Edgar baru saja pergi ke kamar mandi untuk memuaskan dirinya sendiri. Melihat payudara Lolita yang berukuran besar dan begitu menggoda tadi, membuat celananya sesak. Ini sungguh menyiksanya jika ditahan lebih lama lagi, sehingga dia harus melampiaskan gairah birahinya yang terlanjur terangsang.
Kini Edgar kembali kepada Lolita, memasuki ruang utama gedung megah yang dipadati para alumni dan wali mereka. Dia berjalan menghampiri Lolita yang terlihat sedang berbincang dengan teman-temannya. Mungkin mereka sedang mengobati rindu. Batin Edgar terus melangkah mendekat.
Namun, kedua alis gelap Edgar menyatu ketika mendapati suasana di sekitarnya begitu tegang, dan dia mendengar jika salah satu teman Lolita mengatakan jika Lolita pergi dengan sugar daddynya. Dan sugar daddy yang gadis itu maksud adalah Edgar.
Edgar maju selangkah demi selangkah dengan mengulas senyumnya. Dasar remaja zaman sekarang, gurauannya sungguh di luar akal. Bagaimana mungkin pria setampan dirinya jadi sugar daddy gadis berisik dan pembuat ulah seperti Lolita. Tapi, demi mencairkan suasana yang terlanjur tegang, maka dia berucap santai, "Ya, aku memang sugar daddynya. Kenapa? Ada yang salah?"
Lolita seketika menoleh ke arah Edgar. Matanya membulat dan terlihat terkejut. Dia buru-buru mengoreksi ucapan Edgar. "Bukan. Om Edgar bukan sugar daddyku!" bantahnya dengan suara lantang dan penuh penekanan.
Edgar mengedikkan bahunya ringan, tak ingin peduli bantahan Lolita. Dia beralih menatap satu per satu teman Lolita dengan alis terangkat sebelah. "Lolita, kenapa kau tidak mengenalkanku pada teman-temanmu ini?"
Lolita mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya, berusaha menguatkan diri. Edgar muncul di waktu yang sangat tidak tepat, dan apa yang baru saja pria itu katakan memperburuk situasi yang Lolita hadapi. Kini teman-temannya menatap Lolita jijik seakan Lolita adalah kotoran.
"Tidak perlu, Om," jawab Lolita singkat sambil menyembunyikan luka melepuh di lengannya dari pandangan Edgar. Dia tidak mau Edgar mengetahuinya dan memberitahukan hal itu kepada ayahnya. Itu hanya akan membuat ayahnya khawatir. Dia tidak ingin hal itu terjadi.
Mata Lolita berkaca-kaca. Semua pandangan merendahkan terpusat padanya, dan itu membuatnya sesak. Kenangan pahit dua tahun yang lalu, di mana Lolita dibully dengan parah pun kembali terbayang. Lolita tidak kuat lagi menghadapi semua ini, dan dia memilih berlari pergi ke luar gedung.
Lolita menghentikan gerakan kakinya ketika sebuah tarikan di lengannya yang tak terluka begitu kuat, bahkan dia sampai nyaris tersungkur jika Edgar tidak segera menangkapnya.
"Ada apa denganmu, huh?!"
Lolita bergeleng dan menegakkan tubuhnya. Dia membuang wajahnya ke arah lain, menghindari kejaran mata Edgar yang menuntut sebuah jawaban.
"Bukannya tadi hanya bercanda. Kau marah hanya karena itu?" Edgar melepaskan lengan Lolita dan bergeleng gusar. "Kau sungguh tidak bisa diajak bercanda ya."
Emosi Lolita seketika tersulut mendengar Edgar. Dia membalas tatapan Edgar dengan kecewa dan marah. "Hanya bercanda? Bagi Om itu hanya sebuah candaan?" tanyanya dengan suara bergetar. "Ini sangat tidak lucu, Om."
