Seolah belum cukup Anne merasa dipermalukan oleh Luciano setelah membantu pria itu buang air kecil, sekarang pria itu malah menyuruhnya untuk mengganti pakaiannya."Apa yang kau tunggu, Anne? Kau ingin aku menyuruh perawat atau wanita lain untuk mengganti pakaianku," pintah Luciano melihat Anne yang tetap bergeming ketika ia menyuruhnya untuk membuka pakaiannya.Anne ingin mengangguk, tetapi baru saja kepalanya hendak bergerak Luciano sudah menggeram rendah dengan tatapan peringatan."Setelah semua yang kulakukan untukmu, inikah yang kudapatkan darimu?" dengus Luciano tajam.Anne menelan ludahnya dan bergerak selangkah lebih dekat. Wajah Anne menunduk dalam ketika melepaskan kancing baju pasien yang dikenakan oleh Luciano. Tentu saja ia tak akan berkutik dengan ancaman pria itu yang satu ini.Luciano menekan kekesalannya akan keraguan Anne terhadap dirinya. Ia masih bisa merasakan penolakan Anne, bahkan setelah segala hal yang dilakukannya pada wanita itu. Ya, tentu saja wanita itu ma
Luciano hanya mendengus mendengar rekaman yang baru saja dimatikan oleh Esther. Ada kepuasan di wajah Esther, yang tentu saja ada alasannya. Ia tak akan menyangkal betapa kosongnya pernikahannya dan Anne. "Kau tidak bisa menahan seseorang yang tidak menginginkanmu dan mencampakkanku yang justru masih mencintaimu, Luciano.""Kenapa kau masih tak memahami situasi ini, Esther? Kenapa hatimu begitu sulit menerima kenyataan yang terjadi?""Apa yang kau inginkan darinya yang tidak bisa kuberikan padamu?"Salah satu alis Luciano terangkat. "Kau sungguh ingin tahu?""Ya, aku butuh instropeksi diri untuk memperbaiki kesalahan sehingga kau mencampakkanku, kan? Meski aku yakin alasanmu adalah untuk melindungiku."Cukup lama Luciano menatap dalam-dalam kedua mata Esther sebelum menjawab dengan keseriusan. "Lionel sudah kembali."Kedua mata Esther melebar. Ada ketakutan yang mulai menggetarkan hatinya ketika benaknya dipenuhi ruangan yang begitu gelap. Kedua matanya ditutup dengan kain hitam dan
Reene melangkah keluar dari lift dengan terburu. Tetapi kemudian langkahnya terhenti ketika melihat sosok familiar yang juga baru saja keluar dari lift di sampingnya. Wajahnya seketika memucat oleh rasa kesal mengenali wanita itu adalah Esther."Esther?" panggil Reene tanpa sadar, yang menghentikan langkah Esther. Pandangannya mengamati penampilan Esther dari ujung kepala hingga ujung kaki. Banyak perubahan yang terjadi sejak terakhir kali mereka bertemu, yang membuat Reene diserbu rasa iri karena perubahan tersebut membuatnya semakin tersaingi. Esther jelas terlihat lebih cantik dan seksi. "Reene?" Esther tersenyum, meski yakin Reene tak akan membalas senyumnya. Sejak dulu Reene tak pernah menyukainya.Reene melangkah mendekat dengan kedua tangan bersilang dada. Dagunya terangkat, lengkap dengan keangkuhannya dan tatapan mencemooh pada Esther. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya meski sudah jelas tujuan keduanya sama. Menuju ruang perawatan Luciano."Bukankah itu yang seharusny
