"Gadis yang bernama Sarah itu sudah tidak ada di sini dan sekarang saya tidak tahu keberadaannya."Dada Devan mendadak sesak, bagaimana caranya ia meminta maaf jika gadis itu selama ini menghilang, sudah beberapa kali Devan mencari namun tetap gadis itu menghilang bagai ditelan Bumi. Terakhir Devan mendapatkan alamat rumahnya yang baru pun para tetangganya tak tahu keberadaan gadis itu. "Ibu yakin tak mengenalnya?" tanyanya lagi. "Tidak karena saya membeli rumah ini juga lantaran Pak RT." Jelas wanita paruh baya itu. "Ibu tak pernah melihatnya?"Devan menunjukkan sebuah foto lawas. Foto gadis itu di masa lalu. Terlihat wajah Ibu itu berubah, sepertinya tak sanggup membuka mulut. Wanita paruh baya itu menatap Devan dengan ekspresi bersalah. Terlihat dari arah jalan ada laki-laki paruh baya itu berjalan mendekati Devan san Ibu itu. "Maaf, Ibu ngak tahu." Kata Ibu itu. "Pak RT, ini ada yang mencari seseorang." Wanita paruh baya itu memanggil Pak RT yang kebetulan lewat depan rumahnya
Sarah berbalik menatap nanar Devan dengan mata basahnya, sedangkan Devan mengalihkan pandangan ke bawah tidak sanggup melihat wajah sedih gadis itu yang dia buat jadi seperti itu. "Aku tidak butuh maafmu, kau kejam," lirih Sarah.Sarah menangis berharap jika apa yang baru saja terjadi adalah sebuah mimpi buruk. "Aku … aku khilaf," ucap Devan."Kenapa kau lakukan perbuatan kejam ini? Kenapa?!" Teriak Sarah seraya menangis histris. Devan mencoba meraih tubuh gadis itu, tapi Sarah teriak mundur lagi mengibaskan tangannya menepis gapaian tangan Devan yang ingin memeluknya."Maaf, aku tadi mabuk dan aku, terbawa suasana," ungkapnya menundukkan kepala.Tampaknya Sarah putus asa dengan jawaban yang Devan berikan. "Kau tidak peduli bagaimana kehidupanku setelah ini." Protes Sarah."Lain kali aku tidak akan melakukan lagi, maafkan aku," ucap Devan sepelan mungkin."Hah lucu sekali kau telah memperko-saku, dan kau telah menghancurkan hidupku.""Maaf," ucap Devan menyerah."Pergi!!" Usir Sar
"Istrimu keguguran lagi. Dokter bilang, kandungannya sudah lima minggu. Keguguran karena stres, kelelahan." Mamanya bicara pada Devan yang baru saja datang. Tak ada jawaban. Devan tak merespon perkataan Mamanya. Ia malas melakukan apa pun, termasuk bicara."Maaf, Mas."Devan memeluk istrinya dari belakang saat tengah melamun menatap ke luar jendela. Pandangannya terasa kosong. Lagi Zahira menangis. Devan membalikan tubuhnya menghadapnya. Menghapus air matanya perlahan. Mengecup keningnya lama istrinya terisak lalu memnamkan wajahnya di dada Devan. "Maaf.""Aku juga sedih, Sayang. Sudah jangan nangis lagi.""Mas.""Hmm?""Aku gak bisa memberikan kamu keturunan.""Kita bisa ya." Devan menenangkan istrinya. "Aku ngak yakin. Ini sudah kali ketiga aku keguguran, Mas."Devan menggelengkan kepala. "Kita usaha sama-sama ya."Kehilangan anak ternyata sesakit itu. Devan merutuki kejadian malam itu. Apa itu karmanya telah menyakiti Mia? Entahlah Kali ini perasaan Devan pada istrinya campur ad