Air mata Lolita menetes, mengalir di pipinya yang putih pucat. Dia buru-buru menyekanya dengan punggung tangan. "Om tidak pernah memikirkan perasaanku. Tidak pernah peduli kalau ucapan Om bisa membuatku terluka."
Edgar merasa dirinya dan Lolita sekarang tengah menjadi pusat perhatian orang-orang yang berada di luar gedung. Bisik-bisik mereka terdengar samar. Edgar segera menarik pergelangan tangan Lolita, mengajaknya ke mobil. "Kita bicarakan lagi saat sudah ada di dalam mobil, Lolita."
Lolita menghempaskan cekalan Edgar di tangannya. "Jangan menyentuhku, Om! Aku bisa pergi sendiri!"
Lolita berjalan mendahului Edgar menuju mobil pria itu yang terparkir di depan gedung. Dia enggan berucap, meski dia sekarang sudah berada di dalam mobil bersama Edgar.
Lolita menatap lurus ke depan, mulutnya masih terbungkam. Entah kenapa dia menjadi kecewa dan sangat marah karena Edgar yang tak peduli padanya. Memangnya, Lolita bisa berharap apa pada pria berhati batu itu? Tanpa sadar sebuah senyum getir terulas di bibirnya samar.
"Aku mau pulang, Om. Antarkan aku pulang ke rumah," tukas Lolita tiba-tiba, mengejutkan Edgar sampai pria itu memutar tubuhnya menghadap Lolita tidak percaya.
Edgar tak kunjung menyalakan mobilnya, dia menatap Lolita dengan kening yang berkerut. "Aku tidak bisa mengantarkanmu sekarang ke rumahmu. Kau harus meminta persetujuan dari Roy dulu," balasnya setengah gusar.
Lolita membuang napasnya dengan berat. Sebuah ide gila muncul di kepalanya. Mungkin, dia akan menyesali perbuatannya setelah ini. Mungkin juga tidak.
"Apa karena Om khawatir padaku?"
"Khawatir? Iya, tentu. Kau kan anak sahabatku," jawab Edgar enteng.
Edgar kemudian tercekat saat Lolita mendekatkan wajahnya padanya. Jaraknya sangat dekat, sampai dia bisa mencium aroma manis yang menguar dari gadis itu.
"Tapi, sayangnya aku tidak ingin hanya dianggap sebagai anak sahabatmu, Om." Lolita menempelkan bibirnya pada bibir Edgar.
Edgar menikmati bibir Lolita yang tebal dan penuh. Rasanya manis saat dia mengecapnya. Kedua tangan Edgar tak berhenti di tempatnya, dan mulai mencari payudara Lolita yang membuatnya terus kepikiran. Namun, detik berikutnya Edgar mendorong tubuh Lolita menjauh. Edgar mendapatkan kembali kewarasannya.
"Kau anak sahabatku. Tidak seharusnya ini terjadi. Jangan memancingku, Lolita!"
