Roanna menaruh cincin yang tadi ia pungut ke atas meja, Ananta menatap benda kecil itu dalam diam dan ekspresinya terlihat sendu. Ia menyenderkan kepalanya pada punggung kursi yang menempel di dinding. Roanna menangkap perasaan yang terlihat dari wajah dan setiap gerakan Ananta. Lelaki ini sedang patah hati."Anda minum-minum sendiri saja? Di mana teman-teman Anda?" tanya Roanna.Masih dalam kondisi setengah mabuk, Ananta berusaha berbicara dengan fokus. "Aku memang datang sendiri ke bar ini, Nona, teman terbaikku adalah minuman ini." Ia menunjuk pada botol-botol brendi kosong."Aku juga datang sendiri ke bar ini." Roanna mengeluarkan sekotak cigarettes dari dalam tas tangannya, kemudian menghidupkan satu batang dan menghirup dengan nikmat."Jadi, bagaimana rupa gadis yang telah mematahkan hatimu, Tuan?" tanya Joanna sambil mengepulkan asap cigarettesnya ke langit-langit.Sebelum menjawab pertanyaan Roanna, Ananta mengankat botol kosong ke arah bartender sebagai kode. "Gadis yang san
Xander sudah bisa berbaur dengan para buruh dan beberapa tahanan seperti Dara. Orang-orang itu juga tidak merasa keberatan. Xander hanya menjadi pendengar, jarang sekali ia membuka mulut untuk berbicara.Di ruangan lainnya, Sundari terlihat sangat cantik mengenakan kebaya berwarna hitam. Pagi ini ia mendapatkan undangan minum teh bersama Kolonel Harland. Di atas meja kayu yang berbentuk bulat—aroma wentelteefjes dengan topping kayu manis, gula, dan sirup sangat menggugah selera. Secangkir kopi dituangkan dari teko berbahan keramik.Kolonel Graff melihat arlogi yang menggantung di saku bajunya. "Kurasa waktu sangat cepat berlalu, maafkan aku, Nona. Ada pekerjaan yang harus aku lakukan. Kau nikmatilah sajian ini. Aku harus pamit.""Saya sedikit sedih, Kolonel. Aku kira kita akan berbicara lebih lama, aku sudah mulai bosan berbicara dengan Sati setiap harinya."Kolonel Graff terkekeh mendengar keluhan Sundari. "Kamu bisa mengajak para prajurit berbicara, Nona. Mereka tidak akan menyakiti
Di bawah panasnya matahari tropis, Dara menengadah wajahnya—menatap langit biru tanpa awan. wajahnya yang berkeringat memantulkan cahaya seperti butir-butir mutiara."Benar kata Bara, seharusnya aku memakai caping." Dara menyeka keringat yang menetes.Semenjak dua minggu yang lalu, ia di tempatkan di peternakan sapi perah dan kandang kuda yang terletak di dekat kebun tebu pabrik Marienberg. Bersama Diah dan beberapa wanita lainnya—mereka diberi tugas untuk mengumpulkan rumput-rumput segar.Dari jarak belasan meter, para prajurit yang mengawasi para pekerja menatap dengan pandangan lapar. Bahkan, tidak jarang di antara mereka ada yang melakukan pelecehan, dengan menepuk bokong buruh yang tidak sengaja mendekat. Dara mengambil ranting dari pohon waru yang ujungnya cukup tajam. "Akan aku congkel keluar bola mata mereka kalau berani macam-macam!""Semuanya berkumpul, kita akan kembali ke peternakan!" teriak salah seorang pengawas.Semua pekerja segera mengikat rumput yang berhasil mereka
