Anne pulang ke rumah sebelum makan siang siap di meja makan. Hari ini hari Sabtu dan Luciano mengatakan ingin makan siang dengannya di rumah. Dan sepertinya pria itu pun sudah dalam perjalanan pulang. Lewat sopir, Luciano menanyakan posisi mereka.Ia baru saja mengganti pakaian ketika mendengar langkah dari balik partisi dan tak lama tubuh tinggi besar Luciano muncul. Wajah kusut pria itu seketika membentuk senyuk untuk sang istri. Melepaskan jas dan dasi dalam perjalanannya menghampiri Anne. Mendapatkan lumatan di bibir sebagai sambutan.Anne mengurai pelukan Luciano sebelum lumatan tersebut berubah menjadi interaksi yang lebih intim. "Aku ingin turun untuk menyiapkan meja makan," dalihnya sembari menggeliatkan tubuh terbebas dari lilitan lengan Luciano.Luciano melepaskan, dengan senyum kepuasan dan berjalan ke kamar mandi. Tetapi ia belum benar-benar masuk ke kamar mandi ketika Anne memanggil namanya."Luciano?" Luciano memutar kepalanya, menghadap Anne tanpa membalik tubuh. "Ya?"
Sepanjang ketiganya melahap makanan, Annelah yang lebih banyak diam. Faraz mengoceh meski Luciano sudah memperingatkan untuk tidak berisi dan Luciano lebih sering memperingatkannya untuk menghabiskan setiap sesuap nasinya dengan baik.Mual muntahnya terkadang kambuh, jadi saat gejala itu tidak timbul, Anne menggunakan kesempatan itu sebaik mungkin untuk memasukkan makanan ke dalam mulut. Gelas susu ibu hamilnya pun tandas, yang membuat Luciano tersenyum dengan puas. Setelah makan siang selesai, ketiganya bersama-sama masuk ke dalam rumah."Tunggu." Anne menghampiri seorang pelayan yang hendak menaiki tangga. Dengan membawa sebuah jaket yang dibungkus plastik. "Apa baru datang?""Ya, Nyonya. Saya baru saja mengambilnya dari laundry."Anne mengangguk dan mengambil jaket hitam tersebut. "Aku akan membawanya. Terima kasih."Pelayan tersebut mengangguk dan berpamit undur diri.Di belakang Anne, Faraz tampak membeku melihat jaket yang dipegang oleh Anne. Matanya menyipit, tatapannya menajam
"Apa yang akan kalian lakukan pada Ibra?" Anne nyaris berteriak meski masih tercekat dengan pembahasan antara Faraz dan Luciano. "Sebenarnya apa hubungan kalian dengan Ibra?"Langkah Luciano terhenti, menatap wajah Anne yang pucat. "Bukan urusan ...""Urusan Ibra dengan kalian akan menjadi urusanku." Suara Anne terdengar lantang. Tanpa sedikit pun ketakutan. Ia sudah pernah membuat Ibra nyaris kehilangan nyawanya. Tidak untuk kedua kalinya. "Jika kau melukainya, aku pastikan kalian akan menyesal."Luciano medengus. "Kau mengancamku?"Anne merasakan ketakutan mulai menyeruak di dalam dadanya, tetapi ia masih memaksa berani. "Kau sudah hampir membunuhnya hanya karena kecerobohanku, Luciano. Aku tahu kali ini tidak akan menjadi sekedar permainan. Kau pikir aku akan membiarkan kau membunuh sahabatku tanpa melakukan apa pun?""Aku menyesal tak membunuhnya sekalian waktu itu."Napas Anne benar-benar tertahan melihat kesungguhan di wajah Luciano. Pria itu seolah tak butuh mempertimbangkan un
