Baru beberapa menit yang lalu Chika telah meninggalkan jendela kamar Dirga yang masih terbuka lebar dan menampilkan laki-laki itu yang masih berkutat dengan buku-bukunya. Namun, gadis itu kembali muncul ke permukaan jendela kamarnya, menatap Dirga dari kejauhan.Nafasnya terbuang kasar, dia meletakkan dagunya pada tumpukan dua tempurung tangannya di jendela. Entah kenapa, Chika merasa jika tahun pelajaran kali ini terasa lebih cepat dari sebelumnya. Padahal, tadinya dia masih melihat Dirga banyak bermain atau pergi ke sirkuit secara diam-diam."Berarti kalau dia lulus, gue sendirian lagi?" tanyanya pada diri sendiri.Mengingat jika nanti Dirga akan kuliah dan mengharuskan laki-laki itu tinggal terpisah dengan kedua orang tuanya, dengan dirinya, membuat Chika merasa sedikit tidak rela.Dia menjentikkan jarinya, saat sesuatu menyambangi kepalanya. Lantas mendesis beberapa kali sampai laki-laki itu menoleh. "Buka hp lo," katanya.Sedikit menekuk alis, Dirga turun dari kursinya menuju ran
Dirga tidak tahu, jika menatap wajah Chika dari dekat nyatanya lebih berbahaya daripada melihat pemandangan alam dari ujung tebing. Matahari yang mulai turun juga semakin membuat penerangan pada wajah Chika berkurang, namun mampu menghadirkan efek temaram lembut."Nggak bisa nahan apa?" tanya Chika.Tatapan lekat itu sukses terbuyarkan usai pertanyaan Chika. Tubuhnya bergerak ke belakang, bersandar pada batang pohon yang berdiri kokoh, lantas melipat kedua tangannya di depan dada. "Rasa penasaran gue," sejenak dia menjeda kalimatnya. "Ujian gue masih lama. Tapi, lo malah minta sesuatu sekarang," katanya lagi disertai dengan hembusan nafas panjang."Ya, biar lo penasaran," jawabnya dengan kekehan.Tidak menimpali lebih jauh, Dirga justru mengalihkan pandangannya ke lain arah. Dia diam-diam menarik tipis salah satu sudut bibirnya yang dia yakini tak akan disadari oleh Chika.Penantian yang semakin lama terasa membosankan itu telah berakhir, setelah Chika menepuk-nepuk lengan Dirga saat
Andai saja pembunuhan tidak diatur dalam undang-undang, mungkin Chika sudah menggunakan salah satu gunting di atas meja untuk menggunting urat nadi Dirga saat ini. Terlihat tak memiliki beban, Dirga justru tersenyum ketika melihat dirinya dari pantulan cermin."Mas, dibotakin aja. Sampai kulit kepalanya terlepas, juga nggak apa-apa," kata Chika."Jangan, dong. Nanti helm yang aku pakai jadi longgar," kata Dirga.Sedangkan laki-laki yang kini memegang kedua bahu Dirga hanya bisa terkekeh melihat interaksi keduanya. Rasanya lucu, tak pernah mendapati pelanggan yang harus berdiskusi dengan kekasihnya untuk mendapat penampilan yang terbaik dengan cara interaksi mereka yang menyeramkan. Bahkan, pelanggan dan pemangkas yang lain juga turut terkekeh."Kayak gimana aja deh, mas. Yang bagus dan rapi buat anak SMA," kata Dirga.Dirga masih menatap Chika yang juga tengah menatapnya. Gadis itu melemparkan tatapan mematikan pada laki-laki itu. Namun, Dirga sendiri hanya memberikan senyuman tipisny
