Luciano terkejut ketika sampai di ruang perawatan Anne, ia menemukan kesunyian yang menyambutnya. Bergegas ia ke kamar mandi dan masih belum menemukan sang istri, Luciano melangkah keluar. “Apakah istriku belum kembali?” tanyanya dengan suara membentak. Kedua pengawal yang berjaga menggeleng. Firasat buruk segera menyergap dada Luciano. Ia yakin melihat lift berhenti di lantai ini sebelum ia menyusul naik. Memberi waktu dan ruang bagi istrinya untuk sedikit bernapas melihat betapa kesulitannya wanita itu bernapas. “Temukan sekarang juga!” perintahnya kemudian berlari melintasi lorong menuju lift. Berhenti di setiap lantai dengan panik mencari sang istri. Setelah pencarian selama setengah jam bersama seluruh anak buah yang ia kerahkan dan tak membuahkan hasil, Luciano berdiri di ruang keamanan rumah sakit untuk memeriksa CCTV. Sebelum lift terbuka di lantai yang dipencet oleg Anne, rupanya lift sempat berhenti tiga lantai di atas, tetapi CCTV tertutup balon karena memang area peraw
“Eshan?” Luciano dan Faraz serempak menoleh ke arah Ibra dan mengucapkan nama itu bersamaan. Keduanya tampak tercengang. Tak percaya sekaligus meragukan nama yang disebutkan oleh Ibra. Eshan Sebastian adalah anak tunggal pasangan Sebastian. Mereka hidup di lingkungan yang sama sejak bertahun-tahun. Dan bahkan papa Eshan adalah salah satu dewan direksi di rumah sakit Luciano. “Bagaimana mungkin?” Faraz menyangsikan Ibra. Menyesal mengatakan pada Luciano bahwa Ibra akan memberinya informasi yang penting. Dan ia sudah bersiap untuk menerima amukan Luciano, ketika tiba-tiba Luciano malah bertanya untuk menegaskan. “Kau yakin?” “Ya, aku yakin.” Ibra menunjuk pergelangan tangan Eshan yang membuka kap mobil, dalam beberapa detik, ia mengenali jam tangan tersebut karena modelnya yang unik. Dan itu adalah jam tangan edisi terbatas dan hanya ada tiga di negara ini. Jika saja bukan karena Anne, tak mungkin ia melewatkan kesempatan memiliki barang langka tersebut. “Itu adalah hadiah jam tanga
Ia tak ingin percaya bahwa Luciano mengkhianatinya. Ia tak ingin percaya bahwa Luciano telah membunuh kedua orang tuanya. “Dia sudah mengkhianatimu, Anne. Diam-diam menemui Esther di belakangmu. Apalagi yang ingin kau pertahanan dalam pernikahan kalian?” Eshan terdiam sejenak, menatap wajah Anne yang masih dikentali oleh penolakan. Kening Anne mengernyit. Bagaimana Eshan mengetahui hubungan Esther dan Luciano di belakangnya. Tetapi … bukankah Luciano mengatakan kalau semua foto itu palsu? Kepala Anne berdenyut, siapa yang harus dipercayanya. “A-apakah kau yang mengirim foto itu ke rumah orang tuaku?” Eshan tak menjawab, tetapi keterdiaman sebagai jawaban ya. “Kenapa kau melakukan itu, Eshan?” “Untuk menunjukkan padamu siapa sebenarnya Luciano.” Entah kenapa Anne tak percaya dengan kata-kata Eshan. Selama dua hari dirawat di rumah sakit, kemarahan yang dirasakannya pada Luciano sama sekali tak menghalanginya untuk merasakan ketulusan Luciano. Bahkan ia berharap, dengan sepenuh ha
