54. Semakin MembaikSepanjang sisa perjalanan, Anne sama sekali tak membuka suaranya. Kepalanya bersandar di jok dengan wajah mengarah ke jendela mobil. Kesal, tetapi ia berusaha terlalu keras untuk mengabaikan kecemburuan yang merebak memenuhi dadanya. Ia sama sekali tak berhak meminta penjelasan pada Luciano tentang keriuhan di dadanya yang disebabkan kata-kata Esther.“Kau baik-baik saja?” Sekali lagi Luciano bertanya untuk yang ke lima kalinya setelah lebih dari setengah jam mobil meninggalkan restoran. Luciano pikir karena Anne yang masih tak enak badan sehingga wanita itu tampak lebih diam. Tapi … bukankah Anne memang selalu menjadi pendiam jika tidak ada hal apa pun yang perlu dijadikan alasan untuk menjadi keras kepala.Sejak kecelekaan itu Anne memang mulai bersikap lebih baik padanya. Menjadi begitu penurut tanpa tuntutan darinya. Dan bahkan lebih baik setelah ia melepaskan Ibra dengan hati pemaafnya.Hanya butuh memiliki orang-orang di sekitar wanita itu dan ia akan berhasi
Kecepatan mobil perlahan berkurang dan berhenti sejenak ketika pintu gerbang terbuka. Mulai memasuki halaman rumah dan benar-benar berhenti tepat di depan teras. Luciano turun lebih dulu dan membantu Anne. Keduanya langsung pergi ke area dapur. “Duduklah. Kau ingin apa?”Kening Anne berkerut dengan pertanyaan Luciano.“Aku sudah menyuruh koki untuk pulang karena kita makan malam di luar.”“Aku akan membuatnya sendiri.”“Duduklah. Aku yang akan melakukannya.” Luciano membawa Anne duduk di kursi bar. “Katakan saja apa yang kau inginkan?”“Kau bisa masak?” Anne menatap Luciano penuh keraguan.Luciano hanya menyeringai tipis. “Katakan saja.”Anne tampak berpikir, masih dengan tatapan ragunya yang begitu pekat pada Luciano. Tak ingin menyulitkan pria itu lebih banyak, sepertinya … “Telur saja.”Salah satu alis Luciano terangkat. “Kau jelas meragukan kemampuanku, ya?”Anne tak menyangkal tuduhan yang diberikannya pada Luciano. Ya, bagaimana mungkin ia percaya seseorang seperti Luciano tahu
Dua bulan kemudian … Hubungan Luciano dan Anne membaik. Anne tak lagi bersikap dingin untuk semua perhatian yang diberikan Luciano sebagai seorang suami dan calon ayah bagi anaknya. Dan meski Anne tak siap di awal kehamilannya yang direncanakan dengan keterpaksaan, perlahan ia mulai menerima janin yang tengah bertumbuh di dalam rahimnya. Ikatan ibu dan anak, dan naluri keibuannya mulai tumbuh seiring berjalannya waktu. Anne baru saja mengurus morning sicknessnya ketika Luciano muncul dari balik pintu. Kepalanya terasa pusing, tapi sepertinya karena rasa lapar yang selalu muncul lebih awal. Pria itu mengamblil tisu dan menyeka sudut bibir Anne. “Kau baik-baik saja?” Anne mengangguk. “Hanya lapar.” “Kita makan dulu sebelum bersiap ke rumah sakit.” Kening Anne berkerut. “Rumah sakit?” “Ya, hari ini jadwalmu kontrol ke rumah sakit, bukan?” Anne mengangguk. Anne bahkan lupa hari ini jadwalnya. Dan memang Lucianolah yang lebih antusias memperhatikan kehamilannya. “Apa kau tidak sibuk
