Satu jam kemudian, keduanya duduk di dalam mobil yang akan membawa mereka pulang. Tak ada pembicaraan di sepanjang perjalanan. Begitu duduk di kursi penumpang, rasa kantuk menghampiri Anne dan wanita itu terlelap. Hingga sampai di rumah setengah jam kemudian.Luciano mematikan mesin mobil. Menatap ke samping dengan senyum yang terulas. Wajah Anne terlihat begitu tenang, dan sangat cantik. Tangannya terulur, menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajah Anne ke balik telinga dengan sangat hati-hati agar tak sampai membangunkan sang istri. Ya, setiap malam Anne kesulitan tidur, Membuat wanita itu di siang hari akan mengantuk kapan pun dan di mana pun. Bahkan tak jarang merasa lapar di tengah malam dan turun ke lantai satu untuk makan. Setelah perutnya kenyang, barulah wanita itu bisa tertidur. Yang kemudian kembali dimuntahkan di pagi hari. Luciano tak mengira ternyata kehamilan bisa menjadi serumit ini, tetapi dokter mengatakan gejalan ini akan menghilang setelah memasuki usia kehamil
Eshan mengangkat wajahnya dari berkas pasien yang ada di mejanya. Keningnya sedikit berkerut dengan kemunculan Esther yang melenggang masuk ruangannya.Sejenak wanita itu mengamati seluruh isi ruang kerjanya, kemudian memutuskan untuk duduk di sofa panjang yang menghadap langsung ke arah Eshan. Dengan kedua kaki dan lengan yang disilangkan, lengkap dengan keangkuhan yang anggun."Sepertinya kau memiliki sebuah keluhan."Senyum Esther mengembang. Dengan sorot yang begitu dalam, ia mulai berbicara. Langsung menyerang pada pokoknya. "Seberapa banyak kemungkinan untuk memisahkan Luciano dan Anne?"Eshan terdiam, menangkap makna yang tersirat dalam tatapan Esther. "Apakah semua rencanamu berakhir gagal?"Esther tak mengangguk, tetapi keterdiamannya sudah jelas sebagai jawaban ya. "Kau masih menginginkan Anne, kan?"Eshan bangkit berdiri, memutari mejanya dan duduk di sofa tunggal yang berseberangan dengan Esther. Tanpa menjawab pertanyaan Esther meski ia tahu dirinya masih dan akan selalu
"Aku sudah pernah mengatakan padamu, kan? Kalau ingatanku sudah kembali. Sepenuhnya," lanjut Esther di tengah keheningan yang menyelimuti keduanya cukup lama.Eshan masih terdiam di tempatnya. Eskpresi pria itu begitu tenang dan terkendali meski ia tahu Esther kini memegang satu-satunya rahasia kelamnya. Ketidak tenangan mulai merambati dadanya, tetapi masih bisa ia kendalikan dengan baik."Termasuk pria yang menculikku sepuluh tahun yang lalu."Eshan tetap bergeming. Kedua mata mereka saling bertatapan"Entah ini sebuah kebetulan atau takdir, entah nama itu merujuk hanya pada sebuah nama orang lain atau orang yang sama. Aku tahu kau bukanlah Eshan Sebastian yang asli."Seringai tersamar di ujung bibir Eshan. Semakin Esther bicara, membuat kegelapan di kedua mata pria itu semakin pekat."Wajahmu memang terlihat asing. Tetapi aku bisa merasakan sesuatu yang menakutkan setiap kali berdekatan denganmu. Sekarang aku mengerti alasannya. Kaulah yang menorehkan ingatan terburuk di kepalaku."