Bahkan hewan memiliki batas kesabarannya ketika diganggu oleh makhluk-makhluk yang ada di sekitarnya. Namun, agaknya Dirga patut mendapat penghargaan karena kesabarannya yang tak ada habisnya. Entah seberapa banyak cercaan ayahnya yang diterima baik oleh rungunya perihal hal yang dia lakukan, Dirga masih tetap menganggap laki-laki itu sebagai seorang ayah.Satu tamparan keras yang dilayangkan pada pipi kirinya tak membuat Dirga mendongak dan membalas tatapan sang ayah. Alasannya cukup dan hanya satu yang membuat ayahnya berlaku sedemikian. Dengan ponsel ayahnya yang menampilkan balapan terakhirnya beberapa waktu lalu ditunjukkan pada Dirga."Masih balapan lagi?! Kamu mau bunuh diri ikutan olahraga gini, ha?!"Sebenarnya, bukan Dirga tak bisa membalas perkataan ayahnya perihal bagaimana dia bisa senang dan bahagia dengan pilihannya menjadi pembalap, hanya saja sang ayah tak mau tahu soal itu. Ayahnya selalu menganggap, jika balapan adalah olahraga yang hanya sedang mempertaruhkan nyawa
Saat akhirnya tiba di bengkel, Chika tengah memperhatikan motornya dari kejauhan seraya kedua tangan yang berusaha membuka kunci helm. Entahlah, maniknya terpaku kepada motornya yang ternyata baru saja disentuh oleh montir."Chik, lepas dulu helmnya,"Suara berat Dirga terdengar merangsak ke dalam rungunya, namun setiap pergerakannya langsung terhenti ketika kedua maniknya menangkap Dirga yang telah melepas helmnya. Maniknya mengerjap beberapa kali, dan secara mendadak gadis itu seperti mengalami sesak nafas.Potongan rambut laki-laki itu sukses membuatnya mematung. Pasalnya, sejak tadi dia tak memperhatikan bagaimana tampan—eh, rapinya rambut Dirga yang baru saja dipangkas. Rupanya itu juga mengubah tampilannya. Entahlah, Chika bahkan sulit mendeskripsikan apa yang dia lihat saat ini. Mendadak seluruh jarinya tak dapat digerakkan, sampai membuat Dirga turun tangan guna membuka helmnya."Kenapa, sih?" tanya Dirga lagi.Jari telunjuknya tampak bergerak acak dengan bibir yang sedikit te
Bermodalkan laptop yang dia bawa dari rumah dan flashdisk yang diberikan Dimas, gadis itu meletakkan seluruh fokusnya. Tangan dan otaknya bekerja sama dalam menyusun rencana yang lebih rapi. Dengan sedikit bantuan yang diberikan Dirga kala itu, juga ia cantumkan dalam susunan rencana tersebut.Manik hitam dengan kilauan cantiknya itu beberapa kali menyipit ketika Dimas tengah meretas beberapa sistem yang mereka butuhkan. Memang, dalam urusan ini hanya Dimas yang bisa dia andalkan dalam sekelebat pikiran."Gue pikir, lo bakal ngelupain rencana ini," kata Dimas tanpa memalingkan wajah.Tangan yang terlipat di depan dada, dan kaki yang bertumpu membuat Chika merasa begitu rileks setelah dia akhirnya mendapatkan waktu luangnya. Mungkin memang begitu yang dipikirkan Dimas, namun pada kenyataannya hampir setiap malam Chika selalu memikirkan rencana yang harus dia lakukan dengan tuntas. Lantas dengan satu hembusan nafas yang keluar, dia berkata."Kalau gue lupain, yang ada bokap gue nggak be
Dirga baru saja meletakkan motornya di depan rumah, pribadi itu juga ingin meletakkan penat tubuh dan peningnya kepala setelah beberapa jam mengerjakan soal ujian. Pasti menyenangkan hal yang sudah terbayang dalam angannya. Bahkan, tepat setelah helmnya diletakkan nyaman pada tangki bensin, Dirga mulai meregangkan otot tangan dan punggungnya dengan sedikit erangan.Tangannya menarik kunci motor, lantas membawa langkahnya memijak anak tangga pertama pada teras rumah. Namun, atensinya teralihkan saat melihat