Pak Adiyaksa dan Devan membawa tubuh Bu Lili ke arah sofa. Kebetulan Sarah selalu membawa minyak di dalam tas, ia lalu memberikan minyak kayu putih di tengkuk, leher, perut juga hidung. "Sarah apa itu benar, Nak?" tanyanya setelah ia kembali sadar. Sarah terdiam. Gemetar wanita paruh baya itu memeluk Sarah. Wanita paruh baya itu menyusut matanya mendadak basah. "Ceritakan yang sejujurnya Dev? Dimana cucu Mama?''Bu Lili masih memegangi dada. Dadanya terasa sesak saat ini. "Kami punya hubungan dan itu membuat Sarah mengandung tanpa Devan ketahui.""Jadi?""Devan yang brengsek Ma. Devan ingin menebus semua kesalahan Devan pada Sarah.""Lalu dimana cucuku?"Devan mendongak."Dia dipondok, Ma.""Bagaimana wajahnya?''"Tampan Ma.""Tampan?"Dea tak menyangka ia sedikit shok saat mengetahuinya ia hanya tahu jika adiknya punya hubungan dengan Sarah dulu. Berbeda dengan Lea ia sudah mengetahui jika Sarah punya anak, namun ia tak taju jika anak itu adalah buah hari Devan juga Sarah dan Lea
"Papa saja jangan Tuan manggilnya gak enak di dengar."Sarah hanya tersenyum."Sarah aku akan memberikan cucuku Apotek, kamu yang mengelolanya ya.''Sarah tampak terkejut. ''Apa Tuan. Apotek?'' tanya Sarah meskipun itu adalah cita-citanya dari dulu memiliki sebuah Apotik. "Ya, kamu harus terima. Karena ini demi masa depan kalian."Sarah mengembun dan Devan tersenyum lalu maju dan memeluk Papanya. "Makasih banyak, Pa.""Ya Sayang. Aku adalah kepala keluarga harusnya memang mendukung kebahagiaanmu. Jaga Sarah dan cucuku ya.""Ya Pa, Siap." "Devan bawa Sarah ke rumah barumu. Ingat jangan apa-apalan dia sebelum halal.'' Bisik papanya. Devan tertawa kecil. "Siap Pa.""Sarah kamu akan ditemani Lea ke rumah baru Devan ya."Sarah hanya menunduk. "Ngeh Tuan.""Ya aku yang akan jagain Mbak Sarah."Sarah menganggukan kepala. Devan dan Sarah lalu pamit, mobil meninggalkan rumah mewah itu ditemani Lea mereka bertiga menuju rumah baru Devan. Sarah tampak terkejut saat sampai dirumah besar dan
"Lupakan saja Den."Devan pura-pura tak peduli. Yang sejujurnya ia gelisah memikirkan siapa Ibunya Sarah. "Kau suka cincin sama kalungnya?''Sarah menganggukan kepala. "Suka.""Terima kasih Sarah sudah menerimaku."Semakin di perhatikan, makin nyata terlihat semburat merah di sana. "Iya. Aden juga harus bisa meluluhkan hati Nyonya dan Shaka."Devan tersenyum. "Ya. Pasti itu."Kedua sudut bibir Devan tersenyum. Tatapan teduh itu lalu beralih lagi ke sang calon istri. "Jangan sedih lagi. Jika jodoh pasti kamu bisa bertemu Ibumu nanti.""Eumm.""Sarah."Sarah menatap Devan. "Aku memang pendosa karena pernah menodaimu juga bukan ahli ibadah, Sarah. Kadar imanku juga masih setipis tisu. Tapi percaya nggak, aku selalu nyebut nama kamu dalam doa-doaku selama ini. Menginginkan kamu mendampingiku selamanya."Sarah terdiam. Mencerna setiap kata yang baru saja keluar dari lisan laki-laki yang pernah menorehkan luka itu. Sementara mata teduhnya mencoba menyelami lebih dalam pancaran mata bening
