Tubuh Anne menegang dan wajahnya yang memerah berubah pucat hanya dalam sepersekian detik. Luciano yang menyadari perubahan tersebut mengikuti arah pandangan Anne. Dengan seringai kepuasan yang tersungging angkuh di ujung bibirnya. Lilitan lengannya di pinggang Anne yang sempat melonggar, kembali mengetat. Menarik tubuh Anne keluar dari lift sembari memberikan satu anggukan singkat pada Eshan. Keduanya berjalan meninggalkan Eshan yang berdiri membeku di depan lift. Gemuruh kecemburuan memenuhi dada Eshan, kedua tangannya terkepal kuat dengan kedua mata yang membara. Menatap punggung keduanya yang menghilang di ujung lorong. “Tidak bisa seperti ini,” desisnya dalam geraman yang dalam. “Anne hanya milikku. Harus menjadi milikku dan hanya akan menjadi milikku,” sumpahnya. *** “Kau masih terpengaruh olehnya?” dengus Luciano menatap ke sisi wajah Anne yang menghindari tatapannya sejak keluar dari dalam lift. Tubuh wanita itu juga masih menegang di dalam lengannya. “M-maafkan aku. Aku
Napas Anne tertahan mendengar kalimat tersebut. Jantungnya berdegup dengan kencang, beruntung kedua telapak tangannya menahan dada Luciano, sehingga pria itu tidak bisa secara langsung merasakan degupan tersebut. Keduanya saling berpandangan dengan begitu intens selama beberapa saat, yang membuat Anne mendadak gugup dan mendorong tubuh besar Luciano menjauh. “A-aku akan bersiap,” ucapnya sembari menghindari tatapan Luciano. Menyelinap di antara lengan pria itu dan mendahului masuk ke dalam rumah dengan langkah terburu. Anne menyeberangi ruangan dengan cepat. Seolah Luciano mengejarnya. Menaiki anak tangga dengan langkah tidak sabaran dan melesat masuk ke dalam pintu kamar mandi. Menutup pintunya rapat dan bersandar di sana. Salah satu tangannya menggenggam gagang pintu sedangkan telapak tangannya yang lain menempel di dada. Merasakan degupan tersebut masih begitu kencang. Entah karena berjalan dengan terburu ataukah oleh penyebab yang lain. Ciuman Luciano? Tatapan Luciano? Atau … si
Anne benar-benar merasa tersanjung ketika Luciano membawanya makan malam romantis di restoran mewah yang disewa sepenuhnya oleh pria itu. Membuat Anne tak bisa menahan perasaan istimewa yang diberikan Luciano untuknya. Tak hanya itu, pria itu bahkan memberinya sebuket besar bunga mawar yang senada dengan pakaiannya. “Kau suka?” Luciano menunduk dengan kedua tangan di pinggang Anne. Keduanya saling berhadap-hadapan dengan buket bunga dipegang Anne di antara keduanya. Anne mengangguk, mengangkat wajahnya dan menatap wajah Luciano. Yang rasanya semakin hari terlihat semakin tampan. Menciptakan degupan di dada yang semakin tak terkendali. Anne mengerjap dengan gugup akan tatapan Luciano yang semakin intens. Hingga kemudian Luciano memutus kontak mata tersebut dengan jarak yang semakin menipis dan menempelkan bibir keduanya. Kedua kaki Anne selemah jeli. Tetapi berat tubuhnya tertahan oleh kedua tangan Luciano. Ada yang berbeda dengan ciuman kali ini. Ciuman Luciano terasa begitu lembut
