Anne terbangun dengan tubuh yang remuk redam di sekujur tubuhnya. Dan satu-satunya perasaan yang melekat di tubuynya hanyalah rasa jijik. Merasakan tubuhya yang begitu kotor dan belum pernah Anne merasakan sejijik ini pada siapa pun atau apa pun sebesar rasa jijik pada dirinya sendiri saat ini.
Semalam, Luciano menyentuh setiap jengkal kulit di tubuhnya. Merenggut dirinya dengan cara apa pun yang bisa pria itu ambil. Mencabik-cabik harga dirinya akan kepuasan yang telah pria itu renggut darinya. Membuat dirinya harus mengabulkan keinginan pria itu terhadap tubuhnya yang seolah tiada akhirnya. Menginginkan, menginginkan, dan menginginkan dirinya terus menerus. Hingga Anne benar-benar kewalahan dan akhirnya Luciano membebaskan dirinya hingga menjelang pagi. Dengan kecupan basah dan penuh peluh di keningnya.
Anne tak ingat bagaimana dirinya terlelap oleh rasa lelah. Saat ia bangun, ia menyadari tubuhnya masih telanjang bulat di balik selimut tebal. Dan rasa sakit dari pangkal pahanya. Anne benar-benar ingin menangis mengingat bagaimana rasa sakit itu membekas di sana. Luciano bahkan tak perlu berepot-repot menahan diri untuk bersikap lembut bahkan setelah mengetahui dirinya tengah mengandung. Yang membuat Anne tak berani menolak setiap keinginan pria itu karena takut janin dalam kandungannya berada dalam bahaya.
Bahkan setelah ia mengandung anak pria lain pun tak membuat Luciano merasa jijik terhadap dirinya. Obsesi pria itu terhadap tubuhnya benar-benar gila. Dan entah berapa banyak lagi kegilaan yang akan pria itu lakukan di sepanjang pernikahan mereka nantinya.
"Kau sudah bangun?" Suara maskuli berasal dari arah samping tempat tidur.
Anne menoleh dan menemukan Luciano yang rambutnya tampak berantakan dengan mengenakan kemeja putih pendek yang kancingnya dibuka tiga. Samar-samar menampakkan dada bidang pria. Ditambah dengan celana pendek yang berwarna putih juga, yang seolah membuat penampilan pria itu yang sudah sempurna semakin sempurna karena terlihat layaknya malaikat berjiwa murni.
Akan tetapi, Anne tak akan tertipu dengan penampilan sempurna pria itu. Luciano Enzio tak pernah menjadi sosok malaikat seperti yang kedua orang tua dan semua orang lihat. Anne sangat tahu bahwa pria itu adalah berengsek yang berbulu domba. Dan Anne akan membuktikan pada semua orang, bahwa semua yang ditampilkan Luciano hanyalah sebuah topeng. Yang membungkus kebusukan pria itu.
Raut wajah Anne yang menahan rasa sakit seketika berubah dingin. Pandangannya tertunduk dan hanya menemukan kemeja putih Luciano yang tergeletak di lantai satu-satunya kain yang bisa menutupi ketelanjangannya saat ini. Ia tak mungkin mengenakan selimut tebal ataupun gaunnya yang sudah koyak berada tak jauh dari tempat tidur mereka untuk ke kamar mandi.
Setelah memastikan tubuhnya terlilit pakaian itu dari pandangan mesum Luciano, Anne beranjak sambil menahan rasa sakit di antara kedua pangkal pahanya dan bergegas menghilangkan diri dari pria itu. Mengunci pintu kamar mandi dan satu-satunya hal yang diinginkannya hanyalah berendam dengan air hangat. Beruntung Luciano membiarkan dirinya mendapatkan hal itu.
Setelah berendam dengan air hangat yang dipenuhi kelopak bunga mawar merah selama setengah jam, Anne beranjak dan mengambil jubah handuk di nakas. Mempertajam indera pendengarannya dan hanya kesunyian yang bisa ia tangkap dari luar kamar mandi. Berpikir mungkin Luciano entah pergi ke mana.