"Jadi kau benar-benar tak tahu siapa aku?"Kening Ibra berkerut, menatap Luciano dan Anne bergantian. "Ada apa, Anne?""Aku akan mengingatkanmu." Luciano memberikan satu isyarat mata pada Faraz, yang merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselnya. Anne yakin yang ditunjukkan Faraz adalah rekaman yang sama yang ditunjukkan padanya beberapa saat yang lalu.Semakin Faraz melihat, wajah pria itu semakin memucat. Berjuang keras menampilkan ketenangan, meski bibirnya bergetar hebat. "L-lalu apa hubungannya rekaman itu denganku?"Faraz mendengus. "JK?"Seorang pengawal masuk, membawa jaket yang tadi disimpan Anne di lemari pakaiannya dan memberikannya pada Faraz. "Ini milikmu, kan?"Ibra tampak menelan ludahnya, melirik ke arah Anne yang rautnya diselimuti ketidak berdayaan bercampur sesal. Dan genangan yang mulai memenuhi kelopak mata wanita itu. "Y-ya. Lalu?""Kau tahu apa artinya, Tuan Maharth yang terhormat." Bibir Faraz menipis dengan gemas bercampur kesal."Jaket itu tidak mungkin dibu
Anne memejamkan matanya, menunggu rasa sakit menghantam bagian belakang tubuhnya. Tetapi rasa sakit itu tak pernah datang, pinggangnya ditangkap oleh lengan kekar. Mendarat di lantai dengan mulus, menyusul suara bedebum yang cukup keras.Luciano menggeram, tubuhnya berbaring di lantai dengan lengan di pinggang dan lengan lainnya melingkari dada. Memeluk tubuh Anne erat-erat. Bisa-bisanya wanita ini bersikap dengan begitu ceroboh dan membahayakan anaknya yang berada dalam kandungan wanita itu.Kedua mata Anne terbuka dengan perlahan. Menatap langit-langit ruangan dengan napas yang terengah penuh kelegaan. Meski ia tahu tubuh di bawahnya menguarkan amarah yang begitu besar. Untuknya."Benar-benar kau, Anne," geram Luciano. Membawa wanita itu bangkit berdiri dengan mencengkeram lengan bagian atasnya. Menyeretnya menuju sofa dan mendorong terduduk dengan gerakan yang kasar meski tidak cukup untuk menyakiti wanita itu.Anne menatap Ibra yang masih terlihat syok, kedua matanya menyorotkan k
"Kau sungguh tak tahu siapa yang menculik ketiga anak buahku?" Mata Luciano menyipit tajam. Menusuk tepat ke arah Ibra yang duduk di kursi dengan kedua kaki dan tangan yang diikat ke belakang. Rahangnya masih memerah karena perbuatannya. Sialan, setelah semua kekacauan anak ingusan ini untuk mengusiknya, ia hanya bisa memberikan hukuman seringan itu."Aku tak melakukan hal serendah itu," jawab Ibra dengan penuh kesal. "Lagipula aku tak kekurangan perhatian seorang wanita."Luciano mendengus akan kalimat tambahan Ibra. Termasuk perhatian Anne untuk anak ingusan ini."Sebenarnya kau juga berhutang padaku." Ibra mencoba bersikap berani. Yang mendapatkan dengusan mengejek dari Faraz. Pria itu tak peduli dengan reaksi Faraz, malah mengangguk dengan mantap dan penuh keyakinan. "Ya, akulah yang membujuk Anne untuk menerimamu dan pernikahan kalian. Memberinya nasehat untuk merelakan Eshan. Sedikit banyak, aku ikut andil dalam keutuhan rumah tanggamu."Luciano nyaris tak bisa menahan tawa akan
Dokter baru saja berbelok di baik partisi ketika kedua mata Anne bergerak-gerak pelan. Perlahan terbuka dan kesadarannya mulai kembali. Luciano duduk di pinggiran tempat tidur, memijit lembut tangan Anne untuk memberikan sedikit rangsangan agar sepenuhnya sadar.Kepala Anne masih terasa pusing, meski tidak begitu intens. Ingatannya kembali menelaah bagaimana ia bisa berakhir di tempat tidur."Minum," perintah Luciano sembari membantu Anne bangun terduduk. Mendekatkan gelas air putih hangat ke bibir sang istri. "Lebih baik?"Anne tak mengangguk. Ada pertanyaan yang masih mengganjal di dadanya. "Apa benar yang dikatakan oleh Ibra?" Suaranya terdengar begitu lemah."Luciano meletakkan gelas yang masih berisi setengah ke nakas. Bangkit berdiri dan sekali lagi memerintah dengan ketegasan yang sedikit lembut. "Istirahatlah. Dokter menyuruhmu untuk istirahat dan menenangkan pikiranmu."Anne menangkap pergelangan tangan Luciano. "Kenapa penculik itu memiliki tato namaku? Kenapa dia mengincark
