Mungkin perdebatan tadi hanya akan menjadi sebuah permainan belaka bagi Mas Bayu. Dia hanya menjalani peran sebagai seorang suami yang melindungi istrinya agar selamat, atau bisa jadi dia hanya menjalani peran sebagai seorang pria yang menyembunyikan kebusukannya.
Aku tidak tahu yang mana yang benar. Aku hanya mengetahui kalau Mas Bayu marah jika aku terus memaksa bekerja dan keluar dari rumah. Mungkin itu terdengar konyol bagiku, tetapi apa mungkin itu tidak konyol bagi dia? Apa yang membuatnya teguh untuk melarangku?
Mas Bayu tadi langsung pergi tanpa mengucapkan kesepakatan apa pun. Aku memutuskan bahwa Mas Bayu tidak setuju dengan penawaran yang aku berikan. Kalau begitu, aku memang harus bekerja tanpa izin dari dia.
Pokoknya aku senang sekali hari ini. Bisa bekerja sesuai keinginan tanpa ada hambatan. Tidak ada yang mengganggu juga. Lagi pula, siapa yang peduli denganku? Suami saja jarang pulang, siapa lagi yang akan mempedulikan perempuan ini? Mirisnya aku
Setelah percakapan yang kudengar berakhir, aku langsung menyalakan mesin mobilnya. Semua yang kupikirkan hanyalah Mas Bayu yang berengsek. Tidak pernah terbesit di dalam pikiranku kalau Mas Bayu akan seberengsek ini.Mobil mulai kujalankan. Sesuai dengan percakapan mereka, aku menuju ke mal Kokas. Sejujurnya aku takut kalau mereka melipir ke suatu tempat yang lain. Oleh karena itu, aku harus memikirkan tempat untuk menunggu mereka.Beberapa blok dari kantor, ada sebuah mini market yang bisa dijadikan tempat singgah sementara. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti di sana sambil memperhatikan jalanan, jaga-jaga kalau mereka akan lewat.Ketika sedang menunggu, Rio menghubungiku.Aku mengangkat teleponnya. “Halo, Yo?”“Lu di mana, Kak? Lagi hamil malah main terus, deh! Bukannya diem di rumah!” semprotnya.Aku memang tidak mengabarkan ke Rio kalau akan menyelidiki Mas Bayu. Dia juga memang tidak mengetahui kalau
“Danu, I don’t understand why you have to say this. But, believe me, I’m okay. I can do it myself. I need your help, but not today.”Saat itu Danu yang diam di depanku bingung. Dia mengejapkan matanya beberapa kali sambil menggeleng.“Setelah kamu mengetahui itu semua, apa yang mau kamu lakukan, Cit?” tanya Danu sedikit berbisik.Aku yang sudah kehabisan waktu langsung menggandeng tangannya ke arah mobil Mas Bayu. “Kamu kenapa bisa mengetahui semua ini, Nu?”“Maaf, Cit ... aku melihat kamu di lantai 24 waktu itu. Terus ada yang aneh, jadi aku terus intip sampai kamu menangis di sana,” ungkap Danu.Sesampainya di dekat mobil, aku langsung mengeluarkan alat itu. Bagaimana ini?“Danu, kamu bisa pasang GPS?”Matanya terbelalak. Aku langsung membuka pintu mobil. Tidak susah, sebab kunci cadangannya kubawa.“Kalau kamu bener mau membantu, silakan b
Malam ini akan menjadi malam yang paling berarti bagi kehidupanku nanti. ketika Mas Bayu dan perempuan itu akan berbicara romantis, aku akan mendatangi mereka berdua. Setelah itu, aku akan ikut makan bersama mereka. Lalu, mereka akan heran karena aku tiba-tiba datang.Mulai dari sekarang, aku sudah penasaran bagaimana ekspresi Mas Bayu ketika aku menghampirinya. Bagaimana kalau dia terkejut sampai serangan jantung? Tidak, jangan sampai hal itu terjadi! Nanti siapa yang akan mengurusku jika dia sakit seperti itu?Sadar, Citra! Dia masih berstatus suamimu! Kalau dia kenapa-kenapa, aku juga yang akan repot.Setelah melihat kedua pasangan yang sangat serasi itu pulang, aku juga pulang dalam keadaan senang. Setidaknya rencanaku berjalan dengan lancar.Sekarang sudah hampir jam delapan malam. Sambil menunggu posisi Mas Bayu bergerak, aku menikmati teh hangat yang disediakan kedai minuman di pinggir jalan. Jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah, sehingga aku tid
