“Sekarang lo mau tidur di rumah Rio?” tanya Kiki.
“Iya, Ki. Gue mau tidur di sana aja, hitung-hitung nenangin pikiran gue yang lagi kacau,” jawabku.
“Ya, udah. Mending lo kabarin Rio dari sekarang, takutnya dia pergi malam ini,” kata Kiki.
Benar juga, aku harus mengabarinya. “Nanti aja sekalian di mobil, Ki. Kita pulang sekarang aja, yuk!”
Kiki mengangguk. “Gue juga mau istirahat cepet-cepet malam ini. Pokoknya kalau malam ini lo kenapa-kenapa, certia sama gue, Cit!”
“Iya, Ibu Kiki.”
Kami tertawa sambil berjalan menuju mobil masing-masing. “Hati-hati, Cit!”
Sesampainya di dalam mobil, aku langsung menekan nomor Rio untuk dihubungi. Lama panggilan itu tidak diangkat, sepertinya dia sedang tidak memegang ponsel. Aku akan jalan ke sana terlebih dahulu, nanti di tengah jalan akan menghubunginya lagi.
Sebelum menjalankan mobil, pesan dari Mas Bayu be
“Dek, pulang, dong! Tidur di rumah aja sama Mas.”Telepon sudah aku abaikan, sudah aku letakkan di atas meja. Hanya kami dengarkan, tidak aku balas ucapannya. Namun, lama-lama Rio mulai geram. Akhirnya, aku memutuskan untuk menjawabnya.“Aku mau tidur di sini malam ini.”Setelah itu, aku tutup teleponnya. “Berisik banget!”Rio hanya tertawa menanggapinya. Kalau boleh jujur, aku ingin sekali menolak teleponnya tadi. Namun, Rio terus meminta untuk dijawab. Kalau tidak dijawab, mungkin tidak akan hilang mood-ku.Ketika menonton film, aku mulai tidak tenang. Seolah ada yang mengatakan kalau nanti Mas Bayu akan datang ke sini dan menjemputku. Hal itu karena aku memutuskan panggilan tiba-tiba.Bagaimanapun juga, itu hanyalah pikiranku saja. Mudah-mudahan nanti dia tidak datang ke sini. Mudah-mudahan ketika aku pulang besok, Mas Bayu sudah pergi dari rumah.“Pria yang ketemu saa lu waktu di
Ketika mataku terbuka, satu-satunya orang yang langsung terlihat adalah Rio, adik yang paling menyebalkan. Rio sudah berdiri bersandar di daun pintu dengan tangan yang dia lipat. Matanya menatap jengkel ke arahku. Sesaat setelah aku menatapnya, bola matanya memutar.Tentu saja itu membuatku jengkel dan bertanya-tanya, ada apa dengan adikku yang hanya satu-satunya ini? Dengan gerakan cepat, aku bangkit dan merapikan tempat tidur. Setelah itu, aku menatapnya balik dengan tangan yang sama dilipat dengannya. “Ada apa, nih? Pagi-pagi udah kayak bapak kos yang siap nerkam anak kosnya?”Rio tidak menjawab ucapanku. Dia bersikap aneh pagi ini. Baru saja dia pergi meninggalkanku di kamar sendirian. Bukannya tenang, aku justru penasaran dengan sikapnya. Akhirnya, aku ikuti Rio sampai ke lantai dasar rumah.Dia berdiri di dekat sofa, kemudian duduk. Setelah itu, tangannya mengacak-acak wajah dan rambutnya.“Kenapa, sih? Lo pagi-pagi udah kayak pera
Setelah Mas Bayu berangkat ke kantor tadi pagi, aku tidak melakukan aktivitas apa pun selain tertidur di atas kasur. Bukan karena aku sedang malas, tetapi aku sedang ingin tiduran saja hari ini. Padahal, masih ada hal yang bisa aku lakukan, seperti mencuci baju, membereskan rumah, atau yang lainnya.Sudahlah, sekarang sudah jam satu siang. Aku harus bergerak, setidaknya ada satu hal yang rapi hari ini. Ketika melihat tumpukan pakaian yang menggunung, saat itu juga aku langsung malas menatapnya. Jadi, mungkin aku akan mencuci saja hari ini.Sambil mencuci, aku putar lagi klasik yang dapat mengiringi kegiatan. Seperti orang luar negeri yang sedang beraktivitas dengan musik yang mengaluni saja.Oh iya, aku harus membuat satu keputusan yang sangat berarti. Jika sampai tiga hari ke depan Mas Bayu tidak memberikan surat cerai, mungkin aku yang akan membuat surat gugatan cerai untuknya.Hasil melamun hari ini memutuskan kalau aku memang harus berpisah dengannya.
