Anne menggeliatkan tubuhnya, mencoba bangun terduduk. Tetapi hanya dalam satu gerakan yang ringan, tubuhnya kembali terbanting di tempat tidur dan tubuh Luciano berguling menindihnya. Memaku kedua tangannya di atas kepala. Air mata Anne merembes jatuh ke bantal, tetapi ia berusaha menahan isak tangisnya."Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak main-main di belakangku, Anne," desis Luciano di atas wajah Anne."Aku benar-benar membencimu, Luciano.""Maka bencilah aku sesukamu, Anne. Selama kau tahu batasanmu, aku tak akan mempermasalahkan apa pun itu yang ada di kepala dan hatimu."Air mata Anne mengalir, kali ini isakannya terlepas. "Kenapa kau lakukan semua ini pada hidupku, Luciano? Kenapa kau datang dan menghancurkan hidupku? Kenapa kau begitu egois? Aku benar-benar membencimu."Luciano hanya menyeringai. "Aku tak perlu alasan untuk menginginkanmu. Dan ya, aku memang egois. Aku tak akan menolak tuduhanmu. Apakah itu cukup bagimu untuk memahami pernikahan ini?"Anne menggelengkan ke
"Siapa dia?" tanya Anne lagi begitu Luciano sudah ada di depan mereka. Faraz terlihat membungkam, angkat tangan dari situasi ini."Naiklah ke atas, Anne," jawab Luciano dengan perintah yang lain.Anne memasang raut dingin. "Kau tidak menjawab pertanyaanku.""Memang tidak dan itu bukan urusanmu," tandas Luciano dengan tegas. Mengambil tangan Anne dan setengah menyeret wanita itu kembali ke arah lift. Yang membuat Anne jengkel bukan main."Apa hanya aku satu-satunya orang di rumah ini yang paling tidak tahu apa-apa?" ucap Anne setelah keduanya masuk ke dalam lift."Itu hanya bukan urusanmu. Dan kau memang tak perlu tahu apa-apa." Luciano menatap lurus kedua mata Anne, dengan seringai yang tersungging rapi di salah satu ujung bibir. "Rasa ingin tahumu berbanding terbalik dengan penolakan dan kebencianmu terhadapku, Anne."Wajah Anne memias, matanya berkedip dengan gugup dan memalingkan wajah dengan cepat. Pintu lift bergerak membuka dan Anne bergegas keluar lebih dulu. Bisa merasakan tat
Luciano turun tepat ketika jam di tangannya menunjukkan jam satu siang. Dari balik pintu kaca utama, ia bisa melihat bayangan tubuh Anne yang baru saja muncul di lobi. Senyum tersamar di ujung bibir Luciano, ketika perhatiannya teralih oleh mobil yang berhenti di samping mobilnya. Melihat pintu mobil yang terbuka dan permukaan wajahnya membeku melihat wanita yang melangkah turun dari dalam mobil.Untuk sejenak, Luciano benar-benar membeku, hingga pandangan mereka bertemu dan Esther memberikan senyum manisnya mengenali Luciano."Tuan Enzio, Anda di sini?" sapa Esther ketika berhenti tepat di samping Luciano.Luciano mengerjap sekali, mengambil kendali dirinya yang sempat terlepas dan terhanyut emosi untuk sepersekian detik. Luciano memasang seulas senyum dan mengangguk."Anda ingin masuk?" Senyum Esther terlihat begitu ringan sambil menunjuk ke pintu utama spa."Menjemput Anne," jawab Luciano masih dengan seulas senyum."Anda benar-benar tipe suami yang romantis," puji Esther dengan ta