Anne sedang berdiri di balkon lantai dua ketika melihat ketiga wanita yang keluar dari rumah dan masuk ke dalam mobil. Ketiganya terlihat jauh lebih dari ketika terakhir kali mereka berpapasan di dalam rumah. Bahkan Luciano tak ingin dirinya tahu tentang siapa ketiga wanita itu. Sudah tentu ada yang tak beres, tetapi Anne berusaha acuh karena bukan urusannya."Apa yang kau lakukan di sana, Anne?" Suara memanggil Luciano mengalihkan perhatian Anne. Wanita itu menoleh dan Luciano sudah berada di belakangnya. Menangkap pinggangnya untuk mendapatkan sebuah ciuman di bibir. Anne ingin merasa risih, tetapi bahkan tubuhnya sudah merasa terbiasa dengan sentuhan-sentuhan yang selalu berusaha Luciano dapatkan darinya. Pria itu seolah tak ingin melewatkan kesempatan sekecil apa pun untuk memuaskan nafsunya begitu melihatnya.Hanya dalam sepersekian detik, ciuman itu tentu saja menjadi lumatan yang dalam. Tetapi kemudian Luciano tiba-tiba menghentikan lumatan tersebut dan mengurai pelukannya. "M
Jika memang ingin mengancam seseorang, seharusnya penculik itu menggunakan istri atau anak. Tetapi mengingat kedua orang tua Luciano yang sudah meninggal, dan pria itu juga tidak –belum- memiliki anak. Satu-satunya yang akan menjadi sasaran penculik itu seharusnya dirinya. Meski bulu kuduknya meremang membayangkan dirinya akan menjadi target penculikan, tapi itulah yang biasanya terjadi, kan?Atau mungkin penculik itu tahu hubungannya dan Luciano tidak seperti pada normalnya hubungan pasangan suami istri? Dirinya hanyalah pion. Ah, mendadak Anne teringat Esther. Ya, seperti yang dikatakan oleh Luciano. Pernikahannya dan Luciano hanyalah dalih untuk melindungi Esther. Hati Anne merasakan cubitan yang keras oleh tangan tak kasat mata.Kepala Anne mendadak pusing. Antara kecurigaan dan sikap Luciano yang mendadak berubah lebih bersahabat. Tak ada lagi ketegangan di antara mereka dan bahkan pria itu memberinya kebebasan meski masih mengawasinya secara ketat."Setelah apa yang dilakukannya
Anne bertanya-tanya tentang sikap Eshan yang mendadak lebih pendiam seperti ini. Apakah Eshan marah karena ia sengaja mengabaikan pesan yang dikirim oleh pria itu? Sepertinya memang hanya itu satu-satunya alasan yang membuat Eshan berhak marah padanya. Ia memang sengaja menghindari pria itu. Karena Luciano.Lift berhenti dan pintunya bergeser terbuka. Eshan kembali menangkap tangan Anne dan membawa wanita itu keluar. Keduanya menaiki tangga darurat dan udara malam berhembus meneroa tubuh keduanya ketika keluar dari pintu atas gedung.Saat itulah Eshan melepaskan pegangannya dan terus melangkah ke pinggiran atap gedung. Menyandarkan tubuhnya di pagar beton. Anne menatap punggung Eshan di antara keremanangan pencahayaan, kemudian memutuskan untuk bergabung bersama pria itu.Udara malam yang dingin menembus gaun malam tanpa lengannya tersebut. Menusuk ke dalam kulitnya tetapi Anne mengabaikannya. Ia berdiri di samping Eshan. Menatap langit malam yang bertabur bintang. Berbanding terbalik