Shaka memilih diam dan bungkam. "Oh Anda. Apa itu benar Shaka?""Ya saya Ayah kandung Shaka. Masa ngak percaya?"Anak itu tersenyum. "Perkenalkan saya Zakir Pak." Anak itu menjabat tangan Devan. "Saya Akwan, Pak." Sapa teman satunya. "Saya Devan Ayah Shaka." Devan dengan tegas menyatakan itu. "Baiklah Shaka kami masuk dulu ya."Shaka tersenyum. "Ya.""Pak." Shaka berkata setelah mereka pergi. Devan tersenyum. "Sudah ya jangan sedih. Ayah ada disini.""Ayah?"Devan tersenyum. "Ya karena mulai saat ini aku Ayah kamu."Shaka terdiam sebentar. "Pak Devan. Mengapa harga diri Bundaku selalu dipertanyakan? Mengapa mereka tidak melihat apa yang sudah Bundaku lakukan untuk mendidikku? Mereka sibuk menghakimi dari mana asalku. Tanpa melihat bagaimana Bunda mempertahankan aku seorang diri."Devan berkaca-kaca ia lalu memeluk Shaka erat. "Maafkan Ayah, Nak."Devan tak pernah tahu apa yang dirasakan putranya bergitu tersiksa selama ini, Devan begitu terluka dengan apa yang terjadi pada putra
Cukup lama Sarah melihat Shaka duduk terdiam di kursi menatap lampu bangunan tinggi dari balkon. Segera setelah lebih baik berjalan mendekati, namun langkahnya tertahan oleh suara Sarah. "Sarah!"Sarah sudah membayangkan jika pasti Shaka akan marah akan hal ini. "Sarah, apa aku salah?""Mas hanya belum mengenal Shaka. Ini yang paling aku takutkan, dia kecewa dan sakit hati."Terdengar Devan menarik napas dalam-dalam. "Maaf, aku pikir Shaka akan menerimaku.""Biar, aku yang menenangkan Shaka, Mas."Devan mengangguk pelan. "Ya."Berlahan Sarah berjalan mendekati Shaka yang terdiam. "Bunda boleh duduk?"Shaka bergeser dari tempat duduknya, memberikan ruang untuk Sarah agar bisa duduk di sampingnya. "Kenapa? Bunda tahu kamu kecewa. Tapi inilah kenyataannya, Nak. Maaf untuk semuanya tapi inilah takdir kita." Shaka tak menjawab. "Shaka marah sama, Bunda?"Shaka menggeleng kemudian memeluk Sarah. "Shaka sayang Bunda. Shaka hanya kecewa. Selama ini Ayah menghilang. Kenapa tiba-tiba munc
Tinggal beberapa hari lagi pernikahan Sarah dan Devan setelah mengantongi restu dari Shaka. Devan baru kali ini merasa menyukai seseorang dengan begitu dalam. Tak pernah muncul perasaan main-main. Sebenarnya Devan sedikit gelisah, takut terjadi sesuatu dengan pernikahan mereka yang tinggal menghitung hari. Devan bersyukur karena hasil banding pun Zahira tetap kalah. Persiapan pernikahan hampir delapan puluh persen. Ia berharap jika semuanya akan baik-baik saja. Sesaat ponsel Devan berbunyi, sang adik menelepon. "Mas, hari ini jadwal kamu fitting baju bersama Mbak Sarah dan Shaka lo, jangan sampai lupa lo ya." Suara Dea terdengar khawatir dari seberang sana. Devan tersenyum. "Iya. Aku ingat kok.""Awas jangan sampai lupa lo. Selesai fitting baju aku akan ke rumahmu bersama Tiara pengen ketemu Shaka.""Iya iya beres. Tapi Mama?""Mama masih keukeuh. Sabar ya.""Ya."Devan lalu menutup panggil teleponnya, Devan datang melamar ke Bibi Nik tadi pagi, karena hanya itu saudara dari Ayah Sa
Mereka berpamitan keluar studio foto Devan berlari ke arah mobil mengambil flatshoes untuk Sarah, ia tak tega jika melihat Sarah kesulitan memakai heels. "Ini.""Emm, makasih."Devan mengangguk. "Ayo masuk," katanya. Dengan santun Devan membuka pintu bagian tengah, mempersilahkan Shaka duduk di kursi belakang. Kemudian ia membantu Sarah menduduki jok bagian depan. Mobil kembali melaju. "Mau makan dulu apa langsung ke Butik, Sarah?""Emm, lapar sih. Tapi ke Butik dulu saja deh, Mas."Devan menatap sekilas wajah Sarah yang kecapekan namun terlihat cantik. "Yakin, nanti masuk angin kalau ngak makan dulu?""Tadi sudah makan puding sama Shaka sih tadi jadi masih aman.""Oke?""Makan dulu deh lapar aku Bunda, kita makan gule kambing saja ya, aku sudah rindu sama masakan itu." Pinta Shaka. Devan mengangguk. "Oke jadi kita makan dulu.""Ya Ayah.''Devan membawa mereka ke kedai sate gule dimana itu makanan favorit Shaka dan Sarah. Meskipun Devan harus mencari dimana letak pedagang sate itu