Sialan. Tepat ketika Luciano mengakhiri kalimatnya, saat itu juga ia menyumpahi dirinya sendiri. Kekhawatirannya terhadap Anne memang berlebihan. Yang entah bagaimana sulit dikendalikan. Ia memiliki alasannya tetapi tak akan mengakui sikapnya berlebihan terutama di hadapan Esther dan Reene. Ia hanya perlu menunjukkan bahwa perhatiannya pada Anne jelas lebih besar dari yang berusaha didapatkan oleh Reene dan Esther. kedua wanita ini benar-benar keras kepala. Tak ingin mengerti hanya dengan penjelasan yang singkat.Wajah Reene dan Esther seketika memias. Pegangan tangan Esther melonggar ketika kedua kaki Luciano menyentakkannya dan turun ke bawah. Mengambil kantung infus dan berjalan ke kamar mandi. Yang terluka hanya kepala dan lengan kirinya, kedua kakinya jelas masih berfungsi dengan baik.Faraz yang dengan sigap menyusul ke kamar mandi, melihat Anne yang membungkuk di depan lubang toilet. Memuntahkan isi perutnya dengan keringat yang membasahi seluruh permukaan wajah."Kau baik-baik
Kening Luciano berkerut melihat isi nampan yang hanya berisi makan siang untuknya. Anne sendiri sama sekali tak terkejut. Ia juga tak berani menelan apa pun yang dibawa oleh Reene mengingat kegugurannya. Ya, meski saat itu ia menolak kehamilan yang diinginkannya setelah mengetahui benih itu adalah milik Luciano, tetap saja kehilangan itu membuatnya harus berhati-hati dengan rencana licik Reene. Wanita itu memang tak bisa dipercaya.Luciano memanggil pelayan, tetapi Anne menahannya. "Aku akan makan di bawah saja," ucapnya.Kerutan di kening Luciano semakin dalam. "Kenapa?"Anne menatap nampan yang berisi menu makan siang. Sup, daging berbumbu, jus, dan potongam buah. Tak ada satu pun menu yang menggelitik selera makannya. "A-aku ingin makan sesuatu yang lain."Luciano terdiam. Menerima alasan Anne. Wanita itu kemudian duduk di sampingnya dan mulai menyuapkan nasi untuknya.Anne berusaha sebisa mungkin menghindari tatapan Luciano yang semakin intens. Pria itu tak berhenti menikmati seti
"Maka buat itu menjadi mungkin.""Beri aku waktu sedikit lebih banyak.""Kau sudah mendapatkan lebih banyak yang pantas kau dapatkan.""T-tapi ...""Kau tahu aku tak suka satu kata itu," pungkas Luciano dan Faraz segera terbungkam."Bagaimana dengan kecelakaanku.""Ada yang merusak rem. Aku sudah mengecek CCTV halaman parkir keluarga Sebastian. Pelakunya memakai topeng. Tapi ..." Faraz terdiam. Tampak berpikir dan mempertimbangkan. "Kupikir dia adalah salah satu tamu. Pria itu mengenakan kemeja yang rapi. Sepatunya .... sepatunya jelas bukan sepatu biasa.""Rekamannya?""Aku sudah mengirim ke ponselmu."Luciano mengangguk. Ya, ia ingat ada beberapa pesan yang belum dibukanya. Tetapi pandangannya masih melekat pada raut Faraz yang lebih serius dari sebelumnya. "Kenapa?"Faraz tak langsung menjawab. Menatap lebih dalam kedua mata Luciano. "Entah kenapa, aku tiba-tiba memikirkan Lionel."Tubuh Luciano seketika menegang. Keduanya diam dalam keheningan. Tenggelam dalam pikiran masing-masin
Langkah Anne seketika berhenti. Luciano berbalik dan memutar pundak Anne sehingga keduanya saling berhadap-hadapan. Kemarahan terlihat jelas di kedua mata Luciano ketika mengulang pertanyaan untuk ketiga kalinya. "Kenapa kau tak mengatakannya padaku?"Anne terdiam. Toh semua itu juga tak merubah apa pun yang sudah terjadi. Keguguran itu sudah terjadi."Kenapa kau tak mengatakannya padaku, Anne?" Ada tekanan yang begitu kuat dalam suara Luciano. Juga lebih keras dan diselimuti kegusaran."Aku tak ingin membuang waktu untuk menjelaskan pada orang yang tak akan mempercayaiku. Sejak awal kau sudah menghakimiku, ingat?"Luciano terbungkam. Menatap wajah Anne yang sama sekali tak terpengaruh dengan kebusukan Reene yang sudah terbongkar. "Kau bekerja sama dengan Anne? Kau tahu makanan itu akan membunuh kandunganmu?"Anne menyentakkan tangan Luciano dari pundaknya dan pandangannya mengeras. Terlihat begitu kesal kemudian berjalan dan duduk di pinggiran tempat tidur. Lagipula semua itu juga bu
