Pagi hari Sarah menyisir rambut dan mengeringkannya dengan hairdryer. Selesai ia melihat ke arah cendela terlihat di sana burung beterbangan beberapa ekor, melompat melalui ranting ke ranting kecil di atas pohon mangga. Angin bertiup lembut di atas sana, langit hitam menghiasi dan gerimis pun mengguyur kota tempat tinggalnya. "Kenapa sedih begitu wahai, istriku." Bisik Devan ditelinga istrinya. "Emm, lagi malas saja, Mas.""Kenapa?''"Gak kenapa-napa. Malas saja pagi-pagi hujan begini," jawabnya dengan suara pelan. Devan memeluk istrinya, menatap dengan mata yang masih kebingungan. "Ada yang tak aku tahu?"Sarah menggelengkan kepala. "Tidak.""Terus kenapa Sayang? Lalu, kamu bersedih karena apa?"Mereka sama-sama diam untuk detik-detik panjang. Devan masih setia memeluk, dan menanti jawaban dari pertanyaannya pada Sarah. "Entahlah, aku gak tenang saja, Mas.""Jangan pikirkan itu. Semua akan baik-baik saja ya. Kali ini aku akan ada di sampingmu dan menjagamu.""Hmm.""Sudah. Sini p
"Mas yakin sudah sembuh?''"Yakin Sayang."Devan mendapatkan telepon dari kantor, kini Sarah sedang membantu Devan memakaikan dasi namun suara ponsel Sarah membuatnya berhenti membantu suaminya memasangkan dasi. "Angkatlah." Ucapan Devan membuat Sarah menghentikan aktivitasnya. "Ya Mas."Sarah berjalan mengambil ponsel di atas nakas. "Siapa?""Mama, ada apa ya, Mas?""Angkat saja siapa tahu penting."Sarah mengangguk lalu menganggkat telepon. "Ke Apotek ya, Sayang?" tanya sang mertua diseberang sana. "Ya Ma. Cuma mengecek saja rencananya mau diantar sama Mas Devan.""Sayang, bisa antarkan Mama ke rumah sakit gak soalnya Mama mau periksa."Sarah menatap Devan meminta izin lalu Devan mengangguk. "Ya Ma. Tapi Mama sakit apa?" tanya Sarah cemas. "Mama lagi gak enak badan, mual dan sepertinya kembung nih perut Mama. Apa mungkin masuk angin ya?""Bisa jadi sih Ma.""Makanya antarin Mama ya.''"Iya Ma nanti saya ke rumah Mama.""Iya, Mama tunggu ya.""Ya Ma."Sarah lalu mematikan ponse
Sore itu bu Selin kehilangan selera makan. Rasa sepi membuatnya malas beraktifitas bahkan untuk sekadar mengisi perut. Datang ke beberapa acara perusahaan sedikit menghibur dan menenangkan hati, tapi tak dapat membunuh rindu pada seorang anak.Mobil berhenti di halaman rumah Devan. Bu Selin rindu tangisan kecilnya dulu, rindu saat menggendongnya. Sekarang bahkan saat dekat saja ia tak mampu menyentuh, mendengar suaranya saja sudah membuat hatinya tenang. Lalu bagaimana saat hari-hari hampa mereka jalani dengan kekosongan tanpa kehadiran Sarah? Pernahkah Bu Selin mengerti sebesar apa rindunya pada sang buah hati? Pernahkah ia mau mengukur sedalam apa rindunya itu?" "Ma, yakin kita tak masuk? Mumpung mereka ada di rumah?" tanya Sando seraya menggenggam tangan wanita itu. Bu Selin menggelengkan kepala. "Jika memang ada kesempatan kenapa tidak, jangan buat kesalahan untuk kedua kalinya, Ma." Jelas Sando. Bu Selin termenung sejenak. "Emm apa pantas Mama di beri kesempatan?""Ma itu
