“Apa yang akan kau lakukan padanya, Luciano?” Anne mengulang pertanyaan dengan cicitan yang semakin jelas. Semakin gelap seringai Luciano, hanya membuat tubuh Anne semakin bergetar hebat. Tangan Luciano terangkat ke wajah Anne, menyentuhkan punggung tangannya di sepanjang garis rahang wanita itu dengan senyum yang semakin mengembang dengan gelap. Menyentuh di sepanjang garis yang perna Anne buat dengan pecahan kaca. Bekasnya masih ada, tersamar di kulit wanita itu. Dan akan kembali seperti semula berkat perawatan khusus dokternya. “Kau begitu cantik, Anne.” Itu sama sekali bukan pujian. Semakin Luciano memuji, itu akan berakhir menjadi sebuah derita. “Aku tak akan menyalahkan siapa pun yang tertarik dan menginginkanmu. Kau begitu mudah diinginkan. Hanya saja … mereka perlu diberitahu bahwa apa yang mereka inginkan. Sudah menjadi milikku.” Punggung tangan Luciano turun ke bawah. Bergeser ke belakang dan dalam sekali sentakan, pria itu membawa leher Anne ke wajanya. “Ini akan mengin
Anne merasa sedikit lega sempat menelan satu pil saat di rumah Ibra kemarin. Memperkirakan hal semacam ini akan terjadi. Rasanya gairah Luciano tak habis-habis terhadapnya. Di kamar mandi, di tempat tidur. Seolah Luciano giat menidurinya hanya demi membuatnya hamil. Seperti sumpah pria itu. Sepanjang malam pria itu sama sekali tak membiarkannya bernapas. Menuntaskan rasa haus pria itu dalam satu malam setelah berminggu-minggu menahan gairah. Anne dibuat terheran. Setiap malam yang ia habiskan bersama Luciano, rasanya pria itu selalu bergairah untuknya. Membuatnya berpikir bahwa pria itu tidak mencoba mencari wanita lain sebagai pemuas nafsu. Anne harus membuat Luciano berpaling darinya dan meniduri Reene. Perhatian pria itu harus teralih darinya. Anne menyingkirkan lengan Luciano yang melilit perut telanjangnya di balik selimut dari belakang. Berusaha sepelan mungkin tanpa membangunkan pria itu. Ia berhasil menyingkap selimut dan menurunkan kedua kakinya. Membungkuk dan memungut p
“Apa ini?” Anne menatap dua gaun malam yang baru saja diletakkan oleh pelayan di tempat tidur. Berwarna hitam dengan beberapa detail berwarna emas, dan satunya lagi berwarna peach dengan hiasan Kristal yang menyebar di bagian bawah. Tanpa lengan dengan belahan depan sampai di bawah dada dan kulit punggung yang terekspos bebas.“Kau pakai yang ini.” Baru saja Anne mengamati betapa kekurangan bahannya gaun peach tersebut, Luciano sudah memungut gaun itu dan memberikannya pada Anne.“Untuk?” Anne tahu apa gunanya gaun ini, tapi tetap saja ia bertanya. Dan tentu saja ia akan kembali pajangan di samping Luciano. Di salah satu acara pesta yang membosankan. Ia akan diseret kesana kemari dan dipamerkan seperti boneka.“Aku ingin kau menemaniku ke salah satu acara seni.”Anne memasang ekspesi lesunya. “Aku sedang tidak enak badan, Luciano. Kau bisa pergi bersama Reene untuk menemanimu. Dia …”“Aku tidak meminta pendapatmu, Anne. Aku menginginkanmu. Tidakkah satu kalimat itu sudah cukup membuat