“Dari mana kamu?”Baru sampai di rumah, aku langsung ditanya oleh Mas Bayu. Belum juga masuk ke dalam rumah, dia sudah menghentikanku saja.“Dari rumah temen,” jawabku.Mas Bayu menahan badanku agar tidak masuk terlebih dahulu. Dia menarik lenganku ke arah ruang keluarga. Kemudian, dia menyuruhku duduk di depannya. “Duduk!”Aku langsung mengikuti perintahnya. Apa yang terjadi pada Mas Bayu? Dia terlihat marah sekali sekarang.“Kamu dari mana, Cit?” tanya Mas Bayu sekali lagi.Aku menarik napas panjang. “Dari rumah temen. Aku udah jawab pertanyaan itu tadi, Mas.”Mas Bayu mendecih dan menaikkan satu sudut bibirnya. “Temen yang mana?”“Harus aku jawab temen yang mana, ya?” tantangku.Sepertinya Mas Bayu menduga kalau aku ke rumah Danu, pria yang dia lihat di acara itu. Wajahnya terlihat sangat marah. Aneh!“Kamu masih menjadi i
Pagi ini sangat berbeda dengan pagi-pagi yang lain. Biasanya aku terbangun lebih awal dalam keadaan suami belum bangun, kali ini justru Mas Bayu yang bangun terlebih dahulu. Ketika mataku terbuka, dia sudah duduk di samping kasur sambil tersenyum. Sontak aku kaget, dan memberikan jarak agar berjauhan. “Selamat pagi, Sayang!” sapanya diiringi senyuman yang lebar. “Nyenyak banget tidurnya.” Harus aku akui, perjuangan Mas Bayu mendapatkan kata maaf dariku dan merubah kondisi hubungan kami memang luar biasa. Aku ralat, dia memang luar biasa untuk mendapatkan keinginannya. Dulu, ketika aku belum menyatakan cinta padanya, Mas Bayu selalu berusaha melakukan hal apa pun uang akhirnya membuatku jatuh cinta padanya. Jadi, mungkin sekarang dia akan berusaha sampai hubungan kami membaik. Namun bagiku, itu semua hanya sia-sia. Kertas yang sudah lecek tidak akan kembali mulus seperti awal. Lagi pula, sekarang sudah hari senin, hari yang aku tunggu.
Aku memang tidak mengetahui garis takdir yang Tuhan berikan. Semua ini aku jalani hanya dengan tekad dan penuh keyakinan kalau semuanya akan berujung bahagia. Namun, kenyataannya tidak seperti keyakinanku.Garis pernikahan yang Tuhan berikan sepertinya akan kandas, akan berhenti sebentar lagi. Semuanya terhenti karena kehendak Tuhan yang memerintahkan Mas Bayu untuk selingkuh.Apakah aku marah? Biar aku tegaskan, siapa yang tidak marah jika suami sendiri selingkuh? Tidak akan ada seorang istri yang tidak marah jika hal itu terjadi.Apakah aku sedih? Biar aku jelaskan, hatiku bukanlah segumpal batu yang tidak merasakan apa-apa. Hatiku teriris melihat mereka yang bermesraan di luar sana sementara aku yang seorang istrinya tidak pernah dia perlakukan seperti itu. Aku sedih, sangat sedih. Jika aku bisa menuliskan skor kesedihan, mungkin nilainya akan tidak terhingga.Hari ini, aku tidak tahu apa yang Mas Bayu rencanakan, dia meminta agar memberinya satu kesem
Aku tidak habis pikir dengan Luna. Seperti tidak ada habis-habisnya dia berbuat jahat kepadaku. Sampai aku bingung, memangnya ada salah apa sampai dia selalu memiliki niat jahat terhadapku?Mencuri Mas Bayu dari dia? Sebelumnya aku mohon maaf, dari awal Mas Bayu yang berusaha agar pernikahan kami berjalan. Dia yang memintaku untuk menerimanya. Jadi, itu bukan termasuk mencuri, kan?Lalu, apa salahku padanya?Sudahlah, hari ini tidak jadi menyenangkan karena perempuan bermulut ular yang bernama Luna. Tadinya aku ingin melepaskan beban pikiran dengan bekerja dan bertemu Aris dan Danu. Namun, setelah dia datang, mood-ku seketika hilang.Lihat saja tadi, mereka berdua yang sedang asyik mencatat seluruh perlengkapan yang dibutuhkan pada saat acara nanti. Sementara aku? Tidak usah ditanya, aku justru menikmati cokelat dingin yang Aris belikan di luar untuk menghilangkan suasana hatiku yang hancur.Kalau begitu, aku sudah menjadi karyawan yang me
