"BRUKK."
"Jalan pake mata dong, Om!" seru galak seorang pemuda yang mengenakan jaket kulit warna hitam yang bertubrukan dengan William di Bandara Soekarno-Hatta.
"Maaf, aku keburu-buru!" balas William lalu melanjutkan langkah cepatnya sembari menyeret koper miliknya menuju bagian pengecekan tiket akhir pesawat.
Petugas bandara dengan nametag Diana Sihotang itu tersenyum geli lalu berkata, "Selamat siang, Pak. Maaf, apa Anda penumpang American Airlines tujuan New York?"
"Iya, Mbak. Saya mau boarding sekarang!" jawab William tak sabar sambil melirik jam tangannya.
"Yaahh ... maaf, pesawatnya baru saja take-off dari landasan, Pak. Anda terlambat 15 menit dari panggilan terakhir sebelum pintu pesawat ditutup!" terang Diana turut prihatin.
Sekalipun dirinya gusar, tak ada yang dapat dilakukan lagi oleh William selain membalik badan untuk pulang saja. Dia harus menjadwal ulang keberangkatannya menuju New York. Sopir yang mengantarkannya ke bandara juga sudah meluncur meninggalkan tempat itu usai menurunkannya tadi. Maka William pun merogoh saku jasnya untuk mengambil dompet. Dia akan naik taksi bandara saja.
"Lho, di mana dompet gue sih?!" ujarnya panik sendiri merogoh saku jas dan juga celana kainnya di tengah lobi Bandara Soekarno-Hatta yang sibuk oleh arus penumpang. Dia pun teringat kejadian bertabrakan dengan seorang pemuda berjaket hitam tadi. "Ckk, sialan. Dasar copet, nggak tahu gue lagi sial begini malah ngambil dompet pula!" kesalnya.
Ketika William buru-buru membalik badannya yang tinggi kekar, dia tak sengaja menyenggol seorang gadis bertubuh mungil hingga nyaris terkapar di lantai bandara.
"Aaarrrhhh!" jerit gadis itu seraya memejamkan matanya.
"HA-HA-HA. Hey, kamu aman kok!" ujar William mendekap gadis mungil itu dengan sepasang lengan kekarnya. Dia senyum-senyum sendiri melihat wajah perempuan belia berambut panjang bergelombang di pelukannya.
Gadis itu pun mengomeli William, "Makasih, Om! Tapi, lain kali hati-hati deh, badan Om tuh kayak buldozer begini, bisa bikin orang benjol!" Dia lalu melanjutkan perjalanannya lagi menuju ke sebuah coffee shop untuk membeli minuman sebelum memesan taksi yang akan mengantarkannya pulang ke rumah kakek neneknya.
Emmy melangkah masuk ke Harlem Cafe lalu melihat-lihat papan menu dan harganya di atas konter pemesanan. Dia pun melakukan order, "Caramel Frappuccino satu ya, Mas. Sama muffin blueberry deh dua biji!"
"Oke, Kakak. Silakan ditunggu sebentar ya!" jawab mas-mas barista itu sambil menginput pesanan Emmy ke mesin kasir. Dia lalu menyebutkan jumlah tagihan untuk dibayar oleh Emmy.
Sementara menunggu pesanannya dibuat, Emmy duduk di kursi yang berbatasan dengan jendela cafe di dalam bandara tersebut. Pria blasteran berbadan besar seperti beruang kutub yang tadi menabraknya masih berdiri di tempat sama.
"Si om tadi tuh kenapa sih kok kayak orang linglung gitu nabrak-nabrak? Kasihan juga deh sebenernya—" Emmy bergumam pelan sembari menatap ke luar kaca jendela cafe.
Karena tergelitik oleh rasa simpati, akhirnya Emmy memberanikan dirinya untuk mendatangi pria yang tadi menabraknya. "Emm ... maaf, Om. Apa lagi nunggu orang? Mau kutraktir minum kopi di sana?" tunjuk Emmy ke arah Harlem Cafe.