-Bersambung-
Setelah mengantarkan Lolita ke apartemen, Edgar segera meluncur menuju club. Dia duduk di balik meja bar menunggu pesanannya datang dengan gelisah.Tak selang lama, seorang pelayan membawa pesanan Edgar dan menaruhnya ke meja di depan Edgar. "Ini pesanan Anda, Tuan," ucapnya tersenyum ramah, kemudian melenggang pergi.Edgar menatapi dua botol sampanye di hadapannya dengan pandangan menggelap. Dia meraih salah satu botol dan langsung menenggaknya sampai hampir habis. Edgar meletakkan botol kembali, menyeka mulutnya, dan mendengus lega.Bayangan Lolita masih saja tercetak di ingatannya. Dari mana gadis itu belajar menggoda, huh? Tadi sungguh nyaris. Jika Edgar gagal mengendalikan dirinya, mungkin saja dia sudah menggagahi Lolita di dalam mobil.Bibir yang manis dan lembut, lalu mata coklat gadis itu yang menatapnya sayu sungguh menggoda. Ingin rasanya Edgar melahapnya. Tapi, dia harus menahan hasratnya. Lolita adalah anak Roy, sahabat terbaiknya. Dia bisa menyentuh wanita manapun, tapi
Edgar menopang kepalanya yang berdenyut sakit karena terlalu banyak minum sampanye dan insomnia yang dia derita. Pagi tadi Edgar langsung pergi ke perusahaan tanpa pulang ke apartemennya lebih dulu. Sebagai gantinya, dia meminta Franklin untuk membelikan alat mandi serta setelan jas baru untuknya."Huh …." Edgar menghembuskan napas kasar dari hidungnya. Semalam Edgar tidur di mobilnya setelah sesi bercinta dengan Loren yang terasa biasa saja.Edgar sedikit heran. Di saat dia bercinta dengan Loren, entah kenapa dia tidak menemukan kepuasan yang dia inginkan. Tidak seperti biasanya. Ada sesuatu yang kurang, tapi Edgar tak tahu apa itu. Sejak tunangannya berselingkuh, Edgar memilih menghabiskan waktunya dengan banyak wanita sewaan. Dan salah satu wanita sewaan yang berhasil membuatnya tertarik adalah Loren. Dia wanita yang patuh, pintar dalam hal memuaskan, dan memiliki tubuh sintal yang menggairahkan.Namun, sekarang Edgar sudah merasa bosan dengan Loren. Dia perlu wanita lain untuk m
Lolita membekap mulutnya dengan kedua tangan, terkejut karena dia dipanggil dengan sangat sensual ketika Edgar sedang melakukan masturbasi.Kedua mata Lolita tak lepas dari kejantanan Edgar yang semakin membesar. Hingga Edgar mencapai puncak kenikmatannya. “Ahhh….” Edgar mendesah puas. Dia menyeka cairan kenikmatannya dengan tisu, kemudian melangkah ke kamar mandi yang ada di dalam ruangan untuk membersihkan diri, tanpa tahu Lolita tengah menyaksikan semua yang dia lakukan ini.Lolita menelan ludahnya dengan susah payah, seakan tenggorokannya kering, dan membutuhkan sesuatu untuk menyegarkannya. Dengan buru-buru Lolita berlari ke dapur, mengambil segelas air, dan meneguknya dengan cepat. Karena kurang hati-hati airnya mengguyur baju tidurnya yang berwarna putih. Cukup banyak sampai bra hitam yang lolita pakai tampak tercetak jelas. Tapi, Lolita tetap melanjutkan minumnya sambil membayangkan kejantanan Edgar tadi. Gairah menjalari Lolita, membuat kedalaman dan bagian bawahnya menegan
"Bagaimana kabar gadis kecil itu, Tuan?" tanya Franklin membuka topik pembicaraan.Edgar yang sedang membolak-balikkan dokumen di depannya, menghentikan aktivitasnya sebentar untuk menjawab Franklin yang menanyakan kabar Lolita. "Dia bukan gadis kecil lagi, sama sekali tidak kecil, Franklin. Dan keadaannya baik," ucap Edgar menjaga agar suaranya tetap datar dan tak acuh.Franklin mengangguk paham. Dia kemudian berkata lagi. Namun, dia berubah serius saat mengatakannya. "Tuan, apa Anda tahu kabar tentang Nona Nola?""Tidak." Edgar bergeleng. Dia hendak membaca dokumen lagi, tapi ucapan Franklin selanjutnya mengurungkan niat Edgar."Nona Nola akan segera melakukan perjalanan pulang kembali ke New York, Tuan."Gerakan tangan Edgar berhenti seketika saat nama mantan tunangannya disebut. Setiap kali Edgar mendengar nama itu, hanya pengkhianatan wanita itu yang teringat.Suasana hati Edgar berubah buruk. Rahangnya mengetat, tubuhnya menegang penuh amarah. Dia meletakkan dokumen dari tangann
