"Ini aneh kan?" Ivan bertanya dengan Birru hanya terdiam tak menanggapi. Ivan belum berani memberitahu kalau ada kemungkinan Vero dan Dion ada hubungan. Sesuai perintah Dika, Ivan sudah menyuruh anak buahnya membuntuti Dion dan Vero selama keduanya ada di kota ini."Ada ada kemungkinannya?" Birru akhirnya balik bertanya. Meski dalam hati dia pun tak menampik kalau ada kecurigaan mengenai dua orang itu. Sikap Dion dan Vero terlalu ramah satu sama lain. Satu sikap yang justru menimbulkan tanya akan hubungan mereka sebenarnya. "Kemungkinan akan selalu ada pak bos. Walau nol koma sekian persen." Birru segera menatap sang co-asisten yang justru nyengir dipandang tajam oleh sang atasan.Ivan berperan sangat penting selama lima bulan dinas luarnya. Banyak hal yang Ivan lakukan untuk menjaga dirinya dari banyaknya mara bahaya yang mengintai. Lelaki itu pikir perlu memberikan bonus pada Ivan jika mereka kembali ke tanah air. Ivan keluar dari ruang kerja Birru, menerima pesan dari anak buahny
Nafas Zee tersengal tapi staminanya masih terjaga. Hari beranjak sore, kawasan kampus sudah sepi. Tak ada orang pun yang Zee jumpai sepanjang perjalanannya mencari Rona. Ponsel dia tidak punya, dia tidak tahu harus bagaimana.Yang dia tahu hanya berusaha mencari Rona. "Ya Allah, lindungi Rona." Doa itu berulang kali terlantun dalam hati Zee. Dia sungguh ingin menangis. Rasanya putus asa. Namun dia tidak mau menyerah. Dia harus menemukan Rona.Feeling Zee menuntunnya ke area belakang gedung yang sepi. Ada beberapa ruang kosong yang Zee tahu sering dijadikan tempat bolos oleh mahasiswa juga mereka yang ingin berbuat di luar aturan kampus.Berjalan mengendap-endap. Zee meminimalkan suara dari sepatunya sendiri. Dua ruangan kosong, dia tak menemukan apapun di dalamnya. Satu ruangan terkunci dari luar. Zee mengetuk pelan pintunya. Berharap Rona tak pingsan hingga bisa menjawab kode darinya. Tak ada respon, Zee beralih ke ruang keempat yang seketika membuat Zee menajamkan pendengarannya. S
Jepang. Bunyi benda jatuh membuat Ivan lari tergopoh-gopoh menuju dapur. "Ada apa pak bos?" Lelaki itu bertanya panik, gegas menolong Birru yang menekan dada kiri, dengan wajah memucat. Di kaki lelaki itu ada pecahan gelas. "Dadaku sakit Van," keluh Birru. Lelaki itu meringis, nyerinya tak tertahan. Diikuti rasa panas menjalar ke mana-mana. Ivan tentu kebingungan. Dia memapah Birru ke sofa di ruang tengah. Tangannya dengan sigap meraih ponsel, menghubungi dokter pribadi Birru."Ponselku Van," pinta Birru lirih. Tidak tahu kenapa, dalam keadaan sakit begini ada satu nama yang terlintas di wajahnya."Dokter otewe ke sini." Info Ivan. Sang co- asisten bergerak ke dapur. Membereskan kekacauan akibat ulah Birru. Sementara sang tuan gegas mendial nomor yang selama lima bulan ini nyaris tak terpikir olehnya. Panggilan terhubung tapi diangkat. Tidak sabaran, jemarinya mengetik sebuah pesan, yang mungkin sebentar lagi akan Birru sesali. "Gemoy, apa kamu baik-baik saja?" Entah kenapa, rasa ce
