Sahara masuk ke ruang makan dengan perasaan sedikit malu pada pegawai Roy. Terutama Rini. Karena mereka sesama wanita, Rini pasti paling mengerti apa yang dirasakannya. Rini mungkin menganggap dia gadis bodoh dan plin-plan yang mudah takluk pada Roy. Di lain sisi, setiap kesal pada Roy, dia juga tak mau merepotkan banyak orang, terlebih pegawai Roy. Mengingat Roy yang sepertinya memiliki mood yang gampang berubah tiap saat.
Sahara jatuh cinta pada Roy. Tapi dia juga tidak mau buta. Banyak sekali pertanyaannya yang belum bisa dijawab oleh pria itu. Roy sering mengalihkan pembicaraan tiap dia bertanya hal-hal serius. Soal sosok seseorang yang dicintai Roy di masa lalu, memang menyakitkannya. Tapi kalau Roy mau lebih terbuka, dia mungkin akan merasa lebih dihargai. Sayangnya, Roy selalu berbohong dan kerap marah. Hal itu membuatnya sakit hati. Tak apa kalau Roy tak mau jujur padanya. Dia akan mencari tau sendiri. Jadi, untuk sekarang Sahara memutuskan untuk bersi
Sesaat Irma berdiri mengawasi alat komunikasi yang digunakan Roy. Setelah memastikan percakapan itu berjalan lancar, dia meninggalkan atasannya sendiri.Roy adalah sahabatnya sejak kecil. Mereka seumuran dan keluarga mereka hidup berdampingan cukup lama. Tiga tahun Roy di Brasil, pria itu memintanya kembali mendirikan perusahaan di Indonesia. Dan Irma mengabdikan diri sebagai orang yang memegang kendali penuh terhadap perusahaan Roy selama pria itu belum kembali.Semua itu dilakukannya karena dia mencintai Roy sejak lama. Jauh sebelum seorang wanita bernama Shelly masuk ke dalam hidup pria itu. Irma ada dalam hampir setiap fase kehidupan Roy. Mendampingi dengan setia tanpa pernah berani menyatakan perasaannya.Dan kemungkinan besar, Irma memutuskan akan menyimpan perasaan itu selamanya. Roy pasti tahu akan hal itu. Dan melihat Roy tidak pernah membahas soal kehidupan pribadi padanya, Irma sadar kalau Roy hanya mengingink
Setelah Roy pergi, Irma bangkit dari kursi dan masuk ke ruangan atasannya. Ia memutari ruangan itu, mengamati segala benda yang terletak di sana. Apa yang membuat Roy membatalkan janji rapat penting untuk kembali ke rumah.Secara singkat, Irma mengetahui penyebab atasannya pulang pasti berkaitan dengan istrinya. Tapi, Roy tak pernah terlihat sangat panik seperti itu. Irma memandang apakah ada perubahan pada ruangan Roy. Lalu mata Irma tertuju pada letak tong sampah di sebelah meja Roy yang sedikit bergeser. Dia berjalan mendekati tong sampah dan menekan pijakannya dengan ujung sepatu.Irma memungut selembar foto dan melihatnya. Foto Roy dan Shelly. "Ternyata benar dugaanku. Kau masih menyimpan salah satu fotonya." Irma menggenggam foto itu dan membawanya keluar.Lima tahun yang lalu saat Roy mengganti dokternya, Irma diminta dokter itu memastikan bahwa Roy tak ada lagi menyimpan apa pun yang berkaitan dengan Shelly.
