Bu Lili saling tatap dengan suaminya, karena melihat putranya yang sedari tadi murung. Tak juga menyentuh makanan yang ada di depannya. "Devan." Bu Lili menatap putranya yang diam saja sedari tadi, berikut sendok yang masih dalam genggamannya. Lantas Bu Lili saling pandang dengan suaminya beberapa saat."Dev, hei!" Panggil Papanya. Devan menghela napas, meletakkan sendok tersebut ke atas piring yang masih dipenuhi nasi dan lauk. Baru dua suap yang berhasil masuk dalam perutnya. Menu rica-rica ayam menjadi makanan kesukaannya itu terasa hambar tak menggunggah selera. "Iya Pa.." "Kamu kenapa?" tanya Sang Papa khawatir. "Gak apa-apa Pa.""Kamu sudah menggugat Zahira ke pengadilan?" Pak Adiyasa krmbali tanya.Devan tak membantah ia lalu mengangguk. "Sudah, Pa.""Sebenarnya Mama ingin membahas setelah kita makan, tapi kamu sudah sedih begitu." Bu Lili menatap wajah putranya yang tertunduk. "Kamu ingin bicara, bicaralah kami siap menjadi pendengar."Wanita paruh baya tersebut menghela
Sampailah dipondok, Mobil berwarna putih milik Lea itu terparkir di depan pondok. Kali ini Sarah dan Lea mengantarkan Shaka kembali ke pondok. "Akhirnya sampe juga, Mbak. Shaka semangat ya mondoknya" Lea berseru ketika sudah keluar dari mobil. "Siap Tante."Sementara Sarah menemui Pak kyai untuk menyerahkan Shaka kembali. Shaka masih bicara dengan Lea. Tak lama Sarah keluar dari ruangan Pak Kyai. "Bunda!""Ya, sayang.""Makasih Bunda. Shaka suka liburannya."Sarah tersenyum. "Tapi harus ingat pesan Bunda. Harus belajar yang rajin ya."Shaka mengangguk seraya mencium pipi Sarah. "Baik, Bunda. Shaka perhatian Bunda akhir-akhir ini tak kambuh lagi."Sarah tersenyum. "Kan ada Shaka jadi Bunda suka."Shaka memeluk ibunya. ''Shaka mau ikut lomba, Bunda.""Kapan?""Nanti siang sih katanya. Jurinya dari luar kota katanya.""Dadakan gini. Yakin bisa Sayang?''"InsyaAllah Bunda. Minta do'anya saja.""Oke semoga menang ya. Bunda pamit karena mau langsung kerja.""Ya semangat Bunda.""Ya, Shak
Devan menatap Shaka lucu. Devan bisa melihat mata dan bibirnya sama seperti Sarah. Devan segera membuang tatapan ke arah lain. Dadanya berdetak kencang. Ah tidak ia tak boleh berprasangka buruk. Ia menatap Shaka, namun ia segera menghindari tatapannya agar tidak bertemu. Anak laki-laki yang memiliki wajah tampan, berhidung mancung dengan wajah tersenyum manis. Tapi caranya makan juga mengambil gelas gerak-geriknya bukankah itu sama dengan dirinya? Untuk sesaat, Devan masih mencerna apa yang terjadi di depan mata. Tapi sudahlah. "Sudah selesai makannya.""Sudah, Pak."Astaga tingkah anak laki-laki itu, seperti Sarah dulu kala sedang bercanda dengannya. Devan bernapas panjang. Meluruhkan beban di hati. Diiringi pertanyaan kenapa anak laki-laki itu sangat mirip Sarah saat berbicara? "Ada kabar bagus untukmu." Devan mencairkan suasana. "Apa itu Pak?""Kamu akan aku beri gratis tanpa biaya di pondok ini sampai lulus."Shaka merasa senang. "Serius, Pak.""Ya. Serius."''Wah Bunda pasti
"Astaga, it--itu?" Devan mendadak beku. Devan yang berdiri sambil memegangtangan, menatap terperangah. Sorot terkejut tampak jelas dari matanya. Namun, bibirnya tertutup. Tak menyuarakan satu pertanyaan apa pun. Wajah yang selama ini ia rindukan berada tepat di depannya bersama anak laki-laki itu. "Sarah."Panggilan itu membuat Sarah diam ia lalu mendongak, menatap orang yang begitu ia hapal suaranya. Sarah gugup kenapa bisa ada Devan disini? Firasatnya tak pernah salah pasti Devan mengikuti dirinya tadi. "Pak Devan." Shaka tersenyum menagkupkan kedua tangan di depan dada ke arah Devan. Devan membalas itu. "Ya Shaka."Sarah bingung kenapa mereka saling kenal? Sesaat Sarah membeku, bagaimana mungkin, bagaimana bisa mereka bisa kenal satu sama yang lain? Sarah terdiam, terus menatap Devan tanpa jeda. "Pak, kenalin ini adalah Bunda Shaka."Devan gugup menatap Sarah sepenuhnya. Sarah balas menatap dengan tatapan yang tak kalah lekat. "Iya, Bundamu sangat cantik ya. Shaka."Mau ego