Anne pun menahan napasnya ketika mendorong pintu terbuka dan benar-benar bernapas lega tak menemukan Luciano di dalam kamar. Anne mencari sesuatu yang bisa dipakainya karena ia ingin meninggalkan tempat ini secepatnya. Tasnya tergeletak di meja dan ia pun bergegas mengambilnya. Tetapi tak bisa menemukan ponselnya di dalam sana. Anne pun membalik tasnya dan menumpahkan seluruh isinya di meja dan tetap saja tak menemukan ponselnya. Sementara ia yakin tadi malam memastikan dirinya memasukkan benda itu sebelum Luciano membawanya ke tempat ini.
Dan seseorang yang baru saja melangkah masuklah satu-satunya tertuduh yang masuk akal. "Kau yang mengambil ponselku?"
Luciano berhenti, merogoh saku celana dan menunjukkan benda yang ditanyakan oleh Anne. "Benda ini?"
Anne melompat berdiri dengan kemarahan yang kembali terbendung untuk pria itu. Menghambur ke arah Luciano. "Kembalikan," geramnya.
Luciano menangkap pergelangan tangannya yang melayang dan mencoba meraih ponsel tersebut darinya. Dan dengan kaki Anne yang berjinjit, hanya butuh sedikit sentakan dari Luciano untuk membuat wanita itu jatuh ke dadanya.
Anne terpekik dan hendak melompat menjauh, tetapi pinggangnya ditahan oleh tangan Luciano. "Apa yang kau lakukan, Luciano?" desisnya tajam dengan kedua tangan mendorong dada pria itu. Sekaligus mencoba memberi jarak di antara tubuh mereka. "Lepaskan."
Seringai Luciano tertarik lebih tinggi. "Papamu baru saja menghubungi. Ingin makan siang dengan kita sebelum berangkat ke Itali."
Anne mengerjap, "Papa?"
Luciano menjilat bibir bagian bawahnya dan dengan tatapan seolah Anne adalah makanan yang lezat. "Aku sangat lapar dan ingin memakanmu. Tapi… kita harus menemui orang tuamu mengenai pria yang menghamilimu."
Wajah Anne seketika memucat. Mendorong tubuhnya menjauh dari Luciano dengan sekuat tenaganya. Dan ia berhasil terlepas bukan karena usahanya. Melainkan Luciano yang sengaja melepaskannya.
"Untuk apa kami harus membicarakannya denganmu? Itu urusan keluargaku!"
"Well, seingatku. Aku masih menjadi suamimu. Yang artinya, segala urusanmu akan menjadi tanggung jawabku."
Wajah Anne semakin merah padam. Dengan kebencian di dada yang rasanya sudah tak sanggup Anne tampung lebih banyak lagi.
"Aku tahu kau membenciku, Anne. Sejak awal bertemu, tatapanmu padaku tak pernah bersahabat. Dan aku bahkan tak tahu bagaimana aku harus bertanggung jawab untuk kebencianmu itu. Sekarang kau istriku, kedua orang tuamu sudah menyerahkan segala tanggung jawab dan urusanmu kepadaku. Jadi, akan lebih bijak jika kau mulai terbiasa dengan hal ini."
"Tidak. Aku tak sudi menjadi istrimu," desis Anne dengan kebencian yang memekati kedua matanya.
Senyum Luciano melebar dengan mengejek. "Kau sudah menjadi istriku."
"Aku akan membuatmu menyesal telah menjadikanku istrimu. Aku bersumpah."
"Ya. Kau bisa berkata apa pun yang kau inginkan. Yang terjadilah yang lebih penting." Senyum Luciano mencemooh Anne dengan kental.
