Anne bertanya-tanya tentang sikap Eshan yang mendadak lebih pendiam seperti ini. Apakah Eshan marah karena ia sengaja mengabaikan pesan yang dikirim oleh pria itu? Sepertinya memang hanya itu satu-satunya alasan yang membuat Eshan berhak marah padanya. Ia memang sengaja menghindari pria itu. Karena Luciano.Lift berhenti dan pintunya bergeser terbuka. Eshan kembali menangkap tangan Anne dan membawa wanita itu keluar. Keduanya menaiki tangga darurat dan udara malam berhembus meneroa tubuh keduanya ketika keluar dari pintu atas gedung.Saat itulah Eshan melepaskan pegangannya dan terus melangkah ke pinggiran atap gedung. Menyandarkan tubuhnya di pagar beton. Anne menatap punggung Eshan di antara keremanangan pencahayaan, kemudian memutuskan untuk bergabung bersama pria itu.Udara malam yang dingin menembus gaun malam tanpa lengannya tersebut. Menusuk ke dalam kulitnya tetapi Anne mengabaikannya. Ia berdiri di samping Eshan. Menatap langit malam yang bertabur bintang. Berbanding terbalik
Anne melepaskan sabuk pengaman dan menuruti perintah Luciano. Tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk membantah."Tidak adakah yang perlu kau jelaskan padaku?" Luciano segera mencecarnya begitu mobil mulai melaju meninggalkan halaman gedung apartemen Esther.Anne menjilat bibirnya yang kering. "Kami hanya ...""Jangan memberiku jawaban tolol semacam itu lagi, Anne. Aku tahu kalian tak hanya bicara."Anne menatap kemarahan di kedua mata Luciano yang semakin pekat dan menutup kembali mulutnya. Rasanya jawaban apa pun tak akan melegakan kemarahan Luciano."Kau sangat tahu aku membenci pengkhianat, Anne. Jangan kau pikir karena kau istriku dan tengah mengandung anakku, itu membuatmu merasa begitu special dan bisa melakukan apa pun sesuka hatimu. Aku memberimu sedikit kebebasan untuk hal sialan ini. Apa kau mengerti?"Anne masih membungkam. Rasanya ingin berteriak sendiri di depan wajah Luciano tentang sikap pria itu sendiri pada pernikahan mereka. Luciano mengatakan lebih memilih pernik
"Jangan berpikir terlalu jauh, Anne. Papamu baik-baik saja. Dokter mengatakan perkembangannya sangat baik akhir-akhir ini, kan? Bahkan lusa sudah bisa pulang ke rumah." Ibra menepuk pundak Anne pelan. Keduanya berdiri di lift, yang baru saja berhenti di lantai satu. Pintu bergeser terbuka dan mereka melangkah keluar."Aku merasa firasat buruk akhir-akhir ini membuatku tak bisa tenang," desah Anne pelan. Suaranya diselimuti kegelisahan yang masih melekat sejak mendengar pesan papanya. "Kenapa papa harus menyerahkan perusahaan secepat itu pada Luciano?""Karena Luciano mengurusnya dengan sangat baik."Sekali lagi Anne mendesah dengan berat. "Kenapa pula Luciano harus tertarik pada perusahaan papa? Apakah menurutmu ini salah satu tujuannya memaksa perjodohan ini?""Ck, kau pikir papamu akan memberikan perusahaan semudah itu pada suamimu tanpa sebuah syarat?"Anne menoleh pada Ibra. Matanya menyipit tajam dan penuh tuduhan yang begitu kental. "Kau tahu sesuatu?"Ibra menghela napas, dengan