Setelah merampas ponsel Anne, Luciano meninggalkan Anne setelah mengatakan wanita itu akan dikurung di dalam ruangan ini selama satu minggu. Rasanya hukuman fisik tak cukup menyiksa wanita itu.Untuk sesaat, Luciano berniat meniduri Anne dengan cara yang kasar seperti sebelumnya sebagai hukuman akan keberanian wanita itu menentangnya. Namun, rupanya Anne sendiri sudah terbiasa dan bahkan lebih dari siap menerima hukuman tersebut. Yang membuta Luciano menahan diri.Luciano benar-benar kehabisan akal demi membuat wanita itu memahami posisinya. Dan kali ini, cara ini yang ia gunakan untuk membuat wanita itu patuh. Dikurung di dalam ruangan, Luciano akan melihat berapa lama wanita itu akan tahan.Saat ia turun ke lantai satu, Reene langsung menghadangnya di depan tangga. Dengan senyum semringah yang membungkus kelicikan wanita itu.Ya, malam itu ia tahu Anne dan Reene merencanakan sesuatu untuk memperdayainya. Ia sendiri hanya mengetes Anne dan ingin mengejutkan wanita itu. Tetapi ia tak
"Dia tak mungkin mengingatnya. Kedua orang tuanya sudah melakukan segala cara untuk menghapus ingatan itu. Kaupikir dia masih akan senormal itu jika mengingat semuanya.""Jadi karena itu kau begitu terobsesi dan menikahinya?"Luciano tak yakin dengan jawabannya. "Aku melakukan sesuatu yang benar.""Jika dia tahu kau memiliki Anne, apa dia juga tahu tentang pernikahanmu?""Dia pasti sudah kembali sejak lama dan mengawasi kehidupan kami.""Aku masih belum menemukan apa pun. Semua jejaknya bersih sejak keluar dari rumah sakit jiwa. Rapi dan tak ada apa pun. Hilang begitu saja. Seolah ... seolah ..." Kening Faraz mendadak berkerut dalam ketika memikirkan satu-satu kemungkinan yang mungkin sajq terjadi. "Seolah dia merubah identitasnya. Atau ... atau bahkan melakukan operasi plastik. Apakah menurutmu kemungkinan itu bisa terjadi?"Luciano mengurut hidungnya dan mempertimbangkan kemungkinan tersebut. Di tengah keheningan tersebut, suara ketukan pintu menyela. Faraz menyuruh masuk dan kepala
Di antara keheningan yang sempat menyelimuti keduanya, Luciano akhirnya terbahak. "Bukankah ini kisah dramatis yang manis?"Anne mendengus dalam hati, sudah memperkirakan kalau itu hanyalah sebuah karangan. Tanpa diberitahu pun Anne yakin kalau luka tembak itu didapatkan Luciano dari musuh pria itu. Orang kejam dan jahat seperti Luciano jelas memiliki banyak musuh.Satu-satunya yang Anne sesalkan, kenapa pria itu tidak mati saja saat mendapatkan luka tembak itu."Rupanya kau lebih berharap aku mati ketimbang kisah manis ini menjadi kenyataan ya?" decak Luciano.Dalam hati Anne sama sekali tak menyangkal. Kepalanya kembali tertunduk dan menggosok bagian perut Luciano yang ia yakin sudah bersih. Dan pilihan teraman adalah kembali bergerak ke atas. Akan tetapi, Luciano tiba-tiba menahan tangannya, dan dalam satu gerakan yang singkat. Pria itu berhasil memutar tubuh Anne, lalu ujung jemarinya memegang tali di pundak."Apa yang kau lakukan, Luciano?" Anne memeluk dadanya, menahan pakaianny
Anne tentu saja bisa menangkap kecemburuan Reene, tetapi ia tak perlu untuk peduli. Sejak wanita itu mengkhianatinya, tentu saja ia tak akan mengulang kebodohannya untuk kedua kalinya. Anne pun melanjutkan langkahnya ke ruang ganti. Reene adalah urusan LucianoLuciano melangkah mendekat setelah melihat sebuah berkas yang ada di tangan Reene. Mengambilnya dan membuat wanita itu tersentak dari lamunan kekecewaan. "Ck. Jika tak bisa bertanggung jawab untuk perasaanmu sendiri, setidaknya hentikan dirimu sendiri dari harapanmu yang terlalu jelas, Reene. Kenapa kau begitu keras kepala?""Satu-satunya cara untuk berhenti adalah dengan menjadi istrimu, Luciano. Kau tahu itu?"Luciano mendesah dengan kesal. "Kalau begitu jangan berhenti. Toh aku tak bertanggung jawab untuk yang satu ini, kan?" balasnya kemudian berjalan ke set sofa dan mulai membuka berkas di pangkuannya.Wajah Reene tak bisa lebih merah lagi. Berjalan menyusul Luciano dan duduk di sofa panjang. "Tidak bisakah kau memaafkan ke