"Ya.""Ya, aku mendengarnya.""Apa yang dikatakan Luciano padamu? Apa kau baik-baik saja?""Hanya salah satu musuhnya dan Luciano akan mengurusnya. Dia pasti akan mengurusnya, dia juga pasti memiliki banyak musuh, kan? Dan mengenai tato itu, sepertinya hanya untuk mengusik Luciano, kan?"Ibra tak langsung berkomentar. Pria itu jelas tak seyakin Anne. Ia merasa masalah ini tak akan berakhir dengan mudah dan sesederhana itu. Ibra merasa ada yang aneh dengan sang penculik. Seolah ada sesuatu yang mengganggunya."Ibra? Ibra?! Kau masih di sana?"Ibra mengerjap, tersadar dari lamunannya. "Ya. Aku di sini."Anne mendengar langkah dari arah pintu kamar mandi. "Sepertinya aku harus menutup panggilanku. Aku akan menghubungimu lagi.""Oke. Sampai jumpa."Anne menurunkan ponsel dan memutus panggilan tersebut, kemudia melihat Luciano yang melangkah keluar dari kamar mandi. Pria itu menyeberangi ruangan tanpa menoleh ke arahnya. Langsung menghilang di balik partisi.Anne menghela napas. Merasa tak
"Jadi memang ya?" Anne mendorong dada Luciano menjauh. Kedongkolan tampak jelas memekati rautnya yang muram. Menyentakkan tangan Luciano yang masih melingkari pinggangnya."Aku tidak mengatakan tidak. Itu terdengar seperti sebuah kebohongan, Anne. Kau tak akan menyukainya.""Tidak. Kau salah besar, Luciano.""Lalu apa yang kau inginkan?" Suaranya mulai diselimuti kefrustrasian. "Aku lebih baik mendengar kebohongan. Aku akan mempercayaimu. Selama kau yang mengatakannya."Luciano membelalak. Mulutnya membuka nutup tak percaya. Belum pernah ia setercengang ini menghadapi kelabilan Anne. "Jadi kau lebih suka kebohonganku?""Sekarang, tidak keduanya. Kau memang tak pernah memahami wanita, Luciano. Tak pernah memahamiku sebagai seorang istri. Sebagai pasangan. Sebagai satu-satunya wanitamu. Kau yakin kau menganggapku sebagai istrimu? Bukan hanya sebagai wanita pemuas nafsumu seperti mereka?""Kau tahu itu tidak benar, Anne. Jangan mengada-ada sesuatu yang tak pernah benar."Anne mengibaska
Suasana pesta sudah ramai dan ballroom sudah dipenuhi kemeriahan serta canda tawa. Suara musik yang mengalun lembut sebagai latar belakang kemewahan pesta tersebut menyambut Anne dan Luciano yang bergandengan mesra memasuki ruangan yang luas dengan hiasan bunga dan kerlap-kerlip lampu di mana-mana.“Apakah Faraz dan Estelle akan datang?”“Mereka sudah putus, Anne. Kenapa mereka datang bersama?”“Siapa bilang mereka sudah putus. Tadi pagi aku menelpon Estelle dan yang menjawab Faraz. Mereka jelas masih sering tidur bersama. Faraz benar-benar memanfaatkan Estelle. Kenapa meniduri wanita jika tidak berniat menikahinya.”“Hmm, itu urusan mereka.”Anne mendadak terdiam dengan reaksi penuh ketenangan Luciano. Kedua alis wanita itu saling bertaut ketika menoleh ke samping dengan. “Apakah gaya berkencan kalian memang seperti itu?”“Siapa kalian?”“Kau dan Faraz.”“Hanya Faraz, Anne. Kenapa kau membawa-bawa namaku?”“Meski sekarang aku satu-satunya wanita yang tidur denganmu, kau pikir aku per