Malam ini sungguh tidak sesuai dengan ekspektasiku. Semuanya kacau, termasuk kegiatan di rumah. Siapa yang menyangka kalau Mas Bayu akan pulang ke rumah? Jelas-jelas aku mendengarnya sendiri, mereka akan ke sebuah kafe. Apa jangan-jangan mereka sudah pergi ke kafe? Namun, kapan itu terjadi? Aku memantaunya terus dari apartemennya.Ketika dia sampai rumah, bukankah aku sudah pernah mengatakan kalau akan bersikap cuek padanya? Mengapa aku jadi begitu manja? Apa itu tidak berlebihan? Maksudnya, aku bahkan tidak menginginkan hal itu terjadi, semuanya seolah terjadi karena naluriku saja.Mas Bayu sedang makan di hadapanku. Tadi, dia meminta ayam rica-rica untuk hidangan makan malam, katanya hari ini lelah dan membutuhkan nutrisi makanan yang banyak dan enak. Akhirnya, aku harus memasaknya dengan terpaksa. Padahal, apa yang membuatnya lelah? Dia hanya keluar membeli tas untuk perempuan selingkuhannya.“Kamu ngeliatin aku terus, Dek.” Mas Bayu tengah menata
Semua yang terjadi semalam adalah tipuan. Di saat aku sedang nyaman dengan perlakuannya, dengan pelukannya, Mas Bayu justru pergi saat tengah malam.Lagi-lagi alasan kantor yang diberikan padaku.Sekuat apa pun bantahanku, tetap saja dia lebih keras kepala untuk pergi.“Lu udah mendingan, Cit?” tanya Aris.Sekarang aku sedang di sebuah ruangan besar di daerah Kuningan. Ruangan yang akan dijadikan tempat resepsi pernikahan. Kami sedang melakukan pengecekan sebelum melakukan dekorasi ruangan.“Sudah lebih membaik, Ris. Kepala gue cuma pusing sedikit, kok,” jawabku.Tadi sewaktu kami sedang bekerja, kepalaku berdenyut hebat diiringi rasa mual di perut. Aku pikir hanya sakit biasa, seperti masuk angin. Namun, lama-kelamaan aku jadi berpikir ini reaksi hamil?Entahlah, aku tidak tahu.“Jangan terlalu maksa untuk bergerak makanya! Ibu hamil itu seharusnya nyantai aja kerjaannya,” kata Aris.
Aku sudah berjanji pada diri sendiri kalau Mas Bayu tidak pulang malam ini, aku akan pergi sejauh mungkin sampai dia tidak bisa menemukanku. Apa pun akan aku lakukan agar Mas Bayu tidak berhubungan dengan Luna.Dasar perempuan berengsek! Bisa-bisanya dia mengatakan kalau dia disakiti prianya, padahal dia sedang menyakiti diriku perlahan-lahan.Derung mesin mobil meyadarkanku yang sedang melamun. Aku berlari ke pintu dan menghampiri Mas Bayu. Setelah pintu terbuka, aku memeluk tubuhnya dengan erat. Mas Bayu sampai kaget.“Kamu kenapa, sih?”“Nggak ada apa-apa, kok. Aku Cuma pengin peluk kamu doang,” jawabku.Mas Bayu ingin melepaskan pelukan kami.“Jangan bergerak, Mas! Aku ingin peluk kamu dulu sekarang,” jawabku.Satu helaan napas membuatku sadar, dia tidak ingin dipeluk saat ini.“Kenapa, sih?” tanyaku sewot.“Aku masih keringetan, Sayang. Nanti kamu ikut bau,&rdquo