"Kau benar-benar keterlaluan, Luciano," sembur Anne begitu mendapati pria itu yang berdiri di pintu masuk rumah sakit. Seolah pria itu tahu dirinya akan datang dan menunggu di sana. Dengan senyum di wajah yang terlihat datar."Aku sudah menawarkan diri untuk mengantarmu, kan?" Balasan Luciano tanpa sesal dan rasa bersalah sedikit pun ketika Anne sudah berada di depan pria itu."Kau tidak mengatakan kalau papaku dirawat di rumah sakit," sembur Anne, sambil mendaratkan pukulan di dada Luciano. Hanya satu pukulan, usaha keduanya ditangkap oleh pria itu di pergelangan tangan."Maka belajarlah untuk menghormati diriku sebagai suamimu, Anne. Agar aku bisa melakukan tugasku dengan baik sebagai seorang suami."Anne terdiam, menatap keseriusan di wajah Luciano yang tak main-main. "Aku benar-benar membencimu, Luciano.""Bencilah aku sampai kau lelah. Kau tahu itu tak akan merubah apa pun di antara kita. Kau akan tetap menjadi milikku. Tidak akan berubah sedikit pun." Ketegasan dalam suara Lucia
"Jadi memang ya?" Anne mendorong dada Luciano menjauh. Kedongkolan tampak jelas memekati rautnya yang muram. Menyentakkan tangan Luciano yang masih melingkari pinggangnya."Aku tidak mengatakan tidak. Itu terdengar seperti sebuah kebohongan, Anne. Kau tak akan menyukainya.""Tidak. Kau salah besar, Luciano.""Lalu apa yang kau inginkan?" Suaranya mulai diselimuti kefrustrasian. "Aku lebih baik mendengar kebohongan. Aku akan mempercayaimu. Selama kau yang mengatakannya."Luciano membelalak. Mulutnya membuka nutup tak percaya. Belum pernah ia setercengang ini menghadapi kelabilan Anne. "Jadi kau lebih suka kebohonganku?""Sekarang, tidak keduanya. Kau memang tak pernah memahami wanita, Luciano. Tak pernah memahamiku sebagai seorang istri. Sebagai pasangan. Sebagai satu-satunya wanitamu. Kau yakin kau menganggapku sebagai istrimu? Bukan hanya sebagai wanita pemuas nafsumu seperti mereka?""Kau tahu itu tidak benar, Anne. Jangan mengada-ada sesuatu yang tak pernah benar."Anne mengibaska
Suasana pesta sudah ramai dan ballroom sudah dipenuhi kemeriahan serta canda tawa. Suara musik yang mengalun lembut sebagai latar belakang kemewahan pesta tersebut menyambut Anne dan Luciano yang bergandengan mesra memasuki ruangan yang luas dengan hiasan bunga dan kerlap-kerlip lampu di mana-mana.“Apakah Faraz dan Estelle akan datang?”“Mereka sudah putus, Anne. Kenapa mereka datang bersama?”“Siapa bilang mereka sudah putus. Tadi pagi aku menelpon Estelle dan yang menjawab Faraz. Mereka jelas masih sering tidur bersama. Faraz benar-benar memanfaatkan Estelle. Kenapa meniduri wanita jika tidak berniat menikahinya.”“Hmm, itu urusan mereka.”Anne mendadak terdiam dengan reaksi penuh ketenangan Luciano. Kedua alis wanita itu saling bertaut ketika menoleh ke samping dengan. “Apakah gaya berkencan kalian memang seperti itu?”“Siapa kalian?”“Kau dan Faraz.”“Hanya Faraz, Anne. Kenapa kau membawa-bawa namaku?”“Meski sekarang aku satu-satunya wanita yang tidur denganmu, kau pikir aku per