Sementara Sarah menyiapkan kebutuhan putranya, karena besok adalah hari keberangkatan putra semata wayangnya menuntut ilmu agama ke pondok sebagai bekalnya kelak. Sarah membuat kue kesukaan putranya selesai ia berjalan ke arah putranya Shaka. "Sudah selesai mengemas, Nak?" Sarah menghampiri putranya yang masih mengemas baju ke dalam tas. Shaka mengangguk. "Bun, inilah yang aku rindu usapan dan perhatian Bunda padaku." Sarah masih mengusap lembut di rambutnya. Rasa sesak menyergap dada Sarah. Terlebih saat melihat putranya meneteskan air mata."Jangan menangis, nanti berat langkahmu pergi ninggalin Bunda." Sarah segera mengusap air matanya dengan tangan. Mereka berpelukan sebentar, lalu melanjutkan lagi merapikan barang bawaan Shaka. Beres satu tas baju dan tiga kardus kecil barang jajanan juga susu renteng telah siap."Oke kita makan malam ya setelah itu kamu istirahat. Bunda tadi belikan baso kesukaan kamu."Shaka tersenyum. "Baik Bunda."Sarah tersenyum mengacak rambut putranya
Sesampainya di rumah Sarah membuka pintu dengan kunci lalu berlari menuju kamar meraih obat dalam tas yang baru saja ia beli dari apotik langganannya, lalu meminumnya dengan segelas air putih. Sarah tidak perlu obat itu lagi, meskipun sebenarnya ia sudah bosan minum obat. Bahkan sudah hampir dua tahun ia tak lagi mengonsumsi obat itu. Namun setelah dengar kabar soal laki-laki itu Sarah jadi ketakutan, Sarah memang depresi tapi tidak gil-a. Sarah sedikit tenang menatap hampa foto Shaka ia memeluknya, tubuhnya rubuh di pembaringan, lalu bangkit lagi duduk di lantai tangannya memeluk lutut, peristiwa kejam itu kembali terbayang dan membuatnya menggigil ketakutan."Sarah kamu dimana, Sarah."Wanita paruh baya itu mendengar isakan dari kamar Sarah. "Kamu kenapa Sarah?" tanya Bibi saat mengunjungi rumah Sarah. Kini Sarah meringkuk dengan tubuh dibasahi keringat.Sarah menggeleng.Bibinya menyentuh kening Sarah yang basah berpeluh. "Aku nggak apa-apa, Bi," ucap Sarah lirih."Kamu kambuh l
Semenjak Bibi bekerja di rumah Pak Adiyasa jarang sekali ia menemui keponakannya Sarah, mereka jarang bertemu. Apalagi setelah Ayahnya Sarah meninggal. "Kamu baik-baik saja, kan?""Ya, aku baik-baik saja. Tadi aku hanya shok saja, Bi.""Bagaimana kabarnya Shaka?"Sarah tersenyum sambil mengangguk. "Aku baru pulang mengantarkan dia ke pondok Bi.""Padahal Bibi sudah rindu dengannya."Sarah tersenyum. "Aku dengar pondok Shaka lumanyan mahal ya Sarah.""Ya lumayan, Bi.""Makanya kamu harus sehat terus demi Shaka.""Tapi kadang, saat anak lain yang sedang diantar sama Ayahnya, ada rasa iri di dalam Shaka aku yakin itu. Temannya, masing-masing punya satu sosok yang dipanggil Ayah, tapi tidak dengan Shaka?"Bibi Nik menarik napas, "bersamamu saja sudah membuat Shaka tersenyum bahagia. Percayalah, bukankah mencari ilmu masuk akal daripada mempertanyakan satu sosok yang tak pernah dilihatnya?""Eumm Bibi benar.""Kalau setuju ikut bekerja sama Bibi. Ini telepon Bibi nanti Bibi jemput kamu y
Wanita anggun paruh baya itu membuka lembaran kertas yang berada di dalam amplop warna cokelat. Surat yang berisi lamaran kerja Sarah. Nyonya besar itu mencari seorang suster untuk mengasuh cucunya. "Nama kamu siapa?'' tanya wanita paruh baya anggun dan cantik itu menatap lekat ke arah wanita di depannya itu. "Sarah, Nyonya.""Nama lengkap?""Sarah Mia, Nyonya."Wanita paruh baya itu manggut-manggut."Sudah punya anak? Aku dengar dari Bibi jika kamu sudah punya seorang putra?"Sarah mengangguk. "Sudah, Nyonya."Wanita paruh baya itu menatap ke arah Sarah, lalu manggut-manggut. "Sudah tahu pekerjaanmu, menjaga cucuku?''Sarah menunduk. "Sudah, Nyonya.""Eummm. Jadi kamu seorang janda?" tanyanya penuh selidik. Sarah terdiam tak menjawab. Ia hanya menundukkan kepalanya tak berani menatap majikannya itu. "Sarah.""Eumm nggeh, Nyonya," jawabnya berbohong. "Aku ingin cucuku makan teratur. Dan rajin sekolah." Jelas wanita dengan gaya elegan dengan banyak perhiasan melekat ditubuhnya m