“Tapi foto itu memang sudah kubuang,” ucap Roy.Alisnya bertaut memandang Sahara. Bagaimana cara membuat gadis muda di depannya percaya? Apa dia harus meminta Irma kembali mencari foto itu? Apa Sahara merasa perlu memusnahkan foto itu sendiri? Tak mungkin, pikirnya. Dia sudah bertahun-tahun mengatakan pada Irma kalau dia sama sekali tak ada menyimpan apa pun yang berkaitan dengan Shelly. Meminta Irma mencarinya lagi akan membuat sekretarisnya itu melontarkan tatapan penuh cemooh padanya.“Sudahlah. Makan itu dulu. Ini pertama kali aku masak,” ucap Sahara, menunjuk mangkok yang baru diletakkannya.“Oke—oke, aku makan sekarang. Kamu duduk di sini,” pinta Roy, menarik kursi tinggi di dekatnya dan menuntun tangan Sahara agar duduk.Clara yang sedang membersihkan kompor dan peralatan bekas masak, berbalik menatap Roy. Namun ternyata Roy sadar akan hal itu. Dia men
“Aku malu. Turunin.” Sahara menepuk bahu Roy. Tapi pria itu tak mempedulikannya. Terus berjalan menuruni tangga dan kembali naik menuju kamarnya di sisi depan rumah.Roy membuka pintu dengan bahu. Berjalan menuju ranjang dan meletakkan Sahara di sana. “Sudah sampai. Jadi aku turunkan.” Roy menghela napas dan merapikan jasnya.“Aku nggak ngambek, Om. Kadang-kadang aku perlu waktu sendiri," ujar Sahara."Tunggu. Tenanglah duduk di sana sebentar.” Roy meraih ponselnya dari dalam saku jas. “Aku mau melihat email yang baru dikirimkan Novan.” Roy menggulir layar ponselnya. Menekuni foto-foto pernikahan yang dia juga sudah lupa seperti apa. Tak ada satu pun foto yang diambil di saat mereka tersenyum dan melihat kamera bersamaan.Salah satu foto terbaik yang bisa dicetak atau diberikannya pada Sahara adalah foto saat dia menyerahkan sebentuk cincin pada gadis i
Tok Tok TokNovan mengetuk pintu kamar Rini yang terletak di bagian depan bangunan khusus penginapan pegawai. Rini muncul di ambang pintu dengan rol rambut menjuntai di atas bahunya.“Foto kemarin? Udah selesai?” tanya Novan, melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar Rini.“Yang bilang kamu boleh masuk siapa?” tanya Rini pada kekasihnya. Dia kembali ke dalam dan kembali duduk di depan meja rias.“Jangan dingin banget. Aku kangen. Pak Roy sekarang lebih banyak diam. Ngomong ke aku cuma seperlunya aja. Kamu jangan ikutan kaya gitu.” Novan merebahkan tubuhnya di ranjang Rini.“Hari ini Sahara kuliah hari pertama. Gadis itu keliatan happy banget. Aku bisa bayangin perasaannya. Berminggu-minggu mengurung dirinya di bangunan depan dan sekarang akhirnya dia bakal punya kehidupan lagi.” Rini memandang Novan dari pantulan kaca cerminnya.
“Ini foto yang Anda minta, Pak.” Novan berdiri di sisi kiri Roy dan menyodorkan bingkai foto besar yang dibawanya dari kamar Rini.Roy menoleh pada suara langkah kaki yang datang mendekat. Sahara baru turun dari kamar. Gadis itu kembali mengenakan pakaian casual. Blus ketat dengan jaket jeans di atasnya. Juga celana panjang yang membuat Sahara terlihat seperti ABG.“Selamat pagi, Pak Novan,” sapa Sahara dengan ceria. Sudut matanya sempat melirik sekilas pada Roy yang sedang memperhatikannya.“Fotonya sudah selesai dicetak. Mau ditaruh di mana?” tanya Roy, memandang Sahara. Tangannya mengangkat tepian bingkai foto itu demi menunjukkan hal yang dibicarakannya.“Oh, udah selesai? Aku mau liat,” ucap Sahara, memutari meja makan dan berhenti di sebelah Roy. Dia lalu sedikit berjongkok memandang foto pernikahannya.“Mau ditaruh di m