Luciano menghambur ke arah Esther dan langsung menangkap leher wanita itu saat mendorong tubuh mereka ke belakang. Esther mengerang merasakan punggungnya yang menghantam pintu dengan keras. Ia tak diberi kesempatan utnuk mencerna keterkejutannya, karena di saat yang bersamaan lehernya dicekik dengan keras oleh cengkeraman kuat Luciano. “Katakan di mana istriku sekarang.” Esther mencoba mengabaikan rasa sakit yang seolah akan meremukkan tulang lehernya. Jemari tangannya yang lentik mencoba melepaskan cengkeraman tersebut dengan sia-sia. Kemarahan yang berkobar di kedua mata Luciano begitu besar, menyurutkan kepercayaan dirinya bahwa ia akan berhasil memadamkannya. Bahkan ialah yang akan ikut terbakar hidup-hidup. Seluruh bulu kuduknya meremang akan kemarahan begitu besar yang menguar dari tubuh Luciano. “Aku tidak bertanya. Katakan ke mana berengsek itu membawa istriku?” Di antara sisa keberanian yang masiha ada, Esther mencoba menguatkan hati. Mengingat patah hati yang diberikan
Kedua tangan Esther mencengkeram tasnya, seberapa pun kerasnya ia mencoba tak menggubris peringatan Faraz, keseriusan pria itu tak bisa ia abaikan begitu saja. Ketakutan mulai merambati dadanya, menyelimuti kedongkolan dan kebenciannya akan semua ketidak adilan ini. “Karena jika sesuatu terjadi dengan Anne dan anak dalam kandungannya. Bisa kupastikan, hidupmu akan hancur, Esther. Bahkan kau tak akan mendapatkan kematianmu dengan mudah meski kau memohon dan meminta ampun di kaki Luciano.” Sekali lagi Esther dibuat kehilangan kata-kata. “Satu-satunya hal yang tersisa darimu hanyalah sebagai salah satu wanita di masa lalu Luciano. Yang bahkan tak akan diingat.” Genggaman tangan Esther semakin mengencang. Matanya memerah saking kuatnya menahan amarah yang tak bisa diluapkannya. “Sejak awal kau sudah kalah, Esther. Jadi hentikan langkahmu sendiri sebelum kau hancur lebih banyak lagi. Kita berdua mengenal Luciano lebih baik dari siapa pun. Bahkan dari Anne.” “Bagaimana jika aku tak ped
"A-apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" Anne semakin dibuat bingung oleh kata-kata Eshan. Ingatan? Ingatan apa yang dimaksud oleh pria itu? Ingatan apa yang harus kembali? Dan apa yang harus diingatnya? Apa yang dikatakan oleh Eshan seolah-olah mereka pernah bertemu sejak lama. Entah pertemuan mana yang tidak bisa diingatnya dengan Eshan. Eshan adalah pria yang pernah dicintainya. Tentu saja ia ingat untuk setiap pertemuan mereka. Pun saat ini meski hatinya tak lagi dimiliki oleh pria itu. "Ya. Sebelum pertemuan pertama kita saat aku membuatmu jatuh cinta, kita pernah bertemu, Anne." Anne mencoba mengingat pertemuan pertama mereka di pesta perayaan perusahaan papanya. Sebelum itu? "Sayangnya aku memberimu kenangan yang buruk.” Anne tak mengingat apa pun. Kenangan buruk? "Meski begitu, aku tak akan menyesalinya. Aku tak pernah menyesali apapun tentangmu." "Aku sungguh-sungguh tak tahu dengan apa yang kau katakan, Eshan." Anne menggeleng tak mengerti. Ia mencoba mencari ingat
Seluruh ruangan itu tertutup. Terlalu tenang dan abu-abu. Ia terbangun, menurunkan kedua kakinya yang mungil dan pandangannya beredar ke sekeliling ruangan. Tak banyak yang bisa dilihatnya. Hanya sebuah jendela yang tertutup rapat. Begitu rapat hingga sulit menentukan saat ini siang atau malam hari. Ia menatap kakinya yang masih terbungkus sepatu. Sepatu berwarna merah mudah dengan gambar kuda poni dengan surainya yang berwarna pelangi. Kedua kakinya yang cukup pendek hampir menyentuh lantai ketika tiba-tiba suara langkah dari balik pintu terdengar. Suara kunci dan besi yang saling beradu, kemudian pintu yang didorong terbuka. Ia menunggu, menunggu dengan waspada. Ketika sosok asing dengan senyum terlalu lebar itu menampakkan wajahnya. "Hai gadis kecil." Suaranya begitu lembut, tetapi mampu membuat Anne ketakutan. Ketakutan yang begitu besar. Anne terbangun dengan keras, melompat terduduk dengan napas yang tersengal dan keringat yang membanjiri wajahnya. Mimpi itu lagi, isaknya