tetangganya tampak terburu mengunci pintu rumah sampai benda tersebut jatuh ke lantai."Tante, mau kemana?" tanya Dirga."Ke klinik, Chika kecelakaan," ucap ibunda Chika.Bagaikan sebuah satu amunisi yang ditembakkan hingga menembus dadanya, jantungnya menyebarkan rasa panas ke sekujur tubuh. Maniknya terbelalak, serta bibir yang sedikit terbuka karena terkejut mendengar kabar tersebut. "Tante, saya ikut!" kata Dirga yang membatalkan niatannya untuk masuk ke dalam rumah.Pikiran ya
"Makasih, udah ngurus motor Chika,"Ditengah-tengah keadaan langit yang tampak menimbang untuk menumpahkan atau menghilangkan hasil penguapan air laut itu, Dimas menoleh mendapati suara yang menyambangi indera pendengarannya. Tubuh yang semula membungkuk melihat bagian dalam motor Chika, seketika ditegakkan bersamaan dengan berkacak pinggang sebagai bentuk sambutan.Wajah angkuh Dimas berhadapan dengan air muka tenang yang dibawa Dirga dalam jaraknya. Cukup mengejutkan menerima tamu tak diundang dengan balutan seragam sekolah yang masih melekat pada tubuhnya."Di sini nggak buka tempat les," kata Dimas.Salah satu sudut Dirga terangkat, seakan tergelitik dengan kalimat yang baru saja mengudara. "Gue cuma mau ngambil motor Chika," katanya seraya mengeluarkan tangan dari kedua saku celananya.Tangannya dia letakkan pada motor tepat di sebelahnya, sedangkan satunya lagi dia letakkan di atas pinggang. Tatapannya lurus ke arah Dimas yang sedari tadi masih setia dengan posisinya. Dengan sua
Dari pupilnya, Chika menangkap manik Dirga yang bergetar ragu dengan apa yang dia katakan barusan. "Nggak bisa, kan? Biar gue yang ngelakuin," timpal Chika.Tanpa berniat menimpalinya lagi, Chika menyalakan mesin motor hendak meninggalkan mantan kekasihnya itu. Bahkan, Dirga sama sekali tak bergerak hanya untuk memberikan reaksi atas permintaannya. Hanya saja, sebelum Chika benar-benar pergi, tangan Dirga menyentuh motornya guna menghentikan pergerakan gadis itu."Gimana kalau gue bisa? Apa lo mau maafin gue? Balik lagi ke gue?" tanya Dirga."Iya, gue bakal balik ke lo," tandas Chika yang segera menyingkirkan tangan Dirga.Gadis itu meninggalkan Dirga sejauh mungkin, tatapannya melemah sampai cukup merasakan kehangatan dari genangan air matanya. Dia sadar sikapnya terhadap Dirga saat ini bukanlah dari dalam hatinya. Namun, mengingat bagaimana sang ayah harus berada di dalam jeruji besi karena ayah Dirga, gadis itu membunuh belas kasihnya pada sang mantan kekasih. Kehilangan Dirga lebi
Mungkin bisa dikatakan ini adalah kali pertama bagi ayah Dirga terganggu akan perkataan putranya sendiri. Pribadi itu tak mengetahui jika Dirga telah mengetahui Abraham sejauh itu. Malamnya sampai terganggu lantaran tak dapat melepaskan pemikiran itu dari kepalanya. Lantas menatap sosok wanita yang terlelap di sebelahnya, laki-laki tersebut bangkit dari ranjangnya berniat keluar dari ruangan tersebut. Hanya saja, suara gesekan itu justru membangunkan sang istri.Terdengar helaan nafas ringan ketika setengah selimut telah tersingkir dari sebagian tubuh. Pribadi itu kembali membawa kedua tungkainya turun dari ranjang, berjalan keluar, namun suara istrinya menghentikan langkah di ambang pintu."Kenapa aku baru tau dari Dirga?""Tentang apa?""Ayah Chika,"Tak ada balasan apapun, ayah Dirga justru abai dan membawa langkahnya tetap keluar kamar. Sedangkan sang istri hanya terdiam di balik selimut sembari menatap punggung suaminya yang menghilang dari pintu. Tatapan nanar terpancar dari man