Satu jam kemudian, keduanya duduk di dalam mobil yang akan membawa mereka pulang. Tak ada pembicaraan di sepanjang perjalanan. Begitu duduk di kursi penumpang, rasa kantuk menghampiri Anne dan wanita itu terlelap. Hingga sampai di rumah setengah jam kemudian.Luciano mematikan mesin mobil. Menatap ke samping dengan senyum yang terulas. Wajah Anne terlihat begitu tenang, dan sangat cantik. Tangannya terulur, menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajah Anne ke balik telinga dengan sangat hati-hati agar tak sampai membangunkan sang istri. Ya, setiap malam Anne kesulitan tidur, Membuat wanita itu di siang hari akan mengantuk kapan pun dan di mana pun. Bahkan tak jarang merasa lapar di tengah malam dan turun ke lantai satu untuk makan. Setelah perutnya kenyang, barulah wanita itu bisa tertidur. Yang kemudian kembali dimuntahkan di pagi hari. Luciano tak mengira ternyata kehamilan bisa menjadi serumit ini, tetapi dokter mengatakan gejalan ini akan menghilang setelah memasuki usia kehamil
"Jadi memang ya?" Anne mendorong dada Luciano menjauh. Kedongkolan tampak jelas memekati rautnya yang muram. Menyentakkan tangan Luciano yang masih melingkari pinggangnya."Aku tidak mengatakan tidak. Itu terdengar seperti sebuah kebohongan, Anne. Kau tak akan menyukainya.""Tidak. Kau salah besar, Luciano.""Lalu apa yang kau inginkan?" Suaranya mulai diselimuti kefrustrasian. "Aku lebih baik mendengar kebohongan. Aku akan mempercayaimu. Selama kau yang mengatakannya."Luciano membelalak. Mulutnya membuka nutup tak percaya. Belum pernah ia setercengang ini menghadapi kelabilan Anne. "Jadi kau lebih suka kebohonganku?""Sekarang, tidak keduanya. Kau memang tak pernah memahami wanita, Luciano. Tak pernah memahamiku sebagai seorang istri. Sebagai pasangan. Sebagai satu-satunya wanitamu. Kau yakin kau menganggapku sebagai istrimu? Bukan hanya sebagai wanita pemuas nafsumu seperti mereka?""Kau tahu itu tidak benar, Anne. Jangan mengada-ada sesuatu yang tak pernah benar."Anne mengibaska
Suasana pesta sudah ramai dan ballroom sudah dipenuhi kemeriahan serta canda tawa. Suara musik yang mengalun lembut sebagai latar belakang kemewahan pesta tersebut menyambut Anne dan Luciano yang bergandengan mesra memasuki ruangan yang luas dengan hiasan bunga dan kerlap-kerlip lampu di mana-mana.“Apakah Faraz dan Estelle akan datang?”“Mereka sudah putus, Anne. Kenapa mereka datang bersama?”“Siapa bilang mereka sudah putus. Tadi pagi aku menelpon Estelle dan yang menjawab Faraz. Mereka jelas masih sering tidur bersama. Faraz benar-benar memanfaatkan Estelle. Kenapa meniduri wanita jika tidak berniat menikahinya.”“Hmm, itu urusan mereka.”Anne mendadak terdiam dengan reaksi penuh ketenangan Luciano. Kedua alis wanita itu saling bertaut ketika menoleh ke samping dengan. “Apakah gaya berkencan kalian memang seperti itu?”“Siapa kalian?”“Kau dan Faraz.”“Hanya Faraz, Anne. Kenapa kau membawa-bawa namaku?”“Meski sekarang aku satu-satunya wanita yang tidur denganmu, kau pikir aku per
