"Dengan siapa aku punya bahagia?"
~ Lovani Senja
๐พ๐พ
Mata Lova mengerjap saat cahaya menyilaukan matanya. Dia melonjak kaget saat pintu ruangan ditendang oleh ayahnya. Lova duduk dari posisi tidurnya dan menatap datar.
"Lain kali jangan ngelanggar aturan lagi!" ujar Jason sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
"Buat ayah, Lova emang selalu salah'kan?" Tas punggungnya dia gendong dan mulai berdiri.
"Kamu mau ngelawan ayah lagi?" Lova mengelengkan kepalanya saat mendengar ucapan ayahnya.
"Emang bener'kan? Buat ayah, Lova itu selalu salah dan selalu ngelawan. Valid dan tanpa alasan apa pun lagi." Dia berjalan berjalan melewati ayahnya. Lova berhenti berjalan sejenak dan menoleh,"Pantes mama pergi."
"LOVA, JAGA OMONGAN KAMU!" Lova menulikan telinganya dan berjalan ke arah kamarnya.
Pintu kamar Lova ditutup dengan kasar. Dia melemparkan tasnya ke lantai dan membenamkan wajahnya di atas bantal.
"Arghh." Dia memukul-mukul bantal itu.
Lova menangis. Air mata Lova keluar tanpa bisa dikendalikan. Dia benar-benar merasa kacau.
---
"Lova harus jadi anak kuat yah."
"Siap, mama."
"Mama harus pergi dulu. Kamu janji ya harus jagain ayah terus."
Lova kecil tersenyum dan menganggukan kepalanya.
---
"Lova mau ikut mama aja. Di sini, terlalu sakit," gumam Lova yang merasa sesak di dadanya.
"Lova sering luka ma, udah enggak tahu lagi di mana Lova bisa bahagia." Lova membalikan badannya dan memandang langit-langit kamarnya.
"Lova ngerasa sendirian."
Ting!
Lova bangkit dan mengambil ponselnya di dalam tas. Sebuah pesan masuk dari Bagas membuatnya mengeryitkan dahi.
'Anak kebo! Gue pengen jual lo ke tukang loak. :\'
Lova mengetik balasan dan melemparkan ponselnya ke sisi lain tempat tidurnya.
'Hah?'
Dia berjalan mengambil handuk dan menuju ke kamar mandi. Emosi Lova masih belum stabil dan menutup pintu kamar mandinya dengan keras.
Dia merendamkan dirinya di bathup. Beberapa kali Lova meringis saat luka di wajahnya terkena air. Dia membersihkan luka di wajahnya perlahan sambil menahan sakit.
Sepuluh menit berlalu dan Lova sudah selesai mandi. Dia melilitkan handuk ke badannya dan keluar dari kamar mandi. Lemari pakaiannya dibuka dan dia mengambil satu setel seragam putih abu-abu.
Lova mengenakan seragamnya dan duduk di depan cermin kamar. Dia mengambil kotak P3K miliknya dan mengobati luka di wajahnya.
"Luka fisik masih bisa diobatin pake betadine, kalau luka jiwa obatnya apa?"
๐พ๐พ๐พ
Suara sepatu beradu menuruni tangga. Lova menatap jam tangannya yang sudah menunjukan pukul 06.20 yang artinya 10 menit lagi bus di depan komplek akan tiba.
Dia tidak sengaja melihat mama tirinya yang sedang membolak-balikan majalah kecantikan. Sesekali mama tirinya juga meminum secangkir teh yang ada di atas meja.
Lova menatap malas ke arahnya dan berjalan ke arah pintu keluar tanpa memandang mama tirinya lagi.
"Lova!" panggil Rania yang membuat Lova menoleh.
Rania tersenyum meremehkan, "Gimana semalam tidur di lantai, enak?"
"Bukan urusan lo!" balas Lova.
PLAK!