“Dia adikmu, apakah setidaknya kau tidak tahu ke mana dia akan pergi membawa Anne?” Pertanyaan Ibra terkesan mendesaknya untuk kembali membuka luka lama yang sudah membusuk di masa lalunya. “Kenapa dia mengincar Anne?” cecar Ibra lagi dengan tak sabaran. “Karena permusuhan di antara kalian? Katakan sesuatu, Luciano.” Luciano menggeleng. “Dia menyukai Anne. Amat sangat dan hanya ingin memiliki Anne untuk dirinya sendiri.” “Menyukai kau bilang?” Mulut Ibra membulat tak percaya. “Dia menguntit Anne.” “Sampai aku tahu rasa sukanya adalah sebuah kegilaan.” Dan mengalirlah kisahnya tentang penculikan Anne dan Esther. Yang membuat Ibra semakin tercengang menerima semua informasi yang ternyata lebih dalam dari yang ia pikirkan. Bukan lagi tentang Camorra atau hanya sekedar permusuhan adik dan kakak. Tetapi kegilaan Lionel yang bahkan begitu terobsesi pada Anne sejak kecil. “Jadi ada alasan kau mengincar Anne selama ini? Semua bukan semata-mata karena kau menginginkan Anne.” Luciano men
"Jadi memang ya?" Anne mendorong dada Luciano menjauh. Kedongkolan tampak jelas memekati rautnya yang muram. Menyentakkan tangan Luciano yang masih melingkari pinggangnya."Aku tidak mengatakan tidak. Itu terdengar seperti sebuah kebohongan, Anne. Kau tak akan menyukainya.""Tidak. Kau salah besar, Luciano.""Lalu apa yang kau inginkan?" Suaranya mulai diselimuti kefrustrasian. "Aku lebih baik mendengar kebohongan. Aku akan mempercayaimu. Selama kau yang mengatakannya."Luciano membelalak. Mulutnya membuka nutup tak percaya. Belum pernah ia setercengang ini menghadapi kelabilan Anne. "Jadi kau lebih suka kebohonganku?""Sekarang, tidak keduanya. Kau memang tak pernah memahami wanita, Luciano. Tak pernah memahamiku sebagai seorang istri. Sebagai pasangan. Sebagai satu-satunya wanitamu. Kau yakin kau menganggapku sebagai istrimu? Bukan hanya sebagai wanita pemuas nafsumu seperti mereka?""Kau tahu itu tidak benar, Anne. Jangan mengada-ada sesuatu yang tak pernah benar."Anne mengibaska
Suasana pesta sudah ramai dan ballroom sudah dipenuhi kemeriahan serta canda tawa. Suara musik yang mengalun lembut sebagai latar belakang kemewahan pesta tersebut menyambut Anne dan Luciano yang bergandengan mesra memasuki ruangan yang luas dengan hiasan bunga dan kerlap-kerlip lampu di mana-mana.“Apakah Faraz dan Estelle akan datang?”“Mereka sudah putus, Anne. Kenapa mereka datang bersama?”“Siapa bilang mereka sudah putus. Tadi pagi aku menelpon Estelle dan yang menjawab Faraz. Mereka jelas masih sering tidur bersama. Faraz benar-benar memanfaatkan Estelle. Kenapa meniduri wanita jika tidak berniat menikahinya.”“Hmm, itu urusan mereka.”Anne mendadak terdiam dengan reaksi penuh ketenangan Luciano. Kedua alis wanita itu saling bertaut ketika menoleh ke samping dengan. “Apakah gaya berkencan kalian memang seperti itu?”“Siapa kalian?”“Kau dan Faraz.”“Hanya Faraz, Anne. Kenapa kau membawa-bawa namaku?”“Meski sekarang aku satu-satunya wanita yang tidur denganmu, kau pikir aku per