Anne melepaskan sabuk pengaman dan menuruti perintah Luciano. Tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk membantah."Tidak adakah yang perlu kau jelaskan padaku?" Luciano segera mencecarnya begitu mobil mulai melaju meninggalkan halaman gedung apartemen Esther.Anne menjilat bibirnya yang kering. "Kami hanya ...""Jangan memberiku jawaban tolol semacam itu lagi, Anne. Aku tahu kalian tak hanya bicara."Anne menatap kemarahan di kedua mata Luciano yang semakin pekat dan menutup kembali mulutnya. Rasanya jawaban apa pun tak akan melegakan kemarahan Luciano."Kau sangat tahu aku membenci pengkhianat, Anne. Jangan kau pikir karena kau istriku dan tengah mengandung anakku, itu membuatmu merasa begitu special dan bisa melakukan apa pun sesuka hatimu. Aku memberimu sedikit kebebasan untuk hal sialan ini. Apa kau mengerti?"Anne masih membungkam. Rasanya ingin berteriak sendiri di depan wajah Luciano tentang sikap pria itu sendiri pada pernikahan mereka. Luciano mengatakan lebih memilih pernik
"Jangan berpikir terlalu jauh, Anne. Papamu baik-baik saja. Dokter mengatakan perkembangannya sangat baik akhir-akhir ini, kan? Bahkan lusa sudah bisa pulang ke rumah." Ibra menepuk pundak Anne pelan. Keduanya berdiri di lift, yang baru saja berhenti di lantai satu. Pintu bergeser terbuka dan mereka melangkah keluar."Aku merasa firasat buruk akhir-akhir ini membuatku tak bisa tenang," desah Anne pelan. Suaranya diselimuti kegelisahan yang masih melekat sejak mendengar pesan papanya. "Kenapa papa harus menyerahkan perusahaan secepat itu pada Luciano?""Karena Luciano mengurusnya dengan sangat baik."Sekali lagi Anne mendesah dengan berat. "Kenapa pula Luciano harus tertarik pada perusahaan papa? Apakah menurutmu ini salah satu tujuannya memaksa perjodohan ini?""Ck, kau pikir papamu akan memberikan perusahaan semudah itu pada suamimu tanpa sebuah syarat?"Anne menoleh pada Ibra. Matanya menyipit tajam dan penuh tuduhan yang begitu kental. "Kau tahu sesuatu?"Ibra menghela napas, dengan
"Jadi memang ya?" Anne mendorong dada Luciano menjauh. Kedongkolan tampak jelas memekati rautnya yang muram. Menyentakkan tangan Luciano yang masih melingkari pinggangnya."Aku tidak mengatakan tidak. Itu terdengar seperti sebuah kebohongan, Anne. Kau tak akan menyukainya.""Tidak. Kau salah besar, Luciano.""Lalu apa yang kau inginkan?" Suaranya mulai diselimuti kefrustrasian. "Aku lebih baik mendengar kebohongan. Aku akan mempercayaimu. Selama kau yang mengatakannya."Luciano membelalak. Mulutnya membuka nutup tak percaya. Belum pernah ia setercengang ini menghadapi kelabilan Anne. "Jadi kau lebih suka kebohonganku?""Sekarang, tidak keduanya. Kau memang tak pernah memahami wanita, Luciano. Tak pernah memahamiku sebagai seorang istri. Sebagai pasangan. Sebagai satu-satunya wanitamu. Kau yakin kau menganggapku sebagai istrimu? Bukan hanya sebagai wanita pemuas nafsumu seperti mereka?""Kau tahu itu tidak benar, Anne. Jangan mengada-ada sesuatu yang tak pernah benar."Anne mengibaska
Suasana pesta sudah ramai dan ballroom sudah dipenuhi kemeriahan serta canda tawa. Suara musik yang mengalun lembut sebagai latar belakang kemewahan pesta tersebut menyambut Anne dan Luciano yang bergandengan mesra memasuki ruangan yang luas dengan hiasan bunga dan kerlap-kerlip lampu di mana-mana.“Apakah Faraz dan Estelle akan datang?”“Mereka sudah putus, Anne. Kenapa mereka datang bersama?”“Siapa bilang mereka sudah putus. Tadi pagi aku menelpon Estelle dan yang menjawab Faraz. Mereka jelas masih sering tidur bersama. Faraz benar-benar memanfaatkan Estelle. Kenapa meniduri wanita jika tidak berniat menikahinya.”“Hmm, itu urusan mereka.”Anne mendadak terdiam dengan reaksi penuh ketenangan Luciano. Kedua alis wanita itu saling bertaut ketika menoleh ke samping dengan. “Apakah gaya berkencan kalian memang seperti itu?”“Siapa kalian?”“Kau dan Faraz.”“Hanya Faraz, Anne. Kenapa kau membawa-bawa namaku?”“Meski sekarang aku satu-satunya wanita yang tidur denganmu, kau pikir aku per
