Telapak tangan Luciano terangkat, memegang tangan Esther dan menurunkannya dengan penolakan yang sangat jelas. “Begitukah?”Esther tersenyum hambar. Tak bisa menahan kecewa yang menyelimuti wajahnya.“Maaf mengecewakan, Nona Esther. Tetapi … apa pun yang tengah Anda yakini saat ini. Saya ragu itu akan memengaruhi saya. Saya dan Anne sudah menikah, dan kami sedang berusaha mengikat pernikahan lebih dalam.” Jawaban Luciano dipenuhi ketegasan dalam suara dan tatapan“Jika tidak ada hal penting yang perlu Anda bicarakan lagi, sebaiknya Anda segera keluar. Pintunya di sana.” Tangan Luciano terangkat, mengarah ke pintu. “Silahkan.”Esther masih berdiri di tempat, dengan senyum yang masih melengkung meski kedua mata menyiratkan kekecewaan yang tak mampu dibendung akan usiran halus Luciano.“Sampai jumpa di hari pertunangan Anda. Saya dan istri akan datang dan mengucapkan selamat untuk kebahagiaan kalian.”Wajah Esther terlihat tak suka dengan kalimat tersebut, tetapi ia mengambil tasnya di m
Ada apa?" Kepala pengawal Luciano menampakkan diri ketika Luciano dan Anne muncul di ruang tengah. Menangkap keseriusan yang di wajah Max.Max memberikan isyarat mata ke arah Anne.Luciano pun mengangguk singkat dan berkata, "Tunggu di ruanganku."Anne tentu tahu keberadaannya tak diinginkan, ia melangkah lebih dulu dan langsung naik ke lantai dua menggunakan lift. Tetapi sebelum pintu lift tertutup, Luciano masuk lebih dulu. Kembali membawa pinggang Anne menempel di tubuh pria itu. "Cukup, Luciano," cegahnya dengan meletakkan kedua tangan di dada pria itu saat Luciano akan memangkas jarak di antara wajah mereka. Tidakkah cukup sepanjang perjalanan Luciano mencumbunya seolah tiada lagi hari esok. Anne benar-benar kewalahan jika harus menyamai laju gairah Luciano yang terus menerus tanpa henti.Kali ini Luciano mendengarkan, ujung bibirnya berkedut tak suka akan penolakan sang istri.Anne yang menyadari sikap dinginnya segera menampilkan kelunakan. "Aku merasa sangat lelah. Aku ingin s
Esther tak mengira hubungannya akan sejauh itu dengan Luciano. Bertunangan? Bukankah itu artinya ia akan menikah dengan Luciano? "Kau yakin?" tanyanya kembali untuk memastikan.Dea mengangguk lagi. "Terakhir kau bercerita, dia melamarmu. Kau bahkan menunjukkan cincin yang digunakan tuan Luciano untuk melamarmu.""Lalu apa yang terjadi setelah itu?"Kesenduan mulai menghias wajah Dea ketika kepalanya menggeleng. "Aku tidak tahu, Esther. Setelah kita berpesta malam itu untuk merayakan pertunangan kalian, tuan Luciano menjemputmu di klub. Dan itu terakhir kali kita bertemu. Kabar terakhir yang kudengar, kau dan keluargamu pindah ke luar negeri. Kupikir hubungan kalian masih membaik, sampai aku mendengar tentang pertunangan dan pernikahan Luciano dengan putri tunggal keluarga Lucas." Dea berhenti, tampak mengingat sejenak. "Anne Lucas jika tidak salah."Gurat kecewa menghias kedua mata Esther. Ya, Anne Lucas. "Apa kau tahu bagaimana kami putus?"Dea menggeleng lagi. "Kau tiba-tiba pergi,
