Happy Reading*****"Kalau bisa sedikit percepat laju mobilnya supaya bisa segera mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan ibunya Kiran. Tadi, Agung ngabarin dengan tergesa-gesa. Katanya, ibumu sedang ditangani di ruang UGD," jelas Wijananto. Walau baru mengenal besannya, tetapi lelaki paruh baya itu sudah menganggap seluruh keluarga Kiran adalah keluarganya sendiri. Ketika mendapat telepon dari saudara tertua menantunya, Wijananto langsung membangunkan Laila dan mengajaknya untuk pulang walau Naumira belum bangun. Kabar duka yang dibawa Agung mampu membuat sang pemilik usaha garment tersebut cukup panik."Baik, Pa," jawab Amir patuh dan segera menambah kecepatannya kendaraannya. "Kita nanti, langsung ke rumah sakit, apa gimana?""Kayaknya, langsung ke rumah sakit aja, Mir. Papa, nggak tenang." Lelaki paruh baya itu menengok ke belakang. Istri, menantu beserta cucunya masih memejamkan mata. "Aku juga nggak tenang, Pa. Agung nggak pernah kabar-kabar setelah aku menikahi adiknya,
Happy Reading*****Kiran diam, cuma bisa menatap sang suami dengan perasaan sedih, khawatir, panik dan segala macam ketakutan lainnya tentang keadaan Nur. "Bukan salah Farel kalau Ibu sekarang terbaring di ruang UGD," ucap Agung mencoba menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. Lelaki yang disebutkan namanya oleh Agung itu, cuma bisa duduk lemas di bangku sebelah Laila dan Wijananto."Lalu, kenapa dia berkata seperti tadi jika memang bukan salahnya?" Tatapan Kiran penuh selidik pada saudara tertuanya. Anggota keluarga lainnya juga menatap pada si sulung, meminta jawaban kepastian tentang asal mula serangan jantung yang diderita perempuan paruh baya tersebut. Lelaki dengan potongan rambut upper cur itu menatap Kiran dengan lembut. "Semua itu karena orang yang membuat Ibu terkena serangan jantung adalah salah satu kerabat mendiang ibunya Farel.""Adik tirinya Mama, nggak setuju kalau aku tinggal bersama Ibu. Dia juga menuntut hak waris yang seharusnya didapatkan dari harta peningg
Happy Reading*****Dokter berjilbab tersebut mengembuskan napas panjang. Menatap semua orang yang ada di hadapannya bergantian. "Sebaiknya, salah satu dari kalian ikut ke ruang saya. Saya akan menjelaskan bagaimana keadaan pasien.""Kamu saja yang ikut dokter ke ruangannya, Gung," usul Amir."Baiklah," jawab Agung, "nitip Ibu dan lainnya." Lelaki dengan kulit kuning langsat itu menepuk lengan sahabatnya. Lalu, pergi mengikuti sang dokter setelah sempat berbicara sebentar dengan Farel.Kiran kembali duduk di samping sang suami, sementara Farel pamit untuk menengok Nur di ruang UGD. Suara ponsel dari dalam saku si bungsu terdengar begitu nyaring membuat Kiran dan Amir menoleh padanya padahal Farel terlihat enggan untuk mengangkat penggilan tersebut. "Dik, kenapa nggak diangkat. Barangkali ada hal penting dari si penelpon," ucap Kiran.Farel memutar bola mata malas. "Dia yang sudah menyebabkan Ibu masuk rumah sakit, Mbak. Aku malas ngomong sama dia.""Maksudmu, Bibi yang nuntut warisan
