"Wanita Gila itu mengendap-endap di depan ruangan ini, Milla! Aku rasa, kalian benar-benar harus segera keluar dari rumah ini!" tukas Dean. Wajah pria itu terlihat sangat gusar. "Tapi, aku belum rela menyerahkan segala yang ada di rumah ini kepada mereka "Camilla dan Miller saling berpandangan. Ayah Camilla itu pasti sedang berbicara tentang Allora. "Apa dia bisa mendengar percakapan kita, Ayah? Setauku ruangan ini kedap suara,"Dean menggelengkan kepalanya. "Tidak kedap suara dan dia -aku berani pastikan- mendengar segalanya. Aku tidak tau dia mendengarkan dari awal atau tidak,""Maafkan saya, Tuan. Bagaimanapun Allora adalah istri saya dan saya harus bertanggung jawab atas segala tingkah lakunya." Miller tertunduk dengan perasaan bersalah yang menderanya. "Bukan salahmu! Fokusmu saat ini adalah menjaga putri dan calon cucuku. Apa kamu sanggup?" tanya Dean dengan tegas. Miller mengangguk mantap. "Sanggup, Tuan. Saya mempertaruhkan nyawa dan hidup saya jika terjadi sesuatu pada Ca
Camilla merasakan ada yang aneh beberapa hari belakangan ini pada Allora. Biasanya, dia menempel sekali dengan Max, seperti kertas yang merekat erat di sebuah buku gambar. Akan tetapi, beberapa hari ini, dia melihat Allora mengekori Miller. Bahkan, tak jarang gadis itu terlihat bercakap-cakap dengan pria yang akan dinikahinya itu. "Allora, bisa kita bicara?" tanya Camilla suatu hari. Gadis itu mengukir senyumnya dan dengan langkah riang gembira, dia mengikuti kakak iparnya itu. "Kamu hendak mengajakku ke mana, Milla?"Camilla masuk ke dalam mobil sportnya dan tak lama, mereka sudah berada di lautan keramaian. "Kita akan di dalam sini saja sampai obrolan kita selesai,""Ada yang ingin aku tanyakan kepadamu. Pertama, kenapa kamu tiba-tiba baik kepadaku? Begitu pula dengan Max. Yang kedua, akhir-akhir ini, aku sering melihatmu mendekati calon suamiku. Apa maksud perubahan sikap kalian yang mendadak ini?" Camilla bertanya panjang sambil terus fokus mengemudi. Tak disangka, Allora terk
Manik biru Miller terpancar dalam kegelapan seolah memeriksa gadis yang sedang memohon yang ada dihadapannya itu. Sedetik kemudian, dia mengeluarkan gelak tawanya. "Hahaha! Hentikan leluconmu, Allora! Aku tidak bisa meladeni kegilaanmu lebih lama lagi. Max sudah menunggumu dengan benderanya yang siap kamu kibarkan kembali.""Nah, selamat malam," ucap Miller melambaikan tangannya.Namun, Allora menahan pergelangan tangan bekas suaminya itu. "Miller, pikirkan baik-baik permintaanku. Kumohon,"Miller menyentak tangan kecil itu dan menggelengkan kepalanya. Tidak ada dalam benak pria itu untuk menerima kembali cinta gadis yang pernah ada dihatinya tersebut. Malam berganti dengan pagi. Dinginnya bulan setengah itu berganti dengan hangatnya sinar mentari dsn membangunkan sepasang suami istri yang tertidur sambil berpelukan erat. Sang wanita terbangun lebih dulu dan mengerjapkan kedua matanya. Dengan lembut dia mengecup kening calon suami resminya. "Selamat pagi, Sayang,"Jemarinya menyelu