Anne menjerit sekuatnya saking frustasinya menghadapi kata-kata Luciano yang tak bisa dipatahkannya. Yang malah membuat senyum Luciano semakin gelap. Jika di hadapan kedua orang tuanya Luciano selalu bersikap penyabar dan lemah lembut ketika menghadapi kebenciannya, di belakang mereka Luciano tak segan-segan untuk bersikap berengsek seperti ini. Anne benar-benar kehilangan akal sehatnya menghadapi kelicikan Luciano yang tak pernah berhenti membuat kewalahan dan putus asa.
"Pada akhirnya, kau tetap berada dalam genggamanmu," seringai Luciano semakin tinggi. Dengan kegelapan dan kelicikan yang berkilat di kedua mata pria itu. Ketika Luciano melanjutkan, "Termasuk nasib anak dalam kandunganmu."
Kalimat tersebut seketika memucatkan seluruh permukaan wajah Anne. "A- apa?"
"Kedua orang tuamu sudah memasrahkan permasalahan ini ke tanganku. Apakah aku harus mempertahankan anak itu, menggugurkannya, atau bahkan membunuh pria yang menghamilimu. Semua nasib kalian berada di tanganku, Anne Sayang." Luciano mengucapkan kalimat tersebut dengan begitu jelas dan penuh penekanan. "Tidakkah kau merasa perlu bersikap baik untuk membujukku? Mungkin saja aku akan sedikit berbaik hati. Karena kau istriku."
Anne menggeleng, tangannya bergerak menyentuh perutnya dengan gerakan melindungi. Air mata mengalir di kedua pelupuk matanya. "Tidak. Kau sama sekali tidak berhak untuk semua itu. Kau sama sekali tak berhak untuk menentukan nasibku, anakku atau bahkan dia. Aku tak sudi mengemis permohonan pada orang sepertimu. Kau tak lebih dari seorang berengsek yang berhati busuk. Yang dibungkus dengan topeng malaikatmu."
Kata-kata Anne berhasil mengena di hati Luciano. Raut wajah pria itu membeku dan gurat amarah menggaris kuat di wajahnya dan dalam satu langkahnya yang besar. Pri itu menangkap rambut Anne dan membanting tubuh mungil sang istri ke tengah tempat tidur.
Gerakan Luciano begitu tiba-tiba, membuat Anne tak sempat menghindar meski tahu rencananya tersebut tak akan cukup membantu. Tubuh Anne terbanting dua kali di tempat tidur. Sebelum Anne bisa merangkak turun dan menelaah semuanya, jubah handuknya sudah dilucuti dan tubuh telanjangnya sudah ditindih oleh Luciano. Dengan kedua tangan yang dipaku di atas kepala. Selanjutnya, Luciano menghentakkan tubuh pria itu ke dalam tubuh Anne. Mengotori setiap jengkal kulitnya dengan sentuhan yang menjijikkan. Melecehkan tubuhnya dengan cara yang kasar. Menginjak-injak harga dirinya dengan cara yang lebih buruk. Sama sekali tak peduli dengan air mata kepiluan yang merembes ke sprei tempat tidur. Sebagai saksi bisu akan kekejian seorang Luciano Enzio.