“Kau sudah menikah?” tanya Esther melihat cincin yang tesemat di jari manis Anne.Anne menarik tangannya dan memberikan seulas senyum sangat tipis. Tak pernah nyaman membicarakan pernikahannya, yang tak ada hubungannya ini pembicaraan dengan orang asing atau bukan. Sejak awal datang ke pesta, semua orang tak berhenti menanyakan pernikahannya dan Luciano, tak lupa juga dengan apakah sudah ada kabar bahagia. Luciano berjanji kabar itu tidak akan lama mereka dengar, dan Anne menyeringai dalam hati.“Sebenarnya, kedua orang tuaku membawaku ke sini karena sebuah perjodohan.”Anne mengangguk, memahami kegundahan yang menyelimuti wajah Esther. Mengingatkannya akan apa yang terjadi padanya beberapa bulan lalu. “Ya, seseorang seperti kita tidak punya banyak pilihan untuk memutuskan pasangan.”“Apa kalian saling jatuh cinta sebelum pernikahan atau sebuah perjodohan sepertiku?”“Perjodohan.” Anne berpaling, membuang tisu kotornya ke tempat sampah.Esther mengangguk-angguk paham.Anne melirik ja
“Kami kebetulan bertemu dan saling menyapa. Pestanya sangat membosankan. Jadi kami butuh menghirup udara segara.” Eshan mengambil alih jawaban.Luciano menoleh ke arah Eshan. Tatapan keduanya saling bertemu dalam ketegangan yang begitu kental, tetapi tak lebih dari itu. “Begitukah?” Salah satu alis Luciano terangkat, kesangsian terlihat jelas di kedua matanya meski senyum terlalu lebar melengkung di kedua ujung bibirnya. “Well, terima kasih sudah sedikit menghibur istriku, Eshan. Kalau begitu, aku bisa mengambil alihnya sekarang. Kami punya banyak cara untuk saling menghibur satu sama lain.” Luciano tak melepaskan pandangannya dari kedua mata Eshan, sembari melepaskan jas pria itu yang digunakan oleh Anne. “Juga saling menghangatkan,” tambahnya mengembalikan jas tersebut pada pemiliknya.Raut Eshan membeku. Tidak bodoh untuk memahami isyarat Luciano untuk tak melangkah lebih jauh dan menahan perhatian apa pun untuk Anne. Eshan jelas tak peduli. Tatapannya bergerak ke wajah Anne yang l
Hati Anne serasa ditusuk, di tempat yang tepat ketika mama Eshan memperkenalkan Esther sebagai calon tunangan Eshan. Bahkan hari pertunangan keduanya sudah ditentukan. Dan secara eksklusif, ia dan Luciano mendapatkan undangan pertama tersebut. Dua minggu yang akan datang.Napas Anne tertahan membaca undangan berwarna putih dengan tinta emas tersebut. Nama Eshan dan Esther sebagai pasangan.Sepanjang obrolan, Anne sama sekali tak banyak membuka mulut. Tangan Luciano tak bergerak dari pinggangnya, sesekali mendaratkan kecupan di pelipis hanya demi menunjukkan kemesraan pernikahan mereka sebagai pengantin baru. Pembicaraan dimulai dengan pertunangan dan perlahan merembet ke bisnis. Sampai akhirnya Anne benar-benar bisa bernapas, ketika Luciano berpamit. Membawanya pergi dari dua keluarga yang hendak menjadi satu keluarga tersebut.Rasa sesak memenuhi dadanya dan hatinya sangat hancur. Baru beberapa saat yang lalu Eshan menggenggam tangannya dan ia mulai berpikir tentang harapan untuk mer
Anne mendorong dada Eshan menjauh, meski keinginannya tak sungguh-sungguh karena setelah ciuman itu selesai. Anne sama sekali tak berusaha membuat jarak di antara semakin menjauh. Wajah keduanya masih cukup dekat, mata menatap mata dan Anne tahu perasaan pria itu masih miliknya."Apakah itu cukup menjelaskan tentang rencana pertunanganku dengan Esther?"Anne mengangguk samar. Sisi wajahnya masih dirangkum kehangatan telapak tangan Eshan dan kelegaan mengaliri tenggorokannya.Eshan menurunkan tangannya, menggenggam tangan Anne dan membawa wanita itu turun ke lantai basement. Keduanya naik mobil Eshan, keluar dari area gedung. Pria itu menggenggam tangan Anne, dengan tangan lainnya yang sibuk dengan setir."Sebelumnya mama mengatakan tentang wanita itu dan memintaku menemuinya. Dua kali pertemuan dan kupikir aku dengan jelas sudah mengatakan tentang penolakan tersebut. Tetapi rupanya Esther mengatakan yang sebaliknya dan rencana itu masih berlangsung."Anne hanya terdiam, mendengarkan k