Setelah acara pernikahan yang cukup mengejutkan semua orang itu, keadaan rumah Camilla menjadi ramai. "Kenapa kamu tetap pindah, Miller? Aku sudah menikah dan kita bisa ... Kamu tau maksudku, kan?" Allora bertanya pada pria yang sedang sibuk memasukkan pakaian ke dalam koper besar. Pria itu tidak mengindahkan ucapan Allora. Dia tetap melanjutkan aktivitasnya seolah Allora sebuah alunan musik yang menemani kesibukannya malam itu. "Hei, Miller! Jawab aku! Aku ingin bersamamu dan aku menyesal karena aku menikahi saudara kembarmu! Miller, hei!" Allora terus mengoceh tanpa henti. Malam itu, Camilla mengungkapkan keinginan mereka untuk pindah kepada pelayan di rumah itu. Sayangnya, Allora mendengar apa yang kakak iparnya itu katakan. Gadis itu menunggu sampai Camilla tertidur dan menghampiri Miller di kamar bawah. Dia terus meminta mantan suaminya itu untuk kembali padanya. "Miller, aku rindu padamu. Kumohon, kembalilah padaku!" pinta Allora dalam usahanya yang terakhir. Akhirnya, Mi
Gemericik suara air mancur menemani pertemuan dua orang malam hari itu. Seorang gadis dengan rambut ikal panjang menjuntai di punggungnya menatap seorang pria besar tanpa ada rasa takut di kedua matanya. "Ada kepentingan apa sampai Anda menemuiku di malam yang dingin ini, Nona?" tanya pria itu menyeringai lebar. Gadis itu duduk tegak lurus, wajahnya terlihat tegas, dan keras. "Aku tau layar belakangmu, Tuan Dominic Cortez.""Tapi, kedatanganku ke sini bukan untuk meminta pengampunan atas apa yang terjadi dengan Anda dan suamiku. Justru, sebaliknya. Aku ingin menawarkan kerja sama," kata gadis itu dengan berani. Seketika itu juga, pria yang sebenarnya tampan itu bertepuk tangan serta melakukan standing applause. "Hahahaha! Wow! Tak kusangka, salah satu nyonya besar memiliki sifat seperti ini!""Lalu, apa yang Anda tawarkan, Nyonya Sillas?" Cortez bertanya lagi. Senyum belum hilang dari wajahnya. "Allora saja, boleh?"Gadis itu menggerakkan kepalanya sedikit, tanda dia tak peduli ora
Setelah menghabiskan malam yang penuh gairah berdua, Allora pun kembali ke rumah Camilla. Dia menemukan Max di ruangan kerjanya. "Darimana saja kamu?" tanya Max tajam. Malam itu, di malam yang sama, Max mendapatkan tanda merah di pipinya. "Pergi dari rumahku, Max, dan jangan pernah muncul lagi di hadapanku!" tukas Camilla malam itu sesudah Max menciumnya. Pedih. Itulah yang dirasakan oleh Max. Setelah itu, dia kembali ke rumah dan menemukan ruangan kerjanya berantakan. Selain itu, dia tidak menemukan Allora di rumah itu. Wajar saja, jika pagi ini, Max sangat marah kepada istrinya tersebut. "Ke mana riasanmu? Dengan siapa kamu tidur tadi malam dan mengapa ruangan kerjaku seperti kapal pecah?"Dihujani pertanyaan seperti itu, Allora memasang wajah sedih. "A-aku hanya ingin ...,""Ah, baiklah! Aku bertemu dengan seseorang dan seseorang itu ada kaitannya denganmu. Jadi, aku mencarinya di sini dan tadaaaa! Aku menemukannya!" ujar Allora meninggalkan kepalsuannya. Max mengerenyit. "Si
Suara alat pacu jantung berbunyi memenuhi sebuah ruangan yang didominasi warna putih itu. Selang oksigen serta selang infusan melintang di sekujur tubuh seorang wanita. Dua orang pria yang menunggu di luar terlihat cemas. Sesekali mereka duduk, lalu berdiri, kemudian duduk kembali. "Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya pria yang lebih muda sambil mengusap kasar wajahnya. Pria yang lebih tua menggeleng lemah. "Dia ingin ke kantor. Milla sempat berkata kepadaku kalau hari ini dia gelisah dan cemas,"Miller, nama pria muda itu. Dia beranjak dari kursinya dan kembali melihat kondisi wanita yang sedang terbaring itu dari jendela kaca. "Dia melarangku bekerja hari ini dan dia bertanya apakah aku akan tetap mencintai dia dalam kondisi apa pun. Pertanyaan bodoh! Tentu saja aku akan tetap menyayangi dia!" Miller menunduk dan mulai menitikkan air matanya. "Bodoh sekali kamu, Milla!" tukas pria itu lagi. Pria yang lain menghampiri Miller dan merangkulnya. "Kita berdoa saja semoga Camilla cep