“Ada apa?” tanya Anne, menatap sisi wajah Luciano yang tampak membeku. Luciano berbalik, menatap punggung Eshan yang berjalan menjauh, menghampiri Esther dan keduanya berhenti di depan lift. Keningnya berkerut dalam, mencoba berpikir lebih dalam. Ia tak begitu peduli apa pun tentang Eshan, tetapi aroma parfum pria itu kali ini tercium berbeda daripada biasanya yang ia tangkap ketika berada di sekeliling Eshan Sebastian. Tentu saja ia sangat menghafal aroma yang beberapa kali pernah menjejak di tubuh Anne. Penciumannya memang begitu tajam. “Ada apa, Luciano?” Anne mengulang pertanyaannya. Sedikit menggoyang pelan lengan Lu ciano yang masih membeku, bahkan ketika Eshan dan Esther sudah menghilang di balik lift. Luciano mengerjap, tersadar dari lamunannya dan menggeleng. “Tidak.” Jawaban tidak Luciano tentu saja malah menciptakan kerutan di kening Anne. Luciano menatap wajah bengong Anne dan mendesah pendek. “Tidak ada. Ayo,” jawabnya lagi sembari menarik Anne dan melanjutkan langk
“Ada apa?” Luciano menyentuh pundak Anne, mengamati kesedihan yang tampak jelas di kedua mata wanita itu, bercampur dengan keheranan. Anne tersadar dan menoleh ke samping. “Mama dan papa tidak ada di rumah.” “Benarkah?” Anne mengangguk. “Tapi … aku merasa ada yang aneh.” “Aneh?” Salah satu alis Luciano terangkat, menunjukkan perhatian yang lebih. Anne mengangguk lagi. “Tentang apa itu?” “Mama dan papa sedang ada di resort. Liburan. Atau … semacam itu.” Luciano mendengarkan dengan seksama sembari mengangguk. Mengamati keraguan yang menyelimuti permukaan wajah Anne. Anne jelas memiliki alasan yang bagus untuk merasa seperti itu, meski ia tak bisa mengatakan apa pun. Keadaan Johnny Lucas memang tak cukup baik. Terutama setelah … “Tapi … aku merasa …” Anne tak melanjutkan. Ada kegamangan dalam suaranya. Luciano mengerjap, pikirannya kembali terpusat pada Anne dan mencoba menenangkan sang istri. “Itu hanya perasaanmu saja, Anne. Semuanya pasti baik-baik saja.” Luciano merangkul p
Rasanya Anne baru saja terlelap ketika merasakan sebuah lengan melingkari pinggangnya dari belakangnya. Senyum melengkung di bibirnya dengan mata yang masih terpejam, merasakan tubuhnya ditarik ke belakang dan di depak semakin dalam. “Kau datang?” gumamnya lirih di antara kantuk yang masih melekat. Merasakan kecupan mendarat di ujung pundaknya dan merambat di cekungan leher. “Hmm. Tidurlah. Aku tak akan mengganggumu,” bisik Luciano. Jam di dinding sudah menunjukkan lewat tengah malam. Sejak datang lima belas menit yang lalu, ia berusaha tak membuat suara sekecil apa pun agar tak membangunkan Anne. Karena tak biasanya wanita itu mendapatkan tidur nyenyak karena kehamilannya. Luciano merasakan napas Anne yang kembali teratur, menandakan wanita itu sudah terlelap lagi. Desahan lirih lolos dari kedua lubang hidungnya teringat kedatangannya ke rumah orang tua Anne. Keadaan Johnny Lucas semakin hari semakin memburuk. Julia melarangnya memberitahu Anne karena Anne sendiri juga beberapa k
“Apakah itu sebuah senyuman?” Pertanyaan Ibra mendadak menyela di antara lamunan Anne yang sedang duduk bersantai. Pandangannya mengarah ke halaman belakang dengan langit yang cerah. Siang hari tetapi cuaca terasa begitu menyejukkan. Ataukah …perasaan Anne saja yang terasa secerah ekspresi di wajahnya? Anne mengerjap dan menoleh ke samping. Ibra duduk di kursi sampingnya sembari meraih satu butir anggur di meja dan langsung melahapnya. “Ibra?” “Ya, siapa lagi.” Ibra mengedikkan bahu. Mulutnya bergerak menguyang sembari menyandarkan punggung di sandaran dengan kedua tangan bersilang di belakang kepala. “Kau datang sendirian?” “Bersama Faraz.” “Apa Luciano juga pulang?” tanya Anne sambil menengok ke arah pintu di belakang mereka. Seingatnya tadi pagi Luciano tak mengatakan akan pulang saat makan siang. Anne pun menegakkan punggung hendak bangkit berdiri untuk melihat sang suami. “Dia sedang bicara dengan Faraz di lantai tiga. Sepertinya ada sesuatu yang serius. Faraz menyuruhku pe