Happy Reading*****"Anu gimana, Dok?"Agung terus menuntut jawaban sang dokter. Tatapannya kini bahkan tak lepas dari wajah si dokter cantik.Terdengar helaan napas dari perempuan yang mengenakan jas putih di depan saudara sulung Kiran. "Sebenarnya, Mas ini tanya seperti itu untuk apa?""Saya pengen kenal Bu Dokter lebih dekat. Kalau sudah menikah, ya, saya mundur," kata Agung singkat, padat, jelas membuat perempuan di depannya melotot dan menganga."Kenapa, Dok? Apa Dokter sudah punya suami?" tanya Agung mengulang kalimat sebelumnya. "Eh, belum," jawab sang dokter, spontan. "Alhamdulillah. Kalau gitu, saya bisa minta kontaknya?""Eh," ucap si dokter makin terkejut."Kenalkan, nama saya Agung." Saudara tertua Kiran mengulurkan tangannya. Namun, sang dokter menangkupkan kedua tangannya di depan dada."Saya, Safira. Panggil saja Fira," sahut si dokter yang ternyata memiliki lesung pipi. Semua itu bisa Agung lihat dengan jelas ketika si perempuan tersenyum."Baiklah, Dok. Kapan-kapan,
Happy Reading*****Kiran menatap benci pada perempuan yang telah berteriak tadi. Amir langsung menghampiri sang istri dan merangkulnya. Lelaki itu tidak ingin Kiran meluapkan semua emosinya."Sayang, sabar," bisik Amir.Kiran menipis rangkulan sang suami. Lalu, menatap sang lelaki dengan kesal. "Mas, aku cuma membela keluargaku. Jangan sampai ada orang sepertinya yang mengatakan seenaknya saja. Apa salahnya Farel sampai dia berkata sekasar tadi?""Oh, rupanya kamu yang sudah menghasut sepupuku ini untuk memenjarakan mamaku?" tanya si perempuan sinis pada Kiran."Tutup mulutmu, Rin!" bentak Farel. Emosinya mulai naik akibat perkataan si perempuan yang sejak tadi berkata dengan keras.Agung menepuk bahu si bungsu. "Sabar, Dik. Ingat, ini rumah sakit," bisiknya. Lalu, lelaki yang seumuran Amir itu menatap perempuan berambut kecokelatan dengan tajam. "Siapa kamu sebenarnya? Jangan asal menuduh orang. Kamu bisa dikenakan pasal pencemaran nama baik. Kiran nggak pernah menghasut siapa pun
Happy Reading*****Sang dokter menarik garis bibirnya setinggi mungkin, pipinya mulai terasa panas. Mungkin saat ini sudah kemerahan akibat perkataan Agung dan pertanyaan Kiran tadi."Dok, apa benar yang dikatakan putra saya?" tegas Nur. Kebahagiaan itu tidak bisa membohongi, raut wajahnya bersinar walau keadaan tubuh sedang tidak baik-baik saja.Sang dokter yang beberapa saat lalu sempat berbincang tentang masalah pribadi dengan Agung, mulai bingung harus menjawab apa. Pasalnya, dia belum mengatakan apa pun keputusannya dan si lelaki juga tidak pernah mengatakan bahwa dia akan melamarnya. Jadi, mana mungkin dokter bernama Rini itu akan mengiyakan perkataan Nur.Melihat kebingungan Rini, Kiran nyeletuk, "Mas saya asal bicara kayaknya. Maaf, ya, Dok.""Ish, Mas," kesal Laila pada putra sulungnya. "Kenapa mesti berbohong, sih?""Mas, nggak bohong, Bu. Cuma, mungkin dokter Rini malu kalau ditodong pertanyaan secara langsung seperti tadi," sahut Agung, "iya, kan, Dok?""Mas, bukan begitu
Happy Reading*****Agung dengan cepat menjulurkan tangannya. "Kenalkan, nama saya Agung. Saya adalah lelaki yang sedang mencoba mendekati Dokter Rini dan berniat menjadikan beliau istri," ucapnya penuh percaya diri.Perempuan berpakaian serba putih itu membulatkan mata ketika mendengar pengakuan Agung. Heran juga kenapa lelaki yang baru dikenalnya itu bisa begitu percaya diri mengatakan hal demikian. "Saya, Satya," ucap lelaki yang berpakaian sama seperti Rini. Setelah memperkenalkan diri dan menjabat tangan Agung. Lelaki pemilik nama Satya itu menoleh pada Rini. "Selamat, ya, Dek. Akhirnya ada lelaki yang berani dengan tegas mengatakan sedang ingin mendekatimu.""Ih, Mas Satya apaan, sih." Rini terlihat makin manja dengan melingkarkan kedua tangannya pada pergelangan Satya.Tangan Agung terkepal. Walau perempuan di depannya belum resmi mengakatan menerima ajakannya menikah, tetapi tal seharusnya dia bertindak kelewat mesra di depan Agung seperti sekarang. Lelaki mana yang tidak ak