Apa yang Dirga lakukan ketika ditinggal sendirian? Dia hanya memejamkan kedua matanya dengan tangan yang berada di atas lutut. Entah berapa banyak decakan yang keluar dari mulutnya, lantaran Dirga tak bisa melampiaskan kemarahannya saat ini. Setibanya di rumah, dengan suasana hati yang berantakan, laki-laki itu melempar helmnya cukup kasar tatkala memasuki kamarnya.Dirinya duduk di lantai dengan perasaan kalut, tak memiliki minat terhadap kegiatan apapun. Menyadari betapa hancurnya dia hari ini, tak ada satupun hal yang bisa dia pikirkan selain perkataan Chika. Terlalu menyakitkan untuk hati dan pikirannya, sampai Dirga mengabaikan panggilan sang ibu hingga wanita itu mendatangi kamarnya."Dirga," panggil sang ibu.Langkah sang ibu semakin mendekat, sedikit khawatir lantaran Dirga yang tak mengubah posisi sama sekali. Terlebih ketika Dirga menggerakkan bola matanya menatap sang ibu, wanita tersebut sampai tak bisa melihat adanya kehidupan dalam manik putranya sendiri. Pun kedua tanga
Berapa banyak decakan hari ini, Dirga berkendara seorang diri menelusuri jalanan. Dia menoleh ke segala arah, mencari lokasi kekasihnya yang mendadak menghilang. Jangan katakan Dirga tak berniat untuk menghubungi, itu sudah terbesit di kepala, namun sangat yakin jika gadis itu tak akan menjawabnya.Sungguh, kepalanya terasa pening tatkala harus menemukan keberadaan sang gadis yang entah kemana. Pribadi itu telah menyusuri jalan yang pasti dilewati oleh Chika, hanya saja dia masih tak dapat menemukannya. Dia sejenak berhenti di pinggir jalan, seraya berpikir tempat-tempat yang harus dia kunjungi untuk menemukan kekasihnya itu."Ey, mana mungkin dia ke sana," ucapnya setelah sebuah tempat terlintas di kepalanya.Dirga menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya berada di pinggang seraya berpikir, memutuskan tempat yang ada di kepalanya saat ini. Dengan helaan nafas terakhir, Dirga segera membawa dirinya menuju lokasi tersebut. Tentunya dengan kecepatan penuh, dia tak ingin jika gadis itu
Ini adalah kesalahannya, dimana Dirga terlalu menutupi fakta yang membuatnya ada di situasi saat ini. Sedikitpun, Dirga tak berani mengarahkan pandangannya pada Chika yang masih menunggu dengan kedua tangan dilipat. Dia menghela nafas sampai menghela nafas panjang sebelum terpejam beberapa saat."Foto orang-orang yang ada di dalam memori itu.." Dirga tertunduk, sulit untuk melanjutkan kalimatnya sendiri. "Salah satu dari mereka adalah bokap gue," imbuhnya.Laki-laki itu mengeluarkan sebuah kartu memori dari dompetnya untuk diberikan pada Dimas. Tentu saja, secara tidak langsung Dirga menyuruh laki-laki itu untuk membuka kembali, menunjukkan salah satu diantara banyaknya pelaku kejahatan itu. Pun dengan wajah yang sama terkejutnya, Dimas kembali menunjukkan foto yang mereka temukan.Dirga sama sekali tak menatap layar laptop Dimas, dia memilih untuk menunduk seraya menyesali perbuatan ayahnya. Ya, walau bukan Dirga pelakunya, namun dia malu atas perlakuan sang ayah terhadap ayah Chika.