Wanita paruh baya itu tersenyum. "Panggil Mama saja jangan Nyonya."Sarah menangis, yang dibalas dengan senyuman di sudut bibir oleh Bu Lili, Bu Lili lalu mengambil tangan Sarah, membuka telapaknya dan meletakkan sesuatu di sana. Sarah terkejut melihat ada sebuah gelang emas dengan satu mutiara putih kecil sebagai hiasannya."Mama.""Nah begitu. Ini untukmu. Pakailah."Tenggorokan Sarah rasanya tercekat. Sarah pandangi gelang indah itu, benda pertama yang diberikan Bu Lili untuknya. Bu Lili mengambilnya lagi lalu memasangnya di tangan sebelah kiri. Ternyata sangat pas dan bagus."Bagus pas ditangan kamu.""Terima kasih. Ini bagus sekali."Bu Lili diam saja, memperhatikan benda di jari Sarah sangat pas. "Itu hadiah dari Mama dan Papa. Mama membelinya satu minggu kemarin untukmu, Sarah."Sarah mendongak kaget. Apa beliau sudah menyetujui dirinya dan Devan. "Mama.""Iya, Mama bingung mau pilih yang mana lalu pilihan jatuh pada gelang ini yang Mama pilih, bagus kan?""Hu um bagus sekali
"Bunda lihatlah Kak Shaka teleponan sama seorang wanita." Adu Raiyan pada sang Bunda. Sarah tersenyum. "Masa? Benar itu Shaka?" tanya Sarah penasaran karena selama ini Shaka begitu rapat menyimpan teman wanitanya. "Tidak ada. Orang ini teman mengajar aku Bunda. Adek saja yang kepo," jawabannya seraya menunduk. "Itung-itungan buat semangatin kalau ngajar kan, Mas.""Apaan ngak ngak ngak.""Dih. Cakep tau itu fotonya." Goda adiknya Raiyan. Shaka merasa malu. "Adek." Shaka kembali menggendong adik perempuannya Syena. Sarah menggelengkan kepala, "sudah-sudah mungkin Kakak kamu ingin fokus mengajar Raiyan."Raiyan tergelak, jalan pikiran kakaknya Shaka memang lain dari yang lain. Baginya itu sangat menghibur karena ia tipe pendiam, "Ide bagus. Tapi jangan kelamaan jomblo Mas." Godanya seraya menemani Syema bermain. "Raiy sudah jangan ganggu Kakakmu, lihatlah mukanya merah itu." Kata Sarah tersenyum. "Iya iya, Bunda."Shaka menguncir rambut adiknya. ''Bunda Syena dan Syema sudah maka
Devan mengisap dalam-dalam rokoknya, lalu mengembuskannya pelan. Ia menatap istrinya lama. Tatapan mata itu yang dulu selalu berhasil meluluhkan Devan, hingga Devan kalah berulang kali. "Minumlah, Mas!" Sarah membawakan secangkir kopi panas untuk suaminya. "Ya.""Bagaimana tangannya masih linu?'' tanya Sarah pada suaminya lagi. "Lumayan sih."Sarah menggeleng. "Jadi hari ini terakhir kontrol?''"Ya Sayang. Alhamdulillah pen sudah dilepas semua normal tinggal pemulihan saja.''"Alhamdulillah kalau begitu." Sarah duduk didekat suaminya. "Kamu tidak mencintaiku lagi?" Sarah tertawa keras hingga air mata menghentikannya. "Mas."Kekhawatiran berlebih pada sesuatu yang belum terjadi, kerap menimbulkan ketakutan tak beralasan, karena usai jatuh beberapa tahun lalu Devan harus terapi karena tangannya cidera akibat menghindari mobil yang mengarah ke pada dirinya. Sarah mendorong pelan dadanya untuk melepaskan diri dari pelukannya. Tersenyum kaku saat melihat tatapannya yang seolah menunt