Mata lova beradu dengan mata ayahnya, "Kamu kalau ngomong sama mamamu yang sopan!" tegur Jason yang membuatnya tersenyum sinis.
"Terserah ayah mau mikir gimana! Lova capek jelasin sesuatu yang enggak akan didengerin!" ujar Lova kemudian berjalan cepat menuju pintu keluar.
"LOVA!"
Kaki Lova memacu langkahnya, dia berjalan cepat menuju halte di depan kompleknya. Diliriknya jam tangan miliknya yang masih menunjukan pukul 06.27, dia berjalan dan duduk di kursi tunggu bus.
Ting!
Sebuah pesan kembali masuk ke ponsel Lova.
'Kebo, lo harus tanggung jawab!'
Lova mengetik balasan untuk Bagas.
'Lo hamil?'
Ting!
'Mulut lo, lop lop, gue diblokir Elin nih!'
Pesan dari Bagas itu membuat Lova menaikan alisnya bingung.
'Kenapa?'
Ting!
'Gue lupa kalau Elin takut sama badut. :('
Ting!
'Jadi, waktu gue kirim foto badut. Nomor gue langsung diblok sama dia.'
Bibir Lova berkedut, dia sama sekali tidak tahu mengapa bisa mengenal orang sebodoh Bagas.
'Bego.'
Ting!
'Lopa anak keboo. Gue ga lagi-lagi minta saran elo. :/'
Lova mengetik balasan untuk Bagas dengan singkat.
'Hm.'
Bus yang ditunggu Lova sudah sampai, dia menaiki bus tersebut dan duduk di kursi yang kosong. Dia memilih duduk di kursi yang dekat jendela.
Sepasang headset terpasang ditelinganya. Lagu favoritnya terputar berulang kali.
Tolong tanyakan pada hujan, apa dia tidak lelah selalu jatuh?
Kursi di sebelah Lova yang tadinya kosong sudah diduduki. Sebuah tangan melepas headset yang dipakai Lova di sebelah kanan.
"Rolan ganteng di sini, check!" ujar Rolan yang sudah duduk anteng di sebelah Lova.
Dia menepis tangan Rolan dan melotot, "Pindah tempat duduk sana!" usir Lova dan membuat Rolan cemberut.
"Gue mana bisa sih kalau jauh-jauh dari calon bini," balas Rolan dengan nada tersakiti.
Binar mata Lova melihat Rolan sinis, "Gue rasa saraf di otak lo ada yang rusak!" hina Lova kemudian memasang headsetnya kembali.
Rolan yang melihatnya bersikap seperti itu malah tersenyum lebar. Ekspresi Lova benar-benar lucu di matanya.
"Gue yakin suatu saat nanti lo bakal jadi istri gue," ujar Rolan mantap yang membuat tangan Lova menjadi gatal ingin memukul kepala Rolan.
"Gue enggak peduli!" tegas Lova kemudian mengabaikan keberadaan Rolan.
Bus yang ditumpangi Lova sudah sampai di depan SMA Pelita Bangsa. Lova menendang kaki Rolan dan melewati tubuh Rolan dengan kasar.
Rolan terkekeh melihat perilaku Lova yang terlalu lucu di matanya, dia ikut turun dari bus.
"Semangat belajarnya ya, Dear," ujar Rolan kemudian berjalan menjauhi Lova.
Wajah Lova tetap datar dan melihat ke arah perginya Rolan dengan jengkel.
"Cowok gila!"
Biru dan Senja itu udah kena lem perekat. Mau dilihat dari seberapa jauh pun, bakalan berdampingan terus. Pokoknya sampai semesta runtuh, Biru dan Senja harus tetap bertemu walau sempat berpisah.
๐พ๐พ๐พ
Bersambung...