"Begini, Tuan Polisi Yang Terhormat. Putri saya menyebut nama Dominic Cortez sebagai dalang dari kecelakaan yang dialami oleh putri saya. Toh, Anda juga mengenal Cortez dengan baik, kan? Tidak ada salahnya untuk kembali diselidiki dan dicurigai. Ya, kan?" Setelah Camilla menyebutkan nama Dominic Cortez, keesokan harinya, Dean segera menyambangi kantor polisi dan melaporkan kejadian kecelakaan tunggal tersebut. Sosok pria berseragam biru muda itu membenarkan letak kacamatanya. "Ehem, begini, Tuan Shawn. Bukannya kami menyangkal kebenaran kabar tersebut, tapi, sejak kasus penculikan Tuan Miller Sillas, Dominic Cortez berada dalam pengawasan kami. Segala gerak-geriknya selalu kami awasi. Jadi, rasanya tak mungkin kalau tuan Cortez melakukan hal tersebut,""Bisa saja dari kaki tangannya, kan? Ayolah, tak ada salahnya mencari tahu tentang ini, Tuan!" Dean mendesak polisi tersebut untuk mempercayai cerita anak semata wayangnya itu. Tuan polisi itu masih bergeming. Dia masih tak percaya k
"Fix, kamu masih mencintai mantan suamimu, Milla!" Aaron mengetuk bolpoin bermerk ternama miliknya di atas meja. Wajahnya berkerut-kerut dan sedikit menegang. "Apa yang membuatmu masih mencintainya, Milla? Aku tak habis pikir denganmu, ckckck."Aaron menggelengkan kepala untuk kesekian kalinya di hari itu. "ckckck! Apalagi saat kamu menyerang gadis bernama Allora itu, mantanmu membela dia alih-alih kamu."Wanita cantik yang sedang membaringkan kepala di atas lengannya itu berdecih pelan. Sesekali dia mengelap air mata yang hendak turun dari sudut matanya. Tadi malam, setelah Camilla menyerang Allora, Miller justru membela Allora habis-habisan. "Turun dari tubuh suamiku sekarang juga, Jalang!" Camilla menarik rambut Allora saat itu. Gadis itu pun memekik kesakitan dan terguling dari atas kasur. "Sialan kamu, Wanita Tua! Dia bukan suamimu lagi! Lepaskan rambutku!"Tangan Allora menggapai-gapai liar sampai akhirnya dia sanggup membalas Camilla dengan menarik rambut wanita itu juga.
"Aku rasa dia gila!" ucap Camilla berbicara dengan ponselnya. Setelah momen perkenalan dengan Emilly, mantan istri dokter pribadinya, Camilla mendapatkan kabar kalau ayahnya telah mendengar desas-desus yang sedang hangat diperbincangkan beberapa hari terakhir ini. Yang membuat wanita itu kesal adalah mengapa ayahnya tidak bertanya langsung padanya? Mengapa harus bertanya kepada Miller?"Aarrgghh! Kepalaku pecah rasanya!" tukas Camilla sembari menarik rambutnya sendiri. Wanita itu merubuhkan kepalanya di atas meja dan terisak-isak. Lalu, terlintas kenangan tentang Emilly dan dirinya malam itu. Setelah berkenalan dengan Emilly yang ramah, Camilla memutuskan untuk menjadikan wanita itu sebagai mentor sekaligus sahabatnya. "Aku mau, Milla! Aku justru merasa terhormat karena kamu memilihku untuk menjadi sahabatmu." Emilly memeluk sahabat barunya itu sebagai tanda kasih untuknya. Begitulah pada akhirnya, persahabatan yang cukup aneh itu pun terjalin. Namun, tak ada yang lebih aneh se