"Kekasih Tuan Edgar?" tanya Loren memicingkan mata tak percaya. Mana mungkin Tuan Edgar menyukai gadis polos yang berdiri di depannya ini.Kalau dari fisik, dia cantik. Hanya saja, pakaian yang dia pakai sungguh tidak membuat pria mana pun berselera. Pakaiannya terlalu membosankan, dan tidak memperlihatkan lekuk tubuh sama sekali. Loren terus menilai Lolita. Loren menatapnya dari kepala sampai ke ujung kaki."Kau berbohong ya? Mana mungkin Tuan Edgar suka dengan perempuan sepertimu! Kau pasti wanita sewaan Tuan Edgar yang baru ya?" Loren mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah Lolita."Bagaimana mungkin ada wanita sewaan yang tinggal di apartemennya, jika orang itu tidak istimewa?" balas Lolita tak mau kalah.Loren semakin kesal. Tujuannya pergi ke apartemen Edgar adalah mempertanyakan kabar pria itu, kenapa lama tidak pergi ke club, dan tidak pernah menghubunginya lagi.Edgar adalah salah satu sumber penghasilannya. Tapi, gadis yang terlihat lebih muda darinya ini telah me
Di sebuah club, wanita yang Edgar dan Lolita tengah bicarakan sedang menghabiskan dua botol bir sendirian.Loren menangis sambil terus mengomel. Sesekali dia membanting botol pelan ke meja bar. "Huh, menyebalkan. Dasar gadis licik. Dia merebut Tuan Edgar dariku." Loren mulai berbicara rancau. "Awas saja, aku akan membuatmu menyesal karena sudah berurusan denganku."Ketika Loren bangkit dari duduknya, hendak memesan bir lagi, dia tidak sengaja menabrak pundak seorang laki-laki."Maaf," ucap keduanya bersamaan secara spontan.Loren menyipitkan matanya melihat sosok jangkung itu. Wajahnya sangat tidak asing, karena pernah menyewa Loren beberapa kali. Dan Loren tahu kalau dia adalah anak dari keluarga kaya raya. Sebastian Brown."Kau Sebastian kan?" tanya Loren. Tapi, detik berikutnya dia merengut kecewa. "Kenapa kau memakai seragam driver pengantar makanan? Bukannya kau kaya?"Laki-laki bernama Sebastian itu membuang wajah. "Sial sekali aku bertemu denganmu di sini. Keluargaku bangkrut.
Rahang Edgar mengeras, giginya bergemeletuk menahan amarah. Dengan gerakan cepat, dia menarik laki-laki yang mencoba memperkosa Lolita. Lalu, membantingnya ke lantai.Edgar sudah kehilangan kendali. Dia memukul Sebastian membabi buta, tak memberikan kesempatan pada laki-laki itu untuk membalas pukulannya.Brakk!Tubuh Sebastian terpelanting ke dinding dengan cukup keras. Darah mulai mengalir dari hidung dan pelipisnya.Lolita menatap ngeri Edgar yang terus memberikan pukulan pada Sebastian, meski lawannya itu sudah kehilangan kesadaran. "Om, cukup," lirih Lolita dengan air mata yang sudah reda. Tapi, tubuhnya masih bergetar, menahan ketakutan. Dia menutupi tubuh polosnya dengan handuk ketika Edgar menoleh ke arahnya.Kedua mata Edgar berkilat. Dia terlihat sangat menakutkan. Namun, perlahan tatapan matanya meredup.Edgar mendekati Lolita yang duduk meringkuk di dekat dinding, lalu menangkup pundaknya pelan."Kau baik-baik saja? Siapa dia? Kenapa dia bisa masuk ke sini?"Lolita hanya b