Happy Reading*****Kali ini, reaksi berbeda ditunjukkan oleh Rini. Perempuan itu terlihat seperti takut dan tidak nyaman mendengar sapaan seorang dokter lelaki berperawakan tinggi serta berkacamata."Masih berani gangguin adikku?" kata Satya dengan raut muka marah dan menyeramkan."Siapa juga yang gangguin adikmu. Aku cuma menyapa saja. Apa nggak boleh?" Bukannya takut, lelaki yang berprofesi sama seperti Rini dan Satya itu malah memasang senyuman."Nggak boleh. Ingat, ya, aku bisa saja melaporkan lagi perbuatanmu yang dulu itu," sahut Rini sambil menggeser posisi berdirinya agak ke belakang sehingga tubuh saudara sepersusuannya menjadi tameng penghalang dari lelaki yang baru saja menyapanya.Sementara itu, Agung masih diam terpaku di tempatnya berdiri sambil menatap dan mendengarkan apa yang diobrokan oleh ketiga dokter di depannya. Dia juga mulai menyimpulkan sendiri bahwa dokter yang baru saja menyapa Rini tersebut pasti memiliki suatu hubungan di masa lalau dengan gadis yang ingi
Happy Reading*****Seluruh keluarga Wijananto telah berkumpul di meja makan untuk sarapan. Nasi goreng pesanan Naumira juga sudah terhidang walau bukan Kiran yang membuatkannya karena perempuan itu diminta Amir untuk menyiapkan semua keperluan suaminya. Walau semula, Kiran tidak begitu tertarik dengan nasi goreng pesanan Naumira. Namun, ketika melihat tampilan makanan tersebut, semuanya berubah. Kiran seperti menemukan harta Karun ketika mencium dan melihat aroma nasi goreng tersebut."Njenengan mau sarapan apa, Mas?" tanya Kiran sebelum mengambil nasi goreng yang cukup menggugah seleranya."Aku nasi putih, sayur bayam aja."Cekatan, Kiran mengambilkan apa yang disebutkan sang suami, sedangkan si kecil sudah mengambil nasi goreng terlebih dahulu. Jadi, Kiran tidak perlu melayaninya lagi.Selesai menyiapkan sajian untuk sarapan suaminya, Kiran ingin memindahkan nasi goreng ke piringnya. Baru akan menyentuh nasi goreng tersebut, perut perempuan itu bergejolak.Mual mulai menyerang kar
Happy Reading*****Belum sempat Kiran menjawab pertanyaan sang mertua, suara Amir terdengar menginterupsi."Ada apa, Ma? Pagi-pagi, kok sudah mengumpulkan mereka semua," tanya Wijananto dan Amir secara bersamaan.Kiran menarik tangan kanan sang suami, mencium punggung tangan tersebut penuh hormat. Beberapa detik kemudian, dia berbisik.Amir melihat semua pegawainya dengan muka malu. "Maaf, ya. Karena kesalahan saya, kalian kena omelan Mama.""Hah, maksudnya gimana?" tanya Laila dengan mata terbuka sempurna."Jadi, gini, Ma," ucap Amir yang menceritakan kejadian semalam bersama sang istri. Semua orang mendengarkan dengan baik kecuali Kiran yang menunduk dalam karena merasa bersalah telah membuat para pembantunya dimarahi Laila."Maafkan Kiran, ya, Ma. Sebenarnya, Kiran mau membereskan semua peralatan kotor, tapi sama Mas Amir nggak dibolehin. Kata beliau, keburu ngantuk. Jadi, kami langsung ke kamar untuk istirahat," jelas Kiran. Dia masih menunduk karena malu.Wijananto tertawa kera