“Laki-laki lagi?” Luciano mengangkat salah satu alisnya. Suara rengekan baby Zha mulai tenang dalam gendongan Anne.“Ya. Kau tak suka?”Luciano menggeleng. “Laki-laki atau perempuan, aku tak pernah mempermasalahkannya, Anne. dia anakku.”“Mamaku bilang, saat kau melahirkan anak perempuan. Itu artinya kau menciptakan musuh bebuyutanmu.”Mata Luciano membulat tak percaya, lalu terbahak dengan keras hingga gigi geraham pria itu terlihat.“Kenapa kau tertawa? Kau pikir itu lucu?”Luciano menggeleng. Mencoba menghentikan tawanya karena baby Zha yang mulai bergerak tak nyaman. “Apa maksudmu dengan menciptakan musuh bebuyutan?” tanyanya, berusaha menahan tawanya kembali terlepas.“Dia bahkan bisa menjadi lebih licik dari wanita-wanita yang mencoba memisahkan kita, Luciano.”“Dia putrimu.”“Itulah sebabnya aku ingin seorang putra. Aku tak mau memusuhi putriku sendiri.”“Apakah kau memusuhi ibumu?”Anne terdiam, tampak mengingat-ingat lalu mengangguk. “Setiap kali mama dan papa saling berdekat
Anne terbangun karena dorongan dari dalam perut yang membuatnya gegas turun dari ranjang. Memuntahkan semua makan malamnya yang bahkan tak seberapa. Semakin hari gejala kehamilan datang semakin intens. Bahkan pusing yang semakin sering datang jika ia kurang tidur atau terlalu banyak tidur.Setelah beberapa saat, akhirnya napasnya kembali normal dan tenaganya memulih. Ia bangkit berdiri, menyeka wajahnya di wastafel. Menatap wajah pucatnya yang rasanya sedikit gemuk.Rasanya selera makannya menurun akhir-akhir ini. Meski tak pernah melewatkan jadwal makannya dan memaksa makanan masuk ke mulutnya. Setidaknya untuk memenuhi gizinya dan janin dalam kandungannya. Yang sepertinya lebih banyak dibantu oleh susu ibu hamil dan vitamin.Tubuhnya berputar, hendak keluar ketika tersentak dengan keras dan nyaris berteriak saking kagetnya dengan sosok yang bersandar di pinggiran pintu.“L-luciano?” Suara Anne tercekat. Berusaha meredakan jantungnya yang berdegup kencang. Matanya berkedip beberapa k
Anne tak tahu ke mana Luciano membawa baby Zha pergi. Ia hanya menunggu di rumah selama berhari-hari. Berharap pria itu akan datang untuk pulang. Tetapi hingga satu minggu berlalu, Anne masih sendirian. Tak berhenti merasa sendirian dan kesepian meski beberapa kali Ibra menghubunginya dan menanyakan keadaannya.Anne berusaha menghubungi Farz untuk mencari tahu di mana pria itu dan putranya. Tapi lagi-lagi jawaban Faraz tak pernah memuaskannya.“Aku tahu kau tahu di mana mereka berada, Faraz. Siapa pun tak ada yang tahu, kecuali kau.”Faraz mendesah pelan. Menurunkan kedua tangannya di meja. “Kalau begitu kuralat jawabanku. Aku tak bisa memberitahumu.”“Setidaknya minta Luciano bicara denganku. Apakah dengan pergi akan menyelesaikan masalah?”“Lalu apakah dengan meminta cerai juga akan menyelesaikan permasalahanmu?”Anne menutup mulutnya. Jatuh terduduk di kursinya. “Aku tak bermaksud mengatakannya,” sesalnya dalam gerutuan yang lirih. Wajahnya tertunduk lunglai.Faraz menatap Anne se
“Ibra?” Anne terkejut dengan kemunculan Ibra yang berjalan memasuki ruangan.“Hai.” Ibra melangkah masuk, lekas mendekati ranjang dan menyentuhkan telapak tangannya di kening baby Zha. “Panasnya sudah turun.”“Kau di sini?” Anne menatap jam di dinding yang baru saja melewati tengah malam.“Esther mengirimiku pesan. Luciano tiba-tiba membatalkan pertemuan untuk besok karena baby Zha masuk rumah sakit. Butuh beberapa jam untuk sampai, jadi aku datang.”“Kau tak perlu datang.”“Aku sudah datang, jadi jangan menyuruhku pulang.” Ibra kembali menatap baby Zha. “Apa kata dokter?”“Hanya demam. Tapi masih menunggu hasil tes untuk kepastiannya. Mungkin besok pagi. Kuharap semuanya baik-baik saja.”“Ya, mungkin hanya kelelahan karena seharian main bersama mama dan papaku.”“Ya, kuharap. Terima kasih sudah datang.”Ibra menarik kursi mendekat ke ranjang pasien. “Sepertinya kau belum tidur sama sekali.”“Tadi sempat tertidur, tetapi terbangun karena rengekannya dan langsung ke rumah sakit.”“Tidu