"Ohh, boleh sih. Kebetulan dompetku habis dicopet di bandara jadi nggak bawa duit deh!" jawab William lalu dia menyeret kopernya mengikuti Emmy masuk ke Harlem Cafe.
"Om mau pesan apa? Bebas aja, aku yang traktir karena tadi sudah ditolongin, nggak mesti nyosor lantai," ucap Emmy dengan suara remaja yang imut-imut.
"Espresso saja," jawab William yang memang suka kopi hitam.
Emmy bertanya lagi, "Apa mau donat, croisant, atau pai?"
"Donat boleh juga!" sahut William tidak rewel. Dia tersenyum melihat gadis yang tak dia kenal sebelumnya mentraktirnya kopi serta donat.
'Gemesin banget deh dia, berapa ya umurnya? Kayak masih teenage gitu penampilannya!' batin William sambil diam-diam mengamati Emmy.
Ketika Emmy kembali ke meja, dia duduk berhadapan dengan William lalu mengulurkan tangan kanannya. "Kenalan dulu dong, Om. Aku Emmy, lengkapnya Emmy Estelia Setiawan!" ucapnya riang.
William menjabat tangan mungil yang ukurannya separuh telapak tangannya itu dan menyeringai geli seraya menjawab, "Will, singkatan dari William Samsons MacRay. Apa kamu baru pulang dolan? Kok sendirian di bandara, Emmy?"
Namun, Emmy malah cekikikan mendengar dugaan si om ganteng di seberangnya itu. "Apa aku masih keliatan ABG banget sih? Padahal aku sudah lulus kuliah lho, Om!" jawabnya tanpa merasa tersinggung.
Waiter cafe mengantarkan pesanan mereka berdua ke meja lalu berkata, "Silakan pesanannya, Mas, Mbak. Kalau mau nambah orderan bisa langsung ke meja display ya!" Dia pun berlalu dari meja tersebut.
"Ohh, keren dong sudah sarjana. Memang umur kamu berapa sih?" selidik William yang mulai penasaran dan tertarik mengenal Emmy lebih dekat.
"Aku dua dua tahun, Om. Kalau Om William usia berapa?" sahut Emmy seperti layaknya orang berkenalan dan sama-sama kepo pastinya.
William terbatuk-batuk karena ditanya umurnya yang memang pantas dipanggil dengan sebutan 'Om'. Dengan sigap Emmy menghampiri William lalu menepuk-nepuk punggung pria itu. "Kucariin air putih ya, Om! Bentar—" Dia lalu berlari kecil ke kasir untuk membelikan William sebotol air mineral untuk melegakan tenggorokan.
'Busettt, kita nih beda lima belas tahun. Hmm ... berasa old banget gue!' batin William sambil meminum air mineral kemasan yang dibelikan Emmy.
"Aku usia tiga tujuh, kenapa emang?" jawab William.
"Nggak kenapa-kenapa, kok gitu amat nanyanya sih, Om!" Emmy pun mencebik lalu memalingkan wajahnya ke kaca jendela cafe sambil mengunyah muffin blueberry favoritnya.
'Wow, kalau seumuran dia kayaknya wajar ya tukang ngambekan. Hmm!' batin William menilai temperamen Emmy yang nampaknya naik turun sesuai mood.
"Oya, selai blueberrynya cemong tuh!" William lalu membersihkan warna biru keunguan lengket itu dari tepi bibir Emmy. Dia menjilat jemarinya sambil menatap wajah gadis itu yang mendadak berwarna merah jambu.
"Thank you," ucap lirih Emmy. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya gelisah sembari meminum Caramel Frappuccino miliknya. Setelah melirik jam tangan di pergelangan tangan William, dia pun berkata, "Om, apa mau nebeng taksi bareng sama aku? Tadi 'kan katanya dompet Om ilang dicopet di bandara!"
Mendengar tawaran yang dia butuhkan, William pun menjawab antusias, "Boleh. Yuk kita pulang, Beb!"
"Beb?!"
"Iya, 'kan kamu masih muda banget dan imut-imut, cocoklah kalau aku panggil 'Baby'," jawab William sambil terkekeh khas om-om.