Saat tangisan Diah sudah mereda dan merasa lebih tenang, mereka memutuskan untuk segera pulang. Dara dan Diah berjalan di belakang Xander. derap langkah pria kaukasia itu membuat Dara menjadi gugup, bahunya yang lebar membuat gadis itu merasa terlindungi. Rasa gentar yang tadi menjalar kini perlahan menghilang.Tidak ada pembicaraan diantara mereka, Diah sibuk dengan pikirannya sendiri. Dara terus merangkul gadis itu. Hanya Xander yang sesekali menengok ke belakang untuk memastikan. Saat matanya tidak sengaja bersiborok dengan tatapan Dara, gadis itu segera menundukkan kepalanya."Di depan ada pertigaan, kiri, kanan, atau lurus? Aku belum hafal tempat ini?" tanya Xander memecah keheningan."Tempat tinggal kami ada di sebelah kiri, Tuan," jawab Dara buru-buru.Dari kejauhan, terlihat deretan rumah-rumah sederhana yang saling berhadapan, atapnya terbuat dari ijuk dengan tinggi tiga meter. Ada satu buah jendela yang membuat sirkulasi udara menjadi sedikit lancar, ubin dan dindingnya terb
"Bara!" sapa Dara dengan semangat."Dara, itu kau?""Bagaimana kabarmu, Bara?" Dara duduk diantara mereka."Aku baik-baik saja. Senang melihat kau ada di sini," jawab Bara.Senyum gadis itu terus mengembang, membuat Bara merasakan jantungnya berdetak lebih kencang. Meskipun kulit Dara terlihat lebih coklat dari terakhir kali mereka bertemu. Hal itu tidak mengurangi nilai kecantikannya. "Kau terlihat lebih dewasa dari pertemuan terakhir kita, tapi aku suka." Dara berkata dengan polosnya. Pipi Bara bersemu merah. "Ah rupanya diam-diam kau memperhatikanku, ya?"Dara tergelak mendengar jawaban Bara. "Perkataanmu itu seolah-olah mengatakan kalau aku adalah penggemarmu, Bara. Padahal semua orang dapat melihat perubahanmu.""Aku dengar kemarin Diah mengalami sesuatu yang kurang menyenangkan?" tanya Bara tiba-tiba."Kamu benar, Bara. Tapi kami baik-baik saja ... orang itu menyelamatkan kami lagi, aku tidak tahu kalau dia ada di tempat ini juga. Kukira dia akan ke Netherland." Dara menghela
Dara duduk dengan gelisah. Hujan yang menambah hawa dingin, nyatanya—tidak mampu menghentikan keringatnya yang terus bercucuran di dahi dan punggungnya. Ia cemas kepada waktu yang terus berjalan, para penjaga pasti akan memberikan hukuman, kalau sampai mengetahui ia belum ada di tempatnya saat melewati batas jam malam."Kau ingin membuatku buta, ha?!" Suara berat Xander membuyarkan lamunan Dara. Pria itu membawa kotak obat dan berjalanke luar dari kamarnya."Aku tidak sengaja! Tadi aku sangat takut, aku kira Anda orang yang ingin berbuat jahat, Tuan," sanggah Dara."Kau sangat bodoh jalan sendirian malam-malam begini! Kau mau kejadian kemarin menimpamu, ha? Kau ingin di bawa ke dalam hutan dan ditelanjangi?""A–aku baru saja selesai bekerja, dan ingin pulang ke tempatku." Dara sesekali melirik Xander yang tengah berdiri dengan berkaca pinggang."Lebih baik kau menginap di sana daripada harus membahayakan dirimu. Apa memang itu adalah hobimu?""Tentu saja tidak! Anda saja yang selalu m
Pagi itu cuaca cerah, sangat berbeda dengan hujan yang turun semalam. Matahari kekuningan merayap hati-hati di langit biru tanpa noda. Dara segera membantu menyelesaikan pekerjaan, suasana dapur terlihat lebih ramai dari biasanya, bahan makanan yang jumlahnya berkarung-karung dan berpeti-peti tampak baru diturunkan dari truk. Dara baru ingat, seharusnya ia menemui Sundari dan mengatakan pada wanita itu, kalau ia berhasil menemukan adiknya. Penginapan Sundari cukup jauh dari tempatnya saat ini, ia harus mencari cara. Saat Sidja terlihat hanya seorang diri, Dara menghampirinya."Aku harus mencari cara untuk bertemu kakakmu, Mbak. Dan mengabarkan tentang keberadaanmu di tempat ini." Dara pura-pura mengiris bawang seperti apa yang dilakukan Sidja agar tidak dicurigai."Kamu tenang saja, Dara. Aku sudah menyiapkan sebuah rencana," ucap Sidja dengan tersenyum simpul."Aku harap, rencanamu ini akan berhasil, Mbak. Sundari sangat menantikan kabar dariku, juga darimu." Dara dan Sidja berkata