Tangan Zahira mengusap cepat air yang tersisa di mata dan pipi. Ia lantas mengulas sebuah senyum, senyum yang bisa Zahira pastikan hanya sebuah kamuflase. Ya, hanya untuk menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. Padahal, gurat kesedihan dan kecewa terlihat jelas di wajahnya."Pagi Sayang.""Pagi, Ma.""Bagaimana semalam tidurnya nyenyak?""Eumm.""Syukurlah. Kita lalui ini sama-sama," ucap Mamanya seraya menariknya dalam pelukan. Zahira tahu Mamanya bermaksud menghiburnya, tetapi yang terjadi ia malah kembali menangis, hingga terisak-isak di pelukannya. "Sudah, jangan nangis lagi. Hanya kamu satu-satunya harta Mama.''"Kenapa pas kecelakaan aku tak mati saja, Mama. Kenapa harus Joy?" "Hus. Jangan bicara begitu, mungkin Allah punya rencana lain untukmu, Nak."Zahira terdiam. "Sabar ya."Sang Ibu mendorong kursi Zahira ke dekat sofa. "Tapi aku bukan wanita sempurna aku cacat, Mama."''Kamu masih punya Mama. Tenanglah.''Zahira menggelengkan kepala. "Tidak, aku kesepian, Ma.""Sudah, ja
Sekarang apa yang bisa Zahira lakukan selain menjalani hidup tanpa arti, mungkin itu karmanya karena sikap jahatnya selama ini padanya. Mata kini terpejam, segera kembali terbuka ketika mobil sepertinya sudah berhenti di depan rumah. Zahira menyusuri halaman rumah di dorong dengan kursi roda, oleh bodyguard sekaligus sopir kiriman Papanya tiga tahun lalu. "Deri, apa aku terlalu buruk?" tanyanya tidak sanggup lagi menahan ucapan. Ada yang menekan keras hati di dalam sini, seluruh sendi seakan lepas dari pengait. "Siapa yang bilang, Non?" tanya balik Deri pada majikannya itu. "Aku. Aku bahkan wanita tak berguna juga wanita jahat, aku telah menyakiti banyak orang.""Non semua orang punya masa lalu.""Aku lelah bolak-balik berobat ke Singapore tapi sepertinya tak ada hasil."Deri menatapnya lembut, terlihat dia tersenyum. "Karena bolak-balik itu akan membuat, Non bisa berjalan lagi."Zahira menunduk karena tidak kuasa menahan rasa bersalah, merasa malu telah berbuat semena-mena dengan
Tiga tahun kemudian. Perjalanan pulang dari Singapura terasa panjang dan melelahkan. Bandara Soekarno Hatta yang selalu ramai juga jalanan Jakarta yang padat, menyambut kedatangan Zahira seperti sekarang ini. Sudah hampir satu tahun belakangan ini Sarah mondar-mandir Jakarta-Singapura. Demi pengobatan kakinya yang lumpuh karena tak bisa jalan. Zahira menghela napas panjang. Mematikan layar ponsel dan memasukannya ke tas yang ia kenakan. Di dorong Deri sang bodyguard dengan kursi roda itu membuatnya muak dan putus asa, ia menangis hampir setiap saat. Zahira memejamkan mata lelah dan berat. Teringat terakhir kali mereka bertemu Devan di kantor sehari setelah Zahira mengalami kecelakaan hebat, Karena Zahira ingin menabrak Devan hingga dirinya terbanting sendiri bahkan rekan kerja juga sahabatnya Joy meninggal di tempat. Berdua duduk berdampingan siang itu, Zahira mulai berkeluh kesah. Mulai menyesali diri, mengutuki diri karena kematian Joy sahabatnya. Masih Zahira ingat perkataan Devan
"Sayang sudah siap?'' tanya Devan selesai sarapan. "Sudah, Mas.""Mau diantar ke Apotek apa ke rumah Mama.""Kerumah Mama Lili sebentar boleh gak?""Boleh.""Yakin Mas gak telat.""Enggak Sayang."Sarah tersenyum mencium pipi suaminya. "Makasih Mas.""Sama-sama. Yuk." Devan berjalan membukakan pintu mobil. Kebetulan Raiyan sudah dibawa Bu Selin tadi pagi, kini giliran Sarah ke apotek untuk meninjau ada beberapa obat-obatan datang hari ini. "Kamu suka ini, Sayang?" tanya Devan sembari menyodorkan sebuah cincin ketika mobil belom berjalan. Mata Sarah berbinar. "Ini bagus sekali, Mas! Tapi, ini....""Tapi, kenapa?""Dalam rangka apa memberikan ini?''"Biar aku pasangkan."Ada sebuah rasa haru tersemat dalam hatinya. Lelaki di hadapannya ini memang luar biasa. Selama pernikahan selalu Devan memberikan kejutan-kejutan kecil. "Cantik sekali." Kata Devan seraya tersenyum. Entah mengapa matanya Sarah malah tiba-tiba basah karena terharu. "Sayang, Kamu tidak menyukai cincinnya, atau kek