Tiba-tiba sepasang tangan kekar merengkuh dan memeluk punggung Shaka. Refleks Shaka memutar badan, membalas pelukan hangat seorang Ayah. "Kenapa melamun saja?" tanya Devan pada putranya. Membuat Shaka terkejut. "Ayah, bikin kaget saja.""Habisnya kenapa sore-sore sendirian, melamun lagi?"Shaka terdiam. "Kenapa sih?""Emm.""Kenapa?""Dulu saat di kampung Shaka ingin seperti Alia, Dinda dan Dimas yang mempunyai seorang Bapak. Saat terlambat pulang, mereka selalu dicari, sedangkan aku ... tidak ada, Ayah. Mereka pernah cerita pada Shaka bahwa setiap hari dimarahi Bapaknya. Namun, kata Pak Ustadz, orang tua memarahi itu karena mereka sayang kepada anaknya. Meskipun Bunda tidak pernah marah namun aku begitu merindukan sosok, Ayah." Jelasnya. Devan seolah merasa tertampar oleh ucapan Shaka, ia tak pernah berpikir jika Shaka serapuh itu. Akhirnya tanpa sadar Shaka mengeluarkan uneg-uneg dalam hatinya selama ini. "Meskipun Bapaknya Dinda galak, dia sering menjemput Dinda saat pulang me
Devan melerai pelukan, menatap istrinya dengan mata yang masih kebingungan. "Ada yang tak aku tahu?""Hmmm." Sarah memberikan liontin itu pada suaminya. "Kamu bersedih karena ini?" tanyanya. Sarah mengangukan kepala. "Sempat shok sih. Selama ini aku masih punya Mama ternyata.""Oke nanti aku bantu cari ya. Dia pasti juga merindukanmu," lanjut Devan sambil membelai rambut Sarah penuh kasih."Entahlah, apa bisa, Mas.""Jangan pikirkan itu. Semua akan membaik ya. Kali ini aku akan ada di sampingmu terus. Dan kita akan cari sama-sama.""Hmm.""Sudah. Sini peluk."Sarah tersenyum entah selembut itu suaminya. "Jangan dipikirkan ingat kandunganmu."Sarah tersenyum. "Aku akan selalu mendukungmu apapun itu.""Emm sebenarnya agak aneh saja, selama ini dia bagai ditelan bumi. Bahkan aku belom sempat melihat wajah ibuku."Devan hanya mengelus perut istrinya. "Apa yang harus aku lakukan, Mas?""Lakukan apa yang menurutmu baik. Bagaimana pun dia yang telah melahirkanmu, pasti dia punya alasan
"Maksudnya?" tanya Bibi Nik tak mengerti. Bu Selin tersenyum menelan saliva. Kerongkongan terasa sangat tandus dan kering. "Setelah kepergianku Mas Hadi mencariku lagi dan kami diam-diam bertemu dan kembali menjalin hubungan setelahnya aku mengandung Sando. Lagi Papaku memisahkan kami lagi."Mak Nik hanya mengangguk pelan, seraya menatapnya. "Ya, Hadi pernah bilang padaku, jika ia sering menemuimu."Bu Selin mengangguk. "Kamu mirip sekali dengan Ayahmu. Nak." Bibi Nik juga ikut sesegukan. "Nggeh, Bibi.""Kasihan sekali kamu dan Sarah tak pernah bertemu."Sando hanya diam dan menunduk entah apa yang ada dalam pikirannya. Bu Selin mengatur napas dengan baik, entah ini yang terbaik atau sebaliknya yang jelas ingatan akan wajah almarhum itu tak pernah pudar. Selalu berorasi setiap waktunya berputar dalam ingatannya. Bulir bening berhasil lolos dari sudut matanya lagi. Ada rasa sesak di paru-paru yang membuat sulit untuk bernapas. Rasa sesak yang menghampiri membuat jatuh dalam keterpu
Ada banyak yang Sarah pikirkan, membuat kecemasan meningkat drastis. Pagi tadi Bu Lili menelepon mengajak Sarah untuk menemaninya. Dugaannya benar, pagi sekali Bu Lili sudah datang, tetapi kali ini meminta Sarah menemaninya periksa ke dokter gigi. "Serius enggak ikut?" tanyanya pada Shaka sang putra. "Enggak Bunda. Tapi belikan makanan saja ya."Sarah mengangguk. "Baiklah, Sayang."Sengaja mereka berangkat lebih pagi. Bahkan, Sarah juga sudah minta izin Devan via telepon. Di dalam mobil, Bu Lili berbicara panjang lebar pada Sarah. Menceritakan Lea yang tak kunjung punya kekasih. "Jadi ke Dokter pribadi apa ke rumah sakit langganan, Mama?" tanya Sarah pada mertuanya. "Enaknya gimana ya. Aduh, Mama sudah enggak tahan sakit banget, Sarah.""Ya kalau jam segini, ke Dokter saja Ma. Masih jam praktek di rumah juga."Bu Lili tersenyum dan mengangguk pelan, pertanda setuju perkataan Sarah. Mobil terparkir di Dokter spesialis gigi, mereka keluar dan masuk. Ternyata antre juga terpaksa mer
