Hari-hari awal bersama Mahesa dipenuhi dengan keajaiban dan kekacauan. Mahen dan Arleta, sebagai orang tua baru, merasakan cinta dan kebahagiaan yang tak terlukiskan saat mereka menyaksikan tumbuh kembang bayi mereka. Setiap pagi, suara tangisan Mahesa menjadi alarm alami yang menyentak mereka dari tidur. Meskipun terkadang membuat mereka kelelahan, suara itu selalu diiringi dengan senyuman dan rasa syukur. Mahen sering bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan bagi Arleta, sementara Arleta bersiap untuk menyusui Mahesa. "Selamat pagi, bintang kecil kita," Mahen sering menyapa Mahesa dengan lembut saat mengganti popoknya. Mahesa, dengan matanya yang besar dan ceria, seolah memahami setiap kata yang diucapkan ayahnya. Arleta tidak pernah lelah mengagumi betapa cepatnya Mahesa tumbuh. "Lihat, Mahen! Dia sudah mulai tersenyum!" serunya suatu pagi saat Mahesa mengeluarkan senyum pertamanya. "Mungkin dia merasakan cinta kita," jawab Mahen sambil tertawa. Melihat Mahesa tersenyum ad
Pagi itu, matahari menembus jendela kamar tidur Mahen dan Arleta, menyapa lembut dengan sinarnya yang hangat. Suara burung berkicau di luar terdengar seperti nyanyian kebahagiaan, seolah-olah ikut merayakan kehidupan baru yang sedang mereka bangun. Mahen membuka matanya perlahan, lalu tersenyum saat melihat sosok Arleta yang sedang duduk di tepi ranjang, dengan Mahesa di pangkuannya."Sudah bangun, sayang?" tanya Arleta lembut, sambil membelai rambut Mahesa yang lembut.Mahen tersenyum dan meregangkan tubuhnya. "Aku tidak tahu bagaimana kamu bisa bangun lebih pagi dari aku setiap hari," ujarnya sambil bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah mereka.Arleta tertawa kecil. "Mungkin karena insting seorang ibu? Atau mungkin juga karena Mahesa suka membangunkanku setiap pagi," ujarnya sambil memandang bayi mereka dengan penuh kasih.Mahesa menatap Mahen dengan mata beningnya yang penuh rasa ingin tahu. Tangannya yang mungil terangkat, seolah-olah meminta ayahnya untuk mendekat. Me
Hari-hari berlalu dengan cepat. Mahesa tumbuh semakin besar dan mulai menunjukkan perkembangannya yang mengagumkan. Bagi Mahen dan Arleta, setiap senyum kecil dan suara tawanya adalah keajaiban yang tidak pernah mereka bosan saksikan. Meski bahagia, keduanya mulai merasakan tantangan-tantangan baru sebagai orang tua.Suatu pagi, Mahen duduk di ruang tamu sambil memeriksa beberapa dokumen pekerjaan di laptopnya. Dia sedang bersiap menghadiri rapat penting di kantornya siang nanti. Sementara itu, Arleta sibuk di dapur menyiapkan sarapan sambil sesekali mencuri pandang ke arah Mahesa, yang duduk di kursi bayi dengan mainan di tangannya.Tiba-tiba, suara tangisan keras terdengar dari Mahesa. Arleta buru-buru menghampiri, meninggalkan panci yang masih di atas kompor. Mahen juga langsung menutup laptopnya dan mendekat.“Ada apa, sayang? Kamu kenapa?” Arleta memeriksa Mahesa, yang tampak kesakitan sambil memegangi telinga mungilnya.Mahen menatap Arleta dengan wajah khawatir. “Ini perta