Setelah dirasa lebih baik Sarah menemui Pak Kyai untuk pamitan dan menyerahkan kembali Shaka. Sementara Shaka bicara dengan Devan di luar. "Apa yang terjadi pada Bundamu?" tanya Devan penuh selidik. Shaka menunduk. "Bunda jika banyak pikiran depresi, Pak." "Apa itu sering?''"Dulu, tapi Shaka perhatian akhir-akhir ini Bunda sudah sembuh. Bahkan seminggu selama Shaka liburan Bunda baik-baik saja. Shaka bisa atasi kalau Bunda kambuh, Pak."Devan merasa bersalah. "Umur kamu berapa?""Dua belas tahun, Pak."Benar dugaan Devan jika mungkin saja Shaka adalah darah dagingnya. Devan memeluk Shaka erat. "Maafkan aku ya. Karena aku Bundamu kambuh lagi.""Pak Devan tak salah apa-apa, kan? Justru aku yang minta maaf karena Bunda kambuh jadi suasananya terganggu.""Maafkan aku, Nak."Shaka tersenyum. "Tak apa Pak."Devan merasa sedih. Kebodohan Devan yang tidak bisa dimaafkan, namun dibalik wajah tampannya menampilkan seulas senyum yang menawan. Sorot matanya yang sayu seolah-olah ingin menget
Pagi hari ada sebuah paket datang atas nama Sarah di kediaman Pak Adiyasa. Awalnya Sarah curiga dan enggan membuka namun Lea yang keukeuh ingin membukanya, setelah dibuka benar isinya sebuah boneka dengan dilumuri bercak merah. Sarah kaget dan Lea menjerit seketika terdengar oleh Dea. "Astaga. Itu bahaya kamu itu pura-pura ngak tahu? Kenapa dibuka paketnya?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Dea membuat Lea memukul lengan Dea dengan keras. "Awwh, sakit."Lea mendelik sinis. "Syukurin? Ich bercandanya ngak lucu, Mbak. Aku yang menyuruhnya membuka tadi.""Bahaya. Kayak gak tahu saja, Zahira bagaimana.""Ya tapi pelan-pelan bilangnya, Mbak.""Lagian. Selama ini kan, Devan menikahi Zahira hanya karena Mama, kan.""Mbak Dea.""Lea, sudah saatnya Sarah tahu jika Devan dulu dijodohkan sama Mama demi sebuah perjanjian karena menyelamatkan perusahan Papa yang sedang mengalami krisis. Sarah. Makanya jangan takut. Pikirkan cinta kalian yang telah dihancurkan olehnya.""Cinta?""Y
"Kapan kamu akan memberi tahu jika aku adalah, Ayahnya Shaka?"Sarah terdiam. "Aku ingin segera memberi tahunya, Sarah."Sarah mendongak, kembali menatap wajah sayunya. "Emm, untuk itu, biarkan dia merasa nyaman dulu." Jelasnya. "Ya. Biar aku selesaikan urusanku dengan, Zahira dulu."Sarah mengangguk mengiyakan. Devan menghela napas sebentar. Untuk kemudian memberanikan diri mengutarakan isi hatinya."Aku tak ingin kehilangan kalian lagi."Sarah menatap dingin Devan. Ia bisa melihat mata lelaki itu semakin memerah. Tak sanggup melihatnya lebih lama, Sarah memilih memalingkan wajah. Bersamaan dengan dua butir air yang mencuri kesempatan turun dan meninggalkan jejak basah di pipi."Aku benar-benar tak bisa menahan jauh dari kamu lagi, aku ingin kau tetap berada di sisiku?" Sarah menggeleng. Walaupun hatinya masih bimbang dan ragu. "Den besok harus berjuang di pengadilan. Jangan menambah luka itu lagi. Apalagi pada Shaka.""Kalau aku rindu sama kamu dan Shaka, aku harus bagaimana?"
