“Apakah itu sebuah senyuman?” Pertanyaan Ibra mendadak menyela di antara lamunan Anne yang sedang duduk bersantai. Pandangannya mengarah ke halaman belakang dengan langit yang cerah. Siang hari tetapi cuaca terasa begitu menyejukkan. Ataukah …perasaan Anne saja yang terasa secerah ekspresi di wajahnya? Anne mengerjap dan menoleh ke samping. Ibra duduk di kursi sampingnya sembari meraih satu butir anggur di meja dan langsung melahapnya. “Ibra?” “Ya, siapa lagi.” Ibra mengedikkan bahu. Mulutnya bergerak menguyang sembari menyandarkan punggung di sandaran dengan kedua tangan bersilang di belakang kepala. “Kau datang sendirian?” “Bersama Faraz.” “Apa Luciano juga pulang?” tanya Anne sambil menengok ke arah pintu di belakang mereka. Seingatnya tadi pagi Luciano tak mengatakan akan pulang saat makan siang. Anne pun menegakkan punggung hendak bangkit berdiri untuk melihat sang suami. “Dia sedang bicara dengan Faraz di lantai tiga. Sepertinya ada sesuatu yang serius. Faraz menyuruhku pe
Luciano muncul begitu Ibra memasuki ruang santai dengan Anne yang berada dalam gendongannya. “Ada apa?” Ibra tak menjawab, berbelok hendak mendekati sofa panjang. Tetapi Luciano menahannya dan membawa tubuh Anne dalam gendongannya. Langsung menuju lift ke lantai dua dan membaringkan Anne di tempat tidur. Telapak tangannya bergerak menepuk lembut pipi Anne. Ada air mata yang masih membasahi area sekitar mata wanita itu. “Vino baru saja menghubungiku.” Ibra terduduk lemas di sofa di ujung ranjang. Suara Ibra membuat Luciano menoleh. Bertatapan dengan kepedihan yang menyelimuti kedua mata pria itu. “Anne sudah tahu?” Ibra mengangguk lemah. Ya, seseorang juga pasti sudah memberitahu Luciano. Kedua tangannya membekap wajahnya, menahan kepalanya yang tertunduk dalam. “K-kenapa ini bisa terjadi?” Ia bisa merasakan kedua ujung matanya yang diresapi oleh rasa basah. Luciano mendesah pelan. Semua terjadi begitu mendadak dan tak terduga. “Tak hanya papanya, bagaimana mungkin ini terjadi,
Luciano mendesah pendek. “Lakukan saja apa yang perlu dilakukan Faraz. Itu hanya masalah kecil. Pastikan saja mereka menghilang dari negara ini.” Faraz mengangguk meski tampak tak yakin dengan keputusan Luciano. Kekacauan Anne benar-benar memengaruhi Luciano begitu besar. “Aku akan mulai mengurus perusahaan ayah Anne setelah kami kembali pulang. Sementara kau yang memantau semuanya dari jauh dengan Ibra,” perintah Luciano memungkasi pembicaraan sambil bangkit berdiri. Faraz mengangguk. “Kapan kau akan membawanya kembali pulang?” Luciano menggeleng tak tahu. “Semakin lama dia di sini hanya akan membuatnya tak bisa melupakan kematian kedua orang tuanya, Luciano.” Luciano tahu, tetapi ia masih tak tahu bagaimana cara membujuk Anne untuk kembali pulang ke rumah mereka. Anne benar-benar seperti mayat hidup. Tubuh wanita itu terlihat seperti kehilangan berkilo-kilo berat badannya. Apa yang dikeluarka lebih banyak dari yang berhasil masuk ke mulut. Susah payah ia membujuk untuk memasuk