Luciano muncul begitu Ibra memasuki ruang santai dengan Anne yang berada dalam gendongannya. “Ada apa?” Ibra tak menjawab, berbelok hendak mendekati sofa panjang. Tetapi Luciano menahannya dan membawa tubuh Anne dalam gendongannya. Langsung menuju lift ke lantai dua dan membaringkan Anne di tempat tidur. Telapak tangannya bergerak menepuk lembut pipi Anne. Ada air mata yang masih membasahi area sekitar mata wanita itu. “Vino baru saja menghubungiku.” Ibra terduduk lemas di sofa di ujung ranjang. Suara Ibra membuat Luciano menoleh. Bertatapan dengan kepedihan yang menyelimuti kedua mata pria itu. “Anne sudah tahu?” Ibra mengangguk lemah. Ya, seseorang juga pasti sudah memberitahu Luciano. Kedua tangannya membekap wajahnya, menahan kepalanya yang tertunduk dalam. “K-kenapa ini bisa terjadi?” Ia bisa merasakan kedua ujung matanya yang diresapi oleh rasa basah. Luciano mendesah pelan. Semua terjadi begitu mendadak dan tak terduga. “Tak hanya papanya, bagaimana mungkin ini terjadi,
"Jadi memang ya?" Anne mendorong dada Luciano menjauh. Kedongkolan tampak jelas memekati rautnya yang muram. Menyentakkan tangan Luciano yang masih melingkari pinggangnya."Aku tidak mengatakan tidak. Itu terdengar seperti sebuah kebohongan, Anne. Kau tak akan menyukainya.""Tidak. Kau salah besar, Luciano.""Lalu apa yang kau inginkan?" Suaranya mulai diselimuti kefrustrasian. "Aku lebih baik mendengar kebohongan. Aku akan mempercayaimu. Selama kau yang mengatakannya."Luciano membelalak. Mulutnya membuka nutup tak percaya. Belum pernah ia setercengang ini menghadapi kelabilan Anne. "Jadi kau lebih suka kebohonganku?""Sekarang, tidak keduanya. Kau memang tak pernah memahami wanita, Luciano. Tak pernah memahamiku sebagai seorang istri. Sebagai pasangan. Sebagai satu-satunya wanitamu. Kau yakin kau menganggapku sebagai istrimu? Bukan hanya sebagai wanita pemuas nafsumu seperti mereka?""Kau tahu itu tidak benar, Anne. Jangan mengada-ada sesuatu yang tak pernah benar."Anne mengibaska
Suasana pesta sudah ramai dan ballroom sudah dipenuhi kemeriahan serta canda tawa. Suara musik yang mengalun lembut sebagai latar belakang kemewahan pesta tersebut menyambut Anne dan Luciano yang bergandengan mesra memasuki ruangan yang luas dengan hiasan bunga dan kerlap-kerlip lampu di mana-mana.“Apakah Faraz dan Estelle akan datang?”“Mereka sudah putus, Anne. Kenapa mereka datang bersama?”“Siapa bilang mereka sudah putus. Tadi pagi aku menelpon Estelle dan yang menjawab Faraz. Mereka jelas masih sering tidur bersama. Faraz benar-benar memanfaatkan Estelle. Kenapa meniduri wanita jika tidak berniat menikahinya.”“Hmm, itu urusan mereka.”Anne mendadak terdiam dengan reaksi penuh ketenangan Luciano. Kedua alis wanita itu saling bertaut ketika menoleh ke samping dengan. “Apakah gaya berkencan kalian memang seperti itu?”“Siapa kalian?”“Kau dan Faraz.”“Hanya Faraz, Anne. Kenapa kau membawa-bawa namaku?”“Meski sekarang aku satu-satunya wanita yang tidur denganmu, kau pikir aku per