Zahira nampak kecewa oleh ucapan Devan. "Saya memang salah, tapi dari situ saya belajar dan akan saya perbaiki lagi, Pak." Jelas Zahira. Devan menyimak dengan tenang proses yang berjalan. Devan berusaha untuk tidak gugup dan tetap kuat apa pun yang terjadi. "Kendalikan emosimu Dev jika mau semua berjalan lancar." Bisik Devan dalam hati. "Saya telah memaafkannya, tapi untuk rujuk itu saya tegaskan saya tidak bisa karena dia berkhianat. Saya tetap akan menggugatnya."Berbagai cara telah ditempuh untuk membuat mereka rujuk namun tidak menemukan titik temu. Membuat sang Hakim memutuskan untuk melanjutkan persidangan dua minggu ke depan. Mereka saling diam. Zahira dengan rasa sakitnya, dan rasa sesal yang ingin mempertahankan hubungannya. Devan dengan rasa senangnya karena agenda kali ini ia sudah berjuang menolaknya. Zahira merasa kecewa dengan sikap Devan, ia melangkah dengan hati yang begitu terluka. Sidang akan diadakan lagi satu bulan ke depan. Sedangkan Devan tersenyum sinis, ia y
"Bunda lihatlah Kak Shaka teleponan sama seorang wanita." Adu Raiyan pada sang Bunda. Sarah tersenyum. "Masa? Benar itu Shaka?" tanya Sarah penasaran karena selama ini Shaka begitu rapat menyimpan teman wanitanya. "Tidak ada. Orang ini teman mengajar aku Bunda. Adek saja yang kepo," jawabannya seraya menunduk. "Itung-itungan buat semangatin kalau ngajar kan, Mas.""Apaan ngak ngak ngak.""Dih. Cakep tau itu fotonya." Goda adiknya Raiyan. Shaka merasa malu. "Adek." Shaka kembali menggendong adik perempuannya Syena. Sarah menggelengkan kepala, "sudah-sudah mungkin Kakak kamu ingin fokus mengajar Raiyan."Raiyan tergelak, jalan pikiran kakaknya Shaka memang lain dari yang lain. Baginya itu sangat menghibur karena ia tipe pendiam, "Ide bagus. Tapi jangan kelamaan jomblo Mas." Godanya seraya menemani Syema bermain. "Raiy sudah jangan ganggu Kakakmu, lihatlah mukanya merah itu." Kata Sarah tersenyum. "Iya iya, Bunda."Shaka menguncir rambut adiknya. ''Bunda Syena dan Syema sudah maka
Devan mengisap dalam-dalam rokoknya, lalu mengembuskannya pelan. Ia menatap istrinya lama. Tatapan mata itu yang dulu selalu berhasil meluluhkan Devan, hingga Devan kalah berulang kali. "Minumlah, Mas!" Sarah membawakan secangkir kopi panas untuk suaminya. "Ya.""Bagaimana tangannya masih linu?'' tanya Sarah pada suaminya lagi. "Lumayan sih."Sarah menggeleng. "Jadi hari ini terakhir kontrol?''"Ya Sayang. Alhamdulillah pen sudah dilepas semua normal tinggal pemulihan saja.''"Alhamdulillah kalau begitu." Sarah duduk didekat suaminya. "Kamu tidak mencintaiku lagi?" Sarah tertawa keras hingga air mata menghentikannya. "Mas."Kekhawatiran berlebih pada sesuatu yang belum terjadi, kerap menimbulkan ketakutan tak beralasan, karena usai jatuh beberapa tahun lalu Devan harus terapi karena tangannya cidera akibat menghindari mobil yang mengarah ke pada dirinya. Sarah mendorong pelan dadanya untuk melepaskan diri dari pelukannya. Tersenyum kaku saat melihat tatapannya yang seolah menunt