"Aku memiliki banyak kesalahan fatal, kan? Bahkan sebelum kita menikah." Ada ironi dalam suara Anne. Juga rasa iri. Saat Luciano menuduhnya menggugurkan kandungannya dengan sengaja, bukanya membuangnya, Luciano malah semakin gencar hendak membuatnya hamil agar ia tak punya alasan untuk melarikan diri. "Tetapi tak satu pun kesalahan itu membuatku harus lenyap dari pandanganmu. Apalagi dari hidupmu."Luciano terkekeh pelan."Apa yang membuatmu tetap bersikukuh memastikanku tetap di sisimu? Seberapa pun besarnya aku tak menginginkannya."Luciano tak langsung menjawab, "Karena aku tahu kau tak menginginkan posisi ini, kan? Itu hukuman istimewa untukmu." Jawaban pria itupenuh dengan kepuasan.Anne tak mengatakan apa pun. Ya, tepat seperti itulah yang dilakukan Luciano padanya.Cukup lama keduanya hanya saling mengunci pandangan. Anne memutus lebih dulu. "Lalu apa yang terburuk yang mungkin akan kau lakukan padaku jika aku menjadi terlalu bebal dan memuakkan?"Perlahan seringai tersungging d
Seringai terungging di ujung bibir Reene. "Aku memiliki petunjuk yang sangat kuat."Faraz mencermati lebih dalam eskpresi Reene. Mencari kebohongan yang tak ditemukannya di sana. "Kau tahu terlalu banyak, Reene. Luciano tak akan menyukainya.""Kau yang tak becus menjaga rahasia ini, Faraz. Kau pikir dia akan lebih tak menyukaiku atau kau?"Faraz terdiam sejenak. "Aku bahkan tak menemukan petunjuk yang berarti. Kau pikir aku akan memercayaimu?" dengusnya. "Percayalah, Reene. Aku lebih memercayai kelicikanmu daripada kejujuranmu."Reene tentu saja tak menyerah. "Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Siapa yang sudah memanipulasi rem mobil Luciano."Kedua mata Faraz melebar, terkejut."Bukan aku yang membiarkan Luciano dan Anne berada dalam celaka. Itu murni sebuah kecelakaan. Aku juga baru menemukannya beberapa hari yang lalu."Faraz menunggu. Sembari memastikan bahwa apa yang diucapkan oleh Reene adalah kejujuran."Mobilku terparkir tepat di mobil Luciano, ingat?"Kali ini Faraz ta
Anne pulang ke rumah sebelum makan siang siap di meja makan. Hari ini hari Sabtu dan Luciano mengatakan ingin makan siang dengannya di rumah. Dan sepertinya pria itu pun sudah dalam perjalanan pulang. Lewat sopir, Luciano menanyakan posisi mereka.Ia baru saja mengganti pakaian ketika mendengar langkah dari balik partisi dan tak lama tubuh tinggi besar Luciano muncul. Wajah kusut pria itu seketika membentuk senyuk untuk sang istri. Melepaskan jas dan dasi dalam perjalanannya menghampiri Anne. Mendapatkan lumatan di bibir sebagai sambutan.Anne mengurai pelukan Luciano sebelum lumatan tersebut berubah menjadi interaksi yang lebih intim. "Aku ingin turun untuk menyiapkan meja makan," dalihnya sembari menggeliatkan tubuh terbebas dari lilitan lengan Luciano.Luciano melepaskan, dengan senyum kepuasan dan berjalan ke kamar mandi. Tetapi ia belum benar-benar masuk ke kamar mandi ketika Anne memanggil namanya."Luciano?" Luciano memutar kepalanya, menghadap Anne tanpa membalik tubuh. "Ya?"