Alfa menerjang dua pria yang nyaris menjamah tubuh Zee. Pria itu kalap, dia menghajar mereka tanpa ampun. Darah Alfa mendidih melihat keadaan Zee yang berantakan. Sekilas dia melihat celana jeans sudah separuh jalan menuruni paha, untungnya Zee masih melapisi jeansnya dengan hot pants. Hingga paha putih mulusnya masih aman. Sementara kemeja Zee sudah robek bagian depan."Brengsek! Bajingan! Sialan!" Alfa menginjak perut dua pria itu bergantian. Membuat empat perempuan menjerit histeris. Darah muncrat dari mulut keduanya. Teriakan histeris mengalihkan perhatian Alfa. Lelaki itu bak serigala pemburu berganti target.Suara tamparan terdengar keras, empat kali membuat empat wanita itu tersungkur di lantai semen. Alfa tanpa perasaan menginjak tangan satu dari mereka. Si empunya tangan melolong kesakitan. Memohon ampun untuk dilepaskan."Ampun? Kalian tahu siapa yang kalian usik?" Suara Alfa bergetar menahan amarah. Belum pernah dia semarah ini pada dirinya sendiri. Dia merasa gagal melindu
Selang oksigen terpasang dengan Wafa sendiri menangani, dibantu seorang perawat wanita. Zee setengah sadar ketika Alfa membaringkannya di brankar. Lelaki itu mundur membiarkan Wafa menangani Zee. Saat itulah, Dika muncul dengan Rona yang terlihat pucat. Gadis itu pun segera mendapat penanganan. "Zee, mereka sempat memukul lehernya." Kata Rona lemah, sebelum memejamkan mata. Si perawat langsung menyampaikan pesan Ronaa pada Wafa yang segera menyiapkan rontgen sekalian CT scan jika diperlukan."Dia minta jangan memberitahu mereka." Alfa berbisik pada Dika."Gak bisa Al. Ini saja Birru yang nyuruh aku nyari Zee sendiri. Dia sepertinya punya bad feeling soal ini. Birru langsung dikasih obat tidur dan besok harus menjalani pemeriksaan jantung."Ucapan panjang kali lebar Dika membuat Alfa mengerutkan dahi. Sejak kapan Birru peduli pada Zee. Apa tadi? Birru harus melakukan cek up kesehatan jantung. Yang benar saja. "Begini saja. Jangan beritahu Birru, katakan saja kalau Zee tidak apa-apa j
"Aku ingin pulang." Birru bersikeras dengan keinginannya. Sementara Ivan yang sudah diberitahu kejadian sebenarnya, ditugaskan untuk menahan Birru selama mungkin."Yo, ndak bisa begitu. Selesaikan cek up jantungnya dulu. Memangnya pak bos mau Tuan Besar khawatir kalau pak bos melakukan pemeriksaan di sana. Sepintar apapun kita menyembunyikannya. Tuan Besar pasti akan tahu. Lagi pula tinggal tiga hari urusan kita sudah selesai."Ivan berusaha membujuk dengan nada sesantai mungkin. Padahal dia semalam ikut mengumpat brutal waktu video call dengan Dika. Di mana bos kecil Ivan menceritakan kejadian yang menimpa nyonya muda mereka."Rona tidur sama gemoy, dan si gemoy sudah tidur." Gemoy, gemoy! Nyonya sudah tidak gemoy lagi, pak bos. Nyonya sudah langsing, cantik, kinyis-kinyis. Ingin sekali Ivan menyela ucapan Birru. Sang asisten terkikik dalam hati. Bisa jadi Birru bakalan _fall in_ nanti kalau sudah pulang."Terus apa masalahnya. Siapa tahu nyonya lagi nglembur bikin tugas, terus minta
Hanya perlu dua hari, untuk mengembalikan mood Zee, selama itu ada Rona yang setia menemani. Juga Alfa yang kemarin berkunjung. Memanfaatkan kesempatan Birru tidak ada di rumah. Kalau lelaki itu ada, mereka bakal berakhir gelut. Meski Zee sampai sekarang tak tahu apa permasalahan keduanya.Rona pulang hari ini. Dua hari menginap tentu dia harus menengok kamarnya, apalagi keadaan Zee sudah membaik, jadi dia bisa pulang dengan tenang. Pukul sembilan malam, Zee tak bisa tidur.Serta ingatan Zee yang melayang pada pertemuannya dengan Vero kemarin di toko buku. Zee tersenyum melihat ekspresi kaget Vero. Wanita itu jelas terkejut melihat tampilan baru Zee. Tak banyak kata terucap dari Vero, tapi Zee yakin kalau perempuan itu pasti merencanakan sesuatu. Dan Zee harus mulai waspada. Tidak ingin kejadian kemarin terulang lagi.Mengingat beberapa hari ini dia tidak berolahraga. Pun rasa kantuk tak jua datang, Zee mengganti pakaiannya. Tank top khusus untuk olahraga dengan celana training. Lanta