-Ketika Senja pergi direbut gelap, apa dia masih akan ingat Biru?-Lova berjalan menyusuri koridor sekolah. Sekitar 4 meter, dia melihat sosok yang dikenalinya sedang berjongkok. Melihat sosok itu, Lova berbalik. Dia malas bertemu Bagas."Ngapa dah, tali sepatu pake copot segala. Loh, ini kok tali sepatu gue sebelah kanan sama kiri beda warna, sih?" Bagas menepuk dahinya karena teledor."Bodo ah. Orang ganteng pake apa aja pasti kelihatan good looking," gumam Bagas lalu berdiri setelah selesai mengikat tali sepatunya.Sendari tadi Bagas mencari keberadaan Elin, tapi tidak ada, bahkan dia sudah bertanya kepada beberapa orang dan mereka juga tidak tahu.Bagas tiba-tiba melihat punggung orang yang dia kenal, "Eh Lova! Lo mau kemana?" teriak Bagas saat melihat Lova berjalan membelakanginya.Lova berjalan semakin cepat. "ANAK KEBO! LO JALAN CEPET BANGET!" teriak Bagas yang membuat Lova berhenti berjalan dan menghela napas. Dia berbalik dan menata
-"Seandainya semesta tahu. Jika sebenarnya aku juga tidak ingin seperti ini. Terkadang semua di luar kendali diri."-๐พ๐พ๐พSuasana kelas terdengar ricuh, Lova duduk dibangkunya dengan suasana hati yang rumit. Suasana hatinya berubah dengan cepat. Dia merasa tidak ingin diusik. Tiba-tiba semerbak asap rokok menyeruak di hidungnya. Aroma permen yang aneh membuat perutnya menjadi mual. Dia melihat ke arah Brian yang merupakan teman sebangkunya. Brian terlihat sedang merokok di kursinya."Rokok lo bau," hina Lova sambil menaruh tasnya di meja dengan kasar."Kalau enggak suka ya, ga usah di sini," balas Brian yang masih menikmati rokoknya."Harusnya lo yang enggak di sini. Ini sekolah bego, bukan tempat nongkrong!" sarkas Lova."Suka-suka gue'lah!" ujar Brian sambil tersenyum sinis ke arahnya."Lo keluar sekarang dan buang rokok lo atau gue aduin ke BK?!" ujar Lova emosi.Alis Brian terangkat dan terkekeh, "Aduin aja kalau berani,"
-"Benci aku sesuka kalian, sampai kalian sadar kalau kalian salah benci sama aku! Aku bukan orang selemah itu."-๐พ๐พ๐พBYUR!Baju Lova basah saat baru saja melangkah ke dalam kelasnya. Matanya terlihat dingin menatap orang yang berada di depannya. Dia melangkah maju dan merasa ingin mencekik Brian."MAKSUD LO APA GUYUR GUE!" teriaknya marah sambil menonjok Brian tapi tidak kena.Brian terkekeh sinis, "Harusnya gue yang tanya, maksud lo apa ngadu ke guru?"Lova terdiam dan menampilkan wajah tidak takut. Tangannya dia lipat di depan dadanya, "Kenapa? Lo sekarang takut'kan? Lagi siapa suruh nantang gue!" ujarnya yang membuat Brian semakin emosi."LO ITU!" tuding Brian.Lova menatap tidak takut. Sempat sejenak dia melihat ke sekeliling yang menampilkan tatapan tidak suka ke arahnya. Dia mengabaikan Brian dan berjalan ke luar kelas. Dia melangkah menuju koperasi untuk membeli seragam.Brian meninju tembok di sampingnya dan b