Lolita tak mengindahkan penolakan dari Edgar. Dia terus bergerak, menempelkan bibirnya pada bibir Edgar, lalu mendesah. "Sudah terlanjur begini, lebih baik diteruskan saja, Om."Lolita enggan disentuh oleh Sebastian. Tapi, jika Edgar yang menyentuhnya, tentu berbeda. Lolita menginginkan Edgar. Menginginkan tangan Edgar yang menelusuri setiap lekuk tubuhnya dan memuaskan hasratnya yang terpendam.Sialan. Edgar mengumpat dalam hati. Pertahanan dirinya semakin menipis. Apalagi ketika Lolita melepaskan semua pakaiannya yang dia biarkan jatuh berserakan di lantai. Sehingga Edgar bisa melihat jelas tubuh indah Lolita. Sungguh indah. Sampai Edgar menelan ludahnya berulang kali."Ayo, Om. Aku tidak mau jejak tangan Sebastian masih tersisa di kulitku," ucap Lolita dengan nada sensual, yang semakin memancing Edgar.Darah Edgar berdesir hangat. Dengan cepat batangnya menegang. Hanya dengan melihat tubuh telanjang Lolita, dia sudah berhasil terangsang. Sial!Edgar merutuki dirinya. Dia tidak bisa
"Winter!""Ya, Mom," balas Winter berlari ke arah Lolita yang duduk di sofa ruang tamu.Winter sekarang sudah remaja. Tingginya bahkan sudah melebihi tinggi Lolita. Senyumnya teramat manis, dan memiliki mata biru yang indah yang dia turunkan dari Edgar."Ada apa, Mom?" tanya Winter saat sudah berdiri di hadapan ibunya.Lolita saat ini sedang hamil tua. Dan dia sedang ingin makan sesuatu. "Felix ingin makan kue coklat. Bisakah kau membelikannya, Winter?"Winter memutar matanya malas. Dia lalu menatap perut ibunya yang sudah besar. "Bukan Felix yang ingin, tapi Mommy kan?"Lolita terkekeh pelan. "Kau tahu saja. Anggap saja yang ingin Felix. Kau harus membelikannya sekarang. Adikmu ini akan menendang-nendang kalau tidak segera dituruti permintaannya.""Baiklah. Aku pergi dulu, Mom." Winter berpamitan keluar pada Lolita setelah menerima uang dari Lolita. Karena Edgar masih belum pulang kerja, jadi dirinya yang bertugas menjaga ibunya yang hamil.Winter naik ke mobilnya yang menjadi hadiah
Edgar dan Lolita kini sudah sampai di New York. Mereka akan meninggalkan bandara dan pergi menuju apartemen Jones untuk menjemput Winter."Tidak terasa satu minggu sudah berlalu. Aku sangat merindukan Winterku. Dia juga pasti akan merindukan Daddynya ini," tukas Edgar menghela napas lega sambil menggiring kopernya.Lolita mengangguk pelan. "Aku sudah tak sabar memeluk Winter lagi. Semoga dia tidak marah pada kita karena sudah meninggalkannya cukup lama."Edgar mengedikkan kedua bahunya samar. "Dia tidak akan marah. Aku sudah menyiapkan banyak mainan untuknya. Dan lagi pula Winter kan suka pria tampan. Sudah pasti dia tidak marah, dan justru senang karena tinggal bersama Jones dan Franklin."Lolita mengerucutkan bibirnya. "Tetap saja. Bagaimana kalau dia justru bertanya kita pergi ke mana? Dan kita melakukan apa selama kita pergi? Apa yang harus aku jawab, My Husband?"Edgar mengulas senyum. "Bilang saja kalau kita sedang ada urusan pekerjaan. Kita mencari uang untuk membelikan mainan
Sudah lima hari Winter dan Boy tinggal di apartemen Jones. Kedua anak kecil ini selalu saja berbuat ulah, membuat Jones serta Franklin jadi kehabisan stok kesabarannya. Tapi, Jones dan Franklin berusaha untuk tetap menekan amarahnya setiap kali menghadapi dua bocah ajaib itu.Untung saja Winter dan Boy sudah menjadi lebih akrab. Jones dan Franklin jadi tidak perlu harus menemani mereka bermain. Yah, walau kadang kali Winter masih suka usil sampai membuat Boy menangis. Jones mendesah pelan. Dia dipusingkan oleh urusan perusahaan, ditambah dia juga harus mengurus Winter dan Boy. Kurang dua hari lagi, orang tua kedua bocah itu akan kembali. Dan di saat itu tiba, Jones akan tidur seharian untuk menukar tidurnya yang akhir-akhir ini selalu terganggu."Papa Kuda," panggil Winter berlari ke arah Jones yang baru saja mengistirahatkan tubuhnya di sofa.Jones yang awalnya membaringkan punggungnya ke sofa, segera menegakkan punggungnya kembali saat Winter sudah sampai di depannya. "Ya, Winter.