Birru memicing sambil bersedekap, menatap sosok sang istri yang kini jauh dari bayangannya. Birru tentu mengumpat kenapa tak ada seorang pun yang memberitahu kalau Zee sudah berubah. Bertranformasi jadi seorang gadis yang sialnya baru saja Birru puji cantik."Sudah pulang?" Pertanyaan itu datang dari Zee, posisinya masih sama. Berdiri di sebelah tempat tidur dengan jarak setengah meter memisahkan keduanya. Ada debar halus dalam dada Birru kala melihat tampilan terkini istrinya."Baru saja landing dua jam lalu. Sengaja gak ngasih kabar." Balas Birru, netranya masih sibuk memindai tubuh Zee yang hanya memakai tank top dan training. Cukup mengekspose lekuk tubuh gadis itu.Tampak peluh masih membekas di seluruh tubuh Zee, Birru menduga kalau yang ada di ruang gym tadi adalah istrinya. Zee ber-ohh ria mendengar jawaban Birru. Dia sama sekali tak sadar kalau mata elang Birru sibuk menelisik dirinya. Hingga gadis itu berbalik, masuk ke kamar mandi, setelah pamit ingin membersihkan diri.Pi
Radit tak berkutik, lelaki itu kena marah Sita. Sekaligus kena hajar Nadia yang langsung menghadiahkan bogem mentah pada Radit. Gadis itu marah besar pada Radit yang dia pikir sudah melecehkannya."Jadi karena kejadiannya seperti ini, maka hari ini kami akan melamar nona Nadia." "A-apa? Tante mau melamar saya?" Nadia terkejut luar biasa saat Sita mengutarakan keinginannya. Sementara Radit tampak pasrah duduk di sofa tunggal ruang keluarga, masih mengenakan bath rope tanpa ada meinginan untuk mengganti pakaian.Pun dengan wajah lebamnya, dia biarkan begitu saja. Pria itu tak ada tenaga untuk meladeni dua wanita yang kemungkinan besar akan jadi sumber stres paling besar dalam hidupnya."Radit! Kamu jangan diam saja! Bantu mama bujuk nadia. Kan kamu yang berulah.""Apaan sih Ma. Baru nyicil cium doang mama sudah mengganggu. Sebal!" Sita dan Nadia kompak mendelik."Pokoknya Mama gak mau tahu, Mama mau lamarin Nadia buat kamu nanti malam.""Tapi Tante, mama Nadia ....""Tenang, mamamu sud
"Tolonglah Ma, ini tidak seperti yang Mama lihat."Radit merengek dengan tubuh bagian atas tanpa baju, bahkan gasper lelaki itu sudah berada di lantai dengan kancing celana terbuka. Zee buru-buru mundur, berlindung di belakang tubuh Birru. Sesaat mencuri pandang siapa yang tengah terbaring di kasur Radit."Tapi buktinya kamu memperkosa anak gadis orang Dit." Sita yang akhir-akhir ini mulai stabil mentalnya karena kasus Dion, tampaknya bakal terguncang lagi."Perkosa apa sih Ma, belum sempat buka ini. Belum keluar juga naganya. Dianya aja yang napsu, main tarik baju Radit."Zee menutup telinganya, amboi Radit ampun juga kalau ngomong sama mamanya. "Mas tolongin!" Radit memohon pada Birru dan Alfa bergantian. Giliran dua pria itu bertukar pandang. "Dia siapa?" Kamelia bertanya lirih. Perhatian semua orang teralihkan pada sosok yang telentang di ranjang Radit. "Bukannya dia Nadia Affandi, putri pengusaha Ramlan Affandi." Semua mata tertuju pada Mega yang selesai bicara."Busyet Dit, se