"Perlahan rasa itu muncul. Awalnya merasa sedikit hilang tapi semakin lama aku jadi ketergantungan. Ketergantunyan dengan kehadirannya."๐พ๐พ๐พLova membuka pintu rumahnya, dia melihat ayahnya sedang duduk di kursi ruang tamu sambil meminum segelas kopi. Jason melirik sekilas ke arahnya dan kemudian mengabaikan Lova.Napas Lova terhembus pelan, tidak ada sapaan, tidak ada pula interaksi kepedulian. Dia melangkah menuju kamarnya dengan raut wajah dingin seperti biasa. Jujur, dia ingin diperhatikan. Dia juga ingin punya tempat berkeluh kesah, ingin menyampaikan jika dia itu sedang sedih, sedang senang, atau berbagai perasaan yang sedang dia rasakan."EH ADA BABU!" teriak Rania sambil membawa berbagai paper bag belanjaan.Lova berhenti sejenak dan menoleh ke arah Rania, "Maksud lo apa?!" tanya Lova yang tidak terima dipanggil babu.Rania terkekeh sinis, "Daripada marah, sini bantuin nyonya bawa belanjaan!" suruhnya yang membuat Lova mengepalkan
"Kita kacau, sama-sama kacau. Hanya saja penyebab kacau kita berbeda, walau pasti rasa sakitnya sama saja."๐พ๐พ๐พElin datang ke rumah Bagas dengan penampilan kacau. Matanya bengkak dengan pakaian kotor terkena pasir pantai. Dia berdiri di depan pintu rumah Bagas."Gas, buka!" ujar Elin sambil mengetuk pintu rumah Bagas pelan.Bagas yang sedang menonton televisi itu mendengar suara sayup-sayup. Suara itu mirip dengan Elin, senyum terbit di bibir Bagas, "Kayaknya gue terlalu cinta sama Elin deh sampai suara dia sering kedengeran di telinga gue."Tok! Tok! Tok!"Gas, elo ada di rumah?" Suara Elin terdengar lirih sambil mengetuk pintu rumah Bagas sedikit keras.Bagas yang mengetahui Elin datang ke rumahnya itu melompat bangkit dari posisi rebahannya di kursi.Dia merapikan pakaiannya dan menyisir rambutnya. Bagas berjalan dengan gaya cool ke arah pintu. Dia membuka pintu dan terkejut saat Elin tiba-tiba memeluknya."Gas...
"Sepinya aku, sendirinya aku, tidak ada dari kalian yang tahu. Bahkan semesta terlihat berpaling layaknya aku hanya debu buangan."๐พ๐พ๐พ"Lova harus jadi perempuan kuat."Air mata Lova menetes tanpa dia sadari. Helaan napasnya pelan, tangannya dengan erat memeluk guling di dekapannya. Dia tertidur sambil menangis."Aku ingin hilang, pergi dari hingar bingar bumi yang tajam seperti karang lautan, di mana bisa menenggelamkan perahu layar.""Mama," ucap Lova yang mengigau dalam tidurnya."Jaga diri, mama pergi.""MAMA JANGAN PERGI! HAH!" teriak Lova lalu bangun dari tidurnya.Dia menyenderkan punggung di bantal dan menelungkupkan tangan di wajahnya. Perasaan tidak nyaman mulai menjalar, dia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Takut, marah, kecewa, semua menjadi satu. Semakin dia berpikir, hanya pusing yang akan dia rasakan."Gue kuat!" tegas Lova berkali-kali pada dirinya. Bahkan, ribuan kali mungkin su
Rolan di seret hingga keluar dari bar. Gadis itu entah mengapa menjadi terlihat aneh di matanya. Kekehan sinis mulai keluar dari bibir Rolan untuk gadis yang menyeretnya itu."Ternyata sikap baik lo selama ini cuma akting ya, Bil!" sindir Rolan. Billa hanya tersenyum ketika mendengar ucapan Rolan."Heh, soal itu bukan urusan lo! Gue ke sini karena butuh bantuan lo!" balas Billato the point."Lo? Butuh bantuan? Kayaknya lo salah orang deh, lagian kita enggak pernah deket, jadi ya, ngapain juga gue bantuin elo," balas Rolan tidak tertarik membantu Billa."Gue berani dateng ke sini karena gue yakin elo bakal bantuin gue," ucap Billa yakin sembilan puluh lima persen jika Rolan akan membantunya."Sebegitu yakinnya elo? Hah, gue enggak punya waktu buat ngobrol sama lo lama-lama. Permintaan bantuan lo gue tolak!" putus Rolan kemudian berjalan meninggalkan Billa."LO BENERAN ENGGAK MAU TAHU PENYEBAB CERAINYA ORANG TUA LO KARENA SIAPA?
