Bab: Bayangan Masa DepanMalam itu, Mahen, Arleta, dan Mahesa duduk bersama di ruang keluarga. Mahesa tampak lelah setelah pengalaman aneh yang baru saja dialaminya, tetapi senyumnya menunjukkan bahwa dia merasa bahagia dan puas."Mahesa, kamu tahu, Ayah sama Bunda bangga sekali sama kamu," kata Mahen sambil mengusap kepala putranya. "Tapi Ayah masih kepikiran tentang ukiran di pohon tadi. Apa maksudnya, ya?"Mahesa mengangkat bahu kecilnya. “Aku juga nggak tahu, Yah. Tapi aku rasa, pohon itu memang nggak biasa. Aku merasa kayak pohon itu tahu banyak tentang kita.”Arleta, yang sedang menuangkan teh hangat, berhenti sejenak. “Kamu yakin nggak ada yang kamu sembunyikan dari kami, Mahesa? Semua yang terjadi hari ini benar-benar di luar logika.”Mahesa menggeleng. “Aku nggak sembunyiin apa-apa, Bun. Tapi aku merasa ada sesuatu yang belum selesai. Kayak… aku masih harus kembali ke pohon itu suatu hari nanti.”Mahen dan Arleta saling berpandangan. Percakapan ini membuat mereka gelisah, t
Pagi itu, setelah malam yang penuh ketegangan, suasana rumah Mahen dan Arleta dipenuhi kebisuan. Pohon besar di taman belakang berdiri kokoh, tampak biasa saja, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Namun, di hati setiap anggota keluarga, mereka tahu sesuatu telah berubah.Mahesa, yang biasanya memulai hari dengan riang, kali ini duduk termenung di meja makan. Piring sarapannya hampir tak tersentuh. Arleta, yang memperhatikan putranya, merasa resah.“Mahesa, kamu baik-baik saja?” tanya Arleta dengan nada lembut.Mahesa mengangkat bahu kecilnya. “Aku cuma kepikiran. Tadi malam itu nyata, kan? Semua yang aku lihat, yang kita alami?”Mahen, yang sedang menuangkan kopi, menghentikan gerakannya. “Ya, Mahesa. Itu nyata. Dan Ayah nggak suka kamu harus terlibat dalam semua ini.”“Tapi aku merasa… aku harus melakukannya, Yah,” jawab Mahesa, suaranya pelan tetapi tegas.Mahen menatap putranya dengan sorot mata campuran antara bangga dan khawatir. “Kamu masih anak-anak, Nak. Beban ini terlalu ber
"Maaf Tuan. Saya tidak sengaja."Ucap Arleta dengan nada memohon kepada seorang laki laki yang baru saja bertabrakan dengannya."Maaf katamu!" Bentak pria yang biasa tuan Mahen itu."Lihat! Lihat!" Mahen menunjuk baju yang basah karena tersiram oleh Arleta..Arleta hanya menundukan kepala karena takut dengan laki laki di hadapannya.Padahal baru hari ini Arleta bisa bekerja sebagai OG di salah satu perusahaan hotel ternama di kotanya, itupun karena bantuan seorang teman yang sudah lama bekerja di di hotel ini. Namun dia sudah mendapat masalah.Seperti sekarang ini, mungkin tadi Arleta berjalan dengan terus menundukan kepalanya sampai tidak tahu ada orang di depannya.Sialnya orang itu adalah Mahendra Sky salah satu pelanggan VIP di hotel ini."Maafkan saya Tuan. Maafkan saya." Arleta terus berusaha untuk memohon maaf. Namun Mahen kali ini tidak menjawabnya. Tanpa mengatakan apapun Mahen berlalu dari sana. Arleta masih berdiri terpaku dengan wajah pucat dan tubuh gemetaran. Se