Dalam hidup selalu ada yang berubah. Semua hal bisa berganti mengikuti keadaan di sekitarnya. Atau berubah karena suatu hal. Ada orang yang ekonominya menjadi lebih baik saat dia bekerja lebih giat. Atau seseorang yang menjadi luluh karena perhatian orang lain.Dalam kasus ini, yang kita bicarakan adalah Zee. Rupanya usaha Birru tak sia-sia untuk mendapatkan cinta sang istri. Perempuan, bukankah makhluk ini sejatinya punya perasaan yang sangat lembut.Mudah tersentuh dengan perhatian lebih dari orang lain. Apalagi orang itu sekelas Birru. Lelaki yang masih jadi incaran kaum hawa di luaran sana. Bahkan ketika dia sudah mengumumkan kalau dia sudah punya istri dan sebentar lagi akan mendapatkan gelar ayah.Zee perlahan melunak ketika cinta dan kasih sayang Birru terus menyiraminya tiap saat. Zee yang dulu berangan ingin punya suami seorang pria yang setidaknya tahu soal ilmu agama, dibuat tercengang ketika tahu lelaki itu mampu melantunkan ayat dalam kitab suci mereka dengan merdu juga f
Alfa sesaat terdiam, melihat sosok Mega yang muncul di hadapannya. Tinggi dengan wajah oriental, rambut panjang diikat asal, tapi tetap terlihat cantik. Kulit putih, serta tubuh ramping. Yang membuat Alfa harus berdehem adalah wajah Mega yang mirip Selin dan Zee yang dijadikan satu."Apa-apaan ini?!" Alfa mengumpat lirih."Selamat siang, Pak. Saya Mega.""Semua sudah siap? Ayo berangkat." Alfa beranjak mengambil ponselnya. Berjalan mendahului Mega yang menghembuskan nafasnya pelan."Dia tidak ingat, ini bagus sekali." Mega melompat kegirangan. Keduanya duduk di mobil yang sama dengan Mega memilih duduk di depan, tidak mau duduk di samping Alfa.Selama perjalanan, Alfa dibuat berpikir keras soal sosok Mega. Siapa gadis ini sebenarnya? Kenapa Alfa seperti mengenalnya setelah dia mengamati Mega lumayan lama.Meeting berjalan lancar dengan kemampuan Mega membuat Alfa diam-diam memuji dalam hati. Kompeten, cakap dan pandai membaca situasi. Mr Han pun sangat puas dengan cara Alfa bernegosia
Yang pertama kali Birru lakukan untuk meluluhkan hati sang istri adalah melakukan presscon untuk mengukuhkan pengakuan Birru waktu acara fashion show mengenai statusnya yang sudah menikah dengan Zee.Birru begitu pandai memanfaatkan momen. Ketika media mulai santer menguliti kasus Dion, lelaki itu memanfaatkan waktu untuk membongkar pernikahannya. Hingga perhatian media dan masyarakat teralihkan.Tak melulu membahas kasus Dion, yang tentu saja akan menyeret nama Sita, Radit lantas nama keluarganya akan jadi topik bahasan panas di berbagai media sosial.Birru tak mau itu terjadi, karena itu dia perlu pengalihan isu. Dan pernikahannya adalah bahan yang sangat berpotensi untuk dikulik media. Benar saja, tagar pewaris Erlangga Grup sudah menikah menempati posisi pertama di sistem pencarian."Kamu manipulatif juga." Abdi yang sudah merasa lebih baik perasaannya, tersenyum lebar melihat perkembangan berita akhir-akhir ini."Aku anggap itu pujian." Birru menipiskan bibir. Melihat sang kakek
Zee menjauhkan diri dari Birru, begitu melihat Alfa mendekat. Malu luar biasa ketika crush-nya menangkap basah dirinya sedang berciuman dengan sang suami. Kan tidak ada yang salah dengan hal itu Zee. Dia kan suami kamu. Justru salah kalau Zee masih memikirkan pria lain dalam hidupnya."Ganggu saja!" gerutu Birru. Alfa tampak acuh melihat Birru tapi berubah lembut begitu berhadapan dengan Zee. Wajah lelaki itu tampak kusut, gurat lelah terlihat nyata di sana."Pergi sana! Gue mau curhat sama adik gue!" Alfa mengusir Birru, lelaki itu mendudukkan diri di sebuah kursi yang kesannya sengaja disiapkan. Tempat ini sepertinya memang sering dikunjungi. Ada set tempat duduk macam kursi taman, dengan bangunan peneduh. Sangat nyaman untuk digunakan.Zee mengamati Alfa yang terlihat tak baik-baik saja. Sebuah masalah agaknya sedang dihadapi Alfa. "Move on. Cari yang lain. Cewek kayak dia gak pantas elu tangisin." Celetukan tajam Birru menarik perhatian Zee. Ada apa sebenarnya.Alfa terdiam bebera