Pagi itu, suasana di rumah Mahen dan Arleta terasa lebih cerah dari biasanya. Mahesa tampak lebih aktif dan ceria setelah seminggu mengalami infeksi telinga. Senyumnya kembali menghiasi ruangan, membuat segala kepenatan yang sempat dirasakan Mahen dan Arleta seolah lenyap dalam sekejap. Arleta, yang kini mulai bisa kembali menikmati rutinitas paginya, duduk di ruang tamu sambil memangku Mahesa.“Kamu hari ini lebih segar, Nak. Sudah siap bermain sama Mama?” bisik Arleta dengan nada lembut, membuat Mahesa tertawa kecil sambil meraih wajah ibunya.Mahen yang baru keluar dari kamar tidur melihat pemandangan itu dan tersenyum. “Kalian berdua ini benar-benar pasangan yang serasi. Aku jadi cemburu.”Arleta tertawa kecil. “Yah, mungkin karena Mahesa tahu siapa yang lebih sabar di antara kita.”Mahen pura-pura memasang wajah kecewa, kemudian berjalan mendekat dan mencium kepala Mahesa. “Hei, Mahesa, kamu harus tahu bahwa Papa juga jago bermain, loh. Jangan lupa kasih perhatian ke Papa ya
Liburan singkat di Puncak telah menjadi momen menyegarkan bagi Mahen, Arleta, dan Mahesa. Namun, kejutan lain menanti mereka sesampainya di rumah. Setelah menyusun kembali barang-barang, Arleta menemukan sebuah kotak kecil di meja ruang tamu yang sebelumnya tidak ada. Kotak itu terbungkus rapi dengan pita biru dan secarik kartu kecil."Mahen, kamu ada pesan paket?" tanya Arleta sambil mengangkat kotak itu.Mahen, yang sedang bermain dengan Mahesa, mengernyit bingung. "Aku tidak pesan apa-apa. Mungkin dari orang kantor?"Arleta membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya terdapat sebuah kotak musik kayu antik dengan ukiran indah, bersama sebuah surat kecil bertuliskan.“Untuk keluarga kecil yang bahagia, semoga terus tersenyum di tengah badai. Jangan lupa untuk menghargai setiap langkah perjalanan kalian.”Surat itu tidak menyebutkan pengirimnya. Arleta dan Mahen saling menatap, bingung namun juga penasaran.“Ini aneh,” ujar Arleta pelan. “Siapa yang mengirim ini?”Mahen menggeleng samb
Hari-hari berlalu setelah kejadian itu, namun kotak musik dan pesan dari Ana masih terus membayangi pikiran Arleta. Meski Mahen telah berulang kali meyakinkannya bahwa masa lalu itu tidak penting, ada sesuatu yang membuat Arleta sulit sepenuhnya tenang. Perasaan bahwa masa lalu Mahen seolah kembali hadir di tengah kehidupan mereka membuatnya gelisah.Pada suatu malam, setelah Mahesa tertidur lelap, Arleta memutuskan untuk membuka percakapan lagi. Kali ini, dia ingin benar-benar mendalami apa yang terjadi di antara Mahen dan Ana di masa lalu.“Mahen,” panggil Arleta pelan, membangunkan Mahen yang setengah tertidur di sofa.“Hm?” Mahen mengusap wajahnya, mencoba fokus. “Ada apa, Sayang?”“Aku ingin tahu lebih banyak tentang Ana,” kata Arleta tanpa basa-basi.Mahen menghela nafas panjang. Pria itu tahu pembicaraan ini belum selesai, dan mungkin tidak akan selesai sampai semua pertanyaan Arleta terjawab.“Apa yang mau kamu tahu?” tanyanya, kali ini dengan nada lebih serius.Arleta men
Hari-hari berlalu setelah pertemuan Arleta dan Ana di kafe. Meski percakapan itu memberikan kejelasan, Arleta tetap tidak bisa sepenuhnya melupakan sosok Ana. Wanita itu bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang belum terungkap, sesuatu yang mungkin Mahen sembunyikan darinya.Sementara itu, Mahen tampak berusaha lebih keras untuk membangun kembali kepercayaan istrinya.Dia semakin sering membantu mengurus Mahesa, meluangkan waktu lebih banyak bersama keluarga, dan selalu memastikan bahwa Arleta merasa diperhatikan. Namun, di tengah upayanya itu, ada rasa khawatir yang diam-diam mengusiknya.Suatu sore, ketika Mahen sedang di kantor, Arleta menerima sebuah amplop tanpa nama yang diselipkan di bawah pintu rumah mereka. Dengan rasa penasaran bercampur was-was, Arleta membukanya. Di dalamnya terdapat foto-foto lama Mahen dan Ana, tampak mesra di sebuah acara yang jelas bukan sekadar pertemuan teman biasa.Hati Arleta mencelos. Dia merasa dikhianati lagi, meski Mahen tidak pernah mengaku