Anne berharap make up tipis yang ia poleskan di wajahnya mampu menyamarkan jejak air mata yang membekas di sekeliling matanya. Meski kedua matanya tampak pilu dan genangan mulai membentuk di kedua kelopak matanya. Anne kembali mengerjap, mengurai kaca bening tersebut agar tidak sampai jatuh meleleh ke pipinya. Sudah cukup tangisan dan jerit tangis ketidak berdayaannya terhadap nasibnya yang berada dalam genggaman Luciano. Satu-satunya cara yang tersisa hanyalah terlihat tampil sebaik mungkin di hadapan kedua orang tuanya. Agar mereka tidak khawatir, meski kekecewaan papanya sulit untuk Anne terima. Sekali lagi Anne mematut pantulan wajahnya. Di antara semua sikap kasar Luciano padanya, tak satu pun dari jejak kekasaran tersebut membekas di kulit tubuhnya. Selain kissmark yang nyaris memenuhi leher dan dadanya. Sekali lagi Anne memeriksa kedua pergelangan tangannya, mencari bekas merah karena pria itu yang mencengkeram tangannya terlalu kuat. Yang mungkin bisa ia tunjukkan pada papa
“Tidak mungkin!!” tolak Anne mentah-mentah. Menggelengkan kepala dengan keras dan menegakkan punggung. Bagaimana mungkin, satu-satunya cara yang tersisa yang ia gunakan untuk membalas dominasi Luciano di hidupnya pun direnggut dengan cara licik seperti ini. Luciano benar-benar tak memberinya udara untuk bernapas. Semua kekuasaan pria itu merenggut segala hal yang dimilikinya. Kepercayaan kedua orang tuanya, tubuhnya, dan seluruh hidupnya sudah berada di tangan Luciano. “Aku tak sudi mengandung anakmu, Luciano.” “Kau sudah.” Luciano mengedikkan bahunya dengan penuh ketenangan yang sangat terkendali. Seringainya menikmati setiap kepucatan yang menggaris di wajah Anne dengan penuh kepuasan. “Sebaiknya kau mulai mengerti bahwa hidupmu, saat ini hanyalah milikku, Anne sayang.” “Tidak. Aku tak ingin mengerti dan aku tak akan mengerti. Aku sungguh membencimu, Luciano. Kau hanyalah pria gila yang terobsesi pada wanita tak berdaya sepertiku. Menggunakan kekuasaanmu untuk menginjak-injak wa
Anne kembali mengenakan pakaiannya dengan terburu, berjalan ke arah tangga yang mengarah ke lantai tiga. Jelas suara tembakan itu berasal dari sana. "Maaf, Nyonya. Anda tidak boleh berada di sini," hadang penjaga yang berjaga di lantai tiga tepat di samping kanan dan kiri tangga. "Aku mendengar suara tembakan. Apa yang terjadi? Di mana Luciano?" "Tuan sedang mengurusnya. Anda tidak boleh berada di sini." Anne merasa begitu kesal. "Aku ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi di sini?" ucapnta lagi dengan keras kepala. "Ya, Nyonya. Sebaiknya Anda segera turun. Saya akan memberitahukan keberadaan Anda dan tuan akan menemui Anda." "Aku tidak butuh tuanmu. Aku hanya butuh tahu apa yang terjadi." "Maafkan kami, Nyonya. Anda…" "Ada apa ini?" Luciano muncul di belakang penjaga yang menghadang langkah Anne. Anne melihat Luciano yang tengah menyelipkan sebuah pistol ke dalam saku jas pria itu. Hanya sepersekian detik, tetapi Anne yakin apa yang dilihatnya. Wajah Anne membeku, dugaan y