Satu kata untuk diriku sendiri, munafik!Semalaman aku bermesraan dengan Mas Bayu, menghilangkan rasa rindu yang selama ini kututupi dan kupendam, kemudian bercinta juga. Namun, di dalam lubuk hati, ada tempat yang semakin lama terkikis oleh belati yang tajam. Ada tempat yang menolak aku untuk berdekatan dengannya.Aku bisa apa? Hatiku tidak bisa berdusta kalau masih mencintai Mas Bayu, sangat mencintai. Namun, egoku sungguh tinggi sampai-sampai tidak mau melihat wajahnya.“Halo, Luna!” sapaku lewat ponsel.“Halo, Citra. Ada apa telepon?”“Bisa bertemu di taman kota? Ada hal yang ingin aku tanyakan denganmu, Lun,” sahutku.“Tentu saja bisa, Cit. Jam berapa?”“Jam empat sore. Aku memakai cardigan warna putih.”“Waduh, mepet banget, nih. Boleh, sih, aku siap-siap dulu, ya?”Setelah aku mengiakan, aku langsung menutup panggilan.Masih terngiang d
“Aku tidak mau memperebutkan Mas Bayu, karena dia memang sudah menjadi milikku, Luna!”“Itu sekarang!” pekik Luna keras. “Sekarang kamu masih menjadi istrinya, tetapi aku pastikan kamu akan menjadi seorang janda sebentar lagi.”Aku menatapnya dengan tatap mata merendahkan. “Memangnya kamu bisa apa?”“Aku bisa membuat Bayu jatuh cinta padaku,” katanya.“Tetapi kamu hanya orang lain di hidupnya, sedangkan saya seorang yang sudah sah menjadi istrinya,” sahutku.“Lantas? Apa itu membuatmu menjadi punya kekuasaan atas Bayu?”“Iya, itu membuatku menjadi punya kekuasaan atas Mas Bayu. Aku bisa melarangnya untuk menjauh dari perempuan seperti kamu!” Tanganku terlipas di dada.“Oh, begitu? Apa selama ini kamu bisa melarang dia untuk tetap berada di sisimu?” tantangnya. “Selama ini apa kamu bisa membuatnya tetap di rumah dan tidak pergi dari rumah? Apa kamu berhasil membuatnya tidak tidur di apartemen bersamaku?”“Tutup mulutmu, Luna!”“Se
Beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit, Mas Bayu sudah tidak menggunakan perban lagi. Walau masih terlihat bekas luka di beberapa bagian, setidaknya dia tidak perlu terikat oleh perban yang mengganggunya lagi.Dia belum pulang kerja, aku sudah menunggunya di depan pintu. Katanya dia sudah di jalan, sebentar lagi mungkin akan tiba.Aku harus bersyukur karena memiliki suami sebaik Mas Bayu. Andaikan aku disuruh menilai, mungkin nilai yang akan aku berikan adalah tanda tidak terhingga. Menurutku, masih ada nilai di atas nilai maksimum.Tidak setara apa yang aku lakukan padanya dibanding dia korbankan padaku.Suara derung mesin mobil membuatku berdiri dan membuka pintu. Mas Bayu berjalan ke arahku dengan wajah yang tersenyum."Nggak usah nungguin di depan, Dek. Di dalem rumah aja nggak apa-apa, kok," katanya.Aku mengambil tas dia, kemudian membuka jas yang Mas Bayu pakai. "Nggak apa-apa, lagian cuma duduk di dalem doang bosen. Jalanan la
Setelah beberapa jam menunggu kehadiran dokter untuk memeriksa Mas Bayu, akhirnya tiba saatnya dia boleh pulang. Luka yang dia dapat lantaran melompat dari mobil tidak terlalu parah, paling-paling hanya luka gores.Aku sudah menyiapkan barang-barang Mas Bayu di dalam tas untuk pulang. Dia sedang duduk saja sambil menonton tayangan televisi."Lu bener nggak butuh bantuan gua, Kak?"Yang sedang berbicara itu Rio. Kami menelepon dari tadi. Dia kukuh ingin meminta datang dan membantu aku. Namun, dia juga memiliki hal yang mendesak di kampus. Jadi, aku larang dia."Bener, Yo. Nanti gue yang bawa mobilnya, santai aja. Sini ke rumah nggak terlalu jauh, kok," jawabku."Ya udah, gua tutup teleponnya. Nanti malam gua ke rumah, mau nitip apaan?' tanya Rio.Aku menoleh ke Mas Bayu. "Nitip perban dan obat merah aja, deh. Buat jaga-jaga kalau nanti perban harus diganti.""Nggak ke dokter lagi aja?" kata Rio."Aduh, nggak usah, deh! Tan