“Laki-laki lagi?” Luciano mengangkat salah satu alisnya. Suara rengekan baby Zha mulai tenang dalam gendongan Anne.“Ya. Kau tak suka?”Luciano menggeleng. “Laki-laki atau perempuan, aku tak pernah mempermasalahkannya, Anne. dia anakku.”“Mamaku bilang, saat kau melahirkan anak perempuan. Itu artinya kau menciptakan musuh bebuyutanmu.”Mata Luciano membulat tak percaya, lalu terbahak dengan keras hingga gigi geraham pria itu terlihat.“Kenapa kau tertawa? Kau pikir itu lucu?”Luciano menggeleng. Mencoba menghentikan tawanya karena baby Zha yang mulai bergerak tak nyaman. “Apa maksudmu dengan menciptakan musuh bebuyutan?” tanyanya, berusaha menahan tawanya kembali terlepas.“Dia bahkan bisa menjadi lebih licik dari wanita-wanita yang mencoba memisahkan kita, Luciano.”“Dia putrimu.”“Itulah sebabnya aku ingin seorang putra. Aku tak mau memusuhi putriku sendiri.”“Apakah kau memusuhi ibumu?”Anne terdiam, tampak mengingat-ingat lalu mengangguk. “Setiap kali mama dan papa saling berdekat
Anne terbangun karena dorongan dari dalam perut yang membuatnya gegas turun dari ranjang. Memuntahkan semua makan malamnya yang bahkan tak seberapa. Semakin hari gejala kehamilan datang semakin intens. Bahkan pusing yang semakin sering datang jika ia kurang tidur atau terlalu banyak tidur.Setelah beberapa saat, akhirnya napasnya kembali normal dan tenaganya memulih. Ia bangkit berdiri, menyeka wajahnya di wastafel. Menatap wajah pucatnya yang rasanya sedikit gemuk.Rasanya selera makannya menurun akhir-akhir ini. Meski tak pernah melewatkan jadwal makannya dan memaksa makanan masuk ke mulutnya. Setidaknya untuk memenuhi gizinya dan janin dalam kandungannya. Yang sepertinya lebih banyak dibantu oleh susu ibu hamil dan vitamin.Tubuhnya berputar, hendak keluar ketika tersentak dengan keras dan nyaris berteriak saking kagetnya dengan sosok yang bersandar di pinggiran pintu.“L-luciano?” Suara Anne tercekat. Berusaha meredakan jantungnya yang berdegup kencang. Matanya berkedip beberapa k
Anne tak tahu ke mana Luciano membawa baby Zha pergi. Ia hanya menunggu di rumah selama berhari-hari. Berharap pria itu akan datang untuk pulang. Tetapi hingga satu minggu berlalu, Anne masih sendirian. Tak berhenti merasa sendirian dan kesepian meski beberapa kali Ibra menghubunginya dan menanyakan keadaannya.Anne berusaha menghubungi Farz untuk mencari tahu di mana pria itu dan putranya. Tapi lagi-lagi jawaban Faraz tak pernah memuaskannya.“Aku tahu kau tahu di mana mereka berada, Faraz. Siapa pun tak ada yang tahu, kecuali kau.”Faraz mendesah pelan. Menurunkan kedua tangannya di meja. “Kalau begitu kuralat jawabanku. Aku tak bisa memberitahumu.”“Setidaknya minta Luciano bicara denganku. Apakah dengan pergi akan menyelesaikan masalah?”“Lalu apakah dengan meminta cerai juga akan menyelesaikan permasalahanmu?”Anne menutup mulutnya. Jatuh terduduk di kursinya. “Aku tak bermaksud mengatakannya,” sesalnya dalam gerutuan yang lirih. Wajahnya tertunduk lunglai.Faraz menatap Anne se
“Ibra?” Anne terkejut dengan kemunculan Ibra yang berjalan memasuki ruangan.“Hai.” Ibra melangkah masuk, lekas mendekati ranjang dan menyentuhkan telapak tangannya di kening baby Zha. “Panasnya sudah turun.”“Kau di sini?” Anne menatap jam di dinding yang baru saja melewati tengah malam.“Esther mengirimiku pesan. Luciano tiba-tiba membatalkan pertemuan untuk besok karena baby Zha masuk rumah sakit. Butuh beberapa jam untuk sampai, jadi aku datang.”“Kau tak perlu datang.”“Aku sudah datang, jadi jangan menyuruhku pulang.” Ibra kembali menatap baby Zha. “Apa kata dokter?”“Hanya demam. Tapi masih menunggu hasil tes untuk kepastiannya. Mungkin besok pagi. Kuharap semuanya baik-baik saja.”“Ya, mungkin hanya kelelahan karena seharian main bersama mama dan papaku.”“Ya, kuharap. Terima kasih sudah datang.”Ibra menarik kursi mendekat ke ranjang pasien. “Sepertinya kau belum tidur sama sekali.”“Tadi sempat tertidur, tetapi terbangun karena rengekannya dan langsung ke rumah sakit.”“Tidu