Setelah bertemu Mama, aku langsung menuju rumahnya. Dia juga yang mengajakku untuk menginap di rumahnya.Di mobil, banyak topik yang kami bicarakan. Mulai dari bisnis toko roti yang Mama jalankan, juga perusahaan papa yang sedang berkembang pesat, ditambah permasalahan Loli yang sibuk memilih universitas.Saat itu, aku rasanya tidak ingin memikirkan apa-apa selain kebahagiaan bersama Mama. Namun, semakin kami bahagia, semakin muncul pikiran tentang aku yang akan berpisah dengannya.Apakah kami masih bisa berbincang seperti ini lagi nanti? Apakah Mama akan marah padaku karena memilih bercerai? Atau justru Mama tidak pernah mempermasalahkan kami?Sesampainya di depan rumah, kami disambut Loli yang berteriak dari dalam. Astaga, anak itu tidak mengubah sikapnya yang terlalu aktif. Bukan masalah, tetapi dia akan cepat lelah dan akan cepat sakit juga.“Aku habis buat kue kering baru,” katanya.“Kue apa, tuh? Enak apa biasa aja rasanya?” tanya Mama.
Beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit, Mas Bayu sudah tidak menggunakan perban lagi. Walau masih terlihat bekas luka di beberapa bagian, setidaknya dia tidak perlu terikat oleh perban yang mengganggunya lagi.Dia belum pulang kerja, aku sudah menunggunya di depan pintu. Katanya dia sudah di jalan, sebentar lagi mungkin akan tiba.Aku harus bersyukur karena memiliki suami sebaik Mas Bayu. Andaikan aku disuruh menilai, mungkin nilai yang akan aku berikan adalah tanda tidak terhingga. Menurutku, masih ada nilai di atas nilai maksimum.Tidak setara apa yang aku lakukan padanya dibanding dia korbankan padaku.Suara derung mesin mobil membuatku berdiri dan membuka pintu. Mas Bayu berjalan ke arahku dengan wajah yang tersenyum."Nggak usah nungguin di depan, Dek. Di dalem rumah aja nggak apa-apa, kok," katanya.Aku mengambil tas dia, kemudian membuka jas yang Mas Bayu pakai. "Nggak apa-apa, lagian cuma duduk di dalem doang bosen. Jalanan la
Setelah beberapa jam menunggu kehadiran dokter untuk memeriksa Mas Bayu, akhirnya tiba saatnya dia boleh pulang. Luka yang dia dapat lantaran melompat dari mobil tidak terlalu parah, paling-paling hanya luka gores.Aku sudah menyiapkan barang-barang Mas Bayu di dalam tas untuk pulang. Dia sedang duduk saja sambil menonton tayangan televisi."Lu bener nggak butuh bantuan gua, Kak?"Yang sedang berbicara itu Rio. Kami menelepon dari tadi. Dia kukuh ingin meminta datang dan membantu aku. Namun, dia juga memiliki hal yang mendesak di kampus. Jadi, aku larang dia."Bener, Yo. Nanti gue yang bawa mobilnya, santai aja. Sini ke rumah nggak terlalu jauh, kok," jawabku."Ya udah, gua tutup teleponnya. Nanti malam gua ke rumah, mau nitip apaan?' tanya Rio.Aku menoleh ke Mas Bayu. "Nitip perban dan obat merah aja, deh. Buat jaga-jaga kalau nanti perban harus diganti.""Nggak ke dokter lagi aja?" kata Rio."Aduh, nggak usah, deh! Tan