Membeli pakaian sudah, dan kini Dirga mengajak kekasihnya untuk menjelajahi toko-toko lainnya di sana. Dirga merangkul pundak Chika yang hanya sebatas bawah dadanya. Keduanya sama-sama memasang senyuman, seakan tak memikirkan sisa waktu yang keduanya miliki. Bahkan, Chika terus menggenggam tangan Dirga yang berada di pundaknya.Walau keduanya tak membeli banyak barang, pasangan tersebut seperti merasakan kebahagiaan yang tak akan ada habisnya. Keduanya juga saling melempar tawa saat melihat atau mendengar sesuatu yang menggelitik. Sungguh, Dirga benar-benar menggunakan waktu saat ini untuk kenangannya bersama Chika—karena dia tak tahu, apa yang akan terjadi besok, atau beberapa hari kedepan."Ayo, kita cari photo booth. Kita buat kenangan juga di sana," ajak Chika.Tentu saja, Dirga hanya menurut kemana kekasihnya itu menarik pergelangan tangannya. Pribadi itu hanya mengikuti setiap perkataan Chika, bahkan sampai gaya untuk berfoto Dirga telah diatur oleh gadis itu. Akan Dirga akui, j
Sesuai dengan ajakan beberapa hari lalu, Dirga menjemput kekasihnya yang baru saja keluar dari sekolahnya. Ya, memang pada akhirnya mereka menjadi pusat perhatian banyak orang—terlebih pada gadis-gadis yang menjadi penggemar Dirga. Namun, memang tak banyak yang bisa mereka lakukan selain ternganga mendapati pemandangan tersebut.Bersama dengan kuda besi itu, keduanya pergi menuju sebuah pusat perbelanjaan dengan tujuan membali barang-barang yang Dirga butuhkan. Masih ada beberapa minggu, laki-laki itu sengaja menyicil semua persiapannya ditemani dengan sang kekasih yang kini meletakkan dagunya pada salah satu bahu. Tentu saja, hal ini sekalian dijadikan kenangan kecil untuk Dirga pergi nantinya."Sebentar lagi gue ditinggal," kata Chika.Dirga yang baru saja menarik sebuah pintu itu tersenyum tanpa menimpali kalimat gadis tersebut. Dia terus merangkul pundak kekasihnya, menuju sebuah tempat yang menjual banyaknya pakaian tebal. Memasuki tempat tersebut, Dirga sama sekali tak memiliki
Motor yang baru saja terparkir di depan rumah itu menandakan kepulangan Chika dari sekolahnya. Gadis itu melihat perawakan kekasihnya yang baru saja memasuki rumah. Dia rasa, Dirga selesai memandikan kuda besinya, terlihat jelas dari halaman rumah yang tampak berair dan sabun. Chika hanya tersenyum tipis sebagai reaksi tipisnya.Dia membawa masuk dirinya ke dalam rumah, masih dengan tas yang menggantung di punggungnya. Seperti biasa kamar adalah tujuan utamanya untuk merebahkan punggung. Lantas mengambil ponselnya dari saku rok, membaca pesan yang baru saja dibalah oleh temannya. Iya, pesan berisikan jawaban atas pertanyaannya tadi pagi."Nanyanya tadi pagi, balesnya sore. Dasar Dimas," kata Chika.Kedua maniknya membaca rentetan tulisan yang dikirim oleh Dimas. Hanya sedikit penjelasan yang dikatakan oleh temannya itu. Mungkin memang tak ada sesuatu yang aneh terjadi pada kekasihnya. Namun, saat Chika melihat pesannya pada Dirga tadi pagi, kekasihnya masih belum membalas. Entahlah, C
Pagi-pagi Dirga telah berada di pelataran rumahnya, pribadi itu baru saja tiba setelah bermalam di rumah Dimas. Namun, dia tak benar-benar bermalam ketika foto tersebut malah mengacaukan malamnya. Dia melihat mobil sang ayah terparkir di depan rumah, menandakan jika ayahnya telah pulang dari pekerjaan luar kotanya.Dirga hanya berdiri di sebelah motornya, salah satu tangan memegang tangki bensin bersamaan dia menghela nafas berat. Pun Dirga melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan membuka perlahan supaya tak mengganggu kedua orang tuanya. Namun, itu tak sesuai dengan ekspektasi, dimana dia telah mendapati sang ayah duduk di ruang tamu."Percuma," ucapnya lirih.Pribadi itu berdiri dengan kepala yang tertunduk, sengaja menghindari tatapan sang ayah yang tampak tersorot tajam padanya. Mungkin Dirga juga sudah tahu apa yang akan menjadi penyebab ayahnya marah. Dirga tak akan terkejut setelah ini."Mau jadi apa?! Pulang jam segini?!" kata sang ayah.Dirga masih bungkam, dia enggan menyulu