Anne menggeliatkan tubuhnya, mencoba bangun terduduk. Tetapi hanya dalam satu gerakan yang ringan, tubuhnya kembali terbanting di tempat tidur dan tubuh Luciano berguling menindihnya. Memaku kedua tangannya di atas kepala. Air mata Anne merembes jatuh ke bantal, tetapi ia berusaha menahan isak tangisnya."Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak main-main di belakangku, Anne," desis Luciano di atas wajah Anne."Aku benar-benar membencimu, Luciano.""Maka bencilah aku sesukamu, Anne. Selama kau tahu batasanmu, aku tak akan mempermasalahkan apa pun itu yang ada di kepala dan hatimu."Air mata Anne mengalir, kali ini isakannya terlepas. "Kenapa kau lakukan semua ini pada hidupku, Luciano? Kenapa kau datang dan menghancurkan hidupku? Kenapa kau begitu egois? Aku benar-benar membencimu."Luciano hanya menyeringai. "Aku tak perlu alasan untuk menginginkanmu. Dan ya, aku memang egois. Aku tak akan menolak tuduhanmu. Apakah itu cukup bagimu untuk memahami pernikahan ini?"Anne menggelengkan ke
"Jadi memang ya?" Anne mendorong dada Luciano menjauh. Kedongkolan tampak jelas memekati rautnya yang muram. Menyentakkan tangan Luciano yang masih melingkari pinggangnya."Aku tidak mengatakan tidak. Itu terdengar seperti sebuah kebohongan, Anne. Kau tak akan menyukainya.""Tidak. Kau salah besar, Luciano.""Lalu apa yang kau inginkan?" Suaranya mulai diselimuti kefrustrasian. "Aku lebih baik mendengar kebohongan. Aku akan mempercayaimu. Selama kau yang mengatakannya."Luciano membelalak. Mulutnya membuka nutup tak percaya. Belum pernah ia setercengang ini menghadapi kelabilan Anne. "Jadi kau lebih suka kebohonganku?""Sekarang, tidak keduanya. Kau memang tak pernah memahami wanita, Luciano. Tak pernah memahamiku sebagai seorang istri. Sebagai pasangan. Sebagai satu-satunya wanitamu. Kau yakin kau menganggapku sebagai istrimu? Bukan hanya sebagai wanita pemuas nafsumu seperti mereka?""Kau tahu itu tidak benar, Anne. Jangan mengada-ada sesuatu yang tak pernah benar."Anne mengibaska
Suasana pesta sudah ramai dan ballroom sudah dipenuhi kemeriahan serta canda tawa. Suara musik yang mengalun lembut sebagai latar belakang kemewahan pesta tersebut menyambut Anne dan Luciano yang bergandengan mesra memasuki ruangan yang luas dengan hiasan bunga dan kerlap-kerlip lampu di mana-mana.“Apakah Faraz dan Estelle akan datang?”“Mereka sudah putus, Anne. Kenapa mereka datang bersama?”“Siapa bilang mereka sudah putus. Tadi pagi aku menelpon Estelle dan yang menjawab Faraz. Mereka jelas masih sering tidur bersama. Faraz benar-benar memanfaatkan Estelle. Kenapa meniduri wanita jika tidak berniat menikahinya.”“Hmm, itu urusan mereka.”Anne mendadak terdiam dengan reaksi penuh ketenangan Luciano. Kedua alis wanita itu saling bertaut ketika menoleh ke samping dengan. “Apakah gaya berkencan kalian memang seperti itu?”“Siapa kalian?”“Kau dan Faraz.”“Hanya Faraz, Anne. Kenapa kau membawa-bawa namaku?”“Meski sekarang aku satu-satunya wanita yang tidur denganmu, kau pikir aku per