Setelah pertemuan dengan Ana, suasana rumah kembali tenang. Namun, di balik ketenangan itu, baik Mahen maupun Arleta tahu bahwa hubungan mereka masih membutuhkan waktu untuk benar-benar pulih. Mahesa, dengan tingkah lucu dan polosnya, menjadi pengikat hati mereka berdua.Malam itu, ketika Mahesa sudah tertidur pulas di kamarnya, Arleta duduk di balkon rumah mereka. Angin malam berhembus lembut, mengiringi pikirannya yang melayang-layang. Arleta teringat tatapan Ana saat pertemuan itu. Ada rasa sakit di mata wanita itu, tetapi juga ada tekad untuk melepaskan.Mahen keluar dari kamar, membawa dua cangkir teh hangat. Pria itu tahu istrinya sedang berpikir keras.“Tehnya untuk kamu,” kata Mahen, menyerahkan secangkir teh kepada Arleta.“Terima kasih,” jawab Arleta pelan, menerima cangkir itu dengan senyuman kecil.Mereka duduk berdampingan di bawah langit malam yang bertabur bintang. Untuk sesaat, tidak ada kata-kata yang terucap. Hanya suara angin yang menemani mereka.“Aku tahu sem
Mahesa berdiri di pinggir jurang, memandang ke kejauhan, ke arah dunia yang terbentang luas. Dunia yang telah dia selamatkan, namun kini terasa jauh berbeda, seolah-olah seberkas cahaya dan bayangan bercampur dalam dirinya. Kekuatan Pohon Kehidupan yang telah mengalir di tubuhnya selama ini berpadu dengan kekuatan Bayangan Abadi, warisan dari leluhur yang terpendam jauh di dalam dirinya. Dia merasakan dua sisi yang bertarung dalam dirinya, cahaya yang membawa kehidupan dan bayangan yang membawa kegelapan. Seiring dengan berjalannya waktu, Mahesa menyadari bahwa dirinya kini bukan hanya seorang manusia biasa, tetapi juga penjaga antara dua dunia: dunia yang terang dan dunia yang gelap. Pohon Kehidupan, yang telah lama menjadi pusat keseimbangan di dunia ini, kini memiliki tugas baru, menjaga keseimbangan antara keduanya. Namun, tidak ada yang pernah mempersiapkan Mahesa untuk peran yang lebih besar daripada yang dia bayangkan. Kekuatan yang ada padanya bukan hanya milik dirinya, tet
Langit di atas Pohon Kehidupan mulai berubah, berlapis warna keemasan yang memancar seperti aurora. Namun, ada ketegangan yang merayap di udara, menciptakan rasa genting yang tidak bisa dijelaskan. Arleta dan Mahen berdiri di depan pohon itu, memandangi sesuatu yang baru saja mereka temukan—sebuah artefak kuno berbentuk orb kristal yang bersinar lembut.Nyai Sekar, yang berdiri di belakang mereka, tampak gelisah. “Ini adalah Artefak Kebangkitan,” katanya dengan nada berat. “Ia memiliki kekuatan untuk membawa kembali roh yang terikat dengan Pohon Kehidupan ke dunia nyata. Tetapi ada harga yang harus dibayar.”Arleta menatap artefak itu dengan campuran harapan dan ketakutan. “Apa harganya, Nyai?”Nyai Sekar menggeleng perlahan. “Membawa kembali satu jiwa akan mengganggu keseimbangan dunia. Kegelapan akan mendapat jalan untuk merasuki dunia ini, lebih kuat dari sebelumnya.”Mahen mengepalkan tangan, menatap artefak itu dengan mata penuh tekad. “Dia adalah anak kami. Jika ada kesempatan u