Arleta berjalan gontai melangkah masuk kedalam rumah. Menjatuhkan bobotnya di kursi usang yang ada di ruang tamu.Arleta menyandarkan punggung di sandaran kursi, berkali-kali Arleta menarik nafas panjang, kemudian menghembuskan dengan perlahan.Hal itu Arleta lakukan untuk menetralisir rasa sesak di dalam dada." Huhf. Sial bener hari ini, padahal aku sudah berharap bisa dapat gaji yang lumayan,tapi itu hanya mimpi saja! Sekarang bagaimana aku mendapatkan uang!" keluh Arleta." Kenapa orang tadi sombong banget, kesalahan aku yang tak seberapa tapi aku pria menyebalkan itu bisa membuat aku dipecat saja. Ck! Menyebalkan!" umpat Arleta kembali.Di balik Arleta itu merasa sangat sedih dengan apa dialaminya. Tapi walau bagaimana? Arleta meyakinkan dirinya sendiri untuk tidak boleh menyerah dengan keadaan.Brak!Brak!Arleta terlonjak kaget, saat pintu rumahnya diketuk dengan kasar.Arleta segera bersembunyi di bawah kolong ranjang miliknya.Tubuhnya bergetar hebat, saking takutnya. Arlet
Tidak menyangka hari hari Arleta akan menjadi seperti ini, dia dibuat ketakutan dengan kedatangan pria tua Bangka itu.Andai waktu bisa diputar, Arleta akan memilih bekerja daripada sekolah. Mungkin kejadian ini tidak akan pernah terjadi. Tapi sekarang, tinggalah penyesalan.Arleta meneteskan air mata, mengingat hal itu. Jika saja Arleta mempunyai ibu seperti anak-anak yang lain, mungkin saat ini Arleta tidak akan melewati hari-hari beratnya sendiri.Tapi takdir berkata lain. Arleta harus kuat demi masa depannya sendiri. Arleta tidak boleh menyerah! Tidak boleh!Dalam kesendiriannya, pikiran Arleta menerawang jauh sebelum kepergian ayahnya.‘’ Leta. Maafkan ayah, ayah tidak mampu menyekolahkanmu sampai perguruan. ‘’ ucap ayah dengan sendu.Arleta menoleh, lalu tersenyum.’’Arleta tidak apa-apa kok yah, terimakasih sudah berjuang selama ini.’’ Jawab Arleta dengan air mata yang sudah bercucuran.Arleta merengkuh tubuh kurus ayahnya.Ya. Pria yang sudah berjuang keras membesarkan Arlet
“Ja-jaminan.” ucap Arleta tergagap.Bagaimana bisa, ayahnya menjadikan Arleta jaminan? Arleta bukan barang! Yang bisa seenaknya diberikan pada orang, sebagai jaminan hutang.Lalu Arleta menggeleng,” Tidak! Pasti ini bohong!” Arleta masih menyangkal kenyataan yang baru saja dia ketahui.“Ini asli Arleta. Disana terdapat tanda tangan ayahmu.” tunjuk pria tua itu.Mata Arleta mengikuti arah tangan bos rentenir ini. Memang benar disana ada tanda tangan ayahnya.Bahkan dalam surat itu tertulis jika ayah Arleta mendatangi ini surat ini dengan sadar dan tanpa paksaan dari siapapun.“Begini saja, tuan. Saya janji akan melunasi hutang ayah, tapi..”“Tapi apa!” potong Pria tua itu.“Tapi saya minta waktu, setelah saya mendapatkan pekerjaan, saya akan mencicilnya.” jawab Arleta. Dia terus menundukan kepala.“Tidak bisa! Kau akan menjadi istri ke 5 ku! Dan kau tidak bisa menolak, ayahmu sendiri yang sudah memberikanmu padaku!” bentaknya, dengan suara tinggi. Arleta semakin menundukan wajah,
Sesuai arahan Arleta langsung pergi ke ruang ganti bersama seorang kepala OB di sini.“Ini seragammu. Semoga betah.” ucapnya. Sambil menyodorkan baju pada Arleta.Arleta menerima baju itu.” Terimakasih, nama ku Arleta.” Kini giliran Arleta yang mengulurkan tangan.“Ami.” sahutnya, sambil menerima uluran tangan Arleta.“Cepatlah ganti. Nanti langsung saja pergi ke dapur. Disana kamu akan tahu pekerjaanmu nanti.” titahnya, setelah itu Ami langsung pergi meninggalkan Arleta.Setelah Ami keluar, Arleta langsung mengganti pakaiannya dengan seragam baru. Arleta tersenyum menatap dirinya di cermin.“Semoga kali ini, tidak ada halangan dalam pekerjaanku. Dengan begitu aku akan segera mendapatkan uang untuk membayar hutang.” “Semangat Arleta! Ingat! Jangan buat kesalahan lagi!” ucap Arleta menyemangati dirinya sendiri. Setelah itu Arleta langsung keluar dari ruang ganti dan berjalan menuju dapur dengan semangat empat lima.Tiba di pintu dapur Arleta menghentikan langkahnya sebentar. Dia mena
