Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 17.***POV Dinda.Aku terdiam mendapati pertanyaan sensitif dari Mas Ridwan. Ada rasa mau bercampur bahagia. Ingin aku teriak menyatakan aku mencintainya. Namun, bibir ini sungguh kaku."Jawab, Din!" perintah Mas Ridwan.Aku tersenyum dan mengangguk dengan malu-malu.Mas Ridwan mengangkat daguku dengan tulunjuk tangannya. "Benarkah?""Benar, Mas." Pelan aku menjawab pertanyaan itu.Mas Ridwan sontak memelukku. Sungguh aku terpaku dan tak menyangka dengan hal ini. Debaran di dadaku memburu. Air mataku menetes karena bahagia. Apa aku sedang bermimpi?"Dinda, saya berjanji akan menjadi suami yang baik untukmu," lirihnya di telingaku.Aku membalas pelukan itu. Lalu hubungan suami istri yang selama ini belum terlaksana, akhirnya terpenuhi sekarang.Aku dan Mas Ridwan memadu cinta dengan begitu indahnya.--Hari berikutnya, aku keluar membeli sesuatu. Tak disangka aku bertemu lagi dengan Mas Andi."Dinda, tolong dengarkan aku dulu! Kembalilah pad
Judul: Harga diri laki-laki.***"Mas maafkan, aku. Aku berjanji akan berubah dan tak akan mengulangi kesalahan yang sama. Tolong berikan kesempatan setidaknya demi putri kita," ucap Mikayla terisak memegangi kaki Gio.Suasana menegang, keluarga dari dua belah pihak berkumpul.Gio bergeming sembari mengusap keningnya yang berdarah."Benar, Gio. Berikanlah Mikayla kesempatan, Nak. Mama mohon maafkan dia," ujar Lastri pula, Mama Gio."Cukup! Jangan ada lagi yang memohon dengan bertamengkan Delisa. Biarkan Gio mengambil keputusan sendiri dengan bijak," sambung Reno, Papa Gio."Tidak, Pak Reno! Gio tak boleh egois. Delisa masih terlalu kecil untuk menerima perpisahan orang tuanya," papar Mery, Bunda dari Mikayla.Malam itu perdebatan sangat riuh. Gio semakin gusar hingga berteriak sangat keras."Diam!"--"Diam!""Tuan Gio, anda tidak apa-apa?" tanya Wisnu, sopir sekaligus sahabatnya."Eh, sa-saya ... entahlah, Wis. Rasanya kejadian satu tahun silam masih belum bisa saya lupakan," ucap G
Judul: Harga diri laki-laki.Part: 2***Pagi harinya, Gio berangkat ke kantor. Sudah dua bulan terakhir ini Gio sangat bersemangat ketika mendengar kata kantor.Bukan tanpa alasan. Ia bisa melihat Maya di sana, karena Maya adalah asisten pribadinya."Mas, sarapan dulu!" Mikayla tetap berusaha memenuhi tanggungjawabnya."Tidak, aku buru-buru."Gio selalu menolak makan di rumah, walau Mikayla sudah bersedia berlatih memasak setahun belakangan ini."Mi, kenapa Papi tak mau makan masakan Mami?" tanya Delisa, yang kini sudah berusia 9 tahun."Bukan begitu, sayang. Papi pasti ada pekerjaan penting yang membuatnya begitu terburu-buru."Mikayla selalu punya alasan untuk menjawab pertanyaan demi pertanyaan dari gadis kecil kesayangannya.'Mas, sampai kapan kita harus begini? Aku sangat merindukan kehangatan yang dulu,' batin Mikayla.--"Tuan, ini berkas yang kemarin. Semua sudah saya selesaikan. Tinggal menunggu tanda tangan dari Tuan saja," ujar Maya sembari menyerahkan map yang dipegangny
Judul: Harga diri laki-laki.Part: 3***"Bu, boleh aku menanyakan sesuatu?" tanya Maya pada Ibunya."Tanyakan saja, Nak!"Maya menarik nafas berat, kemudian bertanya. "Dimana kuburan Ayah?"Asih bergeming, seketika mata tua itu langsung berembun.Maya tahu, sang Ibu pasti tak suka membahas soal ini. Namun, Maya sangat penasaran."Baiklah, Maya. Ibu rasa ini sudah waktunya memberitahumu," ucap Asih.Maya mendengarkan dengan serius."Ibu akan mengantarkanmu ke tempat pemakamannya besok. Setelah itu tidak perlu menanyakan tentang Ayahmu lagi pada Ibu.""Maafkan aku, Bu. Sebagai seorang Anak, aku hanya ingin mengunjungi Ayahku. Walaupun kenyataannya Ayah sudah berbuat tidak adil pada kita. Namun, Ayah sudah tak ada. Bukankah sebaiknya kita memaafkan kesalahannya?"Asih Terdiam. Sakit hatinya masih belum hilang. Saat itu Arkan Santosa sukses dalam usahanya. Kehidupan Asih dan keluarga berubah drastis.Maya yang berusia dua tahun, belum mengerti apa-apa. Asih merasa suaminya berubah semenj