Pohon Kehidupan berdiri megah di tengah hutan lebat, cabang-cabangnya menjulang tinggi ke langit, dan daunnya bersinar lembut, memancarkan kehangatan yang menenangkan. Namun, sejak pengorbanan Mahesa untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran Bayangan Abadi, ada perubahan yang sulit diabaikan. Pohon itu tampak lebih hidup dari sebelumnya, dan bunga-bunga liar bermekaran di sekitar akarnya dengan warna-warna cerah yang tidak biasa.Arleta duduk di akar pohon, tangannya memegang kelopak bunga biru yang baru saja ia petik. “Mahen,” panggilnya, suaranya lembut tapi penuh kerinduan. “Aku merasa seperti dia masih di sini.”Mahen, yang berdiri tidak jauh darinya, memandang istrinya dengan mata yang penuh kesedihan dan cinta. “Aku juga merasakannya,” jawabnya. “Semua ini... keanehan yang terjadi sejak Mahesa pergi, seolah-olah dia masih berusaha berbicara kepada kita.”Malam itu, saat mereka tidur di rumah sederhana yang mereka bangun tak jauh dari Pohon Kehidupan, Arleta bermimpi. Dalam mimpi
Langit masih dihiasi semburat jingga saat Mahesa membuka matanya perlahan. Tubuhnya terasa ringan, namun hati dan pikirannya penuh dengan beban keputusan yang harus diambil. Pohon Kehidupan berdiri di depannya, memancarkan cahaya lembut, seperti sebuah lentera yang tetap menyala di tengah malam tergelap.Suara lembut Nyai Sekar memecah keheningan. "Mahesa, kau telah menunjukkan keberanian yang luar biasa. Namun, perjalanan ini belum selesai."Mahesa menatap Nyai Sekar dengan mata penuh tekad. "Aku akan melakukan apa saja untuk melindungi dunia ini, meskipun itu berarti aku harus kehilangan segalanya."Nyai Sekar tersenyum tipis, tetapi kesedihan tampak di matanya. "Terkadang, melindungi berarti memilih untuk hidup dan bertahan, bukan mengorbankan segalanya. Kau harus belajar bahwa harapan tidak hanya berasal dari pengorbanan, tapi juga dari keberlanjutan perjuangan."Mahesa terdiam, hatinya bimbang. Ia tahu betul bahwa Bayangan Abadi masih menunggu untuk dihancurkan, namun pertanyaan
Arleta dan Mahen berdiri di tengah reruntuhan jembatan yang baru saja mereka lewati. Suasana sunyi, hanya suara napas mereka yang terdengar di antara kepulan debu dan kilauan cahaya samar dari Pohon Kehidupan yang kini mulai meredup. “Aku tidak bisa kehilangan dia lagi, Mahen,” kata Arleta, suaranya pecah di tengah isak tertahan. “Mahesa adalah alasan kita ada di sini.” Mahen menggenggam tangan Arleta erat, matanya menatap jauh ke arah tempat Mahesa dan Lirya menghilang. “Kita akan menemukannya. Aku janji. Tapi kita harus tetap fokus. Lirya semakin kuat, dan waktu kita tidak banyak.” Di depan mereka, sebuah jalan setapak yang penuh dengan akar bercahaya mulai terbuka, seolah Pohon Kehidupan memberi mereka petunjuk. Tanpa ragu, mereka melangkah maju, meski tubuh mereka masih terasa lemah akibat serangan terakhir Lirya. Semakin jauh mereka berjalan, suasana berubah semakin mencekam. Cahaya yang sebelumnya lembut kini berubah menjadi redup, hampir seperti nyala lilin yang hampir p
Mahen dan Arleta berdiri di depan gerbang besar yang bercahaya redup. Angin dingin menerpa wajah mereka, membawa bisikan halus seperti suara ribuan jiwa yang terperangkap di dalam. Di balik pintu itu adalah dunia yang tidak mereka kenal, namun takdir telah membawa mereka ke sini.Arleta menggenggam tangan Mahen erat, tatapannya penuh dengan keteguhan meskipun hatinya berdebar hebat. “Kita harus lakukan ini bersama. Aku tidak akan membiarkanmu melakukannya sendirian.”Mahen menatap istrinya, mencium keningnya lembut. “Apa pun yang terjadi, kita akan melawan bersama.”Panji berdiri di belakang mereka, wajahnya serius. “Gerbang ini akan membawa kalian ke inti Pohon Kehidupan. Tapi ingat, ujian yang menanti di dalamnya akan menguji cinta, kepercayaan, dan keberanian kalian. Jangan pernah terpisah, karena itulah kelemahan terbesar kalian.”Keduanya mengangguk, lalu melangkah masuk ke gerbang.Begitu mereka melewati gerbang, dunia di sekitar mereka berubah drastis. Cahaya lembut berwarna em