Kening Anne berkerut. Ada obsesi yang begitu pekat dalam jawaban tersebut. “Kau terobsesi dengan kecantikanku?” Suara Anne terdengar mengambang. Ragu apakah itu pertanyaan atau pernyataan. Dan ia tak bisa menahan kecewa yang terselip di antara suaranya. “Mungkin ya.” Jawaban Luciano terdengar begitu ambigu. Tetapi kemudian ia menambahkan. “Mungkin juga tidak. Aku bahkan tak peduli jika kau menghancurkan wajahmu hanya untuk melawanku. Aku tak benar-benar peduli. Aku hanya peduli kau tidak terluka. Tidak menyiksa dirimu sendiri karenaku.” Anne terhenyak. Jawaban Luciano tak pernah diduganya, yang menciptakan debaran di dadanya semakin memenuhi dadanya. “Di mataku, kau akan selalu terlihat cantik dan sempurna.” Anne tersenyum. Apakah Luciano mencintainya? “Apakah itu cinta?” Luciano seolah membaca pikirannya dengan tepat. Wajah pria itu miring ke samping dengan kerutan di kening. Seolah ikut memikirkan jawaban dari pertanyaan tersebut. “Kau tahu aku tak benar-benar memahami perasaan
“Terima kasih, Eshan,” ucap Anne lirih, meski bertanya-tanya dengan kemunculan Eshan di tempat ini. Seolah pria itu memang tengah menunggunya di sini. Tapi … bukan seluruh tempat sudah disewa oleh Luciano untuk dua jam ke depan? Eshan menampilkan senyumnya, kemudian mengeluarkan botol kecil berwarna putih yang berisi cairan bening. “Ini akan membuatmu lebih baik?” Kening Anne berkerut, menatap botol di tangan dan wajah Eshan bergantian. “A-apa itu, Eshan?” Eshan meringis tipis. “Maafkan aku, Anne. Aku terpaksa melakukan ini untuk bicara denganmu.” “Apa maksudmu?” “Aku memasukkan sesuatu di makananmu.” Kedua mata Anne seketika melebar, melangkah mundur dengan kedua tangan memegang perut. “Apa?” Eshan tentu saja menyadari kegelisahan yang dirasakan oleh Anne. Wanita itu terlihat begitu khawatir dengan kehamilannya. Kemudian ia menggeleng dengan cepat. “Itu tidak berbahaya untuk kandunganmu. Hanya sedikit ramuan untuk memicu mual.” Anne benar-benar tak percaya dengan apa yang Es
Keduanya pun melangkah ke pintu keluar dengan pelukan yang begitu mesra. Dan seolhah baru saja Anne merasa tenang mereka meninggalkan restoran tanpa Luciano tahu tentang kenekatan Eshan, keduanya dikejutkan dengan keberadaan Esther. Wanita itu bersandar di bagian pintu mobil, yang merupakan satu-satunya mobil yang terparkir di depan restoran. Seolah menunggu kemunculan mereka berdua dengan bosan. Anne merasakan pelukan lengan Luciano yang semakin menguat ketika menyadari keberadaan sang mantan. Yang menyambut mereka dengan kedua tangan bersilang dada dan senyum yang tertampil sempurna di wajah cantik wanita itu. Esther bahkan mengenakan gaun malam yang cukup seksi, kerah V yang cukup rendah dan bagian punggung yang tereskpos sempurna. Panjang gaun hampir mencapai mata kaki tetapi memiliki belahan hingga di tengah paha, menampilkan kaki wanita itu yang jenjang. Penampilan Esther bahkan jauh lebih memesona ketimbang dirinya. Yang mendadak menciptakan ketidak percayaan diri di hati Ann
54. Semakin MembaikSepanjang sisa perjalanan, Anne sama sekali tak membuka suaranya. Kepalanya bersandar di jok dengan wajah mengarah ke jendela mobil. Kesal, tetapi ia berusaha terlalu keras untuk mengabaikan kecemburuan yang merebak memenuhi dadanya. Ia sama sekali tak berhak meminta penjelasan pada Luciano tentang keriuhan di dadanya yang disebabkan kata-kata Esther.“Kau baik-baik saja?” Sekali lagi Luciano bertanya untuk yang ke lima kalinya setelah lebih dari setengah jam mobil meninggalkan restoran. Luciano pikir karena Anne yang masih tak enak badan sehingga wanita itu tampak lebih diam. Tapi … bukankah Anne memang selalu menjadi pendiam jika tidak ada hal apa pun yang perlu dijadikan alasan untuk menjadi keras kepala.Sejak kecelekaan itu Anne memang mulai bersikap lebih baik padanya. Menjadi begitu penurut tanpa tuntutan darinya. Dan bahkan lebih baik setelah ia melepaskan Ibra dengan hati pemaafnya.Hanya butuh memiliki orang-orang di sekitar wanita itu dan ia akan berhasi