“Laki-laki lagi?” Luciano mengangkat salah satu alisnya. Suara rengekan baby Zha mulai tenang dalam gendongan Anne.“Ya. Kau tak suka?”Luciano menggeleng. “Laki-laki atau perempuan, aku tak pernah mempermasalahkannya, Anne. dia anakku.”“Mamaku bilang, saat kau melahirkan anak perempuan. Itu artinya kau menciptakan musuh bebuyutanmu.”Mata Luciano membulat tak percaya, lalu terbahak dengan keras hingga gigi geraham pria itu terlihat.“Kenapa kau tertawa? Kau pikir itu lucu?”Luciano menggeleng. Mencoba menghentikan tawanya karena baby Zha yang mulai bergerak tak nyaman. “Apa maksudmu dengan menciptakan musuh bebuyutan?” tanyanya, berusaha menahan tawanya kembali terlepas.“Dia bahkan bisa menjadi lebih licik dari wanita-wanita yang mencoba memisahkan kita, Luciano.”“Dia putrimu.”“Itulah sebabnya aku ingin seorang putra. Aku tak mau memusuhi putriku sendiri.”“Apakah kau memusuhi ibumu?”Anne terdiam, tampak mengingat-ingat lalu mengangguk. “Setiap kali mama dan papa saling berdekat
Anne terbangun karena dorongan dari dalam perut yang membuatnya gegas turun dari ranjang. Memuntahkan semua makan malamnya yang bahkan tak seberapa. Semakin hari gejala kehamilan datang semakin intens. Bahkan pusing yang semakin sering datang jika ia kurang tidur atau terlalu banyak tidur.Setelah beberapa saat, akhirnya napasnya kembali normal dan tenaganya memulih. Ia bangkit berdiri, menyeka wajahnya di wastafel. Menatap wajah pucatnya yang rasanya sedikit gemuk.Rasanya selera makannya menurun akhir-akhir ini. Meski tak pernah melewatkan jadwal makannya dan memaksa makanan masuk ke mulutnya. Setidaknya untuk memenuhi gizinya dan janin dalam kandungannya. Yang sepertinya lebih banyak dibantu oleh susu ibu hamil dan vitamin.Tubuhnya berputar, hendak keluar ketika tersentak dengan keras dan nyaris berteriak saking kagetnya dengan sosok yang bersandar di pinggiran pintu.“L-luciano?” Suara Anne tercekat. Berusaha meredakan jantungnya yang berdegup kencang. Matanya berkedip beberapa k
Anne tak tahu ke mana Luciano membawa baby Zha pergi. Ia hanya menunggu di rumah selama berhari-hari. Berharap pria itu akan datang untuk pulang. Tetapi hingga satu minggu berlalu, Anne masih sendirian. Tak berhenti merasa sendirian dan kesepian meski beberapa kali Ibra menghubunginya dan menanyakan keadaannya.Anne berusaha menghubungi Farz untuk mencari tahu di mana pria itu dan putranya. Tapi lagi-lagi jawaban Faraz tak pernah memuaskannya.“Aku tahu kau tahu di mana mereka berada, Faraz. Siapa pun tak ada yang tahu, kecuali kau.”Faraz mendesah pelan. Menurunkan kedua tangannya di meja. “Kalau begitu kuralat jawabanku. Aku tak bisa memberitahumu.”“Setidaknya minta Luciano bicara denganku. Apakah dengan pergi akan menyelesaikan masalah?”“Lalu apakah dengan meminta cerai juga akan menyelesaikan permasalahanmu?”Anne menutup mulutnya. Jatuh terduduk di kursinya. “Aku tak bermaksud mengatakannya,” sesalnya dalam gerutuan yang lirih. Wajahnya tertunduk lunglai.Faraz menatap Anne se
“Ibra?” Anne terkejut dengan kemunculan Ibra yang berjalan memasuki ruangan.“Hai.” Ibra melangkah masuk, lekas mendekati ranjang dan menyentuhkan telapak tangannya di kening baby Zha. “Panasnya sudah turun.”“Kau di sini?” Anne menatap jam di dinding yang baru saja melewati tengah malam.“Esther mengirimiku pesan. Luciano tiba-tiba membatalkan pertemuan untuk besok karena baby Zha masuk rumah sakit. Butuh beberapa jam untuk sampai, jadi aku datang.”“Kau tak perlu datang.”“Aku sudah datang, jadi jangan menyuruhku pulang.” Ibra kembali menatap baby Zha. “Apa kata dokter?”“Hanya demam. Tapi masih menunggu hasil tes untuk kepastiannya. Mungkin besok pagi. Kuharap semuanya baik-baik saja.”“Ya, mungkin hanya kelelahan karena seharian main bersama mama dan papaku.”“Ya, kuharap. Terima kasih sudah datang.”Ibra menarik kursi mendekat ke ranjang pasien. “Sepertinya kau belum tidur sama sekali.”“Tadi sempat tertidur, tetapi terbangun karena rengekannya dan langsung ke rumah sakit.”“Tidu