Laki-laki yang Arleta ketahui bernama tuan Mahendra itu melotot menatap Alana, yang juga sedang menatapnya. Namun dengan tatapan penuh kekhawatiran.‘Astaga! Kenapa bisa ada orang ini disini? Kalau sampai dia bilang sama yang punya perusahaan aku bisa kehilangan pekerjaan lagi.’ batin Arleta.“Hey! Kenapa kau ada disini!” bentak Mahen.Arleta terlonjak, kemudian menundukan pandangan.“Ma_maaf tuan. Sa_saya sedang beekerja disini.” jawab Arleta dengan tergagap. Lalu Arleta memberanikan diri mengangkat wajah, menatap laki-laki yang sedang memelototinya dari tadi.Arleta menjatuhkan alat kebersihannya begitu saja, lalu berlutut di hadapan Mehendra.“Tuan saya mohon maaf, atas kejadian tempo lalu. Saya mohon tuan, jangan bilang sama orang yang punya perusahaan ini, saya tidak ingin di pecat lagi tuan. Saya benar-benar sangat membutuhkan pekerjaan ini.” Arleta memohon dengan kedua tangan di tanggupka di depan dada.Pria itu tetap diam.‘Oh. Rupanya dia belum tahu kalau aku pemilik
Pagi itu, setelah malam yang penuh ketegangan, suasana rumah Mahen dan Arleta dipenuhi kebisuan. Pohon besar di taman belakang berdiri kokoh, tampak biasa saja, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Namun, di hati setiap anggota keluarga, mereka tahu sesuatu telah berubah.Mahesa, yang biasanya memulai hari dengan riang, kali ini duduk termenung di meja makan. Piring sarapannya hampir tak tersentuh. Arleta, yang memperhatikan putranya, merasa resah.“Mahesa, kamu baik-baik saja?” tanya Arleta dengan nada lembut.Mahesa mengangkat bahu kecilnya. “Aku cuma kepikiran. Tadi malam itu nyata, kan? Semua yang aku lihat, yang kita alami?”Mahen, yang sedang menuangkan kopi, menghentikan gerakannya. “Ya, Mahesa. Itu nyata. Dan Ayah nggak suka kamu harus terlibat dalam semua ini.”“Tapi aku merasa… aku harus melakukannya, Yah,” jawab Mahesa, suaranya pelan tetapi tegas.Mahen menatap putranya dengan sorot mata campuran antara bangga dan khawatir. “Kamu masih anak-anak, Nak. Beban ini terlalu ber
Bab: Bayangan Masa DepanMalam itu, Mahen, Arleta, dan Mahesa duduk bersama di ruang keluarga. Mahesa tampak lelah setelah pengalaman aneh yang baru saja dialaminya, tetapi senyumnya menunjukkan bahwa dia merasa bahagia dan puas."Mahesa, kamu tahu, Ayah sama Bunda bangga sekali sama kamu," kata Mahen sambil mengusap kepala putranya. "Tapi Ayah masih kepikiran tentang ukiran di pohon tadi. Apa maksudnya, ya?"Mahesa mengangkat bahu kecilnya. “Aku juga nggak tahu, Yah. Tapi aku rasa, pohon itu memang nggak biasa. Aku merasa kayak pohon itu tahu banyak tentang kita.”Arleta, yang sedang menuangkan teh hangat, berhenti sejenak. “Kamu yakin nggak ada yang kamu sembunyikan dari kami, Mahesa? Semua yang terjadi hari ini benar-benar di luar logika.”Mahesa menggeleng. “Aku nggak sembunyiin apa-apa, Bun. Tapi aku merasa ada sesuatu yang belum selesai. Kayak… aku masih harus kembali ke pohon itu suatu hari nanti.”Mahen dan Arleta saling berpandangan. Percakapan ini membuat mereka gelisah, t
