar semua ceritaku tadi? “Menguping itu nggak baik. Apa yang kamu lakukan di sana?” kata Mama. Mas Bayu tidak mengalihkan pandangannya dariku. Masih sama, dia menatapku seolah kami sudah lama tidak berjumpa. “Kamu udah pulang?” tanyaku dengan nada suara yang serak. “Kenap