Pria itu sudah mengenakan setelan jasnya yang berwarna senada dengan gaunnya. Rambutnya yang sedikit panjang menyentuh tengkuk, disisir rapi ke belakang. Dan tanpa perlu bersikap munafik, Luciano sendiri tampak sempurna tampan. Anne tak ingin mengakui, tetapi itulah fakta yang terpampang jelas di hadapannya. Yang membuat seorang Luciano besar kepala dan berpikir bisa mendapatkan apa pun yang diinginkan. Termasuk dirinya."Kau sudah selesai?" Luciano menegakkan punggungnya dan berjalan mendekati Anne dengan perlahan. Tanpa melepaskan tatapan keduanya yang bertemu di cermin.Anne menahan napasnya, hingga Luciano berhenti tepat di belakangnya. Kedua tangannya memegang pinggangnya kemudian wajah pria itu bergerak turun, mendaratkan kecupan di cekungan lehernya. Kecupan tersebut sangat lembut, bergerak naik ke leher dan berhenti di belakang telinganya. Meninggalkan kissmark di sana.Saat wajah pria itu terangkat, Luciano menatap puas hasil karyanya dengan senyum yang mengembang. "Kau sudah
Setelah pengumuman pembatalan pertunangan tersebut, pesta masih terus berlanjut meski dengan suasana yang sendu. Beberapa tamu memilih pulang, tetapi lebih banyak yang bertahan. Luciano salah satunya. Ada banyak orang yang menahan pria itu untuk tetap menikmati pesta. Sedangkan Anne membiarkan Luciano menyeretnya ke sana kemari untuk dipamerkan.Pikiran Anne masih bergulat dengan alasan Eshan membatalkan pertunangan tersebut. Sungguh, ia tak mengharapkan hal semacam ini terjadi, meski hatinya akan terluka jika pertunangan tersebut terus berlanjut.Anne tiba-tiba membekap mulutnya ketika perutnya bergejolak tak nyaman."Ada apa?" tanya Luciano."A-aku ... ingin ke toilet sebentar." Anne mengurai lengan Luciano di pinggangnya dan berbalik. Menyeruak di antara kerumunan tamu yang masih tersisa dan ini bukan pertama kalinya ia berada di rumah ini, jadi bisa menemukan letak toilet dengan mudah.Sampai di kamar mandi, ia memuntahkan sebagian isi perutnya. Tidak banyak, tetapi cukup membuatn
Anne merasa perutnya sudah terasa lebih nyaman dan pusingnya juga sudah mereda ketika memutuskan untuk keluar dari kamar mandi. Ia berada terlalu lama di kamar mandi, karena mual dan muntahnya juga pikirannya yang masih kacau memikirkan alasan di balik pembatalan pertunangan Eshan dan Esther."Anne?" Suara memanggil dari samping pintu kamar mandi mengejutkan Anne.Anne berbalik dan terkejut menemukan suara familiar tersebut memang milik Eshan. Sungguh suatu kebetulan, ada pertanyaan yang membutuhkan jawaban dari pria satu ini."Apakah pembatalan ini karena aku?" Anne melontarkan pertanyaan tersebut sebelum Eshan membuka pembicaraan lebih dulu.Eshan berjalan semakin mendekat dan berhenti tepat di hadapan Anne. "Tidak seperti itu, Anne. Ini keputusan kami berdua.""Atas keinginanmu?"Eshan menggelengkan kepalanya. "Esther, dia adalah mantan kekasih Luciano yang kehilangan ingatan."Anne membeku, mencerna kalimat Eshan sekali lagi lalu terkesiap dengan telapak tangan membekap mulut. Man
Anne tercengang dengan permintaan Eshan yang begitu tiba-tiba. Baginya itu adalah sebuah keberanian, tetapi di mata Luciano tentu saja akan menjadi sebuah kelancangan yang besar. Yang menantang seorang Luciano Enzio."Aku mencintainya dan dia mencintaiku." Eshan mengumpulkan keberaniannya untuk berterus terang. Lagipula, sejak awal Luciano sudah mengetahui dirinya menginginkan Anne, sekarang tak ada yang perlu dirahasiakan lagi, bukan? "Kami saling mencintai."Seakan belum cukup dengan Eshan yang menyuruhnya melepaskan Anne, beraninya pria itu mengatakan omong kosong tentang cinta. Luciano menggeram keras, dadanya bergemuruh dan amarah seolah naik ke ubun-ubun."Tidak ada apa pun dalam pernikahan kalian, dia tidak mencintaimu. Dia tidak menginginkan pernikahan ini." Eshan melangkah maju. Tak ada sedikit pun gurat ketakutan yang terlihat di wajahnya. Kedua matanya menatap dalam mata Luciano dengan penantangan yang tak terelakkan.Wajah Luciano yang sudah gelap semakin menggelap dan mat