“Kenapa bukan Rini yang memberi kabar? Kenapa bukan Sahara? Mereka punya ponsel. Harusnya mereka bisa mengabariku langsung.” Novan meracau seperti orang linglung.“Setidaknya kau bisa diam di belakang sana. Jangan buat kepalaku meledak. Harus cepat—kita harus cepat tiba di sana,” gumam Roy, memandang spion kanan dan kiri bergantian agar bisa cepat menerobos jalanan.Roy memotong kendaraan di depannya secepat yang bisa dia lakukan. Matanya dengan gesit berpindah antara ponsel yang dicampakkannya ke jok dan jalanan di depan.“Novan!” teriak Roy. “Sadar!” Sepuluh menit lagi kita sampai,” seru Roy menoleh ke belakang sekilas.Novan menegakkan tubuhnya. Sesaat tadi perutnya mual. Membayangkan mobil sedan ditabrak truk trailer yang rodanya bahkan tak bisa dihitung. Suara pengemudi tadi … suara pengemudi tadi terdengar sangat lemah. Bagaiman
Perjalanan yang ditunggu memang selalu terasa sangat lama. Biasanya jalan tol tak sepadat itu. Kendaraan tidak seramai itu. Hari itu semuanya terasa salah bagi Roy.Sudah tak terhitung berapa kali Roy mengendurkan dasi yang semakin lama terasa semakin mencekiknya. Mengingat bagian belakang mobil yang ringsek dan Sahara duduk di bagian itu, Roy tak berani membayangkan luka apa yang diderita gadis itu.Apa ini Thomas? Apa lawan bisnisnya yang lain? Mata Roy memerah karena amarah dan luka di hatinya seakan kembali dikupas. Kalau terjadi sesuatu pada Sahara, apa pun sesuatu itu, dia akan ikut mati. Dia pasti akan mati.Keringat terasa mengaliri punggungnya. Perut yang sudah lama tak dirasanya mual, terasa kembali bergejolak. Papan nama rumah sakit besar terlihat di kejauhan. Roy menekan pedal gas dalam-dalam. Menit berikutnya dia sudah melompat dari mobil dan berteriak di depan Instalasi Gawat Darurat.&
Suatu tempat di Pulau Bali. Roy baru saja menginjak usia empat puluh tujuh tahun saat itu. Matahari baru saja melorot dari puncak kepala saat Roy baru saja tiba dari Jakarta setelah hari terakhir rapat evaluasi tahunan. Pagi tadi dia mengunjungi kantor hanya untuk menutup agenda tahunan itu dengan sebuah pidato singkat, lalu kembali terburu-buru menuju airport untuk pulang ke rumah. Siang itu Novan melepasnya di airport dengan senyum simpul berkata, “Senang bisa melihat Anda dalam balutan jas setelah sekian lama. Saya benar-benar merindukan pemandangan ini.” Roy ikut memandang tubuhnya dari atas ke bawah. Memang benar. Dia sendiri terkadang merindukan saat-saat menyimpul dasinya dengan simetris dan meletakkan penjepit emas di bagian tengah. “Aku juga merindukan saat-saat harus berdandan rapi dan mentereng hanya untuk ke rapat harian. Tapi setelah lima hari di kota ini, aku lebih merindukan anak istriku,” sahut Roy tersenyum tipis. “Anda lebih santai dan terlihat lebih bahagia,” u
Roy mendorong paha Sahara agar membuka untuk dirinya. Lalu jemarinya tiba lebih dulu di bawah sana.Sahara memejamkan mata. Jemari Roy menuntunnya untuk terus membuka diri. Dia menikmati bagaimana jari Roy mengusapnya, menekannya dan membuatnya seakan terbang sejenak. Sahara menggeliat. Lalu tubuhnya menegang sejenak saat merasakan puncak kemaskulinan Roy mengusapnya. Mulut Sahara setengah ternganga menantikan dan tak lama lenguhan halus meluncur keluar dari bibirnya. Roy masuk perlahan, mendorong dan mengisi tubuhnya perlahan-lahan. “Mmmm,” lirih Sahara, menarik napas dan semakin melengkungkan tubuh untuk menerima Roy sepenuhnya.Telinga Sahara bisa mendengar napas Roy yang keras dan kasar. Seakan Roy merasakan kenikmatan yang sangat kuat hingga pria itu terlihat seperti kesakitan.Sahara memekik tertahan ketika jemari Roy kembali terjulur dan memijat di mana tempat mereka bersatu. Dia memang ingin disentuh di bagian itu. Sahara merintih. Tak lama serbuan kenikmatan itu berkumpul da