“Laki-laki lagi?” Luciano mengangkat salah satu alisnya. Suara rengekan baby Zha mulai tenang dalam gendongan Anne.“Ya. Kau tak suka?”Luciano menggeleng. “Laki-laki atau perempuan, aku tak pernah mempermasalahkannya, Anne. dia anakku.”“Mamaku bilang, saat kau melahirkan anak perempuan. Itu artinya kau menciptakan musuh bebuyutanmu.”Mata Luciano membulat tak percaya, lalu terbahak dengan keras hingga gigi geraham pria itu terlihat.“Kenapa kau tertawa? Kau pikir itu lucu?”Luciano menggeleng. Mencoba menghentikan tawanya karena baby Zha yang mulai bergerak tak nyaman. “Apa maksudmu dengan menciptakan musuh bebuyutan?” tanyanya, berusaha menahan tawanya kembali terlepas.“Dia bahkan bisa menjadi lebih licik dari wanita-wanita yang mencoba memisahkan kita, Luciano.”“Dia putrimu.”“Itulah sebabnya aku ingin seorang putra. Aku tak mau memusuhi putriku sendiri.”“Apakah kau memusuhi ibumu?”Anne terdiam, tampak mengingat-ingat lalu mengangguk. “Setiap kali mama dan papa saling berdekat
Anne terbangun karena dorongan dari dalam perut yang membuatnya gegas turun dari ranjang. Memuntahkan semua makan malamnya yang bahkan tak seberapa. Semakin hari gejala kehamilan datang semakin intens. Bahkan pusing yang semakin sering datang jika ia kurang tidur atau terlalu banyak tidur.Setelah beberapa saat, akhirnya napasnya kembali normal dan tenaganya memulih. Ia bangkit berdiri, menyeka wajahnya di wastafel. Menatap wajah pucatnya yang rasanya sedikit gemuk.Rasanya selera makannya menurun akhir-akhir ini. Meski tak pernah melewatkan jadwal makannya dan memaksa makanan masuk ke mulutnya. Setidaknya untuk memenuhi gizinya dan janin dalam kandungannya. Yang sepertinya lebih banyak dibantu oleh susu ibu hamil dan vitamin.Tubuhnya berputar, hendak keluar ketika tersentak dengan keras dan nyaris berteriak saking kagetnya dengan sosok yang bersandar di pinggiran pintu.“L-luciano?” Suara Anne tercekat. Berusaha meredakan jantungnya yang berdegup kencang. Matanya berkedip beberapa k
Anne tak tahu ke mana Luciano membawa baby Zha pergi. Ia hanya menunggu di rumah selama berhari-hari. Berharap pria itu akan datang untuk pulang. Tetapi hingga satu minggu berlalu, Anne masih sendirian. Tak berhenti merasa sendirian dan kesepian meski beberapa kali Ibra menghubunginya dan menanyakan keadaannya.Anne berusaha menghubungi Farz untuk mencari tahu di mana pria itu dan putranya. Tapi lagi-lagi jawaban Faraz tak pernah memuaskannya.“Aku tahu kau tahu di mana mereka berada, Faraz. Siapa pun tak ada yang tahu, kecuali kau.”Faraz mendesah pelan. Menurunkan kedua tangannya di meja. “Kalau begitu kuralat jawabanku. Aku tak bisa memberitahumu.”“Setidaknya minta Luciano bicara denganku. Apakah dengan pergi akan menyelesaikan masalah?”“Lalu apakah dengan meminta cerai juga akan menyelesaikan permasalahanmu?”Anne menutup mulutnya. Jatuh terduduk di kursinya. “Aku tak bermaksud mengatakannya,” sesalnya dalam gerutuan yang lirih. Wajahnya tertunduk lunglai.Faraz menatap Anne se
“Ibra?” Anne terkejut dengan kemunculan Ibra yang berjalan memasuki ruangan.“Hai.” Ibra melangkah masuk, lekas mendekati ranjang dan menyentuhkan telapak tangannya di kening baby Zha. “Panasnya sudah turun.”“Kau di sini?” Anne menatap jam di dinding yang baru saja melewati tengah malam.“Esther mengirimiku pesan. Luciano tiba-tiba membatalkan pertemuan untuk besok karena baby Zha masuk rumah sakit. Butuh beberapa jam untuk sampai, jadi aku datang.”“Kau tak perlu datang.”“Aku sudah datang, jadi jangan menyuruhku pulang.” Ibra kembali menatap baby Zha. “Apa kata dokter?”“Hanya demam. Tapi masih menunggu hasil tes untuk kepastiannya. Mungkin besok pagi. Kuharap semuanya baik-baik saja.”“Ya, mungkin hanya kelelahan karena seharian main bersama mama dan papaku.”“Ya, kuharap. Terima kasih sudah datang.”Ibra menarik kursi mendekat ke ranjang pasien. “Sepertinya kau belum tidur sama sekali.”“Tadi sempat tertidur, tetapi terbangun karena rengekannya dan langsung ke rumah sakit.”“Tidu