Turun dari mobil, Devan sedikit menjauh karena menerima panggilan telepon. Sarah melangkah masuk menunggu suaminya duduk di bangku rumah sakit. Selesai Devan menelepon mereka berjalan melewati koridor rumah sakit, menaiki lift dan turun di lantai tertinggi. Kali ini Sarah melihat suasana yang berbeda. Hati Sarah mendadak berdebar, semakin melangkah, debarannya pun kian kencang. Sekali lagi ini pertanda yang biasa Sarah sebentar lagi akan mengetahui hasil tesnya. Mereka akhirnya sampai di ruangan itu. "Sayang kamu siap?"Sarah terdiam memeganggi lengan Devan erat. "Sayang kamu baik-baik saja?" tanya Devan lagi. "Nervous, Mas.""Aku yakin kamu bisa terima kenyataan mana yang baik dan mana yang buruk. Kamu wanita hebat, dan mungkin aku tak akan bisa setegar kamu."Sarah mengangguk. "Pak Devan. Hasilnya sudah keluar silahkan masuk.""Ya."Setelah lebih dari sepuluh hari dalam penantian, akhirnya hari itu pun tiba. Hari dimana test DNA itu ke luar. Kali ini Sarah masuk ruangan lap bers
Devan mengisap dalam-dalam rokoknya, lalu mengembuskannya pelan. Ia menatap istrinya lama. Tatapan mata itu yang dulu selalu berhasil meluluhkan Devan, hingga Devan kalah berulang kali. "Minumlah, Mas!" Sarah membawakan secangkir kopi panas untuk suaminya. "Ya.""Bagaimana tangannya masih linu?'' tanya Sarah pada suaminya lagi. "Lumayan sih."Sarah menggeleng. "Jadi hari ini terakhir kontrol?''"Ya Sayang. Alhamdulillah pen sudah dilepas semua normal tinggal pemulihan saja.''"Alhamdulillah kalau begitu." Sarah duduk didekat suaminya. "Kamu tidak mencintaiku lagi?" Sarah tertawa keras hingga air mata menghentikannya. "Mas."Kekhawatiran berlebih pada sesuatu yang belum terjadi, kerap menimbulkan ketakutan tak beralasan, karena usai jatuh beberapa tahun lalu Devan harus terapi karena tangannya cidera akibat menghindari mobil yang mengarah ke pada dirinya. Sarah mendorong pelan dadanya untuk melepaskan diri dari pelukannya. Tersenyum kaku saat melihat tatapannya yang seolah menunt
Tangan Zahira mengusap cepat air yang tersisa di mata dan pipi. Ia lantas mengulas sebuah senyum, senyum yang bisa Zahira pastikan hanya sebuah kamuflase. Ya, hanya untuk menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. Padahal, gurat kesedihan dan kecewa terlihat jelas di wajahnya."Pagi Sayang.""Pagi, Ma.""Bagaimana semalam tidurnya nyenyak?""Eumm.""Syukurlah. Kita lalui ini sama-sama," ucap Mamanya seraya menariknya dalam pelukan. Zahira tahu Mamanya bermaksud menghiburnya, tetapi yang terjadi ia malah kembali menangis, hingga terisak-isak di pelukannya. "Sudah, jangan nangis lagi. Hanya kamu satu-satunya harta Mama.''"Kenapa pas kecelakaan aku tak mati saja, Mama. Kenapa harus Joy?" "Hus. Jangan bicara begitu, mungkin Allah punya rencana lain untukmu, Nak."Zahira terdiam. "Sabar ya."Sang Ibu mendorong kursi Zahira ke dekat sofa. "Tapi aku bukan wanita sempurna aku cacat, Mama."''Kamu masih punya Mama. Tenanglah.''Zahira menggelengkan kepala. "Tidak, aku kesepian, Ma.""Sudah, ja