Mas Bayu masih tertidur di dalam ruangannya. Aku sengaja keluar untuk berbicara dengan Leon. Mas Bayu tidak perlu tahu kalau aku sedang menjalankan rencana untuk penyergapan Luna."Jadi, apa rencana lu kali ini, Cit?"Aku sedang berbicara dengan Leon. Dia yang akan membantu aku dalam penangkapan Luna nanti."Gue udah chat Luna untuk ketemuan nanti siang. Tapi, gue yakin dia nggak akan sendirian. Setelah perusahaannya direbut, gue yakin dia bawa anak buahnya untuk nangkep gue nanti."Leon mendengus. "Lu mau bawa pekerja perusahaan itu juga? Lumayan, mereka pasti berguna. Setidaknya ada lawan untuk pengawal si Luna."Aku menjawabnya dengan kikihan. "Tentu aja tidak. Gue akan bawa polisi, Yon!""Lu mau laporin kasus ini ke polisi sekarang?" tanya Leon. "Lo udah punya semua bukti dari kejahatan Luna?""Iya, gue nggak mau ada bakteri yang hidup di sekitar gue dan Mas Bayu. Kalau ada, dia harus dimusnahkan segera. Semuanya udah gue kumpulin semala
Seharusnya aku senang mendengar pernyataan Leon. Namun, entah kenapa hatiku justru makin sakit.Sekarang, pria di hadapanku sudah membuka matanya. Menatapku dengan tatapan yang masih belum bisa aku artikan.Kemarahan? Sepertinya iya, dia sangat marah kepadaku. Kebencian? Pastinya, dia mungkin sudah benci kepadaku."Perusahaan itu milik Luna dan keluarganya, itu perusahaan yang menyediakan pembunuh bayaran, penjaga, dan apa pun yang berkaitan dengan penjagaan seseorang. Lu tahu artinya? Itu artinya Luna bisa kapan aja nyerang lu atau Bayu, Cit!""Kenapa harus gue? Sebelumnya bahkan gue nggak kenal sama Luna, Yon!""Karena lu istrinya Bayu! Lu nggak tahu kalau Luna itu nggak terima Bayu nikah sama lu. Dia benci pernikahan itu, makanya dia bisa mengancam Bayu sesuka hatinya!""Mengancam? Maksudnya?""Bayu ngelindungin selama ini!"Air mataku sukses mengalir ke pipi. Aku alihkan pandangan dari wajahnya. Takut, malu, sed
"Mungkin emang benar kalau dulu Mas Bayu cinta sama aku, Li. Benar kalau dulu Mas Bayu ngejar-ngejar aku. Nggak hanya kamu yang bilang, Mama dan temanku juga bilang begitu.""Tapi anehnya Mba, Mas Bayu masih bisa pacaran walau hatinya tetap ke Mba Citra," kata Loli.Aku jadi teringat kata-kata Kiki."Bayu itu playboy, Cit! Kalau lo mau masuk ke dunia dia, hati-hati aja. Apa lagi dunianya bukan pacaran lagi, udah ke nikah.""Jadi, dia pacaran karena cinta atau pacaran karena apa?" tanyaku."Mas Bayu pacaran karena dia mencari pelarian. Aku udah bilang kalau itu salah, tetapi Mas Bayu tetap Mas Bayu, orang paling keras kepala yang aku tahu."Aku pikir hanya aku sendirian saja yang menganggap Mas Bayu keras kepala."Tapi itu dulu, Li. Mungkin dulu, tetapi sekarang mungkin sudah berubah perasaannya. Setelah dia mengetahui sifat Mba, sikap Mba, perlakuan, dan keburukan Mba, dia bisa aja berubah, kan?"Loli mengerucutkan bibirnya. "Ent