“Laki-laki lagi?” Luciano mengangkat salah satu alisnya. Suara rengekan baby Zha mulai tenang dalam gendongan Anne.“Ya. Kau tak suka?”Luciano menggeleng. “Laki-laki atau perempuan, aku tak pernah mempermasalahkannya, Anne. dia anakku.”“Mamaku bilang, saat kau melahirkan anak perempuan. Itu artinya kau menciptakan musuh bebuyutanmu.”Mata Luciano membulat tak percaya, lalu terbahak dengan keras hingga gigi geraham pria itu terlihat.“Kenapa kau tertawa? Kau pikir itu lucu?”Luciano menggeleng. Mencoba menghentikan tawanya karena baby Zha yang mulai bergerak tak nyaman. “Apa maksudmu dengan menciptakan musuh bebuyutan?” tanyanya, berusaha menahan tawanya kembali terlepas.“Dia bahkan bisa menjadi lebih licik dari wanita-wanita yang mencoba memisahkan kita, Luciano.”“Dia putrimu.”“Itulah sebabnya aku ingin seorang putra. Aku tak mau memusuhi putriku sendiri.”“Apakah kau memusuhi ibumu?”Anne terdiam, tampak mengingat-ingat lalu mengangguk. “Setiap kali mama dan papa saling berdekat
Anne terbangun karena dorongan dari dalam perut yang membuatnya gegas turun dari ranjang. Memuntahkan semua makan malamnya yang bahkan tak seberapa. Semakin hari gejala kehamilan datang semakin intens. Bahkan pusing yang semakin sering datang jika ia kurang tidur atau terlalu banyak tidur.Setelah beberapa saat, akhirnya napasnya kembali normal dan tenaganya memulih. Ia bangkit berdiri, menyeka wajahnya di wastafel. Menatap wajah pucatnya yang rasanya sedikit gemuk.Rasanya selera makannya menurun akhir-akhir ini. Meski tak pernah melewatkan jadwal makannya dan memaksa makanan masuk ke mulutnya. Setidaknya untuk memenuhi gizinya dan janin dalam kandungannya. Yang sepertinya lebih banyak dibantu oleh susu ibu hamil dan vitamin.Tubuhnya berputar, hendak keluar ketika tersentak dengan keras dan nyaris berteriak saking kagetnya dengan sosok yang bersandar di pinggiran pintu.“L-luciano?” Suara Anne tercekat. Berusaha meredakan jantungnya yang berdegup kencang. Matanya berkedip beberapa k
Anne tak tahu ke mana Luciano membawa baby Zha pergi. Ia hanya menunggu di rumah selama berhari-hari. Berharap pria itu akan datang untuk pulang. Tetapi hingga satu minggu berlalu, Anne masih sendirian. Tak berhenti merasa sendirian dan kesepian meski beberapa kali Ibra menghubunginya dan menanyakan keadaannya.Anne berusaha menghubungi Farz untuk mencari tahu di mana pria itu dan putranya. Tapi lagi-lagi jawaban Faraz tak pernah memuaskannya.“Aku tahu kau tahu di mana mereka berada, Faraz. Siapa pun tak ada yang tahu, kecuali kau.”Faraz mendesah pelan. Menurunkan kedua tangannya di meja. “Kalau begitu kuralat jawabanku. Aku tak bisa memberitahumu.”“Setidaknya minta Luciano bicara denganku. Apakah dengan pergi akan menyelesaikan masalah?”“Lalu apakah dengan meminta cerai juga akan menyelesaikan permasalahanmu?”Anne menutup mulutnya. Jatuh terduduk di kursinya. “Aku tak bermaksud mengatakannya,” sesalnya dalam gerutuan yang lirih. Wajahnya tertunduk lunglai.Faraz menatap Anne se