Sarah hanya mengangguk dan menundukkan kepala. Sedangkan Devan masih fokus dengan ponselnya. "Devan ini lo kenalin dulu."Devan mendongak."Eh iya Ma."Sarah tersenyum dan menundukkan kepalanya kembali. Sekilas sebelum Sarah berbalik, Devan mendongak menatap wanita itu sesaat Devan membeku ia menemukan sepasang mata wanita itu. Sepasang mata teduh yang sudah membuatnya dulu jatuh hati. Beberapa tahun tak bertemu hampir Devan tidak mengenali. Tubuh kuning langsat itu kini tampak lebih menawan. Dengan hijab hampir Devan tak bisa mengenali wajah wanitanya dulu itu. DegDevan menatapannya masih sama menghanyutkan seperti dulu. Cantik wajahnya tak berubah sama sekali selain wajah yang terlihat sedikit dewasa namun tak mengurangi kecantikannya meskipun dengan dandanan sederhana. Sepersekian detik, mereka saling tatap dan Devan memalingkan wajah. Sedangkan Sarah kembali menunduk. Sampai Sarah menjauh pun, pandangannya tidak berhenti mengejar. Devan membeku Dia tak menyangka jika wanita it
Anak kecil itu sangat lihai berbicara, lebih-lebih menjawab segala pertanyaan Lea. Di sisi lain, Shaka tak pernah merasa minder ataupun bersedih. Tawa dan tangis silih berganti memenuhi rumah sederhana itu. Makin jauh waktu melaju, cerita demi cerita makin berdesakan memenuhi ingatan. Meski Sarah telah lama berteman dengan luka, Sarah membesarkan Shaka dengan kasih sayang tanpa seorang Ayah. Dia begitu setia menanggapi setiap tanya dan keluh anak semata wayangnya itu. Belaian, pelukan, dan tindakan. Setiap kata yang keluar dari mulut Shaka ia selalu menjawabnya dengan baik. Baginya, Shaka adalah bentuk anugrah terindah dari Mahakarya Sang Pencipta. Shaka teramat disayangi dan dididik dengan cara yang baik. Jika Shaka melakukan kesalahan, hal pertama yang Sarah lakukan adalah memberitahu secara baik-baik. Baginya, Shaka adalah sebagian dari dirinya. Karena jika Shaka emosi maka akan cepat pula ia meredam emosinya. "Bunda, teman-teman pondok bilang jika, Shaka tak punya, Ayah?" tanyan
Gilang memutar tubuhnya menghadap ke arah Devan menunduk. Dia tersenyum sinis seperti meremehkan Devan."Mau gimana lagi kau tak pernah menganggapnya ada. Dan kau jarang menyentuhnya, kan?" Sahutnya penuh ejekan. Pria itu tertawa lepas. Dia membenarkan ucapan Devan. Devan tertawa sinis. "Haha selama ini aku seperti orang yang bodoh. Kalian berdua membohongiku.""Tidak seperi itu, Mas." Elak Zahira. Devan terlihat gusar. "Zahira, aku talak kamu, mulai hari ini, pernikahan kita telah selesai.""Mas Devan. Kumohon." Zahira hanya bisa memohon dan meremas jemari seiring hati yang tergores luka karena talak itu. Devan pergi dengan amarah, membanting pintu dengan amat keras. Bayangkan saja Zahira bisa selingkuh darinya dan ia tak tahu. Zahira menatap kesal ke arah Gilang kekasih bayangannya itu. "Pergi dari sini. Aku sudah tidak tertarik lagi padamu!" ucapnya pada Gilang. Gilang tertawa dalam hati. "Kenapa Sayang bukanlah itu benar? Aku bahkan disini untukmu." "Aku bilang pergi!" Bent