Tangan Zahira mengusap cepat air yang tersisa di mata dan pipi. Ia lantas mengulas sebuah senyum, senyum yang bisa Zahira pastikan hanya sebuah kamuflase. Ya, hanya untuk menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. Padahal, gurat kesedihan dan kecewa terlihat jelas di wajahnya."Pagi Sayang.""Pagi, Ma.""Bagaimana semalam tidurnya nyenyak?""Eumm.""Syukurlah. Kita lalui ini sama-sama," ucap Mamanya seraya menariknya dalam pelukan. Zahira tahu Mamanya bermaksud menghiburnya, tetapi yang terjadi ia malah kembali menangis, hingga terisak-isak di pelukannya. "Sudah, jangan nangis lagi. Hanya kamu satu-satunya harta Mama.''"Kenapa pas kecelakaan aku tak mati saja, Mama. Kenapa harus Joy?" "Hus. Jangan bicara begitu, mungkin Allah punya rencana lain untukmu, Nak."Zahira terdiam. "Sabar ya."Sang Ibu mendorong kursi Zahira ke dekat sofa. "Tapi aku bukan wanita sempurna aku cacat, Mama."''Kamu masih punya Mama. Tenanglah.''Zahira menggelengkan kepala. "Tidak, aku kesepian, Ma.""Sudah, ja
Sekarang apa yang bisa Zahira lakukan selain menjalani hidup tanpa arti, mungkin itu karmanya karena sikap jahatnya selama ini padanya. Mata kini terpejam, segera kembali terbuka ketika mobil sepertinya sudah berhenti di depan rumah. Zahira menyusuri halaman rumah di dorong dengan kursi roda, oleh bodyguard sekaligus sopir kiriman Papanya tiga tahun lalu. "Deri, apa aku terlalu buruk?" tanyanya tidak sanggup lagi menahan ucapan. Ada yang menekan keras hati di dalam sini, seluruh sendi seakan lepas dari pengait. "Siapa yang bilang, Non?" tanya balik Deri pada majikannya itu. "Aku. Aku bahkan wanita tak berguna juga wanita jahat, aku telah menyakiti banyak orang.""Non semua orang punya masa lalu.""Aku lelah bolak-balik berobat ke Singapore tapi sepertinya tak ada hasil."Deri menatapnya lembut, terlihat dia tersenyum. "Karena bolak-balik itu akan membuat, Non bisa berjalan lagi."Zahira menunduk karena tidak kuasa menahan rasa bersalah, merasa malu telah berbuat semena-mena dengan
Tiga tahun kemudian. Perjalanan pulang dari Singapura terasa panjang dan melelahkan. Bandara Soekarno Hatta yang selalu ramai juga jalanan Jakarta yang padat, menyambut kedatangan Zahira seperti sekarang ini. Sudah hampir satu tahun belakangan ini Sarah mondar-mandir Jakarta-Singapura. Demi pengobatan kakinya yang lumpuh karena tak bisa jalan. Zahira menghela napas panjang. Mematikan layar ponsel dan memasukannya ke tas yang ia kenakan. Di dorong Deri sang bodyguard dengan kursi roda itu membuatnya muak dan putus asa, ia menangis hampir setiap saat. Zahira memejamkan mata lelah dan berat. Teringat terakhir kali mereka bertemu Devan di kantor sehari setelah Zahira mengalami kecelakaan hebat, Karena Zahira ingin menabrak Devan hingga dirinya terbanting sendiri bahkan rekan kerja juga sahabatnya Joy meninggal di tempat. Berdua duduk berdampingan siang itu, Zahira mulai berkeluh kesah. Mulai menyesali diri, mengutuki diri karena kematian Joy sahabatnya. Masih Zahira ingat perkataan Devan
"Sayang sudah siap?'' tanya Devan selesai sarapan. "Sudah, Mas.""Mau diantar ke Apotek apa ke rumah Mama.""Kerumah Mama Lili sebentar boleh gak?""Boleh.""Yakin Mas gak telat.""Enggak Sayang."Sarah tersenyum mencium pipi suaminya. "Makasih Mas.""Sama-sama. Yuk." Devan berjalan membukakan pintu mobil. Kebetulan Raiyan sudah dibawa Bu Selin tadi pagi, kini giliran Sarah ke apotek untuk meninjau ada beberapa obat-obatan datang hari ini. "Kamu suka ini, Sayang?" tanya Devan sembari menyodorkan sebuah cincin ketika mobil belom berjalan. Mata Sarah berbinar. "Ini bagus sekali, Mas! Tapi, ini....""Tapi, kenapa?""Dalam rangka apa memberikan ini?''"Biar aku pasangkan."Ada sebuah rasa haru tersemat dalam hatinya. Lelaki di hadapannya ini memang luar biasa. Selama pernikahan selalu Devan memberikan kejutan-kejutan kecil. "Cantik sekali." Kata Devan seraya tersenyum. Entah mengapa matanya Sarah malah tiba-tiba basah karena terharu. "Sayang, Kamu tidak menyukai cincinnya, atau kek