“Rasanya tak seenak buatanmu, meski aku melakukannya seperti yang kau ajarkan,” ucap Anne meletakkan piring berisi omelet di hadapan Luciano sebelum duduk di kursinya sendiri. Luciano mengernyit, menatap sejenak omelet buatan Anne dan beralih pada raut wajah sang istri yang terlihat baik-baik saja. Hanya di permukaan. Ia tahu kedua mata Anne masih menyiratkan duka yang mendalam. Tadi pagi ia terperanjat ketika bangun tidur dan tak menemukan Anne di sisinya padahal ia tidak bangun terlambat. Ia pun bergegas mencari keberadaan wanita itu di kamar mandi dan balkon serta kolam renang dengan cemas memikirkan kemungkinan Anne akan bertindak nekat. Tetapi segera merasa lega ketika pelayan mengatakan Anne di dapur, membantu menyiapkan makan pagi. Dante pun bergegas mencuci muka dan turun ke lantai satu, menemukan Anne yang baru saja keluar dari area dapur. Sepertinya memang wanita itu sengaja menyibukkan diri untuk berusaha melupakan kematian kedua tuanya. “Kau tidak suka?” tanya Anne lag
“Jadi … selama ini papa dirawat di rumah?!” Suara tercekat Anne nyaris mencekik lehernya sendiri. Miranda terdiam, wajah kepala pelayan itu membeku, tampak menahan sesuatu yang ingin diucapkannya. “Katakan yang sebenarnya, Miranda!” Suara Anne bercampur antara perintah dan permohonan. “Kalian semua menipuku mentah-mentah.” “Nyonya melarang saya ….” “Sekarang larangan itu tak berguna lagi. Mama dan papa sudah pergi dan aku bahkan tak tahu keadaan papa yang semakin memburuk.” Air mata jatuh ke pipi Anne. Tersedak tangisannya ketika menjerit frustrasi mendengar semua informasi tersebut. “Beliau tak ingin membuat Anda merasa terbebani dengan keadaan beliau, Nona.” “Dengan melarangku menemani papa di saat-saat terakhirnya?” Anne benar-benar menyesal tak menghabiskan waktu lebih banyak dengan papanya. Sekali lagi tubuh Anne terduduk di kursi, kepalanya tertunduk dengan kedua telapak tangan meredam isakannya. Bagaimana mungkin ia tidak mengetahui semua ini? Bagaimana mungkin ia tidak
“Darimana kau mendapatkan benda itu, Anne?” desis Luciano. “Itu bukan pertanyaan yang tepat.” Anne bangkit berdiri dan memutar tubuh ke arah Luciano. Keduanya saling berhadap-hadapan dengan ketegangan yang begitu pekat. Ujung mata Luciano memindai dengan waspada, dan sialan lantai dua adalah area pribadi, yang hanya orang-orang tertentu dengan ijinnyalah yang bisa naik ke atas. “Apa yang kau inginkan?” Anne mendengus geli dengan pertanyaan tersebut. “Kematianku? Tak ada gunanya aku hidup sekarang.” “Kau sedang hamil, Anne. Itu tidak akan menjadi kematianmu sendiri.” Luciano mencoba mengungkit tentang anak dalam kandungan wanita itu. Berharap naluri keibuan Anne lebih jernih ketimbang emosi dan pikiran wanita itu. “Apa kau masih begitu menginginkan anak ini?” Mulut Luciano seketika menutup. Tahu itu bukan hanya sekedar pertanyaan sederhana. Anne tahu dirinya menginginkannya. “Seberapa besar?” Luciano masih terdiam. Anne kemudian mengarahkan pistol di tangannya mengarah pada Lu
Ketenangan yang tidak disukai menyambut kesadaran Luciano. Matanya terbuka dan dengan cepat ingatan terakhir melintasi benaknya. Anne cemburu dan berpikir dialah yang membunuh kedua orang tua wanita itu, kemudian dengan nekat menembaknya dengan pistol yang entah didapatkan darimana. “Kau sudah bangun?” Reene yang duduk menunggu di samping tempat tidur segera teralihkan. Luciano menyingkap selimut dan bangkit terduduk. “Apa yang kau lakukan, Luciano? Lukamu …” “Kau sudah mengeluarkannya, kan?” Reene tak mengangguk. “Tetap saja kau harus berbaring. Kau mengeluarkan banyak darah.” “Dan ada persediaan darah yang cukup untukku.” Luciano mencabut jarum infus yang menempel di punggung tangannya. Rasa sakit yang menusuk ia abaikan. Ia bangkit berdiri, tetapi rasa pusing menghantam kepalanya dengan keras dan membuatnya terhuyung. Reene membantu Luciano kembali duduk di pinggiran tempat tidur. “Di mana Anne?” Reene terdiam, merapatkan mulutnya. Luciano mengangkat wajahnya dan menatap