Kekasih Bayangan "Mari kita lihat, Ma. Siapa yang salah. Sengaja aku menyuruh Pak Di agar memasang CCTV di setiap sudut kamar.""CCTV?""Ya."Semua berkumpul duduk melihat sebelum kejadian Zahira terpeleset jatuh. Terlihat Zahira menyakiti Sarah di ruang tamu membuat semuanya kaget, semua terdiam menatap layar laptop Dea. "Mbak Sari, suruh Sarah bersihin kamar mandi ya.""Tapi, Non.""Gak ada tapi-tapi lakukan perintah saya."Terlihat di CCTV itu Sari merasa gugup dan kesal. "Gimana sih bukannya, Sarah pulang kampung." Gerutunya. Satu hari sebelum kejadian Zahira mengendap-endap membawa minyak ke arah kamar mandinya sendiri, lalu menyiramkan minyak ke kamar mandi itu dan tertawa keras. "Game over. Lihatlah Sarah kau akan dipecat dari rumah suamiku ini." Bisik Zahira yang masih bisa di dengar dilayar laptopSemua terkejut, Bu Lili memegang dadah, ia baru tahu ternyata wanita pilihannya adalah wanita yang sangat jahat berharap apa yang dilihatnya bohong. Kelakuan Zahira diluar bata
Zahira membuka mata perlahan, kepalanya luar biasa sakit dan berdenyut-denyut parah. Seolah ia baru mengalami mimpi yang tak pernah ia rasakan. Sesaat kepalanya melayang-layang. Dan kembali terlelap, lalu bangun lagi dengan kepala yang begitu berat. Beberapa bagian tubuhnya, bahkan sulit untuk bisa digerakkan. Cahaya terang menerangi matanya. sepertinya hanya ada beberapa lubang angin yang bisa ia lihat. Membuat Zahira kesulitan untuk melihat ruangan lebih jauh. Seperti saat ini ia sedang berbaring lemah ada sesuatu yang menyelimuti tubuhnya. Ia ingin bicara namun tak bisa, karena efek dari obat bius masih bekerja. Zahira mendengar suara tangisan yang memegang tangannya. Ia berusaha sedikit membuka mata dan cahaya terang terlihat, suara ibunya terdengar oleh pendengaran. Tenggorokannya terasa kering Zahira mencoba bersuara dengan pelan. "Zahira, sudah bangun, Nak?" sebuah suara meraih pendengarannya, ia berusaha menggerakkan kepala mencoba mencari asal suara. Dan benar wajah Mamany
Sarah berjalan meninggalkan Zahira yang masih menatapnya kesal, Sarah berjalan ke arah depan berpamitan dengan Bibinya. "Salam buat Shaka." Aang Bibi menepuk pundak Sarah pelan. "Nggeh. Saya berangkat dulu Bi." Pamit Aarah sedih. Wanita paruh baya itu tersenyum. "Ya, hati-hati." "Nggeh, Bi." Setengah jam kemudian guncangan yang Sarah rasakan di bahu, saat sebuah tangan membangunkannya. Pak Di membangunkan Sarah. "Sudah sampai, Mbak." "Eh, ya Pak maaf aku ketiduran." Sarah bergegas mengambil tas dan keluar dari mobil. "Ngak apa-apa. Saya duluan kalau begitu, Mbak." Sarah mengangguk. "Iya terimakasih dan hati-hati." "Ngeh, Mbak." Sesaat Sarah tersadar saat melihat Shaka berlari ke arahnya dengan senyuman termanisnya. "Bunda ...!" "Sayang." Shaka hampir saja menangis."Bunda, Shaka kangen!" "Bunda juga, Sayang. Jagoan Bunda ceria sekali." "Ya kan bisa bareng Bunda lagi." Sarah memeluk putranya lama. Betapa ia sangat merindukan putra kesayangannya. "Pulang yuk se
Lima bulan berlalu Sarah menatap cermin rias. Menatap tubuhnya sendiri yang tampak di bayangan kaca. Meraba wajah, kulitnya tampak putih bersih, rambutnya hitam panjang melewati bahu. Semua orang mengakui tubuhnya mendekati kata sempurna. Sarah hanya terpaku karena kecantikannya tak sebaik kisah cintanya. Sarah menguncir rambutnya lalu memakai pashmina dengan pelan berjalan ke arah luar menuju dapur."Sarah."Sarah berhenti dan menoleh. "Nggeh, Bi.""Emm bisa bantu.""Bisa, Bi.""Bawakan kopi ini untuk, Den Devan dan Tuan ya."Glek. Bahkan sudah hampir lima bulan ini Devan dan mereka kembali menjadi seperti orang asing. Devan pun jarang main ke rumah Mamnya ini. "Tapi.""Tolonglah. Bibi harus belanja di depan tuh."Sarah menganggukkan kepala. "Ya, deh."Namun, ada rasa resah yang bersemayam dihati. Kemudian Sarah mengingatkan dirinya bahwa memang sudah seharusnya bisa mulai membiasakan diri. Berjuang untuk dirinya dan juga Shaka putranya. "Sarah, tidak semua orang jahat. Banyak oran