"Apa maksud ucapanmu itu, Miller? Kamu dan Milla sudah berpisah?" tanya Max menghentikan pukulannya. Miller menyeka sepercik darah yang ada di sudut bibirnya, lalu, dia mengangguk singkat. "Ya!""Melihat perlakuanmu pada Allora, aku dapat mengambil keputusan kalau kamu sudah tidak mencintainya lagi. Apalagi tadi aku sempat mendengar kata selingkuh. Kamu mengkhianatinya?" tanya Miller angkuh. Tiba-tiba saja, Miller bertepuk tangan. "Huh! Hebat sekali kakakku ini! Pria Buaya! Menikah sudah dua kali, masih kurang puas. Apa yang kamu cari, Max?""Bagaimana denganmu? Lagi pula, kamu belum mengenal siapa Gadis Ular yang kamu nikahi selama ini!" Max memandang sengit wajah Allora yang terlihat ketakutan. Jari telunjuknya terulur ke arah gadis itu. "Kamu tau siapa yang menyebabkan hidupku hancur? Kamu tau siapa yang menyebabkan Camilla kehilangan bayinya dua kali? Kamu tau siapa yang menyebabkan Camilla kecelakaan?""Dia! Dia, Miller! Iblis Jalang itu yang melakukannya!" tukas Max menyambun
Camilla tertegun menatap anak laki-laki yang memakai kemeja bersuspender itu. "P-papa? Apa om ini papamu, Nak?" tanya Camilla. Dia merendahkan tubuhnya hingga setinggi anak laki-laki tersebut. Pria kecil itu mengangguk. "Ya, ini papaku. Tante siapa?"Sebelum Camilla menjawab, seorang wanita cantik bertubuh langsing dengan rambut cokelat berdiri di belakang anak itu. "Archie! Mama sudah bilang, jangan suka pergi sendiri! Nanti kalau hilang bagaimana!" Wanita itu terlihat cemas dan segera mengangkat Aaron junior ke dalam dekapannya. Kedua matanya bertemu dengan manik Camilla. Dia tersenyum. "Hahaha! Maaf, anakku ini memang suka keluyuran dan mengganggu orang lain. Maaf, ya, Nyonya."Camilla membalas senyuman wanita itu. "Oh, tidak apa-apa, kami sama sekali tidak merasa terganggu, kok."Anak laki-laki itu kembali menunjuk Aaron dengan jari mungilnya. "Mama, itu papa!"Mata wanita itu berlari ke arah pria yang terlihat gugup. "Aaron? Sedang apa kamu di sini? Apakah ini ... Oh, jangan
"Aku ingin kembali!" ucap seorang pria saat menemui seorang wanita yang sedang berjemur di tepi kolam renang sebuah hotel bintang lima. Wanita itu melepaskan kacamata hitamnya dan menatap pria yang berdiri sambil berkacak pinggang. "Why?"Pria itu menghela napas dan menjawab dengan nada gusar, "Oh, come on, Milla! Kita tidak mungkin satu bulan berada di sini hanya untuk sibuk masing-masing, kan?""Lalu? Toh, kita tetap bisa di sini, Miller! Apa alasanmu ingin kembali?" Wanita bernama Camilla itu mendesak supaya sang pria untuk tetap tinggal. Suara riak kolam renang serta cicit burung seakan menenggelamkan mereka berdua ke dalam pikiran masing-masing. Miller memandang kosong pada kolam renang. Tak lama, dia mengembuskan napasnya. "Kenapa kamu menahan kepergianku?""Aku tau ke mana kamu akan pulang dan aku tidak mau kamu pulang padanya." Camilla menjawab pertanyaan itu dengan datar. Dugaan Camilla memang benar. Miller akan kembali pada gadis yang pernah dinikahinya. "Karena kamu mas
Di saat hati Camilla carut marut, hati Allora justru sedang merindu. Gadis itu membutuhkan sosok pria yang dapat dia jadikan sebagai tempat bertumpu. Tidak seperti Dominic, yang hanya menjadikannya sebagai pemuas nafsu belaka. "Kapan kamu kembali, Max? Aku ingin bicara padamu. Aku sudah menunggumu di rumah kita." Allora menulis pesan singkat pada suaminya yang tak kunjung membalas. Setelah setengah hari berada di ruangan petugas keamanan, Allora menyerah. Dia kembali ke rumah dan memutuskan untuk menunggu Max di sana. Hatinya melonjak senang, saat dia mendengarkan suara mesin halus dari sebuah kendaraan. "Itu Max! Max! Max!"Gadis itu berlarian menyambut kedatangan suaminya. "Max, akhirnya kamu pulang juga!""Apa kamu tau aku sedang ada rapat penting? Apa kamu tau kalau semua pesan, telepon, dan kedatanganmu sungguh mengganggu dan membuatku tidak nyaman?" tanya Max bertubi-tubi. Allora memberengut. "Hei, ada apa denganmu, Max? Kamu bahkan tidak memberikanku kesempatan untuk bicar