Anne hanya menjawab dengan gelengan untuk setiap pertanyaan yang dokter ajukan ketika memeriksa keadaan wanita itu. Tak ada keluhan apa pun yang dirasakannya dan ia merasa jauh lebih baik setelah dua hari berbaring di ranjang. Tubuhnya terasa pegal karena tak bebas bergerak, tetapi ia tak akan mengeluhkan semua kendala itu karena bagaimana pun naluri keibuannya berbicara lebih banyak. Menyisakan rasa bersalah yang teramat dalam. “Bagaimana kandungannya?” Luciano bertanya pada sang dokter. Anne membuang wajahnya ketika Luciano melepaskan pertanyaan tersebut. Ya, hanya anak ini yang perlu dipedulikan oleh pria itu, kan. Yang bahkan juga tak berani Anne sentuh untuk menghancurkan Luciano. “Detak jantungnya sudah kembali menguat. Untuk lebih detailnya, kami perlu memeriksa nyonya di ruangan dokter.” “Ya, lakukan saja. Pastikan semuanya baik-baik saja,” ucap Luciano dengan tanpa keraguan sedikit pun. “Baik, Tuan.” Dokter Eric mengangguk. “Saya akan mengatur jadwal pemeriksaan siang na
"Jadi memang ya?" Anne mendorong dada Luciano menjauh. Kedongkolan tampak jelas memekati rautnya yang muram. Menyentakkan tangan Luciano yang masih melingkari pinggangnya."Aku tidak mengatakan tidak. Itu terdengar seperti sebuah kebohongan, Anne. Kau tak akan menyukainya.""Tidak. Kau salah besar, Luciano.""Lalu apa yang kau inginkan?" Suaranya mulai diselimuti kefrustrasian. "Aku lebih baik mendengar kebohongan. Aku akan mempercayaimu. Selama kau yang mengatakannya."Luciano membelalak. Mulutnya membuka nutup tak percaya. Belum pernah ia setercengang ini menghadapi kelabilan Anne. "Jadi kau lebih suka kebohonganku?""Sekarang, tidak keduanya. Kau memang tak pernah memahami wanita, Luciano. Tak pernah memahamiku sebagai seorang istri. Sebagai pasangan. Sebagai satu-satunya wanitamu. Kau yakin kau menganggapku sebagai istrimu? Bukan hanya sebagai wanita pemuas nafsumu seperti mereka?""Kau tahu itu tidak benar, Anne. Jangan mengada-ada sesuatu yang tak pernah benar."Anne mengibaska
Suasana pesta sudah ramai dan ballroom sudah dipenuhi kemeriahan serta canda tawa. Suara musik yang mengalun lembut sebagai latar belakang kemewahan pesta tersebut menyambut Anne dan Luciano yang bergandengan mesra memasuki ruangan yang luas dengan hiasan bunga dan kerlap-kerlip lampu di mana-mana.“Apakah Faraz dan Estelle akan datang?”“Mereka sudah putus, Anne. Kenapa mereka datang bersama?”“Siapa bilang mereka sudah putus. Tadi pagi aku menelpon Estelle dan yang menjawab Faraz. Mereka jelas masih sering tidur bersama. Faraz benar-benar memanfaatkan Estelle. Kenapa meniduri wanita jika tidak berniat menikahinya.”“Hmm, itu urusan mereka.”Anne mendadak terdiam dengan reaksi penuh ketenangan Luciano. Kedua alis wanita itu saling bertaut ketika menoleh ke samping dengan. “Apakah gaya berkencan kalian memang seperti itu?”“Siapa kalian?”“Kau dan Faraz.”“Hanya Faraz, Anne. Kenapa kau membawa-bawa namaku?”“Meski sekarang aku satu-satunya wanita yang tidur denganmu, kau pikir aku per