Melihat kedua orang tua Ibra, rasanya seperti meluapkan kerinduannya terhadap kedua orang tuanya. Anne memeluk dalam-dalam mama Ibra, berharap pelukan itu adalah pelukan mamanya sendiri. Begitu pun dengan papa Ibra yang mengusap ujung kepalanya dengan penuh kasih.“Sudah lama tak melihatmu, Anne. Dan putramu sudah semakin besar sejak terakhir kali om lihat.”Anne tertawa. Melihat papa Ibra yang menggendong baby Zha, dalam benaknya seolah adalah papanya sendiri yang menggendong putranya. Keinginan dan harapan terbesar papanya yang belum sempat ia tunjukkan pada sang papa.Ibra menyodorkan sapu tangannya ke arah Anne.“Terima kasih.” Anne mengusap ujung matanya yang basah. Kembali menatap kedua orang tua Ibra yang kini tertawa gemas dengan celotehan baby Zha.Ibra merangkul Anne, menjatuhkan kepala wanita itu ke pundaknya. Sedikit meredakan kerinduan Anne pada kedua orang tua wanita itu di tengah keluarganya. “Kau tahu kau tak pernah sendirian di dunia ini, Anne. Kami keluargamu.”Anne
Anne sengaja memejamkan matanya begitu mendengar suara langkah kaki dari arah belakang punggungnya. Berusaha memancing rasa kantuk yang sejak tadi sulit datang meski jam sudah melewati tengah malam karena Luciano belum pulang. Tak biasanya pria itu pulang larut dan tanpa kabar seperti ini.Marah, sedih, dan kecewa. Pada dirinya sendiri dan pada pria itu. Ialah yang memulai perang dingin ini lebih dulu. Tetapi kenapa balasan dari Luciano juga terasa begitu menusuk dadanya. Mengiris hatinya dengan cara yang paling buruk. Apakah keraguannya layak dibalas dengan pengkhianatan pria itu?Suara pintu kamar mandi yang ditutup membuat mata Anne kembali terbuka. Menatap pintu tersebut dengan genangan yang mulai membentuk di kedua mata.Selama seminggu lebih, Anne dan Luciano masih tak saling bicara. Anne selalu bangun kesiangan dan Luciano sudah berangkat ke kantor, malamnya Anne selalu tidur lebih dulu karena Luciano pulang larut malam. Keduanya nyaris tak saling berkomunikasi. Satu-satunya ya
“Mungkin ini terlambat dan sedikit sengaja. Tapi … bagaimana pun selamat untuk kalian berdua.” Luciano memecah keheningan yang cukup lama membentang di tengah meja. Terutama dengan sang istri yang lebih banyak menatap isi piring yang sejak tadi hanya berkurang dua potong.“Ya, kuharap kalian bisa datang di acara pernikahan kami.”“Ya. Kami akan datang. Benar, kan sayang?” Luciano menoleh pada Anne, yang duduk di sampingnya.Anne mengangkat wajah lalu mengangguk singkat. Pelayan datang untuk membawakan pesanan Ibra dan Esther. Pesanan yang sama. Pandangan wanita itu tak lepas dari Ibra yang memotong kecil-kecil daging panggang di depannya sebelum menukarkan dengan piring milik Esther.“Terima kasih, Ibra,” senyum Esther dengan tatapan yang mesra, yang ditanggapi Ibra dengan senyum yang tak kalah lebarnya.Anne mencoba mengalihkan pandangan, sibuk pada isi piringnya sendiri yang entah kenapa rasanya menjadi hambar. Mulutnya terasa pahit. Ya, ia akui ada kecemburuan yang tersemat di cela