"Jadi, apa kau masih berpikir untuk membiarkanku membawa mantanku ke dalam pernikahan kita."Anne seketika menggeleng dengan tegas meski nuraninya sebagai sesame wanita terhadap Esther tersentil. Dengan posisinya saat ini, ia tak bisa lepas dari pernikahan. Karena Luciano menginginkan demikian, pun karena kedua orang tuanya.Kepuasan Luciano terlihat jelas dari seringai pria itu akan pilihan yang diputuskan oleh Anne. "Pilihan yang bagus, Anne."Bagi Anne itu bukan pilihan yang bagus, melainkan pilihan terbaik yang bisa diambilnya saat ini."Jadi, apa kau tahu apa yang perlu kau lakukan dengan pilihanmu, kan?"'Merelakan Eshan, merelakan perasaan apa pun yang masih tersisa di hatinya untuk Eshan, membuang jauh-jauh harapan dalam hubungan mereka.' Ya, itulah yang harus dilakukannya. Anne pun mengangguk, dengan runtuhan perasaannya yang berserakan dalam usahanya untuk merelakan.Sekali lagi seringai kepuasan tersungging di ujung bibir Luciano. Tangannya mendorong punggung Anne untuk sem
"Jadi memang ya?" Anne mendorong dada Luciano menjauh. Kedongkolan tampak jelas memekati rautnya yang muram. Menyentakkan tangan Luciano yang masih melingkari pinggangnya."Aku tidak mengatakan tidak. Itu terdengar seperti sebuah kebohongan, Anne. Kau tak akan menyukainya.""Tidak. Kau salah besar, Luciano.""Lalu apa yang kau inginkan?" Suaranya mulai diselimuti kefrustrasian. "Aku lebih baik mendengar kebohongan. Aku akan mempercayaimu. Selama kau yang mengatakannya."Luciano membelalak. Mulutnya membuka nutup tak percaya. Belum pernah ia setercengang ini menghadapi kelabilan Anne. "Jadi kau lebih suka kebohonganku?""Sekarang, tidak keduanya. Kau memang tak pernah memahami wanita, Luciano. Tak pernah memahamiku sebagai seorang istri. Sebagai pasangan. Sebagai satu-satunya wanitamu. Kau yakin kau menganggapku sebagai istrimu? Bukan hanya sebagai wanita pemuas nafsumu seperti mereka?""Kau tahu itu tidak benar, Anne. Jangan mengada-ada sesuatu yang tak pernah benar."Anne mengibaska
Suasana pesta sudah ramai dan ballroom sudah dipenuhi kemeriahan serta canda tawa. Suara musik yang mengalun lembut sebagai latar belakang kemewahan pesta tersebut menyambut Anne dan Luciano yang bergandengan mesra memasuki ruangan yang luas dengan hiasan bunga dan kerlap-kerlip lampu di mana-mana.“Apakah Faraz dan Estelle akan datang?”“Mereka sudah putus, Anne. Kenapa mereka datang bersama?”“Siapa bilang mereka sudah putus. Tadi pagi aku menelpon Estelle dan yang menjawab Faraz. Mereka jelas masih sering tidur bersama. Faraz benar-benar memanfaatkan Estelle. Kenapa meniduri wanita jika tidak berniat menikahinya.”“Hmm, itu urusan mereka.”Anne mendadak terdiam dengan reaksi penuh ketenangan Luciano. Kedua alis wanita itu saling bertaut ketika menoleh ke samping dengan. “Apakah gaya berkencan kalian memang seperti itu?”“Siapa kalian?”“Kau dan Faraz.”“Hanya Faraz, Anne. Kenapa kau membawa-bawa namaku?”“Meski sekarang aku satu-satunya wanita yang tidur denganmu, kau pikir aku per