“Laki-laki lagi?” Luciano mengangkat salah satu alisnya. Suara rengekan baby Zha mulai tenang dalam gendongan Anne.“Ya. Kau tak suka?”Luciano menggeleng. “Laki-laki atau perempuan, aku tak pernah mempermasalahkannya, Anne. dia anakku.”“Mamaku bilang, saat kau melahirkan anak perempuan. Itu artinya kau menciptakan musuh bebuyutanmu.”Mata Luciano membulat tak percaya, lalu terbahak dengan keras hingga gigi geraham pria itu terlihat.“Kenapa kau tertawa? Kau pikir itu lucu?”Luciano menggeleng. Mencoba menghentikan tawanya karena baby Zha yang mulai bergerak tak nyaman. “Apa maksudmu dengan menciptakan musuh bebuyutan?” tanyanya, berusaha menahan tawanya kembali terlepas.“Dia bahkan bisa menjadi lebih licik dari wanita-wanita yang mencoba memisahkan kita, Luciano.”“Dia putrimu.”“Itulah sebabnya aku ingin seorang putra. Aku tak mau memusuhi putriku sendiri.”“Apakah kau memusuhi ibumu?”Anne terdiam, tampak mengingat-ingat lalu mengangguk. “Setiap kali mama dan papa saling berdekat
Anne terbangun karena dorongan dari dalam perut yang membuatnya gegas turun dari ranjang. Memuntahkan semua makan malamnya yang bahkan tak seberapa. Semakin hari gejala kehamilan datang semakin intens. Bahkan pusing yang semakin sering datang jika ia kurang tidur atau terlalu banyak tidur.Setelah beberapa saat, akhirnya napasnya kembali normal dan tenaganya memulih. Ia bangkit berdiri, menyeka wajahnya di wastafel. Menatap wajah pucatnya yang rasanya sedikit gemuk.Rasanya selera makannya menurun akhir-akhir ini. Meski tak pernah melewatkan jadwal makannya dan memaksa makanan masuk ke mulutnya. Setidaknya untuk memenuhi gizinya dan janin dalam kandungannya. Yang sepertinya lebih banyak dibantu oleh susu ibu hamil dan vitamin.Tubuhnya berputar, hendak keluar ketika tersentak dengan keras dan nyaris berteriak saking kagetnya dengan sosok yang bersandar di pinggiran pintu.“L-luciano?” Suara Anne tercekat. Berusaha meredakan jantungnya yang berdegup kencang. Matanya berkedip beberapa k
Anne tak tahu ke mana Luciano membawa baby Zha pergi. Ia hanya menunggu di rumah selama berhari-hari. Berharap pria itu akan datang untuk pulang. Tetapi hingga satu minggu berlalu, Anne masih sendirian. Tak berhenti merasa sendirian dan kesepian meski beberapa kali Ibra menghubunginya dan menanyakan keadaannya.Anne berusaha menghubungi Farz untuk mencari tahu di mana pria itu dan putranya. Tapi lagi-lagi jawaban Faraz tak pernah memuaskannya.“Aku tahu kau tahu di mana mereka berada, Faraz. Siapa pun tak ada yang tahu, kecuali kau.”Faraz mendesah pelan. Menurunkan kedua tangannya di meja. “Kalau begitu kuralat jawabanku. Aku tak bisa memberitahumu.”“Setidaknya minta Luciano bicara denganku. Apakah dengan pergi akan menyelesaikan masalah?”“Lalu apakah dengan meminta cerai juga akan menyelesaikan permasalahanmu?”Anne menutup mulutnya. Jatuh terduduk di kursinya. “Aku tak bermaksud mengatakannya,” sesalnya dalam gerutuan yang lirih. Wajahnya tertunduk lunglai.Faraz menatap Anne se
“Ibra?” Anne terkejut dengan kemunculan Ibra yang berjalan memasuki ruangan.“Hai.” Ibra melangkah masuk, lekas mendekati ranjang dan menyentuhkan telapak tangannya di kening baby Zha. “Panasnya sudah turun.”“Kau di sini?” Anne menatap jam di dinding yang baru saja melewati tengah malam.“Esther mengirimiku pesan. Luciano tiba-tiba membatalkan pertemuan untuk besok karena baby Zha masuk rumah sakit. Butuh beberapa jam untuk sampai, jadi aku datang.”“Kau tak perlu datang.”“Aku sudah datang, jadi jangan menyuruhku pulang.” Ibra kembali menatap baby Zha. “Apa kata dokter?”“Hanya demam. Tapi masih menunggu hasil tes untuk kepastiannya. Mungkin besok pagi. Kuharap semuanya baik-baik saja.”“Ya, mungkin hanya kelelahan karena seharian main bersama mama dan papaku.”“Ya, kuharap. Terima kasih sudah datang.”Ibra menarik kursi mendekat ke ranjang pasien. “Sepertinya kau belum tidur sama sekali.”“Tadi sempat tertidur, tetapi terbangun karena rengekannya dan langsung ke rumah sakit.”“Tidu