Calon istri cadangan? Anne mengulang dalam hati. Sekali lagi menatap penampilan Reene, yang bisa dibilang sangat sempurna. Seperti Luciano. Rasanya mereka memang lebih cocok bersama. "Sebelumnya, kuharap kau memahami posisimu. Seseorang seperti Luciano, yang memegang kerajaan bisnis sangat besar di negeri inu. Tentu saja memerlukan pewaris. Yang bisa dipercaya. Yang berasal dari keluarga terdekat. Kami tak mungkin membiarkan pewaris berasal dari orang asing sepertimu." "Kau hanyalah salah satu obsesinya. Dan seorang Luciano selalu mendapatkan apa pun yang diinginkan. Tapi aku adalah sebuah kebutuhan. Kita memiliki peran masing-masing di hidup Luciano. Jadi…" Anehnya, Anne sama sekali tak merasa tersinggung. Jika ada Reene, bukankah itu artinya ia memiliki kesempatan akan dibuang oleh Luciano. Dan ia bisa terbebas. Senyum tersamar di ujung bibirnya setelah cukup menelaah penjelasan Reene yang sangat menguntungkan dirinya. "Kuharap kita bisa berhubungan baik," lanjut Reene. "Sejuju
Tubuh Anne kembali terduduk dengan lemas ketika dokter menjelaskan tentang bagaimana keadaan Ibra. Yang cukup parah. Mengalami patah di kaki kanan, benturan di kepala dan mendapatkan beberapa jahitan, juga luka lainnya yang tergolong ringan. Operasi berjalan selama tiga jam dan Ibra sekarang berada dalam ruang pemulihan. Sebelum kemudian akan dibawa ke ruang perawatan jika keadaannya mulai membaik. Wajahnya masih lembab, oleh air mata yang rasanya tak berhenti mengalir. Luciano benar-benar keterlaluan. Semudah itu Luciano bermain-main dengan nyawa seseorang. Dan betapa tololnya Anne masih mencoba bermain-main dengan pria itu. Ia benar-benar sudah putus asa. Dan hajar habis-habisan untuk menyerah pada Luciano. Dengan cara yang paling keji dan pengecut. "Anne?" Suara lembut memanggil dari arah samping Anne. "Apa yang kau lakukan di sini?" "Eshan?" Bibir Anne bergetar hebat. Menemukan pria tinggi dengan jas putih dan stetoskop yang masih mengalung di leher. Pria itu terheran, menatap
"Apa kau sudah tahu, Luciano?" sembur Reene begitu panggilannya tersambung. Ia tak berhenti mondar-mandir di tengah ruang tidur yang luas. Berada di salah satu ruangan di lantai satu. Kamar tidur pribadinya setiap kali bermalam di rumah ini. "Ada apa, Reene? Kau mengganggu waktuku untuk pertanyaan sialan itu?" "Anne hamil. Apa kau sudah tahu?" Luciano mendesah rendah. "Kau sudah tahu." "Apa maksudnya ini, Luciano?" Luciano terkekeh pelan. "Pertanyaan macam apa itu, Reene. Istriku hamil, tentu saja aku tahu." "Kalian baru menikah dua hari dan dia sudah hamil dua bulan. Bagaimana mungkin?" Luciano kemudian hanya menghela napasnya panjang. Terdengar jengah akan rentetan pertanyaan Reene yang membosankan. "Well, itu urusanku dan Anne, Reene. Kau tak suka tentang kabar ini?" "Lalu bagaimana denganku?" "Kau? Kenapa denganmu?" "Bagaimana dengan rencana pernikahan kita?" "Ah, itu. Kita akan membahasnya setelah aku pulang. Aku memiliki pekerjaan yang lebih serius." "Apa kau berpiki
Anak dalam kandungannya tak terselamatkan, dan bahkan Anne hampir kehilangan nyawa karena pendarahan yang hebat. Jika tidak segera dibawa ke rumah sakit, nyawa wanita itu pasti sudah melayang. Beruntung ada pelayan yang datang dan menemukan wanita itu dalam keadaan sekarat. Anne pingsan selama beberapa jam, dan saat terbangun hari sudah sore. Kepalanya masih pusing dan rasa tak nyaman bersarang di perutnya. Tidak ada siapa pun di ruang perawatannya. Tetapi ia yakin ada dua pengawal Luciano yang berjaga di samping kanan dan kiri pintu. Telapak tangan Anne yang dipasang jarum infus bergerak menyentuh perutnya. Ia tak sudi mengandung anak Luciano, tetapi rasa kehilangan yang teramat sangat tetap saja tak bisa ia tahan. Seakan jantungnya dibetot dan ditarik keluar. Air mata menggenang di ujung kelopak matanya ketika suara langkah kaki yang kuat dan tergesa semakin mendekat. Anne baru saja memikirkan Luciano, dan dalam sekejap pintu dibanting terbuka lalu wajah murka pria itu muncul dan