“Laki-laki lagi?” Luciano mengangkat salah satu alisnya. Suara rengekan baby Zha mulai tenang dalam gendongan Anne.“Ya. Kau tak suka?”Luciano menggeleng. “Laki-laki atau perempuan, aku tak pernah mempermasalahkannya, Anne. dia anakku.”“Mamaku bilang, saat kau melahirkan anak perempuan. Itu artinya kau menciptakan musuh bebuyutanmu.”Mata Luciano membulat tak percaya, lalu terbahak dengan keras hingga gigi geraham pria itu terlihat.“Kenapa kau tertawa? Kau pikir itu lucu?”Luciano menggeleng. Mencoba menghentikan tawanya karena baby Zha yang mulai bergerak tak nyaman. “Apa maksudmu dengan menciptakan musuh bebuyutan?” tanyanya, berusaha menahan tawanya kembali terlepas.“Dia bahkan bisa menjadi lebih licik dari wanita-wanita yang mencoba memisahkan kita, Luciano.”“Dia putrimu.”“Itulah sebabnya aku ingin seorang putra. Aku tak mau memusuhi putriku sendiri.”“Apakah kau memusuhi ibumu?”Anne terdiam, tampak mengingat-ingat lalu mengangguk. “Setiap kali mama dan papa saling berdekat
Anne terbangun karena dorongan dari dalam perut yang membuatnya gegas turun dari ranjang. Memuntahkan semua makan malamnya yang bahkan tak seberapa. Semakin hari gejala kehamilan datang semakin intens. Bahkan pusing yang semakin sering datang jika ia kurang tidur atau terlalu banyak tidur.Setelah beberapa saat, akhirnya napasnya kembali normal dan tenaganya memulih. Ia bangkit berdiri, menyeka wajahnya di wastafel. Menatap wajah pucatnya yang rasanya sedikit gemuk.Rasanya selera makannya menurun akhir-akhir ini. Meski tak pernah melewatkan jadwal makannya dan memaksa makanan masuk ke mulutnya. Setidaknya untuk memenuhi gizinya dan janin dalam kandungannya. Yang sepertinya lebih banyak dibantu oleh susu ibu hamil dan vitamin.Tubuhnya berputar, hendak keluar ketika tersentak dengan keras dan nyaris berteriak saking kagetnya dengan sosok yang bersandar di pinggiran pintu.“L-luciano?” Suara Anne tercekat. Berusaha meredakan jantungnya yang berdegup kencang. Matanya berkedip beberapa k
Anne tak tahu ke mana Luciano membawa baby Zha pergi. Ia hanya menunggu di rumah selama berhari-hari. Berharap pria itu akan datang untuk pulang. Tetapi hingga satu minggu berlalu, Anne masih sendirian. Tak berhenti merasa sendirian dan kesepian meski beberapa kali Ibra menghubunginya dan menanyakan keadaannya.Anne berusaha menghubungi Farz untuk mencari tahu di mana pria itu dan putranya. Tapi lagi-lagi jawaban Faraz tak pernah memuaskannya.“Aku tahu kau tahu di mana mereka berada, Faraz. Siapa pun tak ada yang tahu, kecuali kau.”Faraz mendesah pelan. Menurunkan kedua tangannya di meja. “Kalau begitu kuralat jawabanku. Aku tak bisa memberitahumu.”“Setidaknya minta Luciano bicara denganku. Apakah dengan pergi akan menyelesaikan masalah?”“Lalu apakah dengan meminta cerai juga akan menyelesaikan permasalahanmu?”Anne menutup mulutnya. Jatuh terduduk di kursinya. “Aku tak bermaksud mengatakannya,” sesalnya dalam gerutuan yang lirih. Wajahnya tertunduk lunglai.Faraz menatap Anne se
“Ibra?” Anne terkejut dengan kemunculan Ibra yang berjalan memasuki ruangan.“Hai.” Ibra melangkah masuk, lekas mendekati ranjang dan menyentuhkan telapak tangannya di kening baby Zha. “Panasnya sudah turun.”“Kau di sini?” Anne menatap jam di dinding yang baru saja melewati tengah malam.“Esther mengirimiku pesan. Luciano tiba-tiba membatalkan pertemuan untuk besok karena baby Zha masuk rumah sakit. Butuh beberapa jam untuk sampai, jadi aku datang.”“Kau tak perlu datang.”“Aku sudah datang, jadi jangan menyuruhku pulang.” Ibra kembali menatap baby Zha. “Apa kata dokter?”“Hanya demam. Tapi masih menunggu hasil tes untuk kepastiannya. Mungkin besok pagi. Kuharap semuanya baik-baik saja.”“Ya, mungkin hanya kelelahan karena seharian main bersama mama dan papaku.”“Ya, kuharap. Terima kasih sudah datang.”Ibra menarik kursi mendekat ke ranjang pasien. “Sepertinya kau belum tidur sama sekali.”“Tadi sempat tertidur, tetapi terbangun karena rengekannya dan langsung ke rumah sakit.”“Tidu