Sepanjang ketiganya melahap makanan, Annelah yang lebih banyak diam. Faraz mengoceh meski Luciano sudah memperingatkan untuk tidak berisi dan Luciano lebih sering memperingatkannya untuk menghabiskan setiap sesuap nasinya dengan baik.Mual muntahnya terkadang kambuh, jadi saat gejala itu tidak timbul, Anne menggunakan kesempatan itu sebaik mungkin untuk memasukkan makanan ke dalam mulut. Gelas susu ibu hamilnya pun tandas, yang membuat Luciano tersenyum dengan puas. Setelah makan siang selesai, ketiganya bersama-sama masuk ke dalam rumah."Tunggu." Anne menghampiri seorang pelayan yang hendak menaiki tangga. Dengan membawa sebuah jaket yang dibungkus plastik. "Apa baru datang?""Ya, Nyonya. Saya baru saja mengambilnya dari laundry."Anne mengangguk dan mengambil jaket hitam tersebut. "Aku akan membawanya. Terima kasih."Pelayan tersebut mengangguk dan berpamit undur diri.Di belakang Anne, Faraz tampak membeku melihat jaket yang dipegang oleh Anne. Matanya menyipit, tatapannya menajam
"Apa yang akan kalian lakukan pada Ibra?" Anne nyaris berteriak meski masih tercekat dengan pembahasan antara Faraz dan Luciano. "Sebenarnya apa hubungan kalian dengan Ibra?"Langkah Luciano terhenti, menatap wajah Anne yang pucat. "Bukan urusan ...""Urusan Ibra dengan kalian akan menjadi urusanku." Suara Anne terdengar lantang. Tanpa sedikit pun ketakutan. Ia sudah pernah membuat Ibra nyaris kehilangan nyawanya. Tidak untuk kedua kalinya. "Jika kau melukainya, aku pastikan kalian akan menyesal."Luciano medengus. "Kau mengancamku?"Anne merasakan ketakutan mulai menyeruak di dalam dadanya, tetapi ia masih memaksa berani. "Kau sudah hampir membunuhnya hanya karena kecerobohanku, Luciano. Aku tahu kali ini tidak akan menjadi sekedar permainan. Kau pikir aku akan membiarkan kau membunuh sahabatku tanpa melakukan apa pun?""Aku menyesal tak membunuhnya sekalian waktu itu."Napas Anne benar-benar tertahan melihat kesungguhan di wajah Luciano. Pria itu seolah tak butuh mempertimbangkan un
"Jadi memang ya?" Anne mendorong dada Luciano menjauh. Kedongkolan tampak jelas memekati rautnya yang muram. Menyentakkan tangan Luciano yang masih melingkari pinggangnya."Aku tidak mengatakan tidak. Itu terdengar seperti sebuah kebohongan, Anne. Kau tak akan menyukainya.""Tidak. Kau salah besar, Luciano.""Lalu apa yang kau inginkan?" Suaranya mulai diselimuti kefrustrasian. "Aku lebih baik mendengar kebohongan. Aku akan mempercayaimu. Selama kau yang mengatakannya."Luciano membelalak. Mulutnya membuka nutup tak percaya. Belum pernah ia setercengang ini menghadapi kelabilan Anne. "Jadi kau lebih suka kebohonganku?""Sekarang, tidak keduanya. Kau memang tak pernah memahami wanita, Luciano. Tak pernah memahamiku sebagai seorang istri. Sebagai pasangan. Sebagai satu-satunya wanitamu. Kau yakin kau menganggapku sebagai istrimu? Bukan hanya sebagai wanita pemuas nafsumu seperti mereka?""Kau tahu itu tidak benar, Anne. Jangan mengada-ada sesuatu yang tak pernah benar."Anne mengibaska
Suasana pesta sudah ramai dan ballroom sudah dipenuhi kemeriahan serta canda tawa. Suara musik yang mengalun lembut sebagai latar belakang kemewahan pesta tersebut menyambut Anne dan Luciano yang bergandengan mesra memasuki ruangan yang luas dengan hiasan bunga dan kerlap-kerlip lampu di mana-mana.“Apakah Faraz dan Estelle akan datang?”“Mereka sudah putus, Anne. Kenapa mereka datang bersama?”“Siapa bilang mereka sudah putus. Tadi pagi aku menelpon Estelle dan yang menjawab Faraz. Mereka jelas masih sering tidur bersama. Faraz benar-benar memanfaatkan Estelle. Kenapa meniduri wanita jika tidak berniat menikahinya.”“Hmm, itu urusan mereka.”Anne mendadak terdiam dengan reaksi penuh ketenangan Luciano. Kedua alis wanita itu saling bertaut ketika menoleh ke samping dengan. “Apakah gaya berkencan kalian memang seperti itu?”“Siapa kalian?”“Kau dan Faraz.”“Hanya Faraz, Anne. Kenapa kau membawa-bawa namaku?”“Meski sekarang aku satu-satunya wanita yang tidur denganmu, kau pikir aku per