Suasana pagi ini riuh, Lova berjalan menyusuri lorong sekolah. Banyak pasang mata yang meliriknya dengan sinis."Itu ya yang namanya Lova? Anak sok baik dan ngerasa pengen jadi pahlawan? Gila kali ya, gara-gara dialipbalmbaru gue disita pas pengecekan kemarin!" keluh seorang siswi yang duduk di depan kelas IPS sambil menatap Lova sinis.Langkah kaki Lova terlihat santai seolah tidak peduli dengan sindiran di sekitarnya. Wajahnya datar walau perasaannya sedikit tidak nyaman."Tuh liat, si tukang ngadu yang mukanya belagu!""Eh, lo tahu enggak? Dia itu dari awal masuk SMA tuh enggak disukain sama anak kelasnya," rumpi seorang siswi yang baru saja berangkat dan mendengar bahan ghibah pagi ini.
"Kamu! Jauhi Rolan!" teriak Elin saat melihat Lova berjalan mendekatinya.Lova terlihat bingung dengan perilaku Elin. "Lo gila ya?" tanya Lova pada kakak kelasnya itu."Kamu!?" Elin menuding Lova dengan tangan gemetaran. Dia mulai menangis kencang dan menganggap Lova terlalu kasar."Siapa yang gila!? Aku enggak gila! Aku cuma mau kamu ngejauhin Rolan!" teriak gadis itu frustasi.Lova ikut frustasi. Dilihat darimana dia mendekati Rolan? Jika bisa dia menjauhi Rolan, gadis itu sangat bahagia. "Gue ga pernah deketin Rolan!" ucap Lova jujur.Tangis Elin semakin menjadi-jadi. Dia merasa Lova tidak ingin menjauhi Rolan. Dia benar-benar tidak bisa menerima keputusan Lova."Kalau kamu enggak ngejauhi Rolan, aku bakal bunuh diri!" teriak Elin kalap.Lova menggaruk kepalanya bingung. "Gue beneran enggak deketin Rolan! Dia yang deketin gue, Kak Elin," ucap Lova berusaha merendahkan suaranya. Dia menjelaskan kenyataannya dengan nada sabar."Kamu! Kamu fitnah Rolan!? Kamu enggak mau ngejauhin dia!
Rolan dan Love berjalan beriringan. Mereka menuju ke gerbang sekolah. Di sisi lain, Elin melihat mereka berdua. Perasaan gadis itu berkecambuk. Hatinya sangat sakit. Dia benar-benar tidak suka melihat Rolan berjalan dengan gadis lain. Bagas yang berada tidak jauh dari Rolan dan Lova menatap khawatir saat dia melihat Elin. Laki-laki itu berjalan mendekati Elin. "Lo gapapa, Lin?" tanya Bagas sambil memegang tangan Elin.Mendapati perilaku Bagas, gadis itu langsung menghentakkan tangan pemuda itu. "Jangan deket-deket sama Elin lagi, Gas!" ujar gadis itu. Pandangan gadis itu masih menatap ke arah Rolan. "Elin benci cewek itu!" ucap Elin dengan nada marah lalu pergi meninggalkan Bagas.Mendengar ucapan gadis yang dicintainya, Bagas ikut marah. Dia menatap ke arah Lova dengan tatapan tajam. "Lov, gue tahu lo ga ada salah apa-apa ke gue, tapi karena Elin benci sama lo artinya lo juga orang yang gue benci!" ketus Bagas.Laki-laki itu terus melihat ke arah Elin yang semakin menjauh. Melihat