Kecepatan mobil perlahan berkurang dan berhenti sejenak ketika pintu gerbang terbuka. Mulai memasuki halaman rumah dan benar-benar berhenti tepat di depan teras. Luciano turun lebih dulu dan membantu Anne. Keduanya langsung pergi ke area dapur. “Duduklah. Kau ingin apa?”Kening Anne berkerut dengan pertanyaan Luciano.“Aku sudah menyuruh koki untuk pulang karena kita makan malam di luar.”“Aku akan membuatnya sendiri.”“Duduklah. Aku yang akan melakukannya.” Luciano membawa Anne duduk di kursi bar. “Katakan saja apa yang kau inginkan?”“Kau bisa masak?” Anne menatap Luciano penuh keraguan.Luciano hanya menyeringai tipis. “Katakan saja.”Anne tampak berpikir, masih dengan tatapan ragunya yang begitu pekat pada Luciano. Tak ingin menyulitkan pria itu lebih banyak, sepertinya … “Telur saja.”Salah satu alis Luciano terangkat. “Kau jelas meragukan kemampuanku, ya?”Anne tak menyangkal tuduhan yang diberikannya pada Luciano. Ya, bagaimana mungkin ia percaya seseorang seperti Luciano tahu
"Jadi memang ya?" Anne mendorong dada Luciano menjauh. Kedongkolan tampak jelas memekati rautnya yang muram. Menyentakkan tangan Luciano yang masih melingkari pinggangnya."Aku tidak mengatakan tidak. Itu terdengar seperti sebuah kebohongan, Anne. Kau tak akan menyukainya.""Tidak. Kau salah besar, Luciano.""Lalu apa yang kau inginkan?" Suaranya mulai diselimuti kefrustrasian. "Aku lebih baik mendengar kebohongan. Aku akan mempercayaimu. Selama kau yang mengatakannya."Luciano membelalak. Mulutnya membuka nutup tak percaya. Belum pernah ia setercengang ini menghadapi kelabilan Anne. "Jadi kau lebih suka kebohonganku?""Sekarang, tidak keduanya. Kau memang tak pernah memahami wanita, Luciano. Tak pernah memahamiku sebagai seorang istri. Sebagai pasangan. Sebagai satu-satunya wanitamu. Kau yakin kau menganggapku sebagai istrimu? Bukan hanya sebagai wanita pemuas nafsumu seperti mereka?""Kau tahu itu tidak benar, Anne. Jangan mengada-ada sesuatu yang tak pernah benar."Anne mengibaska
Suasana pesta sudah ramai dan ballroom sudah dipenuhi kemeriahan serta canda tawa. Suara musik yang mengalun lembut sebagai latar belakang kemewahan pesta tersebut menyambut Anne dan Luciano yang bergandengan mesra memasuki ruangan yang luas dengan hiasan bunga dan kerlap-kerlip lampu di mana-mana.“Apakah Faraz dan Estelle akan datang?”“Mereka sudah putus, Anne. Kenapa mereka datang bersama?”“Siapa bilang mereka sudah putus. Tadi pagi aku menelpon Estelle dan yang menjawab Faraz. Mereka jelas masih sering tidur bersama. Faraz benar-benar memanfaatkan Estelle. Kenapa meniduri wanita jika tidak berniat menikahinya.”“Hmm, itu urusan mereka.”Anne mendadak terdiam dengan reaksi penuh ketenangan Luciano. Kedua alis wanita itu saling bertaut ketika menoleh ke samping dengan. “Apakah gaya berkencan kalian memang seperti itu?”“Siapa kalian?”“Kau dan Faraz.”“Hanya Faraz, Anne. Kenapa kau membawa-bawa namaku?”“Meski sekarang aku satu-satunya wanita yang tidur denganmu, kau pikir aku per