Selesai mengabari orang tuanya Devan berbelok di sebuah toko bunga. "Silakan, Tuan." Penjual bunga itu tersenyum dengan ramah. "Mau cari buat kekasih?" tanya sang pelayanan itu. "Bukan, istri." Devan menjawab. "Untuk istri bagusnya yang mawar putih, Tuan.""Boleh," balas Devan. Lalu Devan mengambil setangkai mawar putih untuk dibayar setelahnya Devan pergi. Devan tahu Sarah bukan gadis yang menyukai sesuatu yang berlebihan. Pernah memprotes saat Devan terus membelikan buket setiap hari dan Sarah menolaknya saat itu. Setelah itu, Devan tak pernah membelikannya lagi.Devan sangat bersyukur. Kadang, rasanya begitu bangga bisa di beri kesempatan kedua oleh Sarah. Bangga dan Devan tak ingin kehilangan. Berharap hingga menua nanti.Setelah memarkirkan mobil, Devan masuk melangkah menuju kamar mereka. "Sayang belom tidur?""Nggak bisa tidur, aku ingat kejadian tadi pagi saja," jawabnya. Devan tersenyum sekilas. Lalu duduk di kursi di depan Sarah. "Sudah ya. Semuanya baik-baik saja."S
Setelah Devan mendapatkan perawatan di kepalanya, Devan kembali ke runagan IGD mondar-mandir menunggu hasil pemeriksaan Dokter. Setelah tenang ia duduk lantunan do'a terus ia ucapkan memohon kesembuhan untuk istri tercinta. Diiringi air mata, Devan meratap, segala dzikir dan do'a dilafadz. Berharap keajaiban yang selalu diyakininya. Jika hamba meminta, Allah akan mengabulkan.Kali ini Devan panik melihat ke arah kanan ada beberapa pengunjung tertidur di bangku panjang. Devan duduk lalu berdiri mematung, Hati Devan begitu terguncang melihat pemandangan yang ada di depannya saat itu. Betapa tidak istrinya pingsan karena kejadian tadi. Tiba-tiba ponsel Devan berbunyi. "Ya.""Penyebab kebakaran, dugaan sementara oleh pihak Kepolisian korsleting listrik, Den" ''Yakin karena korsleting listrik? Aku minta selidiki lagi.""Baik, Den.""Aku gak mau tahu, cari penyebabnya."Devan mengepalkan tangannya ia ceroboh kenapa bisa ia kecolongan soal ini. Hampir saja nyawa istri dan anaknya terenggut
Si Mbok dan si Mbak berlari ke arah kamar Sarah setelah melihat kebakaran dari depan bagian bagasi rumah majikannya. "Kamu cek pintu keluar yang disamping biar aku panggil Non Sarah.''"Baik, Mbok."Wanita muda itu berlari ke arah samping rumah yang masih aman dari kobaran api. "Non Sarah, kebakaran!!" Si Mbok mengedor pintu kamar Sarah. "Non buka pintu, ayo keluar!" Lagi dengan kencang dan panik si Mbok menggedor pintu. Udara sejuk dari pendingin udara berganti jadi panas membara tiba-tiba. Sarah tersentak saat suara teriakan terdengar dari luar rumah memekakkan telinga. Jeritan bersahutan si Mbok dan Mbak itu terus menerus, begitu juga asap menghitam yang memenuhi ruangan. "Non buka pintu!" ucap si Mbok sambil terus batuk-batuk. Sesuatu menyekat pernapasannya. Kian lama rumah kian gelap, anehnya, celah di atas pintu depan rumah memancar cahaya merah yang menyala-nyala. "Ya Mbok.'' Sahut Sarah dari dalam. "Non kebakaran! Ayo cepat.''"Apa. Kebakaran!! Den Dev sudah berangkat?