Happy Reading*****Amir melongo mendengar perintah sang istri. "Sayang, kan, kamu yang tadi ngomong lapar. Kenapa sekarang Mas yang kamu suruh makan? Ini gimana konsepnya? Mas nggak biasa makan sepagi ini, lho. Lagian, bentar lagi subuh dan jam sarapan sangat dekat.""Jadi, Mas, enggak mau makan masakanku?" tanya Kiran dengan suara bergetar."Bukan gitu, Sayang." Amir meremas rambutnya. Benar-benar bingung harus menjelaskan bagaimana pada sang istri. "Ya, sudah sini. Aku mau buang saja makanannya." Kiran mengambil kembali piring berisi cap cay dan juga es jeruk nipis dari hadapan suaminya.Amir bergerak dengan sangat cepat, merebut benda yang dipegang Kiran. "Oke ... oke. Mas akan makan semua ini, tapi dengan syarat.""Apa?" Kiran menatap sang suami dengan kening berkerut. "Kalau enggak ikhlas melakukannya, mending aku buang saja makanan ini.""Jangan, dong. Mas akan menghabiskannya asal kamu memenuhi syarat itu.""Cepetan ngomong. Apa syaratnya?" pinta Kiran. Perempuan itu tiba-tib
Happy Reading*****"Aduh, kok, malah kenceng nangisnya?" Amir pun panik. "Pokoknya, kalau Mas enggak mau. Aku turun di sini saja. Aku mau jalan kaki ke supermarket itu terus nyari orang yang bisa buatkan aku tahu lontong," kata Kiran, ngaco.Amir meremas rambutnya, mulai bingung dan panik menghadapi sikap sang istri. "Jangan gitu, dong, Sayang. Oke, Mas bakalan masak untuk kamu, tapi kamu harus berjanji nggak akan marah kalau rasanya nggak sesuai harapanmu," kata lelaki itu."Terima kasih, Sayang." Kiran memeluk Amir dan mencium pipinya. Tangsinya pun terhenti bahkan kini wajah perempuan itu terlihat begitu bersinar.lHampir pukul dua pagi, Kiran dan Amir berbelanja di super market setelah mencari bahan-bahan apa saja yang diperlukan untuk membuat tahu lontong khas bumi Blambangan. Melihat banyaknya sayur dan buah di hadapannya, indera Kiran berbinar-binar apalagi ketika melihat wortel dan kembang kol. "Mas, kayaknya aku pengen masak cap cay saja, deh," kata Kiran. Perempuan itu me
Happy Reading*****Melihat kepergian Amir, Kiran mulai panik. "Mas, maaf. Aku beneran enggak ingat di tanggal sepuluh, dua bulan lalu. Tapi, bukan berarti aku enggak sayang sama njenengan. Jangan kekanakan, dong, Mas," ucapnya supaya sang suami tidak marah lagi. Amir tidak menggubris perkataan Kiran, dia memilih melanjutkan langkahnya ke kamar mandi. Sengaja memang, supaya sang istri menyadari kesalahannya dan tidak mengatakan hal-hal yang tidak mengenakkan lagi.Bukankah pernikahan itu adalah ibadah terpanjang. Jadi, mana mungkin Amir akan dengan mudah melupakan ikrar suci yang sudah diucapkannya. Baru juga dua bulan pernikahan, tetapi Kiran sudah menuduhnya sembarangan. "Mas, kamu marah sama aku?" tanya Kiran, sedikit berteriak. Amir tak menjawab bahkan tidak menoleh pada Kiran sama sekali. Namun, bahunya sempat terangkat ke atas. "Mas, ih. Maafin aku," ucap Kiran sekali lagi. Tak tahan dengan sikap diam suaminya, perempuan itu turun dari ranjang walau tanpa menggunakan sehelai
Happy Reading*****Sang sopir menatap Amir dengan ketakutan. Tangannya bahkan bergetar ketika berusaha menghentikan sang tuan rumah. "Pak, tolong maafkan sikap istri saya. Dia mungkin lagi banyak pikiran, makanya ngomong kasar seperti tadi. Padahal Bapak kan tahu sendiri kalau Kiran itu nggak pernah suka jika ada suara keras," kata Amir.Sopir yang bernama Widodo itu mengangguk. "Sebenarnya, saya juga salah, Pak. Nggak seharusnya menuruti semua keinginan Mbak Rara. Benar kata Mbak Kiran," ucap lelaki paruh baya itu dengan suara bergetar dan kepala menunduk."Jadikan pelajaran saja, ya, Pak. Lain kali, sekiranya menurut Bapak permintaan anak saya agak keterlaluan, tolong ingatkan saja. Kalau Rara ngeyel, njenengan bisa menelpon saya. Biar saya yang menasihatinya. Mungkin itu saja, Pak. Njenengan boleh melanjutkan pekerjaan lainnya." Amir berusaha tersenyum walau pikirannya masih terus berputar pada perubahan sikap sang istri. Sepeninggal sopir tersebut, Amir menyusul istrinya ke kam