“Laki-laki lagi?” Luciano mengangkat salah satu alisnya. Suara rengekan baby Zha mulai tenang dalam gendongan Anne.“Ya. Kau tak suka?”Luciano menggeleng. “Laki-laki atau perempuan, aku tak pernah mempermasalahkannya, Anne. dia anakku.”“Mamaku bilang, saat kau melahirkan anak perempuan. Itu artinya kau menciptakan musuh bebuyutanmu.”Mata Luciano membulat tak percaya, lalu terbahak dengan keras hingga gigi geraham pria itu terlihat.“Kenapa kau tertawa? Kau pikir itu lucu?”Luciano menggeleng. Mencoba menghentikan tawanya karena baby Zha yang mulai bergerak tak nyaman. “Apa maksudmu dengan menciptakan musuh bebuyutan?” tanyanya, berusaha menahan tawanya kembali terlepas.“Dia bahkan bisa menjadi lebih licik dari wanita-wanita yang mencoba memisahkan kita, Luciano.”“Dia putrimu.”“Itulah sebabnya aku ingin seorang putra. Aku tak mau memusuhi putriku sendiri.”“Apakah kau memusuhi ibumu?”Anne terdiam, tampak mengingat-ingat lalu mengangguk. “Setiap kali mama dan papa saling berdekat
Anne terbangun karena dorongan dari dalam perut yang membuatnya gegas turun dari ranjang. Memuntahkan semua makan malamnya yang bahkan tak seberapa. Semakin hari gejala kehamilan datang semakin intens. Bahkan pusing yang semakin sering datang jika ia kurang tidur atau terlalu banyak tidur.Setelah beberapa saat, akhirnya napasnya kembali normal dan tenaganya memulih. Ia bangkit berdiri, menyeka wajahnya di wastafel. Menatap wajah pucatnya yang rasanya sedikit gemuk.Rasanya selera makannya menurun akhir-akhir ini. Meski tak pernah melewatkan jadwal makannya dan memaksa makanan masuk ke mulutnya. Setidaknya untuk memenuhi gizinya dan janin dalam kandungannya. Yang sepertinya lebih banyak dibantu oleh susu ibu hamil dan vitamin.Tubuhnya berputar, hendak keluar ketika tersentak dengan keras dan nyaris berteriak saking kagetnya dengan sosok yang bersandar di pinggiran pintu.“L-luciano?” Suara Anne tercekat. Berusaha meredakan jantungnya yang berdegup kencang. Matanya berkedip beberapa k
Anne tak tahu ke mana Luciano membawa baby Zha pergi. Ia hanya menunggu di rumah selama berhari-hari. Berharap pria itu akan datang untuk pulang. Tetapi hingga satu minggu berlalu, Anne masih sendirian. Tak berhenti merasa sendirian dan kesepian meski beberapa kali Ibra menghubunginya dan menanyakan keadaannya.Anne berusaha menghubungi Farz untuk mencari tahu di mana pria itu dan putranya. Tapi lagi-lagi jawaban Faraz tak pernah memuaskannya.“Aku tahu kau tahu di mana mereka berada, Faraz. Siapa pun tak ada yang tahu, kecuali kau.”Faraz mendesah pelan. Menurunkan kedua tangannya di meja. “Kalau begitu kuralat jawabanku. Aku tak bisa memberitahumu.”“Setidaknya minta Luciano bicara denganku. Apakah dengan pergi akan menyelesaikan masalah?”“Lalu apakah dengan meminta cerai juga akan menyelesaikan permasalahanmu?”Anne menutup mulutnya. Jatuh terduduk di kursinya. “Aku tak bermaksud mengatakannya,” sesalnya dalam gerutuan yang lirih. Wajahnya tertunduk lunglai.Faraz menatap Anne se
“Ibra?” Anne terkejut dengan kemunculan Ibra yang berjalan memasuki ruangan.“Hai.” Ibra melangkah masuk, lekas mendekati ranjang dan menyentuhkan telapak tangannya di kening baby Zha. “Panasnya sudah turun.”“Kau di sini?” Anne menatap jam di dinding yang baru saja melewati tengah malam.“Esther mengirimiku pesan. Luciano tiba-tiba membatalkan pertemuan untuk besok karena baby Zha masuk rumah sakit. Butuh beberapa jam untuk sampai, jadi aku datang.”“Kau tak perlu datang.”“Aku sudah datang, jadi jangan menyuruhku pulang.” Ibra kembali menatap baby Zha. “Apa kata dokter?”“Hanya demam. Tapi masih menunggu hasil tes untuk kepastiannya. Mungkin besok pagi. Kuharap semuanya baik-baik saja.”“Ya, mungkin hanya kelelahan karena seharian main bersama mama dan papaku.”“Ya, kuharap. Terima kasih sudah datang.”Ibra menarik kursi mendekat ke ranjang pasien. “Sepertinya kau belum tidur sama sekali.”“Tadi sempat tertidur, tetapi terbangun karena rengekannya dan langsung ke rumah sakit.”“Tidu