Sekarang apa yang bisa Zahira lakukan selain menjalani hidup tanpa arti, mungkin itu karmanya karena sikap jahatnya selama ini padanya. Mata kini terpejam, segera kembali terbuka ketika mobil sepertinya sudah berhenti di depan rumah. Zahira menyusuri halaman rumah di dorong dengan kursi roda, oleh bodyguard sekaligus sopir kiriman Papanya tiga tahun lalu. "Deri, apa aku terlalu buruk?" tanyanya tidak sanggup lagi menahan ucapan. Ada yang menekan keras hati di dalam sini, seluruh sendi seakan lepas dari pengait. "Siapa yang bilang, Non?" tanya balik Deri pada majikannya itu. "Aku. Aku bahkan wanita tak berguna juga wanita jahat, aku telah menyakiti banyak orang.""Non semua orang punya masa lalu.""Aku lelah bolak-balik berobat ke Singapore tapi sepertinya tak ada hasil."Deri menatapnya lembut, terlihat dia tersenyum. "Karena bolak-balik itu akan membuat, Non bisa berjalan lagi."Zahira menunduk karena tidak kuasa menahan rasa bersalah, merasa malu telah berbuat semena-mena dengan
Tiga tahun kemudian. Perjalanan pulang dari Singapura terasa panjang dan melelahkan. Bandara Soekarno Hatta yang selalu ramai juga jalanan Jakarta yang padat, menyambut kedatangan Zahira seperti sekarang ini. Sudah hampir satu tahun belakangan ini Sarah mondar-mandir Jakarta-Singapura. Demi pengobatan kakinya yang lumpuh karena tak bisa jalan. Zahira menghela napas panjang. Mematikan layar ponsel dan memasukannya ke tas yang ia kenakan. Di dorong Deri sang bodyguard dengan kursi roda itu membuatnya muak dan putus asa, ia menangis hampir setiap saat. Zahira memejamkan mata lelah dan berat. Teringat terakhir kali mereka bertemu Devan di kantor sehari setelah Zahira mengalami kecelakaan hebat, Karena Zahira ingin menabrak Devan hingga dirinya terbanting sendiri bahkan rekan kerja juga sahabatnya Joy meninggal di tempat. Berdua duduk berdampingan siang itu, Zahira mulai berkeluh kesah. Mulai menyesali diri, mengutuki diri karena kematian Joy sahabatnya. Masih Zahira ingat perkataan Devan
"Sayang sudah siap?'' tanya Devan selesai sarapan. "Sudah, Mas.""Mau diantar ke Apotek apa ke rumah Mama.""Kerumah Mama Lili sebentar boleh gak?""Boleh.""Yakin Mas gak telat.""Enggak Sayang."Sarah tersenyum mencium pipi suaminya. "Makasih Mas.""Sama-sama. Yuk." Devan berjalan membukakan pintu mobil. Kebetulan Raiyan sudah dibawa Bu Selin tadi pagi, kini giliran Sarah ke apotek untuk meninjau ada beberapa obat-obatan datang hari ini. "Kamu suka ini, Sayang?" tanya Devan sembari menyodorkan sebuah cincin ketika mobil belom berjalan. Mata Sarah berbinar. "Ini bagus sekali, Mas! Tapi, ini....""Tapi, kenapa?""Dalam rangka apa memberikan ini?''"Biar aku pasangkan."Ada sebuah rasa haru tersemat dalam hatinya. Lelaki di hadapannya ini memang luar biasa. Selama pernikahan selalu Devan memberikan kejutan-kejutan kecil. "Cantik sekali." Kata Devan seraya tersenyum. Entah mengapa matanya Sarah malah tiba-tiba basah karena terharu. "Sayang, Kamu tidak menyukai cincinnya, atau kek
Selesai mengabari orang tuanya Devan berbelok di sebuah toko bunga. "Silakan, Tuan." Penjual bunga itu tersenyum dengan ramah. "Mau cari buat kekasih?" tanya sang pelayanan itu. "Bukan, istri." Devan menjawab. "Untuk istri bagusnya yang mawar putih, Tuan.""Boleh," balas Devan. Lalu Devan mengambil setangkai mawar putih untuk dibayar setelahnya Devan pergi. Devan tahu Sarah bukan gadis yang menyukai sesuatu yang berlebihan. Pernah memprotes saat Devan terus membelikan buket setiap hari dan Sarah menolaknya saat itu. Setelah itu, Devan tak pernah membelikannya lagi.Devan sangat bersyukur. Kadang, rasanya begitu bangga bisa di beri kesempatan kedua oleh Sarah. Bangga dan Devan tak ingin kehilangan. Berharap hingga menua nanti.Setelah memarkirkan mobil, Devan masuk melangkah menuju kamar mereka. "Sayang belom tidur?""Nggak bisa tidur, aku ingat kejadian tadi pagi saja," jawabnya. Devan tersenyum sekilas. Lalu duduk di kursi di depan Sarah. "Sudah ya. Semuanya baik-baik saja."S