Melihat kedua orang tua Ibra, rasanya seperti meluapkan kerinduannya terhadap kedua orang tuanya. Anne memeluk dalam-dalam mama Ibra, berharap pelukan itu adalah pelukan mamanya sendiri. Begitu pun dengan papa Ibra yang mengusap ujung kepalanya dengan penuh kasih.“Sudah lama tak melihatmu, Anne. Dan putramu sudah semakin besar sejak terakhir kali om lihat.”Anne tertawa. Melihat papa Ibra yang menggendong baby Zha, dalam benaknya seolah adalah papanya sendiri yang menggendong putranya. Keinginan dan harapan terbesar papanya yang belum sempat ia tunjukkan pada sang papa.Ibra menyodorkan sapu tangannya ke arah Anne.“Terima kasih.” Anne mengusap ujung matanya yang basah. Kembali menatap kedua orang tua Ibra yang kini tertawa gemas dengan celotehan baby Zha.Ibra merangkul Anne, menjatuhkan kepala wanita itu ke pundaknya. Sedikit meredakan kerinduan Anne pada kedua orang tua wanita itu di tengah keluarganya. “Kau tahu kau tak pernah sendirian di dunia ini, Anne. Kami keluargamu.”Anne
Anne sengaja memejamkan matanya begitu mendengar suara langkah kaki dari arah belakang punggungnya. Berusaha memancing rasa kantuk yang sejak tadi sulit datang meski jam sudah melewati tengah malam karena Luciano belum pulang. Tak biasanya pria itu pulang larut dan tanpa kabar seperti ini.Marah, sedih, dan kecewa. Pada dirinya sendiri dan pada pria itu. Ialah yang memulai perang dingin ini lebih dulu. Tetapi kenapa balasan dari Luciano juga terasa begitu menusuk dadanya. Mengiris hatinya dengan cara yang paling buruk. Apakah keraguannya layak dibalas dengan pengkhianatan pria itu?Suara pintu kamar mandi yang ditutup membuat mata Anne kembali terbuka. Menatap pintu tersebut dengan genangan yang mulai membentuk di kedua mata.Selama seminggu lebih, Anne dan Luciano masih tak saling bicara. Anne selalu bangun kesiangan dan Luciano sudah berangkat ke kantor, malamnya Anne selalu tidur lebih dulu karena Luciano pulang larut malam. Keduanya nyaris tak saling berkomunikasi. Satu-satunya ya
“Mungkin ini terlambat dan sedikit sengaja. Tapi … bagaimana pun selamat untuk kalian berdua.” Luciano memecah keheningan yang cukup lama membentang di tengah meja. Terutama dengan sang istri yang lebih banyak menatap isi piring yang sejak tadi hanya berkurang dua potong.“Ya, kuharap kalian bisa datang di acara pernikahan kami.”“Ya. Kami akan datang. Benar, kan sayang?” Luciano menoleh pada Anne, yang duduk di sampingnya.Anne mengangkat wajah lalu mengangguk singkat. Pelayan datang untuk membawakan pesanan Ibra dan Esther. Pesanan yang sama. Pandangan wanita itu tak lepas dari Ibra yang memotong kecil-kecil daging panggang di depannya sebelum menukarkan dengan piring milik Esther.“Terima kasih, Ibra,” senyum Esther dengan tatapan yang mesra, yang ditanggapi Ibra dengan senyum yang tak kalah lebarnya.Anne mencoba mengalihkan pandangan, sibuk pada isi piringnya sendiri yang entah kenapa rasanya menjadi hambar. Mulutnya terasa pahit. Ya, ia akui ada kecemburuan yang tersemat di cela