Melihat kedua orang tua Ibra, rasanya seperti meluapkan kerinduannya terhadap kedua orang tuanya. Anne memeluk dalam-dalam mama Ibra, berharap pelukan itu adalah pelukan mamanya sendiri. Begitu pun dengan papa Ibra yang mengusap ujung kepalanya dengan penuh kasih.“Sudah lama tak melihatmu, Anne. Dan putramu sudah semakin besar sejak terakhir kali om lihat.”Anne tertawa. Melihat papa Ibra yang menggendong baby Zha, dalam benaknya seolah adalah papanya sendiri yang menggendong putranya. Keinginan dan harapan terbesar papanya yang belum sempat ia tunjukkan pada sang papa.Ibra menyodorkan sapu tangannya ke arah Anne.“Terima kasih.” Anne mengusap ujung matanya yang basah. Kembali menatap kedua orang tua Ibra yang kini tertawa gemas dengan celotehan baby Zha.Ibra merangkul Anne, menjatuhkan kepala wanita itu ke pundaknya. Sedikit meredakan kerinduan Anne pada kedua orang tua wanita itu di tengah keluarganya. “Kau tahu kau tak pernah sendirian di dunia ini, Anne. Kami keluargamu.”Anne
Anne sengaja memejamkan matanya begitu mendengar suara langkah kaki dari arah belakang punggungnya. Berusaha memancing rasa kantuk yang sejak tadi sulit datang meski jam sudah melewati tengah malam karena Luciano belum pulang. Tak biasanya pria itu pulang larut dan tanpa kabar seperti ini.Marah, sedih, dan kecewa. Pada dirinya sendiri dan pada pria itu. Ialah yang memulai perang dingin ini lebih dulu. Tetapi kenapa balasan dari Luciano juga terasa begitu menusuk dadanya. Mengiris hatinya dengan cara yang paling buruk. Apakah keraguannya layak dibalas dengan pengkhianatan pria itu?Suara pintu kamar mandi yang ditutup membuat mata Anne kembali terbuka. Menatap pintu tersebut dengan genangan yang mulai membentuk di kedua mata.Selama seminggu lebih, Anne dan Luciano masih tak saling bicara. Anne selalu bangun kesiangan dan Luciano sudah berangkat ke kantor, malamnya Anne selalu tidur lebih dulu karena Luciano pulang larut malam. Keduanya nyaris tak saling berkomunikasi. Satu-satunya ya
“Mungkin ini terlambat dan sedikit sengaja. Tapi … bagaimana pun selamat untuk kalian berdua.” Luciano memecah keheningan yang cukup lama membentang di tengah meja. Terutama dengan sang istri yang lebih banyak menatap isi piring yang sejak tadi hanya berkurang dua potong.“Ya, kuharap kalian bisa datang di acara pernikahan kami.”“Ya. Kami akan datang. Benar, kan sayang?” Luciano menoleh pada Anne, yang duduk di sampingnya.Anne mengangkat wajah lalu mengangguk singkat. Pelayan datang untuk membawakan pesanan Ibra dan Esther. Pesanan yang sama. Pandangan wanita itu tak lepas dari Ibra yang memotong kecil-kecil daging panggang di depannya sebelum menukarkan dengan piring milik Esther.“Terima kasih, Ibra,” senyum Esther dengan tatapan yang mesra, yang ditanggapi Ibra dengan senyum yang tak kalah lebarnya.Anne mencoba mengalihkan pandangan, sibuk pada isi piringnya sendiri yang entah kenapa rasanya menjadi hambar. Mulutnya terasa pahit. Ya, ia akui ada kecemburuan yang tersemat di cela