“Laki-laki lagi?” Luciano mengangkat salah satu alisnya. Suara rengekan baby Zha mulai tenang dalam gendongan Anne.“Ya. Kau tak suka?”Luciano menggeleng. “Laki-laki atau perempuan, aku tak pernah mempermasalahkannya, Anne. dia anakku.”“Mamaku bilang, saat kau melahirkan anak perempuan. Itu artinya kau menciptakan musuh bebuyutanmu.”Mata Luciano membulat tak percaya, lalu terbahak dengan keras hingga gigi geraham pria itu terlihat.“Kenapa kau tertawa? Kau pikir itu lucu?”Luciano menggeleng. Mencoba menghentikan tawanya karena baby Zha yang mulai bergerak tak nyaman. “Apa maksudmu dengan menciptakan musuh bebuyutan?” tanyanya, berusaha menahan tawanya kembali terlepas.“Dia bahkan bisa menjadi lebih licik dari wanita-wanita yang mencoba memisahkan kita, Luciano.”“Dia putrimu.”“Itulah sebabnya aku ingin seorang putra. Aku tak mau memusuhi putriku sendiri.”“Apakah kau memusuhi ibumu?”Anne terdiam, tampak mengingat-ingat lalu mengangguk. “Setiap kali mama dan papa saling berdekat
Anne terbangun karena dorongan dari dalam perut yang membuatnya gegas turun dari ranjang. Memuntahkan semua makan malamnya yang bahkan tak seberapa. Semakin hari gejala kehamilan datang semakin intens. Bahkan pusing yang semakin sering datang jika ia kurang tidur atau terlalu banyak tidur.Setelah beberapa saat, akhirnya napasnya kembali normal dan tenaganya memulih. Ia bangkit berdiri, menyeka wajahnya di wastafel. Menatap wajah pucatnya yang rasanya sedikit gemuk.Rasanya selera makannya menurun akhir-akhir ini. Meski tak pernah melewatkan jadwal makannya dan memaksa makanan masuk ke mulutnya. Setidaknya untuk memenuhi gizinya dan janin dalam kandungannya. Yang sepertinya lebih banyak dibantu oleh susu ibu hamil dan vitamin.Tubuhnya berputar, hendak keluar ketika tersentak dengan keras dan nyaris berteriak saking kagetnya dengan sosok yang bersandar di pinggiran pintu.“L-luciano?” Suara Anne tercekat. Berusaha meredakan jantungnya yang berdegup kencang. Matanya berkedip beberapa k
Anne tak tahu ke mana Luciano membawa baby Zha pergi. Ia hanya menunggu di rumah selama berhari-hari. Berharap pria itu akan datang untuk pulang. Tetapi hingga satu minggu berlalu, Anne masih sendirian. Tak berhenti merasa sendirian dan kesepian meski beberapa kali Ibra menghubunginya dan menanyakan keadaannya.Anne berusaha menghubungi Farz untuk mencari tahu di mana pria itu dan putranya. Tapi lagi-lagi jawaban Faraz tak pernah memuaskannya.“Aku tahu kau tahu di mana mereka berada, Faraz. Siapa pun tak ada yang tahu, kecuali kau.”Faraz mendesah pelan. Menurunkan kedua tangannya di meja. “Kalau begitu kuralat jawabanku. Aku tak bisa memberitahumu.”“Setidaknya minta Luciano bicara denganku. Apakah dengan pergi akan menyelesaikan masalah?”“Lalu apakah dengan meminta cerai juga akan menyelesaikan permasalahanmu?”Anne menutup mulutnya. Jatuh terduduk di kursinya. “Aku tak bermaksud mengatakannya,” sesalnya dalam gerutuan yang lirih. Wajahnya tertunduk lunglai.Faraz menatap Anne se
“Ibra?” Anne terkejut dengan kemunculan Ibra yang berjalan memasuki ruangan.“Hai.” Ibra melangkah masuk, lekas mendekati ranjang dan menyentuhkan telapak tangannya di kening baby Zha. “Panasnya sudah turun.”“Kau di sini?” Anne menatap jam di dinding yang baru saja melewati tengah malam.“Esther mengirimiku pesan. Luciano tiba-tiba membatalkan pertemuan untuk besok karena baby Zha masuk rumah sakit. Butuh beberapa jam untuk sampai, jadi aku datang.”“Kau tak perlu datang.”“Aku sudah datang, jadi jangan menyuruhku pulang.” Ibra kembali menatap baby Zha. “Apa kata dokter?”“Hanya demam. Tapi masih menunggu hasil tes untuk kepastiannya. Mungkin besok pagi. Kuharap semuanya baik-baik saja.”“Ya, mungkin hanya kelelahan karena seharian main bersama mama dan papaku.”“Ya, kuharap. Terima kasih sudah datang.”Ibra menarik kursi mendekat ke ranjang pasien. “Sepertinya kau belum tidur sama sekali.”“Tadi sempat tertidur, tetapi terbangun karena rengekannya dan langsung ke rumah sakit.”“Tidu