Rolan bersedekap sambil menyenderkan tubuhnya di tembok dekat gudang. Seorang gadis tersenyum bahagia sambil berjalan mendekatinya. “To the point!” ujar Rolan kemudian disambut kekehan dari gadis di depannya. “Gue suka cara lo, kerja bagus! Biar Bagas benci Lova dan dia juga enggak akan bisa miliki Elin.” Tepuk tangan terdengar dari gadis itu.“Waktu gue enggak banyak,” ucap Rolan lagi.Billa di depannya memberikan sebuah foto yang robek. “Belum sepenuhnya berhasil, setengah fotonya lagi gue kasih kalau semua udah selesai.” Rolan menerima foto robek itu dan tangannya mengepal.“Dia?” tanya Rolan pada gadis yang masih berdiri di depannya.“Menurut lo?” tanya balik Billa.“Sialan!” umpat Rolan yang membuat gadis di depannya semakin tersenyum lebar.“Saling menguntungkan, bukan?” Mata Rolan menjadi dingin saat mendengar ucapan Billa. Sorot m
Setelah bel masuk yang menandakan selesainya jam istirahat pertama tadi, Elin terkejut melihat video Rolan mencium kening Lova. Dia menjadi kacau dan terlihat pucat. Guru kimia di kelas XI IPA 1 menyuruhnya untuk istirahat di UKS saja. Saat ini, Elin gemetar di dalam ruang UKS. Hatinya terasa diremuk dengan kasar. Dia takut, sangat takut. Ketakutannya saat ini adalah benar-benar kehilangan harapan kembali dengan Rolan. Diputar ulang video Rolan mencium kening Lova. Bibirnya tergigit pelan, air mata lolos mengalir ke pipinya.“Rolan pernah janji enggak bakalan ninggalin Elin. Tapi, sekarang Rolan pergi. Dulu pernah janji jagain Elin terus. Sekarang, apa udah enggak ada Elin lagi di hati Rolan?” gumam Elin dengan wajah pucat.---“Lin, sini naik! Rolan mau bonceng Elin kemana aja yang Elin mau!” teriak Rolan pada perempuan yang baru saja keluar dari rumahnya.Perempuan itu berlari ke arahnya dengan mata memerah. “E
Lala melihat ponselnya sambil tersenyum sinis, “Ada bahan gosip nih.” Dia berjalan cepat menuju kelasnya dan menghampiri sekumpulan anak kelasnya. “Eh, lo pada tau enggak. Kak Rolan sama Kak Elin ternyata udah putus,” ujar Lala heboh di kelas.“Gimana ceritanya? Bukannya Kak Elin tuh cinta banget ya sama Kak Rolan? Dia sering di bully cewek-cewek di IG nya tapi masih tetep optimis sama hubungan mereka,” sahut Taya sambil menunjukan foto IG Elin di layar ponselnya. “Enggak mungkin mereka putus deh, orang foto mereka berdua aja masih ada di IGnya Kak Elin,” lanjut Taya.“Serius demi apa kalau foto mereka belum di hapus dari IG Kak Elin?” tanya Lala merebut ponsel milik Taya. “Aneh loh, orang anak kelas 11 pada heboh kalau Kak Rolan sama Kak Elin putus kok! Beritanya baru aja pas istirahat ini,” ujar Lala lagi.“Seriusan?” tanya Taya tidak percaya.“Beneran!&rdquo
Bagas mengetuk jarinya berulang kali. Pikirannya melayang pada ucapan Billa. ‘Lova suka sama lo. Dari kalimat itu lo pasti sadar sesuatu’kan?’ Bagas menggelengkan kepala, ”Pasti ada salah paham di sini.” batinnya. Dia yakin jika Lova sama sekali tidak mungkin melakukan hal semacam itu. Sekalipun terkadang sikap Lova tidak baik, tapi dia yakin hati gadis itu tidak buruk. Bagas beranjak dari tempat duduknya. “Gue duluan, Bil,” ujar Bagas meninggalkan Billa. Melihat Bagas yang mulai menjauh itu, bibirnya mengulas senyum tipis.Di meja makan lain, Lova sedang menikmati baksonya. Entah mengapa ketika memakan bakso itu, dia menjadi teringat Bagas. Teringat perdebatannya tentang bakso bulat dan bakso runcing. Senyum di bibirnya muncul tanpa dia sadari."Woy, calon bini!" teriak Rolan sambil berlari menuju meja Lova. Orang yang ditegur itu hanya melirik sekilas dan melanjutkan makannya. Rolan yang melih