Setelah Devan mendapatkan perawatan di kepalanya, Devan kembali ke runagan IGD mondar-mandir menunggu hasil pemeriksaan Dokter. Setelah tenang ia duduk lantunan do'a terus ia ucapkan memohon kesembuhan untuk istri tercinta. Diiringi air mata, Devan meratap, segala dzikir dan do'a dilafadz. Berharap keajaiban yang selalu diyakininya. Jika hamba meminta, Allah akan mengabulkan.Kali ini Devan panik melihat ke arah kanan ada beberapa pengunjung tertidur di bangku panjang. Devan duduk lalu berdiri mematung, Hati Devan begitu terguncang melihat pemandangan yang ada di depannya saat itu. Betapa tidak istrinya pingsan karena kejadian tadi. Tiba-tiba ponsel Devan berbunyi. "Ya.""Penyebab kebakaran, dugaan sementara oleh pihak Kepolisian korsleting listrik, Den" ''Yakin karena korsleting listrik? Aku minta selidiki lagi.""Baik, Den.""Aku gak mau tahu, cari penyebabnya."Devan mengepalkan tangannya ia ceroboh kenapa bisa ia kecolongan soal ini. Hampir saja nyawa istri dan anaknya terenggut
Si Mbok dan si Mbak berlari ke arah kamar Sarah setelah melihat kebakaran dari depan bagian bagasi rumah majikannya. "Kamu cek pintu keluar yang disamping biar aku panggil Non Sarah.''"Baik, Mbok."Wanita muda itu berlari ke arah samping rumah yang masih aman dari kobaran api. "Non Sarah, kebakaran!!" Si Mbok mengedor pintu kamar Sarah. "Non buka pintu, ayo keluar!" Lagi dengan kencang dan panik si Mbok menggedor pintu. Udara sejuk dari pendingin udara berganti jadi panas membara tiba-tiba. Sarah tersentak saat suara teriakan terdengar dari luar rumah memekakkan telinga. Jeritan bersahutan si Mbok dan Mbak itu terus menerus, begitu juga asap menghitam yang memenuhi ruangan. "Non buka pintu!" ucap si Mbok sambil terus batuk-batuk. Sesuatu menyekat pernapasannya. Kian lama rumah kian gelap, anehnya, celah di atas pintu depan rumah memancar cahaya merah yang menyala-nyala. "Ya Mbok.'' Sahut Sarah dari dalam. "Non kebakaran! Ayo cepat.''"Apa. Kebakaran!! Den Dev sudah berangkat?
Harum telur mata sapi semerbak. Wanginya yang khas dan sedap menggelitik hidung dan itu berhasil membuat Devan dan Shaka menelan ludah setelah selesai merapikan tenda untuk bermalam semalam. Devan, beranjak bangun Lantas merenggangkan tubuh sambil berjalan menuju wastafel, hendak mencuci tangan.Devan melihat istrinya muncul dari dapur melalui cermin, ia sedang membawa nampan berisi beberapa piring nasi goreng spesial. Istrinya itu terlihat segar dan berseri wajahnya pun tersenyum. Devan melihat lagi ke arah cermin. Di dalam sana terlihat istrinya itu sedang menyiapkan sarapan. "Sarapan dulu, Mas." Tawarnya. Devan terus memperhatikan istrinya dan terus menatapnya di balik cermin. "Ya." Devan masih menggosok tangan dengan sabun. Devan membilas tangan yang penuh busa dengan air dari kran wastafel. Kemudian mengelapnya dengan handuk kecil dan berjalan mendekati istrinya. "Kayaknya enak nih?''"Pastinya. Sayang Shaka ini sarapannya sudah siap." Panggil Sarah pada putranya. "Ya, Bund