Melihat kedua orang tua Ibra, rasanya seperti meluapkan kerinduannya terhadap kedua orang tuanya. Anne memeluk dalam-dalam mama Ibra, berharap pelukan itu adalah pelukan mamanya sendiri. Begitu pun dengan papa Ibra yang mengusap ujung kepalanya dengan penuh kasih.“Sudah lama tak melihatmu, Anne. Dan putramu sudah semakin besar sejak terakhir kali om lihat.”Anne tertawa. Melihat papa Ibra yang menggendong baby Zha, dalam benaknya seolah adalah papanya sendiri yang menggendong putranya. Keinginan dan harapan terbesar papanya yang belum sempat ia tunjukkan pada sang papa.Ibra menyodorkan sapu tangannya ke arah Anne.“Terima kasih.” Anne mengusap ujung matanya yang basah. Kembali menatap kedua orang tua Ibra yang kini tertawa gemas dengan celotehan baby Zha.Ibra merangkul Anne, menjatuhkan kepala wanita itu ke pundaknya. Sedikit meredakan kerinduan Anne pada kedua orang tua wanita itu di tengah keluarganya. “Kau tahu kau tak pernah sendirian di dunia ini, Anne. Kami keluargamu.”Anne
Anne sengaja memejamkan matanya begitu mendengar suara langkah kaki dari arah belakang punggungnya. Berusaha memancing rasa kantuk yang sejak tadi sulit datang meski jam sudah melewati tengah malam karena Luciano belum pulang. Tak biasanya pria itu pulang larut dan tanpa kabar seperti ini.Marah, sedih, dan kecewa. Pada dirinya sendiri dan pada pria itu. Ialah yang memulai perang dingin ini lebih dulu. Tetapi kenapa balasan dari Luciano juga terasa begitu menusuk dadanya. Mengiris hatinya dengan cara yang paling buruk. Apakah keraguannya layak dibalas dengan pengkhianatan pria itu?Suara pintu kamar mandi yang ditutup membuat mata Anne kembali terbuka. Menatap pintu tersebut dengan genangan yang mulai membentuk di kedua mata.Selama seminggu lebih, Anne dan Luciano masih tak saling bicara. Anne selalu bangun kesiangan dan Luciano sudah berangkat ke kantor, malamnya Anne selalu tidur lebih dulu karena Luciano pulang larut malam. Keduanya nyaris tak saling berkomunikasi. Satu-satunya ya
“Mungkin ini terlambat dan sedikit sengaja. Tapi … bagaimana pun selamat untuk kalian berdua.” Luciano memecah keheningan yang cukup lama membentang di tengah meja. Terutama dengan sang istri yang lebih banyak menatap isi piring yang sejak tadi hanya berkurang dua potong.“Ya, kuharap kalian bisa datang di acara pernikahan kami.”“Ya. Kami akan datang. Benar, kan sayang?” Luciano menoleh pada Anne, yang duduk di sampingnya.Anne mengangkat wajah lalu mengangguk singkat. Pelayan datang untuk membawakan pesanan Ibra dan Esther. Pesanan yang sama. Pandangan wanita itu tak lepas dari Ibra yang memotong kecil-kecil daging panggang di depannya sebelum menukarkan dengan piring milik Esther.“Terima kasih, Ibra,” senyum Esther dengan tatapan yang mesra, yang ditanggapi Ibra dengan senyum yang tak kalah lebarnya.Anne mencoba mengalihkan pandangan, sibuk pada isi piringnya sendiri yang entah kenapa rasanya menjadi hambar. Mulutnya terasa pahit. Ya, ia akui ada kecemburuan yang tersemat di cela