Sore harinya. Edgar dan Lolita menikmati sunset di pantai. Mereka duduk di pinggir pantai sambil menyesap minuman mereka.Edgar melingkarkan sebelah tangannya di pinggang Lolita. "Sunsetnya sangat cantik ya, My Lovely."Lolita mengangguk mengiyakan. "Iya, My Husband.""Secantik kau," balas Edgar membuat Lolita tersipu."My Husband bisa aja." Lolita mencubit lengan Edgar pelan.Edgar lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Lolita, lalu berbisik, "Nanti malam aku mau lagi, My Lovely."Lolita mengernyit tak paham. "Mau apa?""Mau bercinta lagi denganmu," jawab Edgar mengulas senyumnya.Lolita bergeleng pelan. "My Husband, aku masih lelah. Tidak bisakah kita undur besok malam saja? Kita kan masih lama di Hawaii.""Baiklah. Aku akan menahannya, Lolita." Edgar menampakkan wajah kecewa.Lolita merasa gemas dengan Edgar yang seperti itu. Dia mencium bibir Edgar singkat dan tersenyum. "Begitu dong, sekali-sekali My Husband mau menurut."***Menjelang malam, Jones dan Franklin sibuk dengan balita
"Ahh …. My Husband. Lagi. Lakukan lagi. Ini sangat nikmat." Lolita memejamkan kedua matanya saat Edgar menggenjot dirinya.Edgar semakin bersemangat. Dia sudah mencapai klimaksnya sampai dua kali, tapi dia tidak mengalami kelelahan sama sekali, dia justru semakin semangat dan semakin cepat menggerakkan miliknya pada milik Lolita. Sampai dia mencapai klimaksnya lagi bersamaan dengan Lolita."Thanks, My Lovely. Aku benar-benar senang bisa bercinta lagi denganmu." Edgar tersenyum, kemudian mencium bibir Lolita. Lolita balas tersenyum saat Edgar sudah melepaskan ciumannya. ***Nola dan Robert berjalan cepat dan tergesa-gesa karena takut terlambat jadwal penerbangannya ke Bali. Nola menggendong Boy yang sedang tertidur, sedang Robert membawa dua tas besar berisi semua keperluan Boy, termasuk mainan milik Boy. "Jones!" panggil Nola memencet bel apartemen Jones. Dia hendak memecet lagi saat Jones tak kunjung menyahut dari dalam, tapi diurungkan oleh kedatangan Franklin.Franklin mengerutk
Waktu berjalan begitu cepat, dan saat yang paling ditunggu-tunggu Edgar akhirnya datang juga. Honeymoonnya dengan Lolita.Lolita yang awalnya ingin menunggu Winter berusia tiga tahun dulu, barulah dia dan Edgar akan pergi honeymoon. Memundurnya lagi satu tahun, karena dia begitu sibuk merawat Winter. Dan sekarang, tepatnya hari ini Lolita dan Edgar memutuskan akan pergi honeymoon ke Hawaii setelah sempat tertunda.Minggu lalu mereka baru saja merayakan ulang tahun Winter yang ke empat tahun. Mereka juga sudah memberitahukan rencana berlibur mereka pada Winter, tapi tidak mengatakan kalau sebenarnya yang mereka akan lakukan adalah honeymoon. Winter mengiyakannya, meski dengan syarat Edgar harus membelikan banyak mainan baru untuknya saat pulang nanti. Tentu, itu permintaan yang sangat gampang bagi Edgar. Dia langsung menyanggupi permintaan Winter dengan enteng.Kini Lolita dan Edgar pergi bersama Winter kecil ke apartemen Jones."Jones," panggil Edgar saat dia sudah sampai di depan apa