Desir semilir angin hangat menerpa lembut wajah seorang wanita yang tengah berjemur pagi hari itu. "Tenang sekali di sini. Rasanya aku tidak ingin pulang." Wanita itu terdengar berbicara dengan seorang pria. Pria itu tertawa. ("Hahaha! Apa kamu tidak ingin membagi pengalamanmu selama di sana?")"Aku sudah mengirimkan beberapa foto serta laporan kalau aku terus meminum obatku dengan baik," balas wanita itu dengan suaranya yang riang. Tak lama, datang seorang pria yang lain membawakan sehelai handuk serta segelas jus jeruk untuknya. "Asik sekali. Dengan siapa kamu berbicara, Milla?" tanya pria itu. Wanita itu menjawab tanpa suara. Bibirnya membentuk sebuah kata yang sulit dipahami oleh pria yang sedang bersamanya itu. "Hei, nanti akan kukabari lagi. See you when we meet again, Aaron." Wanita itu meletakkan ponselnya dan menyeruput jus jeruk yang dibawakan oleh pria yang kini duduk di sampingnya itu. "Cih! Itu doktermu atau kekasihmu?" Pria itu mencebik sembari menyugar rambutnya
"Max, kita perlu bicara! Aku akan ke kantormu hari ini. Ayo, kita bertemu!" Allora menulis pesan kepada Max pagi hari itu. Setelah mendengar penjelasan dari Dominic Cortez tentang sekretaris pribadinya suaminya yang baru, Gladys Knight, Allora pun memutuskan untuk pergi menemui Max. Mungkinkah Max tidak tahu tentang Gladys Knight? Tidak mungkin Max tidak mencari tahu! Benak Allora menjadi lebih berisik dari sebelumnya. Tanpa menunggu balasan dari Max, gadis itu segera pergi ke perusahaan suaminya itu. Sebelum pergi, Dominic sempat mengatakan sesuatu yang menambah beban pikiran Allora. "Kamu cemburu? Hehehe, kupikir kamu tidak punya hati, Sayang, tapi, ternyata aku salah." Dominic terkekeh. Saat itu, Allora hanya terdiam tanpa benar-benar mendengarkan kelakar dari pria bertubuh kekar itu. Diamnya Allora menjadi pertanda kalau ucapan Dominic mengandung kebenaran."Aku tidak tau apakah aku mencintai dia atau tidak! Tapi, aku tidak suka dengan kedekatan mereka!" Allora bermonolog d
Selama beberapa hari, Allora terus mencari tahu tentang siapa itu Gladys Knight. Menurut Allora, Gladys adalah sosok yang misterius dan sulit sekali mendapatkan informasi tentang dirinya."Huft! Ke mana lagi aku harus mencari tentang Gladys Knight yang sombong itu!" keluh Allora suatu hari. Biasanya, jika dia sedang banyak pikiran, dia akan pergi menemui Dominic. Walaupun hanya bercinta, tetapi, pria itu sanggup membuat aktivitas itu menjadi menyenangkan. Namun, hari itu dia tidak ingin bersama dengan tuan Cortez. "Aarrgghh! Kepalaku pusing!""Kalau dia hanya ingin membantu Max, mengapa dia mau berhubungan dengan Max? Pasti ada sesuatu yang dia inginkan, kan?" Allora memiringkan kepalanya. Tak lama, gadis itu kembali mengerang sambil memijat pelipisnya. "Arrghh! Sialan!"Lama dia duduk terdiam dengan hanya ditemani oleh sebatang rokok yang menyala. "Aku butuh teman!"Sudah lama, dia tidak mendengar kabar dari Miller. Yang dia tahu, Miller dan Camilla sedang berlibur satu bulan lama