“Mahesa...” bisik Arleta, langkahnya terhenti saat menatap putranya. Air mata mengalir deras di wajahnya. Wajah Mahesa, yang dulu ceria dan penuh cinta, kini tampak dingin dan tak berjiwa.Namun, apa yang lebih menusuk hatinya adalah tatapan kosong itu, tatapan yang tak lagi mengenalinya.“Pergi,” suara Mahesa dingin dan berat, seperti bukan berasal dari dirinya. “Kalian tidak diinginkan di sini.”Mahen mencoba melangkah maju meski tubuhnya lunglai. “Mahesa, ini ayahmu. Ini ibumu yang selalu mencintaimu. Kami melakukan segalanya untuk membawamu kembali.”Mahesa tidak bergeming. Tangannya terangkat, dan seketika gelombang energi menghantam Mahen hingga terhempas ke tanah.“Mahen!” jerit Arleta, berlari ke arah suaminya. Ia berlutut, memeluk tubuh Mahen yang terguncang akibat serangan itu.Mahen menatap Arleta, mencoba berbicara meski suaranya serak. “Dia... dia bukan lagi anak kita. Ada sesuatu yang menguasainya.”Tawa sinis menggema di ruangan itu. Lirya muncul dari balik bayangan, me
Hari-hari setelah serangan Lirya berlalu dengan perlahan. Pohon Kehidupan masih berdiri tegak, meskipun aura yang dipancarkannya mulai melemah. Mahen dan Arleta semakin waspada, menyadari bahwa kekuatan gelap bisa menyerang kapan saja.Namun, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Mahesa tidak lagi memberikan tanda. Cahaya pohon itu semakin redup, seolah-olah terhubung dengan sesuatu yang semakin jauh.“Sekar, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Mahen suatu malam, ketika mereka duduk di ruang kerja.Sekar menghela napas panjang. “Aku takut... Mahesa mungkin tidak lagi berada di dunia antara. Jika itu benar, maka dia mungkin sudah ditarik ke inti Pohon Kehidupan. Itu adalah tempat di mana roh-roh dipersiapkan untuk dilahirkan kembali.”“Lahir kembali?” bisik Arleta, hatinya mencelos.Sekar mengangguk. “Ya, itu berarti dia akan dilahirkan di dunia yang berbeda, tanpa ingatan tentang kalian. Kalian hanya memiliki sedikit waktu untuk menyelamatkannya sebelum itu terjadi.”Di tengah kebingungan
Keluarga Mahen kembali ke rumah mereka dengan hati yang berat. Kehilangan Mahesa seperti luka yang terus menganga, meskipun harapan dari Pohon Kehidupan mereka genggam erat.Arleta duduk di ruang tamu, memandangi foto Mahesa yang tergantung di dinding. Wajah kecil itu, dengan senyum polosnya, kini menjadi kenangan yang menghantui. Air mata jatuh perlahan di pipinya, namun ia tetap diam.Mahen berdiri di dekat jendela, menatap gelapnya malam. Angin dingin menyapu wajahnya, seolah dunia luar tak peduli pada rasa sakit yang kini melanda keluarganya.“Mahen,” suara Arleta bergetar, memecah keheningan. “Kau yakin... dia akan kembali?”Mahen menoleh, matanya merah oleh kelelahan dan emosi yang tertahan. Pria itu berjalan mendekati istrinya, duduk di sampingnya, dan menggenggam tangan Arleta.“Kita harus percaya, Arleta. Mahesa berkata dia akan kembali, dan aku yakin dia akan menepati janjinya,” katanya dengan suara tegas, meski di baliknya ada ketakutan yang tak terucap.Namun, kepercayaa