Dara sudah putus asa saat acara pesta yang berlangsung hingga tengah malam itu, sudah usai hampir satu jam yang lalu. Para tamu undangan sudah pulang, dan beberapa pelayan membereskan bekas sisa-sisa keramaian. Dara menghadap wanita gemuk itu."Sudah kubilang jangang membuat kesalahan sekecil apa pun, tapi kau tuli dan bodoh," caci si pengawas."Pukul dua puluh kali di telapak tangannya!"Seorang gadis lain mengayunkan sebatang rotan dengan sepenuh tenaga pada telapak tangan Dara. Gadis itu meringis menahan sakit. Air matanya jatuh sekali saat pukulan yang kesepuluh, setelahnya tidak ada tangisan atau suara yang keluar dari mulut Dara.Ia menahan rasa sakit itu dalam diam. Luka itu lama-lama menjadi biru. Sesekali darah mengalir dari telapak tangannya yang terkena pukulan paling parah. Teman-teman Dara memandangnya dengan tatapan iba. Dara masih bisa tersenyum pada mereka, seakan lewat senyuman manis dari bibirnya, mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Tidak seperti saat datang ke pest
Belum pernah aku melihat perempuan yang terlihat begitu berkharisma. Usianya sudah lebih dari empat puluh, tetapi penampilannya seperti seorang gadis belia. Tubuh tinggi nan ramping itu berdiri tegak di ruang tamu seakan ratu tanpa mahkota. Dia mengenakan gaun putih panjang yang tertutup, dihias dengan rimpel yang menumpuk dan bersusun, serta lengan hanya sebatas siku. Pergelangan tangannya tersembunyi dalam sarung tangan putih dari renda. Wajahnya pucat karena terlalu putih, atau mungkin ia jarang terkena sinar matahari.Rambut coklatnya yang lurus panjang tidak dikonde tapi diatur dengan minyak mawar, menggantung tenang di punggung sementara ia berjalan ke arahku. Aku merasa pusing karena wewangian yang ia pakai, tercampur bau dari buket-buket mawar yang memenuhi ruangan. Dengan sopan ia mengulurkan tangannya kepadaku. Kusambut dengan rasa gugup, aku dapat merasakan jari-jari tangannya panjang dan ringkih. "Kenalkan, aku Helena Jacques. Ibu kandung dari Maxwell, kau pasti Senja,
"Kau tau wanita yang sedang kau ancam? Jika kau lupa akan aku ingatkan. Dia adalah Mademoiselle Demesringny, dan dia datang bersamaku!" Sebenarnya siapa Rosie? Aku bertanya-tanya dalam hati. Sudah berbulan-bulan kami saling mengenal. Dan yang aku tahu, wanita cantik yang kini terlihat mengejek pria bernama sir Lynch itu terlihat santai. Tidak merasa terdiskriminasi oleh tatapan yang seolah-olah siap menerkam. 'Rosie sudah memiliki kekasih? Apa pria itu Maxwell. Jika iya, alangkah sempurnanya mereka bersandiwara untuk menutupi hubungan.' Aku terus berpikir, hingga aku tersentak kala terdengar gebrakan meja yang begitu kuat."Kau dan kau!" Sir Lynch mengangkat jari telunjuknya ke arah Maxwell dan Rosie dengan wajah yang merah padam. "Apa kalian pikir aku, Bocah ingusan? Camkan ini baik-baik! Kalian akan menyesal. Terutama kau, Mademoiselle Demesringny. Suatu saat aku akan memastikan kau akan kalah dengan penuh penyesalan," hardik pria itu.Rosie tersenyum semakin lebar. "Ah, sayang se