Melihat kedua orang tua Ibra, rasanya seperti meluapkan kerinduannya terhadap kedua orang tuanya. Anne memeluk dalam-dalam mama Ibra, berharap pelukan itu adalah pelukan mamanya sendiri. Begitu pun dengan papa Ibra yang mengusap ujung kepalanya dengan penuh kasih.“Sudah lama tak melihatmu, Anne. Dan putramu sudah semakin besar sejak terakhir kali om lihat.”Anne tertawa. Melihat papa Ibra yang menggendong baby Zha, dalam benaknya seolah adalah papanya sendiri yang menggendong putranya. Keinginan dan harapan terbesar papanya yang belum sempat ia tunjukkan pada sang papa.Ibra menyodorkan sapu tangannya ke arah Anne.“Terima kasih.” Anne mengusap ujung matanya yang basah. Kembali menatap kedua orang tua Ibra yang kini tertawa gemas dengan celotehan baby Zha.Ibra merangkul Anne, menjatuhkan kepala wanita itu ke pundaknya. Sedikit meredakan kerinduan Anne pada kedua orang tua wanita itu di tengah keluarganya. “Kau tahu kau tak pernah sendirian di dunia ini, Anne. Kami keluargamu.”Anne
Anne sengaja memejamkan matanya begitu mendengar suara langkah kaki dari arah belakang punggungnya. Berusaha memancing rasa kantuk yang sejak tadi sulit datang meski jam sudah melewati tengah malam karena Luciano belum pulang. Tak biasanya pria itu pulang larut dan tanpa kabar seperti ini.Marah, sedih, dan kecewa. Pada dirinya sendiri dan pada pria itu. Ialah yang memulai perang dingin ini lebih dulu. Tetapi kenapa balasan dari Luciano juga terasa begitu menusuk dadanya. Mengiris hatinya dengan cara yang paling buruk. Apakah keraguannya layak dibalas dengan pengkhianatan pria itu?Suara pintu kamar mandi yang ditutup membuat mata Anne kembali terbuka. Menatap pintu tersebut dengan genangan yang mulai membentuk di kedua mata.Selama seminggu lebih, Anne dan Luciano masih tak saling bicara. Anne selalu bangun kesiangan dan Luciano sudah berangkat ke kantor, malamnya Anne selalu tidur lebih dulu karena Luciano pulang larut malam. Keduanya nyaris tak saling berkomunikasi. Satu-satunya ya
“Mungkin ini terlambat dan sedikit sengaja. Tapi … bagaimana pun selamat untuk kalian berdua.” Luciano memecah keheningan yang cukup lama membentang di tengah meja. Terutama dengan sang istri yang lebih banyak menatap isi piring yang sejak tadi hanya berkurang dua potong.“Ya, kuharap kalian bisa datang di acara pernikahan kami.”“Ya. Kami akan datang. Benar, kan sayang?” Luciano menoleh pada Anne, yang duduk di sampingnya.Anne mengangkat wajah lalu mengangguk singkat. Pelayan datang untuk membawakan pesanan Ibra dan Esther. Pesanan yang sama. Pandangan wanita itu tak lepas dari Ibra yang memotong kecil-kecil daging panggang di depannya sebelum menukarkan dengan piring milik Esther.“Terima kasih, Ibra,” senyum Esther dengan tatapan yang mesra, yang ditanggapi Ibra dengan senyum yang tak kalah lebarnya.Anne mencoba mengalihkan pandangan, sibuk pada isi piringnya sendiri yang entah kenapa rasanya menjadi hambar. Mulutnya terasa pahit. Ya, ia akui ada kecemburuan yang tersemat di cela