Happy Reading*****Tak mau masalahnya dengan sang istri membesar, Amir kembali melakukan panggilan pada Kiran. Namun, perempuan itu selalu menolak panggilannya. "Dia ini kenapa, sih?" tanya, menggerutu sendirian. "Nggak biasanya Kiran rewel gini. Apa aku melakukan kesalahan padanya, ya?""Dih, ngomong sendiri kayak orang gila. Kenapa?" Syaif sudah duduk di hadapan sahabatnya tanpa diketahui kedatangannya.Amir melirik sahabatnya yang kini sudah tidak bekerja di bawah kepemimpinannya. Lelaki itu saat ini sudah menjadi pemimpin di perusahaan papanya sendiri. "Kapan datang kok, aku nggak tahu?""Ya, karena kamu fokus sama ponsel dan ngomel sendiri. Makanya, pas aku buka pintu ruangan nggak denger. Kenapa, sih? Ada masalah sama Rara?"Amir menghela napas panjang, lalu menggelengkan kepala. "Terus?" tanya Syaif, penasaran. "Nggak mungkin kamu ada masalah sama Kiran?""Nggak ada masalah sama dia juga. Cuma, hari ini sikap Kiran tuh aneh banget. Dari pagi, dia kayak emosian terus. Barusa
Happy Reading*****"Hei, belum juga dia membuka cadar. Kenapa kamu sudah mengucap alhamdulillah seolah pilihanmu itu benar Fitri," sahut Wiranto."Pa, aku kenal betul suara istriku," sahut Syaif yang langsung mengarahkan tangannya membuka cadar si perempuan."Hei!" teriak semua orang."Aduh, maaf," ucap Syaif ketika mengetahui siapa perempuan di balik cadar tersebut."Kenapa? Apa dia istriku?" tanya Agung dengan mata terbuka sempurna. "Kamu lihat sendiri, deh. Maaf, ya, Gung." Syaif memasang wajah sedih penuh penyesalan.Di saat Syaif terlihat sedih, semua orang malah tertawa. Mereka tidak menyangka jika perempuan yang dipilih sang pengantin adalah istri orang lain."Ish, dasar. Nggak bisa mengenali istri sendiri. Pantas saja kamu selalu kalah dari Amir," celetuk mamanya Syaif. Agung bahkan memukul pelan lengan Syaif. "Gimana ceritanya kamu bisa mengakui istriku?""Habisnya, istrimu Makai cincin sama kayak yang aku belikan untuk Fitri," alibi Syaif untuk menutupi kesalahannya. Pa
Happy Reading*****"Kamu masih yakin kalau dia, Kiran?" tanya Laila seolah mengerti kegalauan putranya setelah mendengar dehaman perempuan bercadar yang dipilih Amir. Papinya Naumira terdiam. Sorot mata fokus mengamati perempuan yang telah dipilihnya. Semua mata ikut menatap dua orang tersebut. Kini, bukan Syaif yang menjadi pusat perhatian semua orang, tetapi Amir dan perempuan pilihannya. Setelah beberapa detik mengamati, Amir kembali berkata, "Aku yakin dia istriku, Kiran, Ma. Nggak akan kubiarkan dia mengecohku.""Kalau sampai salah gimana, Nak? Kiran pasti marah," peringat Nur. "Insya Allah, nggak akan salah, Bu. Ayo buka!" perintah Amir tak terbantahkan bahkan tangannya sudah bersiap untuk membuka cadar perempuan tersebut. "Tunggu, Mir. Jangan gegabah. Kalau sampai salah, kamu pasti malu," bisik Agung. Amir menarik garis bibirnya dan menggelengkan kepala. "Insya Allah, aku nggak akan salah. Cintaku akan selalu menuntunku untuk bisa mengenali Kiran. Di mana pun dia berada