Melihat kedua orang tua Ibra, rasanya seperti meluapkan kerinduannya terhadap kedua orang tuanya. Anne memeluk dalam-dalam mama Ibra, berharap pelukan itu adalah pelukan mamanya sendiri. Begitu pun dengan papa Ibra yang mengusap ujung kepalanya dengan penuh kasih.“Sudah lama tak melihatmu, Anne. Dan putramu sudah semakin besar sejak terakhir kali om lihat.”Anne tertawa. Melihat papa Ibra yang menggendong baby Zha, dalam benaknya seolah adalah papanya sendiri yang menggendong putranya. Keinginan dan harapan terbesar papanya yang belum sempat ia tunjukkan pada sang papa.Ibra menyodorkan sapu tangannya ke arah Anne.“Terima kasih.” Anne mengusap ujung matanya yang basah. Kembali menatap kedua orang tua Ibra yang kini tertawa gemas dengan celotehan baby Zha.Ibra merangkul Anne, menjatuhkan kepala wanita itu ke pundaknya. Sedikit meredakan kerinduan Anne pada kedua orang tua wanita itu di tengah keluarganya. “Kau tahu kau tak pernah sendirian di dunia ini, Anne. Kami keluargamu.”Anne
Anne sengaja memejamkan matanya begitu mendengar suara langkah kaki dari arah belakang punggungnya. Berusaha memancing rasa kantuk yang sejak tadi sulit datang meski jam sudah melewati tengah malam karena Luciano belum pulang. Tak biasanya pria itu pulang larut dan tanpa kabar seperti ini.Marah, sedih, dan kecewa. Pada dirinya sendiri dan pada pria itu. Ialah yang memulai perang dingin ini lebih dulu. Tetapi kenapa balasan dari Luciano juga terasa begitu menusuk dadanya. Mengiris hatinya dengan cara yang paling buruk. Apakah keraguannya layak dibalas dengan pengkhianatan pria itu?Suara pintu kamar mandi yang ditutup membuat mata Anne kembali terbuka. Menatap pintu tersebut dengan genangan yang mulai membentuk di kedua mata.Selama seminggu lebih, Anne dan Luciano masih tak saling bicara. Anne selalu bangun kesiangan dan Luciano sudah berangkat ke kantor, malamnya Anne selalu tidur lebih dulu karena Luciano pulang larut malam. Keduanya nyaris tak saling berkomunikasi. Satu-satunya ya
“Mungkin ini terlambat dan sedikit sengaja. Tapi … bagaimana pun selamat untuk kalian berdua.” Luciano memecah keheningan yang cukup lama membentang di tengah meja. Terutama dengan sang istri yang lebih banyak menatap isi piring yang sejak tadi hanya berkurang dua potong.“Ya, kuharap kalian bisa datang di acara pernikahan kami.”“Ya. Kami akan datang. Benar, kan sayang?” Luciano menoleh pada Anne, yang duduk di sampingnya.Anne mengangkat wajah lalu mengangguk singkat. Pelayan datang untuk membawakan pesanan Ibra dan Esther. Pesanan yang sama. Pandangan wanita itu tak lepas dari Ibra yang memotong kecil-kecil daging panggang di depannya sebelum menukarkan dengan piring milik Esther.“Terima kasih, Ibra,” senyum Esther dengan tatapan yang mesra, yang ditanggapi Ibra dengan senyum yang tak kalah lebarnya.Anne mencoba mengalihkan pandangan, sibuk pada isi piringnya sendiri yang entah kenapa rasanya menjadi hambar. Mulutnya terasa pahit. Ya, ia akui ada kecemburuan yang tersemat di cela