Mas Bayu masih tertidur di dalam ruangannya. Aku sengaja keluar untuk berbicara dengan Leon. Mas Bayu tidak perlu tahu kalau aku sedang menjalankan rencana untuk penyergapan Luna."Jadi, apa rencana lu kali ini, Cit?"Aku sedang berbicara dengan Leon. Dia yang akan membantu aku dalam penangkapan Luna nanti."Gue udah chat Luna untuk ketemuan nanti siang. Tapi, gue yakin dia nggak akan sendirian. Setelah perusahaannya direbut, gue yakin dia bawa anak buahnya untuk nangkep gue nanti."Leon mendengus. "Lu mau bawa pekerja perusahaan itu juga? Lumayan, mereka pasti berguna. Setidaknya ada lawan untuk pengawal si Luna."Aku menjawabnya dengan kikihan. "Tentu aja tidak. Gue akan bawa polisi, Yon!""Lu mau laporin kasus ini ke polisi sekarang?" tanya Leon. "Lo udah punya semua bukti dari kejahatan Luna?""Iya, gue nggak mau ada bakteri yang hidup di sekitar gue dan Mas Bayu. Kalau ada, dia harus dimusnahkan segera. Semuanya udah gue kumpulin semala
Seharusnya aku senang mendengar pernyataan Leon. Namun, entah kenapa hatiku justru makin sakit.Sekarang, pria di hadapanku sudah membuka matanya. Menatapku dengan tatapan yang masih belum bisa aku artikan.Kemarahan? Sepertinya iya, dia sangat marah kepadaku. Kebencian? Pastinya, dia mungkin sudah benci kepadaku."Perusahaan itu milik Luna dan keluarganya, itu perusahaan yang menyediakan pembunuh bayaran, penjaga, dan apa pun yang berkaitan dengan penjagaan seseorang. Lu tahu artinya? Itu artinya Luna bisa kapan aja nyerang lu atau Bayu, Cit!""Kenapa harus gue? Sebelumnya bahkan gue nggak kenal sama Luna, Yon!""Karena lu istrinya Bayu! Lu nggak tahu kalau Luna itu nggak terima Bayu nikah sama lu. Dia benci pernikahan itu, makanya dia bisa mengancam Bayu sesuka hatinya!""Mengancam? Maksudnya?""Bayu ngelindungin selama ini!"Air mataku sukses mengalir ke pipi. Aku alihkan pandangan dari wajahnya. Takut, malu, sed
"Mungkin emang benar kalau dulu Mas Bayu cinta sama aku, Li. Benar kalau dulu Mas Bayu ngejar-ngejar aku. Nggak hanya kamu yang bilang, Mama dan temanku juga bilang begitu.""Tapi anehnya Mba, Mas Bayu masih bisa pacaran walau hatinya tetap ke Mba Citra," kata Loli.Aku jadi teringat kata-kata Kiki."Bayu itu playboy, Cit! Kalau lo mau masuk ke dunia dia, hati-hati aja. Apa lagi dunianya bukan pacaran lagi, udah ke nikah.""Jadi, dia pacaran karena cinta atau pacaran karena apa?" tanyaku."Mas Bayu pacaran karena dia mencari pelarian. Aku udah bilang kalau itu salah, tetapi Mas Bayu tetap Mas Bayu, orang paling keras kepala yang aku tahu."Aku pikir hanya aku sendirian saja yang menganggap Mas Bayu keras kepala."Tapi itu dulu, Li. Mungkin dulu, tetapi sekarang mungkin sudah berubah perasaannya. Setelah dia mengetahui sifat Mba, sikap Mba, perlakuan, dan keburukan Mba, dia bisa aja berubah, kan?"Loli mengerucutkan bibirnya. "Ent