Anne sudah mengembalikan ketenangannya dari ketakutan dan emosinya yang campur aduk karena kegugurannya. Ia mencoba menekan rasa pusing yang masih tersisa saat bangun terduduk. Mengambil gelas air putih di nalas dan meneguknya hingga setengah. Pintu ruangannya bergeser terbuka ketika ia meletakkan gelas di nakas, dan melihat Reene melangkah masuk. Senyum wanita itu tak bisa disembunyikan di raut wajahnya. Atau memang wanita itu tak bersusah payah menutupi kebahagiaan atas kehilangannya. "Aku tahu kau yang melakukannya," desis Anne tajam begitu Reene berhenti tepat di samping ranjang pasiennya. Senyum Reene mengembang, kedua tangan bersilang dada dengan sikap angkuh yang begitu kental. "Aku hanya memberimu apa yang kau inginkan. Tidak sulit untuk mengucapkan terima kasih, Anne. Hanya perlu mengatakannya saja," ucapnya dengan ringan dan penuh ketenangan. Ya, memang ialah yang mengganti vitamin kehamilan Anne dengan obat penggugur kandungan. Kandungan Anne masih sangat muda dan renta
"Jadi memang ya?" Anne mendorong dada Luciano menjauh. Kedongkolan tampak jelas memekati rautnya yang muram. Menyentakkan tangan Luciano yang masih melingkari pinggangnya."Aku tidak mengatakan tidak. Itu terdengar seperti sebuah kebohongan, Anne. Kau tak akan menyukainya.""Tidak. Kau salah besar, Luciano.""Lalu apa yang kau inginkan?" Suaranya mulai diselimuti kefrustrasian. "Aku lebih baik mendengar kebohongan. Aku akan mempercayaimu. Selama kau yang mengatakannya."Luciano membelalak. Mulutnya membuka nutup tak percaya. Belum pernah ia setercengang ini menghadapi kelabilan Anne. "Jadi kau lebih suka kebohonganku?""Sekarang, tidak keduanya. Kau memang tak pernah memahami wanita, Luciano. Tak pernah memahamiku sebagai seorang istri. Sebagai pasangan. Sebagai satu-satunya wanitamu. Kau yakin kau menganggapku sebagai istrimu? Bukan hanya sebagai wanita pemuas nafsumu seperti mereka?""Kau tahu itu tidak benar, Anne. Jangan mengada-ada sesuatu yang tak pernah benar."Anne mengibaska
Suasana pesta sudah ramai dan ballroom sudah dipenuhi kemeriahan serta canda tawa. Suara musik yang mengalun lembut sebagai latar belakang kemewahan pesta tersebut menyambut Anne dan Luciano yang bergandengan mesra memasuki ruangan yang luas dengan hiasan bunga dan kerlap-kerlip lampu di mana-mana.“Apakah Faraz dan Estelle akan datang?”“Mereka sudah putus, Anne. Kenapa mereka datang bersama?”“Siapa bilang mereka sudah putus. Tadi pagi aku menelpon Estelle dan yang menjawab Faraz. Mereka jelas masih sering tidur bersama. Faraz benar-benar memanfaatkan Estelle. Kenapa meniduri wanita jika tidak berniat menikahinya.”“Hmm, itu urusan mereka.”Anne mendadak terdiam dengan reaksi penuh ketenangan Luciano. Kedua alis wanita itu saling bertaut ketika menoleh ke samping dengan. “Apakah gaya berkencan kalian memang seperti itu?”“Siapa kalian?”“Kau dan Faraz.”“Hanya Faraz, Anne. Kenapa kau membawa-bawa namaku?”“Meski sekarang aku satu-satunya wanita yang tidur denganmu, kau pikir aku per