Devan menaruh ponselnya tergeletak di meja kamar ia bangkit dari duduknya dan mengambil baju ganti di lemari. Selesai ia turun duduk disofa seraya menikmati secangkir kopi buatan Bibi Nik. "Sayang!" Bu Lili datang memeluk putranya. Wajahnya terlihat bahagia. "Mama."Wanita cantik di usia yang tidak lagi muda itu tidak menjawab. Dia hanya menggeleng sambil terus memeluk putranya itu. "Mama kapan datang?""Baru saja. Bagaimana keadaan Sarah?"Devan tersenyum. "Baik. Sudah pulang tadi pagi.""Syukurlah.""Mama gantian peluknya." Lea mendengus pelan. Karena wanita cantik itu juga baru pulang kuliah di luar negeri. Yang tentunya juga sangat merindukan sang kakak. Lea adalah adik bungsu Devan yang selama ini kuliah jauh, hampir beberapa tahun mereka tak saling bertemu. Devan tertawa dan melepaskan pelukan sang Mama. "Sini!" Devan tersenyum. Lea berhambur memeluk kakaknya. "Aku rindu, Mas.""Lancar kuliahnya?""Alhamdulillah lancar, hanya ada beberapa yang sulit dimengerti, tapi oke si
"Ya sih tapi aku terlanjur benci sama dia. Dia merebut hati Papa dari Mamaku."Saga membelalakan kwdua matanya. "Why! Sarah menolak, kan?"Zahira terdiam. "Sesuatu yang buruk dari awal, apalagi di lakukan dengan cara kebohongan dan licik akan menghancurkan orang itu sendiri, Zahira." Zahira tersenyum licik. "Baiklah akan aku lakukan sendiri, aku yang akan atur dan aku pastinya nanti Sarah akan di pecat dari rumah mertuaku."Saga menatapnya tajam. "Kau wanita licik. Ingat ya jika terjadi sesuatu dengan Sarah aku tak akan memaafkanmu."Zahira menatap ke arah Saga kesal. "Hah, heran sekali aku apa kelebihan wanita itu hingga semua orang ingin melindunginya.""Karena dia punya hati yang baik.""Bedebah. Aku benci dia.""Semoga alasannya karena kamu telah jatuh cinta pada Devan, bukan karena hal lain juga embel-embel soal Papamu yang bahkan dari awal Sarah sudah menolaknya." Sindirnya. "Tetap saja dia wanita penggoda.""Terserah aku tekankan jangan membuat Sarah terluka. Jika tidak kam
Saga meneliti penampilan Sarah beralih melihat sekilas Devan. Pria itu terlalu tampan untuk menjadi saingannya. Saga merasa kesal karena Sarah tetap memilih dan masih saja percaya dengan Devan lelaki yang jelas-jelas menyakitinya. Begitupun Devan ia tidak nyaman karena kehadiran Saga. Ah, Devan merasa cemburu dan segera menepis pemikiran aneh yang sempat melintas. Mana mungkin Sarah akan menjalin hubungan dengannya? Bahkan setelah beberapa tahun ini Sarah juga masih sendiri. "Saya titip, Sarah. Pastikan dia baik-baik saja, jika tidak aku akan mengambilnya menjauh darimu."Satu alis Devan terangkat. Pria itu memintanya menjaga Sarah? Tanpa pria itu minta pun, tentu saja akan Devan lakukan karena sudah menjadi tugasnya. Lagian pertemanan mereka berdua dulu begitu akrab kenapa Saga berubah menjadi sosok yang menyebalkan. "Kamu tenang saja. Saya akan menjaga Sarah lebih dari menjaga diri saya sendiri."Saga manggut-manggut tak percaya. "Semoga bisa dipercaya ucapanmu."Devan hanya diam.