"Tidak!" tolak Edgar dengan satu kata yang tegas, singkat, dan tak terbantahkan saat Jones meminta izin padanya untuk membawa Winter selama satu hari.Jones mendengus kecewa. "Satu jam saja kalau begitu," ucapnya memelas.Edgar sekali lagi bergeleng. "Aku tidak akan mengizinkan kau membawa Winterku, Jones. Kau hanya boleh melihatnya di apartemenku seperti sekarang ini."Jones mendengus sekali lagi. "Baiklah. Benar kata Roy, kau lebih posesif."Edgar berkacak pinggang. "Kau baru tahu, huh?""Tidak. Aku sudah tahu dari dulu," balas Jones datar. Dia lalu mendekati Winter lagi."Winter, ini Om Jones," ucap Jones tersenyum lebar. Dia melambaikan tangan pada Winter, berharap bayi mungil itu melihat ke arahnya dan tersenyum untuknya.Edgar bergeleng pelan mendapati apa yang Jones lakukan. Dia berderap ke samping Jones. "Winter baru saja lahir, pandangannya masih kurang jelas. Jadi, kau tak perlu berharap Winter bisa membalas senyummu itu."Jones mengangguk paham. "Iya. Aku akan menunggu dia
Delapan bulan berlalu. Nola dan Robert kini sedang berada di rumah sakit, menanti kelahiran bayi mereka. Jones menunggu dengan tak sabaran bersama Franklin di ruang tunggu.Semenjak berita Gio dan keluarga Brown ditangkap karena kasus penyelundupan narkoba, Jones merasa tenang karena keadaan perusahaannya menjadi lebih baik dan lebih kondusif.Jones menoleh pada Franklin yang sibuk bermain dengan ponselnya. "Bagaimana? Apa Lolita juga akan melahirkan?" Franklin menurunkan ponselnya dari pandangannya. "Lolita masih melakukan pemeriksaan di rumah sakit. Dokter memperkirakan Lolita akan melahirkan besok pagi."Jones mengangguk paham. Dia spontan menatap pintu ruangan di mana Nola ditangani, karena tiba-tiba suara bayi menangis terdengar dari arah sana."Aku akan benar-benar dipanggil Om setelah ini," tukas Jones tersenyum.Robert keluar dari ruangan dengan senyum bahagianya. Dia menutup pintu ruangan kembali dan langsung berlari ke arah Jones."Tuan Jones, Tuan Franklin. Boy sudah lahir
"Apa yang sudah kau lakukan selama ini, Gio? Kenapa kau lengah, huh? Apa kau tahu semua orang-orang Daddy dipecat secara tidak terhormat oleh Jones?"Gio membulatkan matanya saat mendengar ucapan ayahnya. Dia sedikit berbisik agar Jones dan Valen tidak mendengar perkataannya. "Bagaimana bisa hal itu terjadi, Dad? Setahuku Jones akhir-akhir ini lebih sering menghabiskan waktunya bersama wanita-wanitanya. Dia bahkan tidak pernah pergi ke perusahaan selama aku mengikutinya.""Kau bodoh! Jadi, pekerjaanmu hanya mengikutinya saja?!" Suara ayah Gio membalas dengan suara yang keras. "Huh … aku menyesal sudah memilihmu, Gio. Aku harusnya menyerahkan semuanya pada anak kakakku, dan bukan kau. Kau hanya beban bagi keluarga Brown."Gio menggigit bibir bawahnya keras-keras. Dia menurunkan ponselnya dari telinganya setelah ayahnya memutuskan telepon sepihak. Dia mengepalkan kedua tangannya sambil terus berpikir, bagaimana bisa Jones melakukan itu? Bagaimana pria yang tahunya hanya bersenang-senang