“Laki-laki lagi?” Luciano mengangkat salah satu alisnya. Suara rengekan baby Zha mulai tenang dalam gendongan Anne.“Ya. Kau tak suka?”Luciano menggeleng. “Laki-laki atau perempuan, aku tak pernah mempermasalahkannya, Anne. dia anakku.”“Mamaku bilang, saat kau melahirkan anak perempuan. Itu artinya kau menciptakan musuh bebuyutanmu.”Mata Luciano membulat tak percaya, lalu terbahak dengan keras hingga gigi geraham pria itu terlihat.“Kenapa kau tertawa? Kau pikir itu lucu?”Luciano menggeleng. Mencoba menghentikan tawanya karena baby Zha yang mulai bergerak tak nyaman. “Apa maksudmu dengan menciptakan musuh bebuyutan?” tanyanya, berusaha menahan tawanya kembali terlepas.“Dia bahkan bisa menjadi lebih licik dari wanita-wanita yang mencoba memisahkan kita, Luciano.”“Dia putrimu.”“Itulah sebabnya aku ingin seorang putra. Aku tak mau memusuhi putriku sendiri.”“Apakah kau memusuhi ibumu?”Anne terdiam, tampak mengingat-ingat lalu mengangguk. “Setiap kali mama dan papa saling berdekat
Anne terbangun karena dorongan dari dalam perut yang membuatnya gegas turun dari ranjang. Memuntahkan semua makan malamnya yang bahkan tak seberapa. Semakin hari gejala kehamilan datang semakin intens. Bahkan pusing yang semakin sering datang jika ia kurang tidur atau terlalu banyak tidur.Setelah beberapa saat, akhirnya napasnya kembali normal dan tenaganya memulih. Ia bangkit berdiri, menyeka wajahnya di wastafel. Menatap wajah pucatnya yang rasanya sedikit gemuk.Rasanya selera makannya menurun akhir-akhir ini. Meski tak pernah melewatkan jadwal makannya dan memaksa makanan masuk ke mulutnya. Setidaknya untuk memenuhi gizinya dan janin dalam kandungannya. Yang sepertinya lebih banyak dibantu oleh susu ibu hamil dan vitamin.Tubuhnya berputar, hendak keluar ketika tersentak dengan keras dan nyaris berteriak saking kagetnya dengan sosok yang bersandar di pinggiran pintu.“L-luciano?” Suara Anne tercekat. Berusaha meredakan jantungnya yang berdegup kencang. Matanya berkedip beberapa k
Anne tak tahu ke mana Luciano membawa baby Zha pergi. Ia hanya menunggu di rumah selama berhari-hari. Berharap pria itu akan datang untuk pulang. Tetapi hingga satu minggu berlalu, Anne masih sendirian. Tak berhenti merasa sendirian dan kesepian meski beberapa kali Ibra menghubunginya dan menanyakan keadaannya.Anne berusaha menghubungi Farz untuk mencari tahu di mana pria itu dan putranya. Tapi lagi-lagi jawaban Faraz tak pernah memuaskannya.“Aku tahu kau tahu di mana mereka berada, Faraz. Siapa pun tak ada yang tahu, kecuali kau.”Faraz mendesah pelan. Menurunkan kedua tangannya di meja. “Kalau begitu kuralat jawabanku. Aku tak bisa memberitahumu.”“Setidaknya minta Luciano bicara denganku. Apakah dengan pergi akan menyelesaikan masalah?”“Lalu apakah dengan meminta cerai juga akan menyelesaikan permasalahanmu?”Anne menutup mulutnya. Jatuh terduduk di kursinya. “Aku tak bermaksud mengatakannya,” sesalnya dalam gerutuan yang lirih. Wajahnya tertunduk lunglai.Faraz menatap Anne se
“Ibra?” Anne terkejut dengan kemunculan Ibra yang berjalan memasuki ruangan.“Hai.” Ibra melangkah masuk, lekas mendekati ranjang dan menyentuhkan telapak tangannya di kening baby Zha. “Panasnya sudah turun.”“Kau di sini?” Anne menatap jam di dinding yang baru saja melewati tengah malam.“Esther mengirimiku pesan. Luciano tiba-tiba membatalkan pertemuan untuk besok karena baby Zha masuk rumah sakit. Butuh beberapa jam untuk sampai, jadi aku datang.”“Kau tak perlu datang.”“Aku sudah datang, jadi jangan menyuruhku pulang.” Ibra kembali menatap baby Zha. “Apa kata dokter?”“Hanya demam. Tapi masih menunggu hasil tes untuk kepastiannya. Mungkin besok pagi. Kuharap semuanya baik-baik saja.”“Ya, mungkin hanya kelelahan karena seharian main bersama mama dan papaku.”“Ya, kuharap. Terima kasih sudah datang.”Ibra menarik kursi mendekat ke ranjang pasien. “Sepertinya kau belum tidur sama sekali.”“Tadi sempat tertidur, tetapi terbangun karena rengekannya dan langsung ke rumah sakit.”“Tidu