Selama berlayar dan ada di atas kapal, Maxwell dan perawat Rosie mengajarkan aku banyak hal. Kebetulan aku fasih berbahasa Belanda, mengingat aku pernah mengenyam pendidikan di sekolah ternama. Orang tuaku yang seorang priyayi, sangat mampu untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Namun sayang, takdir berkata lain. Semua kemewahan yang kami miliki, lenyap hanya dalam satu malam. "Uhhh, tanganmu kasar sekali, Dara. Bekas lukanya tak kunjung hilang. Lihat, wajahmu pun ada bekas jahitan. Rambutmu sedikit kusam, dan warna kulitmu kecoklatan." Perawat Rosie sibuk menelisik penampilanku. Ia akan menggeleng jika menemukan kekurangan. Mulai dari rambut hingga kaki, semuanya tak luput dari pemeriksaannya. Aku hanya bisa pasrah, dan Maxwell sesekali memperhatikan kami. Ia sibuk dengan buku yang ada di tangannya."Ohh, sungguh. Aku tidak sabar ingin segera tiba di tempat tujuan. Aku berjanji akan merubah penampilanmu. Dasarnya kau memang cantik, pasti tidak akan sulit. Lagipula, aku yakin mad
Hari hampir siang saat kapal SS Nieuw Amsterdam siap untuk berlayar. Kapal itu berwarna abu, putih, bercampur biru. Tampak gagah dan besar, di atasnya terdapat sebuah tiang yang mengeluarkan asap kehitaman yang terbawa angin di dermaga. Aku menatap kagum, meski ada sedikit rasa takut akibat trauma masa lalu.Di sampingku Diah tergugu dengan tubuh yang sedikit bergetar. Matanya tampak bengkak, dengan pangkal hidung yang terlihat merah. Sedangkan mba Sidja lebih bisa menguasai diri, meski jejak air mata sangat kentara di wajahnya yang selalu memancarkan ketulusan. Begitu teduh dan nyaman.Ini adalah bagian yang aku benci, karena setiap pertemuan pasti akan ada yang namanya perpisahan. Kedua wanita ini yang selalu membersamai diriku. Sudah menjadi teman untuk segala keluh kesahku. Dalam canda, dalam tawa, dalam suka maupun duka."Mba tega meninggalkanku? Kita datang ke tempat ini bersama-sama, dan sekarang, Mbak, ingin pergi lebih dulu?" Aku menghel
POV DARAEntah nyata atau hanya mimpi. Dalam sinar mentari yang terbit di pagi ini, hatiku bergemuruh. Saat ini darahku seakan tak mengalir, saat ini detak jantung seakan berhenti, dan pikiranku dijejali oleh ribuan pertanyaan. Tanganku bergetar tatkala memegangi sepucuk surat yang akhirnya datang padaku. Mataku mengembun, dan bersamaan bulir bening yang menetes di pipi, maka tumpahlah segala isi hati. Entah bagaimana caranya aku bisa mengekspresikan kebahagiaan ini."Aku bebas?" tanyaku yang masih tidak percaya.Inilah hari yang aku nantikan. Tak ada lagi beban, tak ada lagi siksaan, tak ada lagi Kungkungan. Di setiap hela nafas ini, aku merasakan kehidupan yang baru. Kini, waktu tak lagi berlari. Karena aku sudah bebas dalam pikiran, angan, dan kebahagiaan. "Selamat, Dara. Kau sudah jadi orang yang merdeka." Maxwell merentangkan kedua tangannya, dan aku menghambur ke dalam pelukannya yang hangat. Lelaki ini menepati semua janjinya kepadaku. Membuktikan kalau dia bersungguh-sunggu
"Kau pulang terlambat, Dara." Maxwell berdiri seraya menyandarkan dirinya pada sebuah tiang besar yang ada di selasar, melipat kedua tangannya di depan dada, sambil memperhatikan Dara yang berjalan menaiki anak tangga."Maaf, Ell. Apa aku membuatmu cemas?" tanya Dara hati-hati, wajah Maxwell yang bermandikan cahaya dari lampu kekuningan tampak dingin, apalagi mengetahui orang yang mengantar gadis itu pulang sampai depan pagar."Tentu saja aku sangat mengkhawatirkanmu, aku sengaja pulang lebih cepat agar kita bisa makan malam bersama. Tapi kata orang rumah, kau belum juga sampai." Maxwell segera membawakan buku-buku yang menumpuk di tangan Dara."Sekali lagi maafkan aku, Ell. Aku lupa waktu kalau sedang membaca buku. Kau pernah berkata, bukan? Kalau sudah waktunya untukku merubah diri menjadi lebih baik." "Mari masuk," ajak Maxwell saat seorang pelayan membukakan pintu setinggi dua meter setengah untuk mereka. "Dan kau memilih menambah pengetahuan lewat buku-buku ini? Jika demikian, t