"Nggak mau, Om. Panggil Emmy aja. Nanti aku dikirain sugar baby-nya, Om Will pula!" protes gadis itu galak dengan alis tertaut kesal.
William menggaruk-garuk kepalanya, nampaknya gadis imut itu super moody. Dia mendadak seperti merasa punya keponakan baru dan harus ekstra sabar momong bocah. Sisi baiknya adalah Emmy sangat simpatik dan gemar menolong orang, William suka itu.
"Oke, yuk cabut, Om. Kita cari taksi buat pulang bareng!" ajak Emmy menyunggingkan senyum berlesung pipitnya seraya bangkit dari kursi cafe.
Mereka berdua pun berjalan bersebelahan sambil menyeret koper masing-masing menuju ke pintu keluar Bandara Soekarno-Hatta. William yang biasanya tinggal perintah ini itu harus rela mencarikan taksi untuk Emmy dan dirinya. Namun, anehnya dia senang melakukannya. Ada apa gerangan dengan William?
"Sudah lama aku nggak menginjakkan kaki di Jakarta, ternyata ada yang nggak berubah juga. Hmm!" ujar Emmy menatap lautan kendaraan bermotor bagaikan sekumpulan cendol di minuman favoritnya; es cendol.William tertawa mendengar perkataan sarkastik gadis mungil di sampingnya dalam taksi yang terjebak kemacetan lalu lintas kota metropolitan. "Welcome to Jekardah, Emmy!" tukasnya."Om William aslinya mana sih? Bule blasteran 'kan, Om?" tanya Emmy terkesan kepo."Aku kelahiran Birmingham, Inggris. Papaku asli sana, mama yang orang Indonesia. Sejak usia tiga tahun, aku dibawa menetap di Jakarta jadi fasih berbahasa Indonesia begini sekalipun juga setiap hari masih ngomong pake bahasa Inggris terkait pekerjaanku," tutur William santai seolah tak keberatan dengan keingin tahuan gadis belia itu tentang asal usulnya.Emmy pun ber-oh beberapa kali. Dia mencerna setiap patah kata William dengan baik karena terbiasa mengikuti kuliah yang sulit di Harvard University, Massachussets. Sementara itu ta
"Neng, udah sampai nih sesuai alamat yang tadi Neng kasih ke saya!" ujar sopir taksi online yang mengantarkan Emmy ke tempat kerja barunya.Namun, Emmy mendadak salah tingkah sendiri karena seingatnya kemarin siang dia pun sudah sampai ke tempat yang sama. Dengan tujuan berbeda pastinya, dia mengantar Om William pulang dari bandara. "Ehh ... ohh, ya udah deh, Pak. Makasih ya. Aku turun sekarang, kali Bapak mau kejar setoran mumpung masih pagi gitu!" celoteh Emmy lalu turun dari taksi online itu dengan membawa map plastik berisi portofolio dan CV miliknya.Akhirnya mobil Avanza hitam itu berlalu dari depan gerbang besi yang tinggi menjulang dan meninggalkan Emmy sendirian di situ. Dengan ragu-ragu gadis itu menekan tombol bel di samping pagar dan sesaat kemudian wajah satpam muncul di layar monitor di atas tombol bel."Selamat pagi, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" sapa satpam bernama Asep itu melalui layar kecil."Ehh ... pagi, Pak Satpam. Saya mau bertemu Bu Rita Sundari, apa beliau ad