Judul: Harga diri laki-laki.Part: 4***Pagi harinya, Gio bangun dengan disambut wajah cemberut oleh Delisa."Hey, Anak Papi! Kenapa wajahnya masam di pagi hari ini?" tanya Gio sambil menaikan Delisa di atas pangkuannya."Delisa marah sama Papi," ujar Delisa."Lho, marah kenapa?" Gio menautkan alisnya menanggapi ucapan putri tercinta."Tadi malam Delisa sudah siap-siap buat makan di luar, tapi Papi malah tidur cepat.""Oh, jadi itu alasan Delisa marah?""Iya."Mikayla hanya mendengarkan sambil tersenyum."Baiklah, sayang. Sebagai tanda maaf Papi. Hari ini kita jalan-jalan sampai sore. Mumpung wekeend," ujar Gio."Beneran, Pi? Asyik! Mami siap-siap yuk!" ajak Delisa antusias.Mikayla ikut senang. Ia dan Delisa langsung bergegas untuk bersiap.Sedangkan Gio hanya berniat membahagiakan putrinya.--Kini Gio, Mikayla dan Delisa bermain di area taman. Tak jauh dari sana juga ada restoran. "Sayang, kita makan siang dulu yuk!" ajak Gio pada Delisa."Ayo, Pi." Sementara Mikayla seperti ta
Harga diri laki-laki.Part: 5***Maya mencoba menyadarkan Mikayla. Sedangkan Asih tak peduli sama sekali. Luka di hati wanita paruh baya itu sudah berkarat. Hingga untuk melunturkannya butuh waktu lama, bahkan tak akan mungkin bisa kembali pulih."Tuan, tolong ambilkan minyak angin yang ada di atas meja itu!" Gio dengan sigap bergerak. Maya mengoleskan ke hidung, dan bagian belakang leher Mikayla. Perlahan Mikayla mulai sadar, Maya juga memberikan minum."Minum dulu! Kamu pasti syok," ujar Maya.Mikayla meneteskan air mata, ia duduk dan langsung memeluk Asih dengan erat."Maafkan saya, Bu. Saya tidak tahu kalau ternyata Ayah dan Bunda saya pernah menoreh luka begitu dalam pada keluarga Ibu," lirih Mikayla terisak.Asih bergeming, ia tak membalas pelukan Mikayla. Dalam hati Asih pun ikut menangis.Siapa yang harus dipersalahkan?Mikayla?Bukankah Mikayla tak tahu apa-apa?"Sekarang kamu sudah tahu semuanya. Lalu apa tanggapanmu?" tanya Maya datar.Mikayla melepaskan pelukannya, dan
Harga diri laki-laki.Part: 6***"Tenang dulu, Ma. Aku butuh dukungan Mama saat ini. Aku tidak rela kehilangan Mas Gio," ujar Mikayla."Mama akan selalu ada di pihakmu, sayang."Lastri kembali memeluk Mikayla.--Sementara di sisi lain, Maya juga tengah memeluk tubuh sang Ibu."May, maafkan Ibu, Nak. Seharusnya dulu Ibu bisa mempertahankan kebahagiaanmu," lirih Asih."Ini bukan salah Ibu. Namun, yang aku sesali sekarang, kenapa harus istri dari Tuan Gio yang menjadi Adik tiriku, Bu. Kenapa?Asih perlahan merenggangkan pelukannya. "Ada apa, Nak?"Maya menarik napas panjang, mata indah itu tertutup beberapa detik sebelum bersuara kembali."Tuan Gio selalu mendekatiku di kantor, Bu. Aku sudah berusaha menjauhinya. Walaupun tak ada tindakan yang berlebihan selain makan siang. Namun, hal itu berlangsung selama dua bulan ini."Asih mengerutkan keningnya sambil berpikir. "Apa mungkin Gio menyukaimu?""Aku tak tahu, Bu.""Kalau benar, maka jauhilah, Nak! Sakit hati Ibu memang sangat dalam,
Harga diri laki-laki.Part: 7***Lastri pulang ke rumahnya, menceritakan masalah ini pada Reno, sang suami."Pa, ternyata Mas Arkan memiliki istri lain sebelum menikahi Mery."Reno terkejut hingga membuat ekspresi wajah tuanya semakin lucu."Jangan ngada-ngada, Ma.""Papa gak percayaan banget sih. Tadi Mama baru saja dari rumah istri pertama Mas Arkan, dia juga memiliki seorang putri. Yang mengkhawatirkan, putrinya itu sedang dekat dengan Gio," papar Lastri antusias."Kok bisa, Ma? Kenapa selama ini tak ada berita sama sekali tentang Anak dan istri Mas Arkan itu? Harusnya putri dari istri pertamanya juga diakui di depan publik.""Ngapain pakai diakui segala. Mereka itu beda kelas dengan Mbak Mery, Pa. Pastinya Mas Arkan lebih memilih berlian lah dari pada butiran debu begitu," cibir Lastri.Reno menggeleng-geleng heran. Istrinya tak pernah berubah. Semua hanya diukur dengan harta."Terserah Mama saja. Papa malah penasaran dengan sosok saudari Mikayla itu.""Jangan katakan saudari Mik