Zee terpaku menatap nisan sederhana yang ditempatkan di sebuah bangunan serupa pondok kecil. Sekeliling tempat itu dihijaukan dengan tanaman lily yang tumbuh subur dengan bunga berwarna putih mendominasi."Ini ....""Cyntia Hendrajaya, adik kak Alfa-mu. Dia meninggal, diduga dibunuh oleh Dion Mahendra, karena Tia tahu rahasia Dion yang telah menghabisi nenek." Birru berucap dengan wajah menunduk. Tak sanggup menahan laju air mata.Sementara Zee, wanita itu bergeming di tempatnya berdiri. Betapa menyedihkannya nasib Tia. Dan dia masih menambah penderitaan untuk Tia, dengan cemburu pada eksistensi sang gadis yang bahkan sudah tidak ada di dunia."Dia dibunuh pamanmu?""Digantung setelah Radit menidurinya, lebih tepatnya. Radit belum lama tahu kalau gadis yang dia lecehkan malam itu adalah Tia." Zee syok mendengar fakta sebenar mengenai Tia. Tak terbayangkan betapa sakit yang Tia rasakan. Kini perempuan itu tahu kenapa Radit terlihat sedih akhir-akhir ini."Maaf." Zee berucap lirih."Dan
"Ayah."Sita memanggil lirih pria tua yang duduk di sofa menghadap jendela, dengan wajah nelangsa dan putus asa."Ayah," panggil Sita lagi. Lelaki itu tidak merespon. Lebih suka memandang rerumputan yang tampak menyegarkan mata dibanding pemandangan muram ruang kerja Abdi.Netra lelaki itu basah, dia sudah menangis untuk waktu yang cukup lama. Menyesali diri dengan apa yang telah terjadi dalam keluarganya. Kehilangan keluarga ini sudah terlalu banyak, luka yang diakibatkan oleh kehilangan tersebut juga cukup dalam. Mereka yang pergi tak mungkin kembali."Aku dan ibumu pernah berjanji akan bersama sampai akhir. Aji dan Kamelia perlu usaha keras agar aku tidak ikut menyusul ibumu saat itu. Tapi apa yang kudengar hari itu, sangat melukaiku, Ta."Masih tidak menatap putri sulungnya. Bulir bening itu kembali datang, menciptakan sendu teramat perih untuk Abdi. Belahan jiwanya pergi dengan cara menyakitkan. "Aku tidak masalah jika ibumu pergi karena waktunya sudah habis, tapi dia! Berani se
Setelah perkara cilok yang penuh drama. Lelaki itu balik ke rumah sakit sekitar pukul sepuluh malam. Birru harus pergi ke rumah si penjual cilok. Memintanya membuatkan benda bulat dari tepung tapioka versus tepung terigu.Waktu kembali ke ruangan Zee, perempuan itu sudah tidur memeluk boneka beruang yang entah dari mana dia dapat. Lebih menyebalkan lagi, ketika Birru disuruh melahap ciloknya jika sudah datang."Kamu kelamaan sih. Ngambek kan yang punya hajat." Kamelia berujar lirih."Yaelah Ma, tukang ciloknya sudah gak pada eksis jam segitu di kampus. Terpaksa ke rumahnya. Terus ini gimana dong?" Birru menunjuk dua kresek bening berisi cilok dan kondimennya alias sambal kacang."Berikan ke perawat aja sana. Itung-itung sedekah, dari pada gak ada yang makan. Mumpung masih anget gitu.""Bagiin sana." Birru mendorong kresek itu ke dada Radit yang tiduran di sofa. Sepertinya lelaki itu memutuskan pulang ke kediaman utama, pun dengan Kamelia. "Kok aku sih Mas?" protes Radit."Tinggal an