"Sudah bangun?" tanya Aris. Aku sedang mengusap-ngusap dahi Mas Bayu yang berkeringat. Matanya masih tertutup, dengan napas yang sudah mulai teratur. "Belum, Ris. Dia masih mau tidur kayaknya." "Tadi Aris nggak sengaja ngeliat Bayu di dekat rumah kamu, Cit." Aku menoleh ke belakang. Sejak kapan Danu datang? Setahu aku tadi hanya ada aku, Rio, dan Aris di depan kamar rawat Mas Bayu. "Kamu jemput Aris, Nu?" tanyaku pura-pura mengalihkan pembicaraan. "Terima kasih, Ris." "Dia ada masalah apa sama Pak Wijaya, Cit?" kata Aris. Dia menunjukkan tayangan di ponselnya. "Tolong menyingkir! Saya lagi nggak bisa berbicara dengan Anda, Pak." Tayangan yang direkam dari dalam mobil. Suara Mas Bayu terdengar kecil, jaraknya terlalu jauh. "Saya ajukan beberapa penawaran. Saya tidak masalah jika kamu menginginkan hak paten perusahaan itu, tapi tolong berikan beberapa persen saham untuk saya." Aku tidak t
"Cari Bayu, Kak? Kenapa dia?" tanya Leon.Aku memberikan berkas itu kepada Rio. Dia membacanya perlahan-lahan. Bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri. "Ini berkas untuk lu?"Aku menganggukkan kepala. "Awalnya gue pikir itu berkas cerai kami, tetapi setelah Leon telepon dan gue lihat, ternyata itu bukan sama sekali.""Terus maksudnya dia apa mengambil alih perusahaan ini?" tanya Rio lebih lanjut."Itu ternyata perusahaan punya Luna, atau mungkin milik keluarganya. Kalau dilihat-lihat, perempuan itu seperti nggak punya pekerjaan. Dia bebas berkeliaran ke mana pun setiap hari. Jadi, gue pikir itu milik keluarga.""Maksudnya? Luna itu siapa, Kak?" Rio semakin bingung dengan penjelasanku."Luna itu perempuan selingkuhan Mas Bayu. Dia perempuan yang udah ngerebut Mas Bayu dari gue, Yo. Dia juga perempuan yang hampir menghancurkan hidup gue waktu itu."Rio tidak menjawab ucapanku lagi. Dia mulai mengerti sepertinya. "Oke, kita mau
Mungkin memang seharusnya aku tidak perlu percaya pada Mas Bayu. Aku tidak perlu mengatakan kalau aku masih mencintainya di depan Mama sampai dia mendengarnya. Hal itu membuatnya semakin besar kepala. Dia bertindak kalau aku berada atas segala kuasanya. Kemudian, dia akan melempar aku lagi ke dalam jurang kesakitan. "Dek!" Aku menoleh, Mas Bayu sedang berlari ke sini. Aku abaikan teriakan dia, aku alihkan tatapan ke jalanan yang sedang ramai. "Kamu mau ke mana?" tanya Mas Bayu setelah sampai di halte. "Nggak usah macem-macem! Ayo aku anter!" Mas Bayu menggenggam pergelangan tanganku. Namun, aku berusaha melepaskannya. Tetap saja, tenaga dia lebih besar. "Lepasin aku, Mas!" pintaku sambil berusaha melepaskannya. "Nggak, aku mau kamu pulang sama aku! Jangan pulang sendirian!" kata Mas Bayu. Dia mulai menarik tanganku agar bisa dia bisa memeluk tubuhku. Dia usapkan tangannya agar aku tenang. Namun, yang t
“Obrolan kita nggak lagi rahasia sekarang.” Mama menunjuk pintu, ada bayangan di celah bawah pintu. “Buka pintunya sana!” Aku menuruti keinginan Mama untuk membuka pintu. Perlahan-lahan aku tarik pintu agar terbuka. Kemudian, terpampanglah tubuh pria yang sedang berdiri membelakangi pintu. Aku langsung menyeka air mata yang masih membekas. Lalu, aku buka pintu lebar-lebar dan mundur beberapa langkah. “Bayu?” Mama memanggilnya. Mas Bayu membalikkan badannya. Dia juga mengusap wajah dengan lengannya. Kemudian, dia menatapku lekat. Basah, bulu matanya basah. Aku bisa melihat jelas bulu mata dan alisnya yang basah. Apa Mas Bayu juga menangis? Apa dia mendengar semua ceritaku tadi? “Menguping itu nggak baik. Apa yang kamu lakukan di sana?” kata Mama. Mas Bayu tidak mengalihkan pandangannya dariku. Masih sama, dia menatapku seolah kami sudah lama tidak berjumpa. “Kamu udah pulang?” tanyaku dengan nada suara yang serak. “Kenap