Dari ruang kerjanya di lantai satu, Roy tak lagi mendengar suara-suara dari luar. Ia baru saja membongkar lemari besinya dan mengambil beberapa lembar foto yang disukainya.“Akhirnya aku bisa meletakkan ini dalam pigura. Sungguh, aku baru sadar kalau aku sudah jatuh cinta padamu saat itu.” Roy memandang pigura foto berukuran jumbo yang baru saja disisipkannya foto Sahara. Foto ketika Sahara berulang tahun ketujuh belas sedang memeluk sebuket baby breath mengenakan blouse berwarna kuning. Dua hal yang paling disukai Roy sampai sekarang. Sahara mengenakan pakaian berwarna kuning dan tersenyum memeluk buket bunganya.Roy kembali memasukkan semua isi lemari besinya, lalu keluar ruangan itu dengan empat buah foto di tangannya. Tujuannya selanjutnya adalah kamar tidur. Sahara mungkin sudah terlelap kembali dan akan bangun tengah malam nanti. Dia akan memeluk istrinya seraya menunggu kantuk.“Lagi banyak pekerjaan, ya?” Sahara langsung menoleh saat pintu kamar terbuka.“Aku sengaja meningga
“Aku kira sudah tidur,” ucap Roy, membungkuk di atas pipi Sahara dan menenggelamkan hidungnya. “Jangan basa-basi. Kamu pasti tahu kalau aku sedang menunggu. Aku ngantuk, tapi mau tidur nanggung,” ucap Sahara, meletakkan telapak tangan kirinya ke pipi Roy. “Baiklah, aku mandi sekarang. Minggu depan aku sudah bersiap menyambut tangis bayi yang ingin menyusu di tengah malam.” Roy meninggalkan Sahara di ranjang dan pergi ke ruang ganti. Saat melintasi kamar dengan balutan bath robe, dia sengaja mengerling Sahara yang mengerjapkan matanya terkantuk-kantuk. Saat keran air menyala, Sahara mengeratkan pelukannya pada guling. Pandangannya cermat memperhatikan siluet tubuh Roy di balik dinding kaca yang beruap. Bahu yang lebar, lengan yang berisi dan pinggul yang kecil. Roy memang sangat seksi, pikirnya. Di tambah dengan lembaran rambut keperakan yang muncul di antara sisiran rambut Roy yang rapi. Rambut perak itu seakan disusun untuk memberi warna kedewasaan baru pada diri Roy. “Sudah tidu
“Kenapa dia jadi berubah begitu? Biasanya dia ramah denganku. Ramah dan santai. Sering cerita macam-macam soal pengalamannya kuliah di luar negeri. Tapi … tapi tadi terlalu kaku,” Sahara menoleh ke belakang tempat di mana seorang pria muda yang baru menyapanya dengan sebutan ‘Nyonya Smith’ menghilang. “Karena dia sudah memahami di mana posisinya sekarang. Bisa jadi ayahnya sudah menceritakan padanya bahwa mereka butuh untuk tetap bekerja sama dengan perusahaanku. Ini kelasmu, kan?” Roy menghentikan langkahnya di depan kelas yang bahkan Sahara juga lupa.Sahara menghentikan langkahnya di depan ruangan yang memang kelasnya. Di ruangan itu tak ada dua gadis yang dicarinya. Hanya ada teman yang tak bisa dikatakan benar-benar teman.“Mencari teman-temanmu? Mereka ada di kafetaria,” seru seorang gadis dari kursinya. Sahara tidak terlalu sering bicara dengan gadis itu. Dan gadis itu pun jarang bicara dengan siapa pun. “Hamil anak pertama? Kamu makin cantik, Ra.” Sahara sedikit terkesima. B