Bel istirahat berbunyi. Bagas menanyai teman sekelasnya apakah ada yang tahu siapa yang menaruh kertas kecil di lacinya, tapi tidak ada satu orang pun yang tahu. Vava melihat Bagas mencari seseorang yang menaruh secarik kertas di lacinya itu berpikir keras. Pasti orang yang menaruh kertas itu adalah fans baru Bagas. Dia harus memberitahukan berita ini ke Billa agar bisa mengantisipasi adanya saingan baru untuk Billa.‘Bil, ada orang yang naruh kertas kecil di laci Bagas. Awas lo punya saingan baru!’ Pesan itu dikirimkan oleh Vava ke nomor Billa.‘Apasih, Va. Jangan ngeledekin lagi deh.’ Vava yang membaca balasan dari Billa itu berdecak sebal. Temannya ini masih tidak mau mengakui jika dia mencintai Bagas.“Va, lo tahu ada yang ke meja gue terus naruh kertas kecil enggak?” tanya Bagas kepada Vava. Gelengan kepala Vava membuat Bagas mengangguk. “Okey kalau lo ga tahu. Thanks.” Bagas menyerah menanyai
Billa berjalan ke kelasnya sambil tersenyum kecil, dia berharap jika Bagas akan mengingat dirinya ketika mendapat secarik kertas tadi. Bel masuk sekolah sudah berbunyi. Billa masuk ke dalam kelas dan duduk satu bangku dengan Elin. Dia dan Elin memang satu kelas di XI IPA 1 sedangkan Bagas ada di kelas XI IPA 2. "Hey, Lin," sapa Billa ramah. Elin tersenyum kecil dan menganggukan kepalanya. "Billa darimana?" tanya Elin pada Billa. "Dari kelas XI IPA 2," jawab Billa. "Tadi waktu lo balik, Bagas udah sampe ke kelasnya'kan?" tanya Elin lagi memastikan jika Bagas tidak terlambat masuk kelas. Billa terdiam sejenak lalu menjawab,"Iya, udah." "Syukurlah kalau udah, soalnya tadi Bagas nemenin Elin dulu," papar Elin menunjukan jika Bagas tadi bersamanya. Billa yang mendengar hal itu tersenyum kecil. "Lo deket banget sama Bagas ya?" Senyum merekah dibibir Billa sambil menatap lekat ke arah Elin. Mata Elin bersinar, โDeket ban
Bagas berjalan dengan buru-buru menuju tempat di mana Elin berada. Dia khawatir jika terjadi apa-apa dengan Elin. Pasalnya Elin adalah gadis rapuh yang tersentuh sedikit bisa hancur.Dia membuka ruangan perpustakaan yang sepi. Bagas berjalan perlahan menuju meja baca di paling pojok ruangan. Dunianya sedang menangis di depan sana. Hati Bagas menjadi ikut sedih."Lin," panggil Bagas pelan sambil mengusap puncak kepala Elin.Elin mendongak dan matanya merah. Dia benar-benar merasa hancur dan memeluk Bagas dengan erat, "Gas, gue bener-bener enggak tahu. Hati gue rasanya remuk dan sakit. Gue enggak kuat," tangis Elin pecah semakin keras. Dia tidak tahu mengapa kebahagiaannya pergi, keluarganya hancur, dan sangga dia hilang."Jangan sedih,