"Kenapa betah ada di dalam telaga duka kalau kau bisa bahagia, Dara? Kau harus membuka lembaran baru. Aku bisa menjadi penghapus untuk menghilangkan guratan luka di hatimu. Aku bisa menjadi pena untuk menulis kisah bahagiamu. Tapi percuma, kau selalu terlalu lama menutup bukumu hingga berdebu."Kata-kata yang diucapkan Bara bagai embun yang menyejukkan hati Dara yang selama ini kering."Kau harus mulai melangkah. Bebaskan dirimu, kau harusnya bersyukur dengan kehidupan baru yang kau miliki. Di luar sana, banyak orang yang tak seberuntung dirimu."Sekali lagi, apa yang dikatakan Bara adalah kebenaran. Untuk apa terus bersedih dan terpuruk, mengurung diri dalam penjara luka yang tercipta oleh kenangan buruk. Selama tujuh bulan setelah kepergian Xander, Bara acapkali memberikan perhatian lebih untuk gadis cantik itu.Membantu membuka hati dan menata hidupnya kembali.Bara dan Xander bagai panorama yang memiliki keindahannya sendiri. Jika Xander seperti lautan—yang lewat tatapan matanya m
Dara membuang pandangan ke luar jendela mobil yang dikendarai Maxwell. Menatap orang-orang yang berlalu-lalang, memperhatikan deretan toko-toko dan tiang jalanan, mengamati kebun-kebun yang mereka lewati. Hatinya berkecamuk setelah melepas kepergian Xander satu jam yang lalu. Dara tidak melepaskan matanya pada sosok pria berperawakan tinggi besar itu saat melewati papan titian. Ia memandang dari kejuahan, melihat Xander yang berdiri di tepi geladak sambil melambaikan tangan. Mata mereka saling bertemu, sama-sama bertatapan dengan lekat meski terhalang jarak. Saat terdengar peluit panjang, asap tebal berwarna hitam mengepul dari cerobong asap kapal SS Statendam III, dan kapal itu pun mulai berlayar. Membawa sosok Xander menjauh dari pandangan mata. Ada sesuatu yang hilang di hati Dara, tapi ia enggan untuk mengakuinya. Percuma, karena gadis itu pesimis mereka akan berjumpa lagi. Maxwell memperhatikan dari kaca spion mobil, ia dan perawat Rosie hanya saling pandang. Membiarkan Dara m
Hari-hari berlalu dengan cepat. Secepat angin menggugurkan dedaunan kering, atau secepat anak panah yang melesat setelah dilepas dari busurnya. Kehidupan orang-orang di pabrik gula bisa dibilang berjalan normal, termasuk kehidupan Dara dan Xander setelah runtutan perjalan mereka yang penuh dengan cerita luka.Hari ini, Dara berdiri di pantai berpasir putih. Langit tampak lebih biru daripada yang pernah diingat gadis itu satu tahun yang lalu, saat ia baru tiba di Paramaribo. Bentangan air hijau pucat dan biru tidak terbatas, kesunyian di sini membuatnya aman dan puas. "Dia akan berangkat satu jam lagi," ucap perawata Rosie yang datang dengan membawa dua buah kepala muda di kedua tangannya. Dara menoleh pada Rosie, wanita itu berpakaian bebas—kemeja putih dengan rok lebar biru sepanjang lutut, melepas seragam putih-putih yang ia kenakan setiap hari saat bertugas. Dara menerima satu buah kelapa muda yang airnya terasa manis."Mereka sedang mengurus berkas-berkas keberangkatannya," tamb