Melihat kedua orang tua Ibra, rasanya seperti meluapkan kerinduannya terhadap kedua orang tuanya. Anne memeluk dalam-dalam mama Ibra, berharap pelukan itu adalah pelukan mamanya sendiri. Begitu pun dengan papa Ibra yang mengusap ujung kepalanya dengan penuh kasih.“Sudah lama tak melihatmu, Anne. Dan putramu sudah semakin besar sejak terakhir kali om lihat.”Anne tertawa. Melihat papa Ibra yang menggendong baby Zha, dalam benaknya seolah adalah papanya sendiri yang menggendong putranya. Keinginan dan harapan terbesar papanya yang belum sempat ia tunjukkan pada sang papa.Ibra menyodorkan sapu tangannya ke arah Anne.“Terima kasih.” Anne mengusap ujung matanya yang basah. Kembali menatap kedua orang tua Ibra yang kini tertawa gemas dengan celotehan baby Zha.Ibra merangkul Anne, menjatuhkan kepala wanita itu ke pundaknya. Sedikit meredakan kerinduan Anne pada kedua orang tua wanita itu di tengah keluarganya. “Kau tahu kau tak pernah sendirian di dunia ini, Anne. Kami keluargamu.”Anne
Anne sengaja memejamkan matanya begitu mendengar suara langkah kaki dari arah belakang punggungnya. Berusaha memancing rasa kantuk yang sejak tadi sulit datang meski jam sudah melewati tengah malam karena Luciano belum pulang. Tak biasanya pria itu pulang larut dan tanpa kabar seperti ini.Marah, sedih, dan kecewa. Pada dirinya sendiri dan pada pria itu. Ialah yang memulai perang dingin ini lebih dulu. Tetapi kenapa balasan dari Luciano juga terasa begitu menusuk dadanya. Mengiris hatinya dengan cara yang paling buruk. Apakah keraguannya layak dibalas dengan pengkhianatan pria itu?Suara pintu kamar mandi yang ditutup membuat mata Anne kembali terbuka. Menatap pintu tersebut dengan genangan yang mulai membentuk di kedua mata.Selama seminggu lebih, Anne dan Luciano masih tak saling bicara. Anne selalu bangun kesiangan dan Luciano sudah berangkat ke kantor, malamnya Anne selalu tidur lebih dulu karena Luciano pulang larut malam. Keduanya nyaris tak saling berkomunikasi. Satu-satunya ya
“Mungkin ini terlambat dan sedikit sengaja. Tapi … bagaimana pun selamat untuk kalian berdua.” Luciano memecah keheningan yang cukup lama membentang di tengah meja. Terutama dengan sang istri yang lebih banyak menatap isi piring yang sejak tadi hanya berkurang dua potong.“Ya, kuharap kalian bisa datang di acara pernikahan kami.”“Ya. Kami akan datang. Benar, kan sayang?” Luciano menoleh pada Anne, yang duduk di sampingnya.Anne mengangkat wajah lalu mengangguk singkat. Pelayan datang untuk membawakan pesanan Ibra dan Esther. Pesanan yang sama. Pandangan wanita itu tak lepas dari Ibra yang memotong kecil-kecil daging panggang di depannya sebelum menukarkan dengan piring milik Esther.“Terima kasih, Ibra,” senyum Esther dengan tatapan yang mesra, yang ditanggapi Ibra dengan senyum yang tak kalah lebarnya.Anne mencoba mengalihkan pandangan, sibuk pada isi piringnya sendiri yang entah kenapa rasanya menjadi hambar. Mulutnya terasa pahit. Ya, ia akui ada kecemburuan yang tersemat di cela