“Apa aku harus mengantarmu?" Roy meraih jas di tiang besi dan memakainya. “Kamu tidak boleh berangkat sendirian,” sambungnya.Sahara tak langsung menjawab pertanyaan suaminya karena masih sibuk mematut tubuh pada cermin besar di sudut kamar. Tangannya mengusap perut berkali-kali. Hal yang membuat bentuk kehamilannya terlihat jelas.“Perutku besar banget. Ya, Tuhan … kapan lagi aku bisa langsing,” gumam Sahara. Kali ini tangannya berada di bawah perut seakan menopang kehamilannya yang dalam waktu dua minggu lagi akan segera berakhir.“Oke, kalau begitu aku akan mengantarmu. Ayo, kita turun sekarang. Jangan bicarakan lagi soal kapan akan kembali langsing.” Sahara memandang Roy dari pantulan cermin dengan mulut mencebik. Sahara sudah cukup lama tidak datang ke kampusnya. Rini mengurus soal pembelajaran jarak jauhnya dengan baik sekali. Namun, untuk pengambilan nilai di akhir semester Sahara mengatakan ingin datang ke kampus menemui dua temannya. Dan dengan usia kehamilan yang bisa membu
Resepsi pernikahan Herbert dan Letta dilaksanakan di taman sebuah resor pinggiran kota. Roy mendanai lebih dari setengah biaya yang dikeluarkan untuk resepsi itu. Walau dia dengan tegas mengatakan akan menanggung semua, tampaknya Herbert dan Letta berusaha keras untuk meyakinkannya bahwa mereka juga punya tabungan. Malam itu Roy meminta staf khususnya untuk menjadi supir dan ajudan pribadi sebagai pengganti Novan dan Herbert. Dua orang babysitter turut menyertai langkah mereka saat memasuki venue. Sabina dan Elara melangkah ceria dengan gaun berwarna sama dengan Sahara, dalam genggaman tangan masing-masing pengasuhnya.“Cantik sekali dekorasinya,” ucap Sahara.“Kamu sedang memuji wanita yang membuatmu cemburu,” kata Roy mengingatkan.“Aku tidak terlalu buta melihat kelebihan orang lain meskipun aku tak menyukainya. Aku hanya mencoba realistis,” bisik Sahara.“Realistis,” ulang Roy.“Kalau aku tidak realistis, mungkin aku akan berpindah kamar saat mengetahui kalau wanita itu pernah ti
Novan melambatkan laju mobil saat tiba di jalan yang kanan-kirinya dipenuhi pohon jati. Mereka hampir tiba di gerbang besi tinggi. Setidaknya dia harus memberi waktu kepada atasannya untuk berpakaian dengan benar sebelum turun dari mobil nanti.Tiba di depan teras samping, Novan bahkan tak perlu turun untuk membukakan pintu mobil. Roy langsung keluar dan berjalan tergesa sambil memeluk Sahara yang terkikik-kikik dengan buket bunga dalam dekapannya. Keduanya langsung menuju anak tangga terbawah.“Seperti sepasang remaja jatuh cinta,” gumam Novan, lanjut melajukan mobil ke bagian belakang rumah.Langkah kaki Roy dan Sahara melambat di anak tangga paling atas. Keduanya kembali berciuman cukup lama. Sahara yang sedang mendekap bunga, membuka satu-persatu sepatunya tanpa melepaskan bibir dari pagutan Roy. Tubuh Sahara membelakangi pintu kamar dengan langkah kakinya yang mundur merangsek mendekati kamar yang dituju Roy.Malam itu, Sahara bahkan lupa dengan mualnya. Lupa bahwa biasanya pukul
Tak salah lagi kalau malam itu menjadi perjalanan pulang dari suatu tempat ke rumah yang terasa paling singkat dirasa Roy dan Sahara. Novan ternyata tak sampai menjemput atasannya ke dalam. Roy dan Sahara berada di depan lift lantai mezanin. “Tidak menunggu sampai selesai, Sir?” tanya Novan saat beradu pandang dari pintu lift yang terbuka. “Acara selanjutnya kuserahkan pada Herbert. Aku menjamin kalau Letta tak akan berani menolak lamaran itu. Letta pasti cukup sadar bahwa Herbert dipinjamkan nyaris seisi gedung hanya untuk melamarnya,” Roy memeluk pinggang Sahara dan membawa wanita itu masuk ke dalam lift. Novan mengangkat bahu. Benar juga. Saat atasan calon pengantin meminjamkan gedung untuk prosesi kebahagiaan mereka, apa salah satunya akan bertingkah? Mustahil, pikir Novan. Dia yang tadi keluar sejenak untuk menahan tombol lift, masuk kembali untuk membawa Roy dan Sahara kembali ke basement. Mobil yang ditumpangi mereka baru meninggalkan basement gedung. Roy mengatakan pada Nov