“Laki-laki lagi?” Luciano mengangkat salah satu alisnya. Suara rengekan baby Zha mulai tenang dalam gendongan Anne.“Ya. Kau tak suka?”Luciano menggeleng. “Laki-laki atau perempuan, aku tak pernah mempermasalahkannya, Anne. dia anakku.”“Mamaku bilang, saat kau melahirkan anak perempuan. Itu artinya kau menciptakan musuh bebuyutanmu.”Mata Luciano membulat tak percaya, lalu terbahak dengan keras hingga gigi geraham pria itu terlihat.“Kenapa kau tertawa? Kau pikir itu lucu?”Luciano menggeleng. Mencoba menghentikan tawanya karena baby Zha yang mulai bergerak tak nyaman. “Apa maksudmu dengan menciptakan musuh bebuyutan?” tanyanya, berusaha menahan tawanya kembali terlepas.“Dia bahkan bisa menjadi lebih licik dari wanita-wanita yang mencoba memisahkan kita, Luciano.”“Dia putrimu.”“Itulah sebabnya aku ingin seorang putra. Aku tak mau memusuhi putriku sendiri.”“Apakah kau memusuhi ibumu?”Anne terdiam, tampak mengingat-ingat lalu mengangguk. “Setiap kali mama dan papa saling berdekat
Anne terbangun karena dorongan dari dalam perut yang membuatnya gegas turun dari ranjang. Memuntahkan semua makan malamnya yang bahkan tak seberapa. Semakin hari gejala kehamilan datang semakin intens. Bahkan pusing yang semakin sering datang jika ia kurang tidur atau terlalu banyak tidur.Setelah beberapa saat, akhirnya napasnya kembali normal dan tenaganya memulih. Ia bangkit berdiri, menyeka wajahnya di wastafel. Menatap wajah pucatnya yang rasanya sedikit gemuk.Rasanya selera makannya menurun akhir-akhir ini. Meski tak pernah melewatkan jadwal makannya dan memaksa makanan masuk ke mulutnya. Setidaknya untuk memenuhi gizinya dan janin dalam kandungannya. Yang sepertinya lebih banyak dibantu oleh susu ibu hamil dan vitamin.Tubuhnya berputar, hendak keluar ketika tersentak dengan keras dan nyaris berteriak saking kagetnya dengan sosok yang bersandar di pinggiran pintu.“L-luciano?” Suara Anne tercekat. Berusaha meredakan jantungnya yang berdegup kencang. Matanya berkedip beberapa k
Anne tak tahu ke mana Luciano membawa baby Zha pergi. Ia hanya menunggu di rumah selama berhari-hari. Berharap pria itu akan datang untuk pulang. Tetapi hingga satu minggu berlalu, Anne masih sendirian. Tak berhenti merasa sendirian dan kesepian meski beberapa kali Ibra menghubunginya dan menanyakan keadaannya.Anne berusaha menghubungi Farz untuk mencari tahu di mana pria itu dan putranya. Tapi lagi-lagi jawaban Faraz tak pernah memuaskannya.“Aku tahu kau tahu di mana mereka berada, Faraz. Siapa pun tak ada yang tahu, kecuali kau.”Faraz mendesah pelan. Menurunkan kedua tangannya di meja. “Kalau begitu kuralat jawabanku. Aku tak bisa memberitahumu.”“Setidaknya minta Luciano bicara denganku. Apakah dengan pergi akan menyelesaikan masalah?”“Lalu apakah dengan meminta cerai juga akan menyelesaikan permasalahanmu?”Anne menutup mulutnya. Jatuh terduduk di kursinya. “Aku tak bermaksud mengatakannya,” sesalnya dalam gerutuan yang lirih. Wajahnya tertunduk lunglai.Faraz menatap Anne se
“Ibra?” Anne terkejut dengan kemunculan Ibra yang berjalan memasuki ruangan.“Hai.” Ibra melangkah masuk, lekas mendekati ranjang dan menyentuhkan telapak tangannya di kening baby Zha. “Panasnya sudah turun.”“Kau di sini?” Anne menatap jam di dinding yang baru saja melewati tengah malam.“Esther mengirimiku pesan. Luciano tiba-tiba membatalkan pertemuan untuk besok karena baby Zha masuk rumah sakit. Butuh beberapa jam untuk sampai, jadi aku datang.”“Kau tak perlu datang.”“Aku sudah datang, jadi jangan menyuruhku pulang.” Ibra kembali menatap baby Zha. “Apa kata dokter?”“Hanya demam. Tapi masih menunggu hasil tes untuk kepastiannya. Mungkin besok pagi. Kuharap semuanya baik-baik saja.”“Ya, mungkin hanya kelelahan karena seharian main bersama mama dan papaku.”“Ya, kuharap. Terima kasih sudah datang.”Ibra menarik kursi mendekat ke ranjang pasien. “Sepertinya kau belum tidur sama sekali.”“Tadi sempat tertidur, tetapi terbangun karena rengekannya dan langsung ke rumah sakit.”“Tidu