“Laki-laki lagi?” Luciano mengangkat salah satu alisnya. Suara rengekan baby Zha mulai tenang dalam gendongan Anne.“Ya. Kau tak suka?”Luciano menggeleng. “Laki-laki atau perempuan, aku tak pernah mempermasalahkannya, Anne. dia anakku.”“Mamaku bilang, saat kau melahirkan anak perempuan. Itu artinya kau menciptakan musuh bebuyutanmu.”Mata Luciano membulat tak percaya, lalu terbahak dengan keras hingga gigi geraham pria itu terlihat.“Kenapa kau tertawa? Kau pikir itu lucu?”Luciano menggeleng. Mencoba menghentikan tawanya karena baby Zha yang mulai bergerak tak nyaman. “Apa maksudmu dengan menciptakan musuh bebuyutan?” tanyanya, berusaha menahan tawanya kembali terlepas.“Dia bahkan bisa menjadi lebih licik dari wanita-wanita yang mencoba memisahkan kita, Luciano.”“Dia putrimu.”“Itulah sebabnya aku ingin seorang putra. Aku tak mau memusuhi putriku sendiri.”“Apakah kau memusuhi ibumu?”Anne terdiam, tampak mengingat-ingat lalu mengangguk. “Setiap kali mama dan papa saling berdekat
Anne terbangun karena dorongan dari dalam perut yang membuatnya gegas turun dari ranjang. Memuntahkan semua makan malamnya yang bahkan tak seberapa. Semakin hari gejala kehamilan datang semakin intens. Bahkan pusing yang semakin sering datang jika ia kurang tidur atau terlalu banyak tidur.Setelah beberapa saat, akhirnya napasnya kembali normal dan tenaganya memulih. Ia bangkit berdiri, menyeka wajahnya di wastafel. Menatap wajah pucatnya yang rasanya sedikit gemuk.Rasanya selera makannya menurun akhir-akhir ini. Meski tak pernah melewatkan jadwal makannya dan memaksa makanan masuk ke mulutnya. Setidaknya untuk memenuhi gizinya dan janin dalam kandungannya. Yang sepertinya lebih banyak dibantu oleh susu ibu hamil dan vitamin.Tubuhnya berputar, hendak keluar ketika tersentak dengan keras dan nyaris berteriak saking kagetnya dengan sosok yang bersandar di pinggiran pintu.“L-luciano?” Suara Anne tercekat. Berusaha meredakan jantungnya yang berdegup kencang. Matanya berkedip beberapa k
Anne tak tahu ke mana Luciano membawa baby Zha pergi. Ia hanya menunggu di rumah selama berhari-hari. Berharap pria itu akan datang untuk pulang. Tetapi hingga satu minggu berlalu, Anne masih sendirian. Tak berhenti merasa sendirian dan kesepian meski beberapa kali Ibra menghubunginya dan menanyakan keadaannya.Anne berusaha menghubungi Farz untuk mencari tahu di mana pria itu dan putranya. Tapi lagi-lagi jawaban Faraz tak pernah memuaskannya.“Aku tahu kau tahu di mana mereka berada, Faraz. Siapa pun tak ada yang tahu, kecuali kau.”Faraz mendesah pelan. Menurunkan kedua tangannya di meja. “Kalau begitu kuralat jawabanku. Aku tak bisa memberitahumu.”“Setidaknya minta Luciano bicara denganku. Apakah dengan pergi akan menyelesaikan masalah?”“Lalu apakah dengan meminta cerai juga akan menyelesaikan permasalahanmu?”Anne menutup mulutnya. Jatuh terduduk di kursinya. “Aku tak bermaksud mengatakannya,” sesalnya dalam gerutuan yang lirih. Wajahnya tertunduk lunglai.Faraz menatap Anne se