Saat cahaya perlahan memudar, Mahen dan Arleta mendapati diri mereka berada di tengah-tengah sebuah padang hijau yang begitu luas. Langitnya berwarna ungu lembut dengan bintang-bintang yang bersinar terang, jauh lebih banyak daripada yang pernah mereka lihat di dunia nyata.Di sekeliling mereka, anak-anak bermain riang, tertawa, dan berlari-lari tanpa beban. Di antara mereka, Mahesa berdiri bersama Reza, tampak bahagia seperti tak ada yang salah.“Mahesa!” panggil Arleta dengan suara penuh kerinduan. Wanita itu berlari ke arah putranya, memeluk tubuh kecil itu dengan erat.Mahesa memeluk ibunya dengan senyuman. “Bunda, aku kangen. Tapi Bunda nggak usah khawatir. Aku baik-baik saja di sini.”Mahen menyusul mereka dengan langkah cepat. “Apa yang terjadi di sini, Mahesa? Dimana kita? Dan siapa mereka semua?”Reza maju selangkah, wajahnya serius meskipun masih dihiasi senyuman ramah. “Kalian berada di dunia antara, tempat kami tinggal sejak panti asuhan kami terbakar bertahun-tahun lalu
Malam itu, rumah Mahen dan Arleta diselimuti keheningan yang mencekam. Setelah membawa Mahesa ke rumah sakit, mereka berdua duduk di ruang tunggu, menatap kosong ke arah pintu ruang perawatan. Tidak ada kabar pasti dari dokter selain bahwa Mahesa berada dalam kondisi koma. Tidak ada penjelasan medis yang memadai, seolah-olah tubuh kecilnya telah menyerah tanpa alasan yang jelas.Arleta menunduk, air mata jatuh tanpa henti. “Mahen, kenapa semua ini terjadi pada Mahesa? Apa yang sebenarnya terjadi di taman itu?”Mahen memeluk Arleta erat, mencoba menenangkan istrinya meskipun dirinya pun dipenuhi kegelisahan. “Aku nggak tahu, Leta. Tapi aku janji, kita akan menemukan jawabannya. Mahesa pasti kembali pada kita.”Namun, di dalam hatinya, Mahen tahu bahwa janji itu mungkin sulit ditepati. Surat yang ditemukan di bantal Mahesa terus mengganggu pikirannya. Apa maksud Mahesa akan kembali setelah membantu mereka? Siapa mereka? Dan mengapa semua petunjuk selalu berpusat pada pohon besar di
Taman di belakang rumah Mahen dan Arleta kini menjadi tempat favorit keluarga mereka. Pohon besar itu tidak hanya menjadi saksi tumbuh kembang Mahesa, tetapi juga menyimpan misteri yang seolah tak habis digali. Layang-layang yang terbang tinggi sering menjadi simbol kebebasan bagi Mahesa, namun juga mengingatkan Mahen dan Arleta pada kehadiran Reza, sosok misterius yang menjadi bagian dari cerita keluarga mereka.Namun, kehidupan yang tampaknya tenang ini mulai terusik kembali saat kejadian aneh terjadi.Suatu pagi, Mahesa yang baru selesai bermain di taman berlari masuk ke rumah dengan wajah ceria. Dia membawa sesuatu di tangannya, selembar surat yang tampak usang, ditemukan di dekat akar pohon besar.“Ayah, Bunda! Lihat ini, aku nemu surat lagi!”Mahen segera mengambil surat itu dan membukanya. Tulisan tangan di surat itu sama seperti yang ditemukan sebelumnya di dalam kotak kayu, membuat mereka merasa merinding."Untuk Mahen dan Arleta,Jangan takut pada apa yang belum kalian p
Hari-hari berlalu setelah peristiwa di bawah pohon besar terasa lebih tenang. Meski rasa penasaran tetap ada, Mahen dan Arleta memutuskan untuk fokus pada keluarga mereka, terutama Mahesa. Namun, ada sesuatu yang berubah dalam kehidupan mereka, seolah-olah kehadiran Reza membawa pesan terselubung yang belum sepenuhnya mereka pahami.Mahesa kini tumbuh semakin besar. Semakin hari, kecerdasan dan rasa ingin tahunya semakin terlihat. Dia sering bertanya hal-hal yang sulit dijawab, seperti tentang bintang di langit atau kenapa hujan turun. Namun, pertanyaan yang paling sering Mahesa ajukan belakangan ini membuat Mahen dan Arleta terdiam.“Ayah, Bunda, nanti kalau aku besar, aku akan seperti apa?”Mahen tertawa kecil, mencoba menyembunyikan kebingungannya. “Kamu akan jadi anak yang hebat, Sayang, seperti sekarang.”“Tapi aku mau tahu,” desak Mahesa. “Reza bilang setiap anak punya jalannya sendiri.”Mahen dan Arleta terkejut. Sudah berbulan-bulan sejak mereka terakhir mendengar Mahesa