Melihat kedua orang tua Ibra, rasanya seperti meluapkan kerinduannya terhadap kedua orang tuanya. Anne memeluk dalam-dalam mama Ibra, berharap pelukan itu adalah pelukan mamanya sendiri. Begitu pun dengan papa Ibra yang mengusap ujung kepalanya dengan penuh kasih.“Sudah lama tak melihatmu, Anne. Dan putramu sudah semakin besar sejak terakhir kali om lihat.”Anne tertawa. Melihat papa Ibra yang menggendong baby Zha, dalam benaknya seolah adalah papanya sendiri yang menggendong putranya. Keinginan dan harapan terbesar papanya yang belum sempat ia tunjukkan pada sang papa.Ibra menyodorkan sapu tangannya ke arah Anne.“Terima kasih.” Anne mengusap ujung matanya yang basah. Kembali menatap kedua orang tua Ibra yang kini tertawa gemas dengan celotehan baby Zha.Ibra merangkul Anne, menjatuhkan kepala wanita itu ke pundaknya. Sedikit meredakan kerinduan Anne pada kedua orang tua wanita itu di tengah keluarganya. “Kau tahu kau tak pernah sendirian di dunia ini, Anne. Kami keluargamu.”Anne
Anne sengaja memejamkan matanya begitu mendengar suara langkah kaki dari arah belakang punggungnya. Berusaha memancing rasa kantuk yang sejak tadi sulit datang meski jam sudah melewati tengah malam karena Luciano belum pulang. Tak biasanya pria itu pulang larut dan tanpa kabar seperti ini.Marah, sedih, dan kecewa. Pada dirinya sendiri dan pada pria itu. Ialah yang memulai perang dingin ini lebih dulu. Tetapi kenapa balasan dari Luciano juga terasa begitu menusuk dadanya. Mengiris hatinya dengan cara yang paling buruk. Apakah keraguannya layak dibalas dengan pengkhianatan pria itu?Suara pintu kamar mandi yang ditutup membuat mata Anne kembali terbuka. Menatap pintu tersebut dengan genangan yang mulai membentuk di kedua mata.Selama seminggu lebih, Anne dan Luciano masih tak saling bicara. Anne selalu bangun kesiangan dan Luciano sudah berangkat ke kantor, malamnya Anne selalu tidur lebih dulu karena Luciano pulang larut malam. Keduanya nyaris tak saling berkomunikasi. Satu-satunya ya
“Mungkin ini terlambat dan sedikit sengaja. Tapi … bagaimana pun selamat untuk kalian berdua.” Luciano memecah keheningan yang cukup lama membentang di tengah meja. Terutama dengan sang istri yang lebih banyak menatap isi piring yang sejak tadi hanya berkurang dua potong.“Ya, kuharap kalian bisa datang di acara pernikahan kami.”“Ya. Kami akan datang. Benar, kan sayang?” Luciano menoleh pada Anne, yang duduk di sampingnya.Anne mengangkat wajah lalu mengangguk singkat. Pelayan datang untuk membawakan pesanan Ibra dan Esther. Pesanan yang sama. Pandangan wanita itu tak lepas dari Ibra yang memotong kecil-kecil daging panggang di depannya sebelum menukarkan dengan piring milik Esther.“Terima kasih, Ibra,” senyum Esther dengan tatapan yang mesra, yang ditanggapi Ibra dengan senyum yang tak kalah lebarnya.Anne mencoba mengalihkan pandangan, sibuk pada isi piringnya sendiri yang entah kenapa rasanya menjadi hambar. Mulutnya terasa pahit. Ya, ia akui ada kecemburuan yang tersemat di cela