“Ibra?” Anne terkejut dengan kemunculan Ibra yang berjalan memasuki ruangan.“Hai.” Ibra melangkah masuk, lekas mendekati ranjang dan menyentuhkan telapak tangannya di kening baby Zha. “Panasnya sudah turun.”“Kau di sini?” Anne menatap jam di dinding yang baru saja melewati tengah malam.“Esther mengirimiku pesan. Luciano tiba-tiba membatalkan pertemuan untuk besok karena baby Zha masuk rumah sakit. Butuh beberapa jam untuk sampai, jadi aku datang.”“Kau tak perlu datang.”“Aku sudah datang, jadi jangan menyuruhku pulang.” Ibra kembali menatap baby Zha. “Apa kata dokter?”“Hanya demam. Tapi masih menunggu hasil tes untuk kepastiannya. Mungkin besok pagi. Kuharap semuanya baik-baik saja.”“Ya, mungkin hanya kelelahan karena seharian main bersama mama dan papaku.”“Ya, kuharap. Terima kasih sudah datang.”Ibra menarik kursi mendekat ke ranjang pasien. “Sepertinya kau belum tidur sama sekali.”“Tadi sempat tertidur, tetapi terbangun karena rengekannya dan langsung ke rumah sakit.”“Tidu
Melihat kedua orang tua Ibra, rasanya seperti meluapkan kerinduannya terhadap kedua orang tuanya. Anne memeluk dalam-dalam mama Ibra, berharap pelukan itu adalah pelukan mamanya sendiri. Begitu pun dengan papa Ibra yang mengusap ujung kepalanya dengan penuh kasih.“Sudah lama tak melihatmu, Anne. Dan putramu sudah semakin besar sejak terakhir kali om lihat.”Anne tertawa. Melihat papa Ibra yang menggendong baby Zha, dalam benaknya seolah adalah papanya sendiri yang menggendong putranya. Keinginan dan harapan terbesar papanya yang belum sempat ia tunjukkan pada sang papa.Ibra menyodorkan sapu tangannya ke arah Anne.“Terima kasih.” Anne mengusap ujung matanya yang basah. Kembali menatap kedua orang tua Ibra yang kini tertawa gemas dengan celotehan baby Zha.Ibra merangkul Anne, menjatuhkan kepala wanita itu ke pundaknya. Sedikit meredakan kerinduan Anne pada kedua orang tua wanita itu di tengah keluarganya. “Kau tahu kau tak pernah sendirian di dunia ini, Anne. Kami keluargamu.”Anne
Anne sengaja memejamkan matanya begitu mendengar suara langkah kaki dari arah belakang punggungnya. Berusaha memancing rasa kantuk yang sejak tadi sulit datang meski jam sudah melewati tengah malam karena Luciano belum pulang. Tak biasanya pria itu pulang larut dan tanpa kabar seperti ini.Marah, sedih, dan kecewa. Pada dirinya sendiri dan pada pria itu. Ialah yang memulai perang dingin ini lebih dulu. Tetapi kenapa balasan dari Luciano juga terasa begitu menusuk dadanya. Mengiris hatinya dengan cara yang paling buruk. Apakah keraguannya layak dibalas dengan pengkhianatan pria itu?Suara pintu kamar mandi yang ditutup membuat mata Anne kembali terbuka. Menatap pintu tersebut dengan genangan yang mulai membentuk di kedua mata.Selama seminggu lebih, Anne dan Luciano masih tak saling bicara. Anne selalu bangun kesiangan dan Luciano sudah berangkat ke kantor, malamnya Anne selalu tidur lebih dulu karena Luciano pulang larut malam. Keduanya nyaris tak saling berkomunikasi. Satu-satunya ya
“Mungkin ini terlambat dan sedikit sengaja. Tapi … bagaimana pun selamat untuk kalian berdua.” Luciano memecah keheningan yang cukup lama membentang di tengah meja. Terutama dengan sang istri yang lebih banyak menatap isi piring yang sejak tadi hanya berkurang dua potong.“Ya, kuharap kalian bisa datang di acara pernikahan kami.”“Ya. Kami akan datang. Benar, kan sayang?” Luciano menoleh pada Anne, yang duduk di sampingnya.Anne mengangkat wajah lalu mengangguk singkat. Pelayan datang untuk membawakan pesanan Ibra dan Esther. Pesanan yang sama. Pandangan wanita itu tak lepas dari Ibra yang memotong kecil-kecil daging panggang di depannya sebelum menukarkan dengan piring milik Esther.“Terima kasih, Ibra,” senyum Esther dengan tatapan yang mesra, yang ditanggapi Ibra dengan senyum yang tak kalah lebarnya.Anne mencoba mengalihkan pandangan, sibuk pada isi piringnya sendiri yang entah kenapa rasanya menjadi hambar. Mulutnya terasa pahit. Ya, ia akui ada kecemburuan yang tersemat di cela