“Ibra?” Anne terkejut dengan kemunculan Ibra yang berjalan memasuki ruangan.“Hai.” Ibra melangkah masuk, lekas mendekati ranjang dan menyentuhkan telapak tangannya di kening baby Zha. “Panasnya sudah turun.”“Kau di sini?” Anne menatap jam di dinding yang baru saja melewati tengah malam.“Esther mengirimiku pesan. Luciano tiba-tiba membatalkan pertemuan untuk besok karena baby Zha masuk rumah sakit. Butuh beberapa jam untuk sampai, jadi aku datang.”“Kau tak perlu datang.”“Aku sudah datang, jadi jangan menyuruhku pulang.” Ibra kembali menatap baby Zha. “Apa kata dokter?”“Hanya demam. Tapi masih menunggu hasil tes untuk kepastiannya. Mungkin besok pagi. Kuharap semuanya baik-baik saja.”“Ya, mungkin hanya kelelahan karena seharian main bersama mama dan papaku.”“Ya, kuharap. Terima kasih sudah datang.”Ibra menarik kursi mendekat ke ranjang pasien. “Sepertinya kau belum tidur sama sekali.”“Tadi sempat tertidur, tetapi terbangun karena rengekannya dan langsung ke rumah sakit.”“Tidu
Melihat kedua orang tua Ibra, rasanya seperti meluapkan kerinduannya terhadap kedua orang tuanya. Anne memeluk dalam-dalam mama Ibra, berharap pelukan itu adalah pelukan mamanya sendiri. Begitu pun dengan papa Ibra yang mengusap ujung kepalanya dengan penuh kasih.“Sudah lama tak melihatmu, Anne. Dan putramu sudah semakin besar sejak terakhir kali om lihat.”Anne tertawa. Melihat papa Ibra yang menggendong baby Zha, dalam benaknya seolah adalah papanya sendiri yang menggendong putranya. Keinginan dan harapan terbesar papanya yang belum sempat ia tunjukkan pada sang papa.Ibra menyodorkan sapu tangannya ke arah Anne.“Terima kasih.” Anne mengusap ujung matanya yang basah. Kembali menatap kedua orang tua Ibra yang kini tertawa gemas dengan celotehan baby Zha.Ibra merangkul Anne, menjatuhkan kepala wanita itu ke pundaknya. Sedikit meredakan kerinduan Anne pada kedua orang tua wanita itu di tengah keluarganya. “Kau tahu kau tak pernah sendirian di dunia ini, Anne. Kami keluargamu.”Anne
Anne sengaja memejamkan matanya begitu mendengar suara langkah kaki dari arah belakang punggungnya. Berusaha memancing rasa kantuk yang sejak tadi sulit datang meski jam sudah melewati tengah malam karena Luciano belum pulang. Tak biasanya pria itu pulang larut dan tanpa kabar seperti ini.Marah, sedih, dan kecewa. Pada dirinya sendiri dan pada pria itu. Ialah yang memulai perang dingin ini lebih dulu. Tetapi kenapa balasan dari Luciano juga terasa begitu menusuk dadanya. Mengiris hatinya dengan cara yang paling buruk. Apakah keraguannya layak dibalas dengan pengkhianatan pria itu?Suara pintu kamar mandi yang ditutup membuat mata Anne kembali terbuka. Menatap pintu tersebut dengan genangan yang mulai membentuk di kedua mata.Selama seminggu lebih, Anne dan Luciano masih tak saling bicara. Anne selalu bangun kesiangan dan Luciano sudah berangkat ke kantor, malamnya Anne selalu tidur lebih dulu karena Luciano pulang larut malam. Keduanya nyaris tak saling berkomunikasi. Satu-satunya ya
“Mungkin ini terlambat dan sedikit sengaja. Tapi … bagaimana pun selamat untuk kalian berdua.” Luciano memecah keheningan yang cukup lama membentang di tengah meja. Terutama dengan sang istri yang lebih banyak menatap isi piring yang sejak tadi hanya berkurang dua potong.“Ya, kuharap kalian bisa datang di acara pernikahan kami.”“Ya. Kami akan datang. Benar, kan sayang?” Luciano menoleh pada Anne, yang duduk di sampingnya.Anne mengangkat wajah lalu mengangguk singkat. Pelayan datang untuk membawakan pesanan Ibra dan Esther. Pesanan yang sama. Pandangan wanita itu tak lepas dari Ibra yang memotong kecil-kecil daging panggang di depannya sebelum menukarkan dengan piring milik Esther.“Terima kasih, Ibra,” senyum Esther dengan tatapan yang mesra, yang ditanggapi Ibra dengan senyum yang tak kalah lebarnya.Anne mencoba mengalihkan pandangan, sibuk pada isi piringnya sendiri yang entah kenapa rasanya menjadi hambar. Mulutnya terasa pahit. Ya, ia akui ada kecemburuan yang tersemat di cela