Hari-hari berlalu dengan tenang setelah Reza "mengucapkan selamat tinggal." Mahesa tampak kembali seperti anak kecil pada umumnya, yang ceria, penuh rasa ingin tahu, dan sibuk dengan aktivitasnya. Namun, Mahen dan Arleta belum bisa sepenuhnya melupakan apa yang terjadi. Gambar terakhir yang ditinggalkan Mahesa, dengan tulisan "Sampai jumpa lagi, Mahesa," tetap tersimpan rapi di ruang kerja mereka, seolah menjadi pengingat bahwa kisah ini belum benar-benar selesai.Entah, seperti masih ada yang mengganjal di hati Mahen maupun Arleta. Suatu malam, Mahen terbangun dengan nafas tersengal. Mimpi aneh menghantuinya. Mahen melihat dirinya berjalan di tengah sawah yang luas, dikelilingi oleh layangan-layangan yang berterbangan di langit jingga. Di kejauhan, Mahen melihat seorang anak laki-laki berdiri membelakanginya.“Reza?” panggil Mahen dalam mimpi.Anak itu menoleh, tersenyum, lalu berlari menjauh sambil membawa layangan. Mahen mencoba mengejarnya, tetapi langkahnya terasa berat,
Setelah peristiwa di taman belakang, Mahen dan Arleta merasa ada sesuatu yang belum selesai.Perasaan aneh terus menghinggapi mereka setiap kali mengingat cerita Mahesa tentang Reza, terutama ketika mereka melihat gambar-gambar yang dibuat Mahesa. Gambar itu bukan sekadar ilustrasi seorang anak bermain, melainkan potongan cerita yang terasa hidup.Namun, mereka memutuskan untuk tidak membahasnya terlalu jauh di depan Mahesa. Anak itu tampak bahagia, dan bagi mereka, itu yang paling penting.Suatu pagi, saat membersihkan gudang, Arleta menemukan sebuah kotak kayu tua yang tertutup debu tebal.Arleta tidak ingat pernah menyimpan kotak itu sebelumnya. Dengan rasa penasaran, wanita itu membuka kotak tersebut dan menemukan beberapa barang usang di dalamnya. Sebuah foto hitam putih seorang anak laki-laki memegang layangan, sebuah catatan kecil, dan mainan kayu yang sudah lapuk.Di belakang foto itu, tertulis dengan tinta yang mulai memudar. "Reza, di hari pertama layangan barunya terbang
Mahesa yang baru berumur enam tahun mulai menunjukkan kemampuan yang luar biasa. Dia sering kali berbicara dengan kalimat yang tampak terlalu dewasa untuk anak seusianya.“Ayah, kenapa langit bisa biru?” tanyanya suatu sore saat mereka duduk di halaman belakang.Mahen terkekeh, merasa bingung harus menjelaskan dengan bahasa sederhana. “Karena cahaya dari matahari itu terpecah oleh atmosfer bumi, Sayang.”“Oh, jadi itu seperti warna pelangi, ya? Tapi cuma yang biru yang terlihat?” tanyanya lagi.Mahen tertegun. Anak seusia Mahesa sudah bisa memahami konsep seperti itu? Mahen menatap Arleta, yang hanya mengangkat bahu sambil tersenyum bangga.Tidak hanya itu, Mahesa juga sering menghabiskan waktu dengan membaca buku cerita yang lebih sulit daripada teman-teman sebayanya. Saat Mahesa berhasil menyelesaikan salah satu buku yang diberikan Arleta, Mahesa berkata, “Bunda, aku suka buku ini. Tapi aku mau tahu, kenapa tokohnya harus meninggalkan keluarganya di akhir cerita?”Pertanyaan itu