Melihat kedua orang tua Ibra, rasanya seperti meluapkan kerinduannya terhadap kedua orang tuanya. Anne memeluk dalam-dalam mama Ibra, berharap pelukan itu adalah pelukan mamanya sendiri. Begitu pun dengan papa Ibra yang mengusap ujung kepalanya dengan penuh kasih.“Sudah lama tak melihatmu, Anne. Dan putramu sudah semakin besar sejak terakhir kali om lihat.”Anne tertawa. Melihat papa Ibra yang menggendong baby Zha, dalam benaknya seolah adalah papanya sendiri yang menggendong putranya. Keinginan dan harapan terbesar papanya yang belum sempat ia tunjukkan pada sang papa.Ibra menyodorkan sapu tangannya ke arah Anne.“Terima kasih.” Anne mengusap ujung matanya yang basah. Kembali menatap kedua orang tua Ibra yang kini tertawa gemas dengan celotehan baby Zha.Ibra merangkul Anne, menjatuhkan kepala wanita itu ke pundaknya. Sedikit meredakan kerinduan Anne pada kedua orang tua wanita itu di tengah keluarganya. “Kau tahu kau tak pernah sendirian di dunia ini, Anne. Kami keluargamu.”Anne
Anne sengaja memejamkan matanya begitu mendengar suara langkah kaki dari arah belakang punggungnya. Berusaha memancing rasa kantuk yang sejak tadi sulit datang meski jam sudah melewati tengah malam karena Luciano belum pulang. Tak biasanya pria itu pulang larut dan tanpa kabar seperti ini.Marah, sedih, dan kecewa. Pada dirinya sendiri dan pada pria itu. Ialah yang memulai perang dingin ini lebih dulu. Tetapi kenapa balasan dari Luciano juga terasa begitu menusuk dadanya. Mengiris hatinya dengan cara yang paling buruk. Apakah keraguannya layak dibalas dengan pengkhianatan pria itu?Suara pintu kamar mandi yang ditutup membuat mata Anne kembali terbuka. Menatap pintu tersebut dengan genangan yang mulai membentuk di kedua mata.Selama seminggu lebih, Anne dan Luciano masih tak saling bicara. Anne selalu bangun kesiangan dan Luciano sudah berangkat ke kantor, malamnya Anne selalu tidur lebih dulu karena Luciano pulang larut malam. Keduanya nyaris tak saling berkomunikasi. Satu-satunya ya
“Mungkin ini terlambat dan sedikit sengaja. Tapi … bagaimana pun selamat untuk kalian berdua.” Luciano memecah keheningan yang cukup lama membentang di tengah meja. Terutama dengan sang istri yang lebih banyak menatap isi piring yang sejak tadi hanya berkurang dua potong.“Ya, kuharap kalian bisa datang di acara pernikahan kami.”“Ya. Kami akan datang. Benar, kan sayang?” Luciano menoleh pada Anne, yang duduk di sampingnya.Anne mengangkat wajah lalu mengangguk singkat. Pelayan datang untuk membawakan pesanan Ibra dan Esther. Pesanan yang sama. Pandangan wanita itu tak lepas dari Ibra yang memotong kecil-kecil daging panggang di depannya sebelum menukarkan dengan piring milik Esther.“Terima kasih, Ibra,” senyum Esther dengan tatapan yang mesra, yang ditanggapi Ibra dengan senyum yang tak kalah lebarnya.Anne mencoba mengalihkan pandangan, sibuk pada isi piringnya sendiri yang entah kenapa rasanya menjadi hambar. Mulutnya terasa pahit. Ya, ia akui ada kecemburuan yang tersemat di cela