Melihat kedua orang tua Ibra, rasanya seperti meluapkan kerinduannya terhadap kedua orang tuanya. Anne memeluk dalam-dalam mama Ibra, berharap pelukan itu adalah pelukan mamanya sendiri. Begitu pun dengan papa Ibra yang mengusap ujung kepalanya dengan penuh kasih.“Sudah lama tak melihatmu, Anne. Dan putramu sudah semakin besar sejak terakhir kali om lihat.”Anne tertawa. Melihat papa Ibra yang menggendong baby Zha, dalam benaknya seolah adalah papanya sendiri yang menggendong putranya. Keinginan dan harapan terbesar papanya yang belum sempat ia tunjukkan pada sang papa.Ibra menyodorkan sapu tangannya ke arah Anne.“Terima kasih.” Anne mengusap ujung matanya yang basah. Kembali menatap kedua orang tua Ibra yang kini tertawa gemas dengan celotehan baby Zha.Ibra merangkul Anne, menjatuhkan kepala wanita itu ke pundaknya. Sedikit meredakan kerinduan Anne pada kedua orang tua wanita itu di tengah keluarganya. “Kau tahu kau tak pernah sendirian di dunia ini, Anne. Kami keluargamu.”Anne
Anne sengaja memejamkan matanya begitu mendengar suara langkah kaki dari arah belakang punggungnya. Berusaha memancing rasa kantuk yang sejak tadi sulit datang meski jam sudah melewati tengah malam karena Luciano belum pulang. Tak biasanya pria itu pulang larut dan tanpa kabar seperti ini.Marah, sedih, dan kecewa. Pada dirinya sendiri dan pada pria itu. Ialah yang memulai perang dingin ini lebih dulu. Tetapi kenapa balasan dari Luciano juga terasa begitu menusuk dadanya. Mengiris hatinya dengan cara yang paling buruk. Apakah keraguannya layak dibalas dengan pengkhianatan pria itu?Suara pintu kamar mandi yang ditutup membuat mata Anne kembali terbuka. Menatap pintu tersebut dengan genangan yang mulai membentuk di kedua mata.Selama seminggu lebih, Anne dan Luciano masih tak saling bicara. Anne selalu bangun kesiangan dan Luciano sudah berangkat ke kantor, malamnya Anne selalu tidur lebih dulu karena Luciano pulang larut malam. Keduanya nyaris tak saling berkomunikasi. Satu-satunya ya
“Mungkin ini terlambat dan sedikit sengaja. Tapi … bagaimana pun selamat untuk kalian berdua.” Luciano memecah keheningan yang cukup lama membentang di tengah meja. Terutama dengan sang istri yang lebih banyak menatap isi piring yang sejak tadi hanya berkurang dua potong.“Ya, kuharap kalian bisa datang di acara pernikahan kami.”“Ya. Kami akan datang. Benar, kan sayang?” Luciano menoleh pada Anne, yang duduk di sampingnya.Anne mengangkat wajah lalu mengangguk singkat. Pelayan datang untuk membawakan pesanan Ibra dan Esther. Pesanan yang sama. Pandangan wanita itu tak lepas dari Ibra yang memotong kecil-kecil daging panggang di depannya sebelum menukarkan dengan piring milik Esther.“Terima kasih, Ibra,” senyum Esther dengan tatapan yang mesra, yang ditanggapi Ibra dengan senyum yang tak kalah lebarnya.Anne mencoba mengalihkan pandangan, sibuk pada isi piringnya sendiri yang entah kenapa rasanya menjadi hambar. Mulutnya terasa pahit. Ya, ia akui ada kecemburuan yang tersemat di cela