"Sudah bangun?" tanya Aris. Aku sedang mengusap-ngusap dahi Mas Bayu yang berkeringat. Matanya masih tertutup, dengan napas yang sudah mulai teratur. "Belum, Ris. Dia masih mau tidur kayaknya." "Tadi Aris nggak sengaja ngeliat Bayu di dekat rumah kamu, Cit." Aku menoleh ke belakang. Sejak kapan Danu datang? Setahu aku tadi hanya ada aku, Rio, dan Aris di depan kamar rawat Mas Bayu. "Kamu jemput Aris, Nu?" tanyaku pura-pura mengalihkan pembicaraan. "Terima kasih, Ris." "Dia ada masalah apa sama Pak Wijaya, Cit?" kata Aris. Dia menunjukkan tayangan di ponselnya. "Tolong menyingkir! Saya lagi nggak bisa berbicara dengan Anda, Pak." Tayangan yang direkam dari dalam mobil. Suara Mas Bayu terdengar kecil, jaraknya terlalu jauh. "Saya ajukan beberapa penawaran. Saya tidak masalah jika kamu menginginkan hak paten perusahaan itu, tapi tolong berikan beberapa persen saham untuk saya." Aku tidak t
"Cari Bayu, Kak? Kenapa dia?" tanya Leon.Aku memberikan berkas itu kepada Rio. Dia membacanya perlahan-lahan. Bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri. "Ini berkas untuk lu?"Aku menganggukkan kepala. "Awalnya gue pikir itu berkas cerai kami, tetapi setelah Leon telepon dan gue lihat, ternyata itu bukan sama sekali.""Terus maksudnya dia apa mengambil alih perusahaan ini?" tanya Rio lebih lanjut."Itu ternyata perusahaan punya Luna, atau mungkin milik keluarganya. Kalau dilihat-lihat, perempuan itu seperti nggak punya pekerjaan. Dia bebas berkeliaran ke mana pun setiap hari. Jadi, gue pikir itu milik keluarga.""Maksudnya? Luna itu siapa, Kak?" Rio semakin bingung dengan penjelasanku."Luna itu perempuan selingkuhan Mas Bayu. Dia perempuan yang udah ngerebut Mas Bayu dari gue, Yo. Dia juga perempuan yang hampir menghancurkan hidup gue waktu itu."Rio tidak menjawab ucapanku lagi. Dia mulai mengerti sepertinya. "Oke, kita mau
Mungkin memang seharusnya aku tidak perlu percaya pada Mas Bayu. Aku tidak perlu mengatakan kalau aku masih mencintainya di depan Mama sampai dia mendengarnya. Hal itu membuatnya semakin besar kepala. Dia bertindak kalau aku berada atas segala kuasanya. Kemudian, dia akan melempar aku lagi ke dalam jurang kesakitan. "Dek!" Aku menoleh, Mas Bayu sedang berlari ke sini. Aku abaikan teriakan dia, aku alihkan tatapan ke jalanan yang sedang ramai. "Kamu mau ke mana?" tanya Mas Bayu setelah sampai di halte. "Nggak usah macem-macem! Ayo aku anter!" Mas Bayu menggenggam pergelangan tanganku. Namun, aku berusaha melepaskannya. Tetap saja, tenaga dia lebih besar. "Lepasin aku, Mas!" pintaku sambil berusaha melepaskannya. "Nggak, aku mau kamu pulang sama aku! Jangan pulang sendirian!" kata Mas Bayu. Dia mulai menarik tanganku agar bisa dia bisa memeluk tubuhku. Dia usapkan tangannya agar aku tenang. Namun, yang t
“Obrolan kita nggak lagi rahasia sekarang.” Mama menunjuk pintu, ada bayangan di celah bawah pintu. “Buka pintunya sana!” Aku menuruti keinginan Mama untuk membuka pintu. Perlahan-lahan aku tarik pintu agar terbuka. Kemudian, terpampanglah tubuh pria yang sedang berdiri membelakangi pintu. Aku langsung menyeka air mata yang masih membekas. Lalu, aku buka pintu lebar-lebar dan mundur beberapa langkah. “Bayu?” Mama memanggilnya. Mas Bayu membalikkan badannya. Dia juga mengusap wajah dengan lengannya. Kemudian, dia menatapku lekat. Basah, bulu matanya basah. Aku bisa melihat jelas bulu mata dan alisnya yang basah. Apa Mas Bayu juga menangis? Apa dia mendengar semua ceritaku tadi? “Menguping itu nggak baik. Apa yang kamu lakukan di sana?” kata Mama. Mas Bayu tidak mengalihkan pandangannya dariku. Masih sama, dia menatapku seolah kami sudah lama tidak berjumpa. “Kamu udah pulang?” tanyaku dengan nada suara yang serak. “Kenap