Selesai mengabari orang tuanya Devan berbelok di sebuah toko bunga. "Silakan, Tuan." Penjual bunga itu tersenyum dengan ramah. "Mau cari buat kekasih?" tanya sang pelayanan itu. "Bukan, istri." Devan menjawab. "Untuk istri bagusnya yang mawar putih, Tuan.""Boleh," balas Devan. Lalu Devan mengambil setangkai mawar putih untuk dibayar setelahnya Devan pergi. Devan tahu Sarah bukan gadis yang menyukai sesuatu yang berlebihan. Pernah memprotes saat Devan terus membelikan buket setiap hari dan Sarah menolaknya saat itu. Setelah itu, Devan tak pernah membelikannya lagi.Devan sangat bersyukur. Kadang, rasanya begitu bangga bisa di beri kesempatan kedua oleh Sarah. Bangga dan Devan tak ingin kehilangan. Berharap hingga menua nanti.Setelah memarkirkan mobil, Devan masuk melangkah menuju kamar mereka. "Sayang belom tidur?""Nggak bisa tidur, aku ingat kejadian tadi pagi saja," jawabnya. Devan tersenyum sekilas. Lalu duduk di kursi di depan Sarah. "Sudah ya. Semuanya baik-baik saja."S
Setelah Devan mendapatkan perawatan di kepalanya, Devan kembali ke runagan IGD mondar-mandir menunggu hasil pemeriksaan Dokter. Setelah tenang ia duduk lantunan do'a terus ia ucapkan memohon kesembuhan untuk istri tercinta. Diiringi air mata, Devan meratap, segala dzikir dan do'a dilafadz. Berharap keajaiban yang selalu diyakininya. Jika hamba meminta, Allah akan mengabulkan.Kali ini Devan panik melihat ke arah kanan ada beberapa pengunjung tertidur di bangku panjang. Devan duduk lalu berdiri mematung, Hati Devan begitu terguncang melihat pemandangan yang ada di depannya saat itu. Betapa tidak istrinya pingsan karena kejadian tadi. Tiba-tiba ponsel Devan berbunyi. "Ya.""Penyebab kebakaran, dugaan sementara oleh pihak Kepolisian korsleting listrik, Den" ''Yakin karena korsleting listrik? Aku minta selidiki lagi.""Baik, Den.""Aku gak mau tahu, cari penyebabnya."Devan mengepalkan tangannya ia ceroboh kenapa bisa ia kecolongan soal ini. Hampir saja nyawa istri dan anaknya terenggut
Si Mbok dan si Mbak berlari ke arah kamar Sarah setelah melihat kebakaran dari depan bagian bagasi rumah majikannya. "Kamu cek pintu keluar yang disamping biar aku panggil Non Sarah.''"Baik, Mbok."Wanita muda itu berlari ke arah samping rumah yang masih aman dari kobaran api. "Non Sarah, kebakaran!!" Si Mbok mengedor pintu kamar Sarah. "Non buka pintu, ayo keluar!" Lagi dengan kencang dan panik si Mbok menggedor pintu. Udara sejuk dari pendingin udara berganti jadi panas membara tiba-tiba. Sarah tersentak saat suara teriakan terdengar dari luar rumah memekakkan telinga. Jeritan bersahutan si Mbok dan Mbak itu terus menerus, begitu juga asap menghitam yang memenuhi ruangan. "Non buka pintu!" ucap si Mbok sambil terus batuk-batuk. Sesuatu menyekat pernapasannya. Kian lama rumah kian gelap, anehnya, celah di atas pintu depan rumah memancar cahaya merah yang menyala-nyala. "Ya Mbok.'' Sahut Sarah dari dalam. "Non kebakaran! Ayo cepat.''"Apa. Kebakaran!! Den Dev sudah berangkat?