"Emmy, coba kamu lihat gambar cetak biru kode FPA-20.02.11 bantu hitung RAB dengan catatan perinciannya ya. Sementara tugas kamu itu dulu, selanjutnya aku beri tahu lagi kalau sudah kelar yang ini!" perintah William di kursi kebesarannya.Dengan cekatan Emmy memulai pekerjaan di hari pertamanya sebagai asisten arsitek. Dia sudah paham seperti apa saja tipe tugas yang harus dia lakukan karena sempat menghabiskan waktu satu tahun magang di firma arsitek seniornya dari Harvard University.Dalam waktu kurang dari sejam gadis itu telah menyerahkan hasil pekerjaannya kepada William. "Ini hasil penghitungan RAB beserta rinciannya, Pak!" ujarnya.Tanpa berkomentar apa pun, William memeriksa hasil pekerjaan Emmy. Dia dapat menelitinya dengan mudah karena hapal caranya. Fakta mengejutkannya adalah hasilnya sesuai dengan yang seharusnya. "Mantep ... keren juga kamu ya! Okay, next job. Kamu bikin gambar ilustrasi dengan keterangan yang aku tulis di buku catatan ini sesuai kemampuan kamu saja. Ma
"Hey, Jalang! Untung ya Pak William lagi pergi ke New York berhari-hari, jadi loe bisa ditertibkan di sini!" Vera bersedekap sembari menyandarkan bokong besarnya di tepi meja kerja Emmy. Emmy merasa lidahnya kelu di tengah kebingungannya karena tiba-tiba para karyawati senior di kantor arsitek tempatnya bekerja mengerumuninya.Anneke pun tak ingin ketinggalan membully gadis yang dia benci sedari awal bergabung di tim mereka. Dia mendorong bahu Emmy seraya berkata, "Loe pake pelet apaan sampai Pak Willy kesengsem berat sama muka loe yang pas-pasan ini, hahh?""Biasa cewek kegatelan 'kan bisa digrepe-grepe tuh, Guys! Dasar gampangan!" sembur Virna juga sembari menoyor sisi kiri kepala Emmy.Kesabaran Emmy pun habis, dia merasa tak layak diperlakukan seperti perempuan hina dengan sedemikian banyak predikat yang disematkan oleh para seniornya seenak jidat mereka. Dia pun berkata dengan nada defensif, "Jangan seenaknya ngebully orang ya! Kalian juga sama-sama karyawati Pak William yang Te
"Lho, kamu diantar siapa itu tadi, Emmy?" tanya Nenek Dahlia yang menyambut kedatangan cucunya sepulang kerja. Dengan sopan Emmy mencium tangan neneknya lalu menjawab, "Itu sopir bosnya Emmy, Nek. Ban sepeda motorku digembosi sama senior di kantor. Mereka musuhan sama aku semenjak ditinggal pergi Kak William ke New York. Ternyata bullying tuh nggak cuma ada di sekolah, tapi di kantor juga ada, Nek!"Senyum prihatin terukir di wajah berkerut oleh usia lanjut itu, Nenek Dahlia menghela napas lalu membelai rambut panjang cucu kesayangannya. "Kamu yang sabar, jangan membenci mereka. Biar Tuhan yang balas apa yang ditabur oleh senior-senior kamu, kalau baik maka hasilnya baik dan sebaliknya!" nasihatnya dengan sabar.Emmy pun mengangguk patuh, dia tak pernah melawan perkataan kakek nenek yang membesarkannya sejak kecil. Gadis itu pun celingukan sambil berjalan bersisian dengan neneknya. "Di mana kakek sih? Biasanya ada di rumah, Nek.""Di kebun belakang, sedari pagi panen ubi masih belum
"Suster! Suster, tolong temen eike cedera!" seru Haikal ketika dua paramedis mendorong brankar berisi Emmy yang tak sadarkan diri masuk ke poli IGD."Bawa ke bilik dua yang kosong!" perintah Suster Dewi menunjuk ke tempat yang kosong di ruangan IGD itu.Segera saja Emmy diperiksa oleh dokter jaga poli IGD dengan cermat. Kemudian Haikal yang menemani Emmy ke rumah sakit pun dipanggil karena dokter ingin menjelaskan kondisi pasien."Jadi, Mas, pasien ini perlu cek MRI untuk tahu di mana saja cederanya karena masih hilang kesadaran akibat benturan keras. Saya menduga ada gegar otak ringan atau medium karena kecelakaan jatuh dari tangga itu! Bagaimana, boleh?" tutur Dokter Bima Susanto. "Boleh, Dok. Biar bisa diobatin sampai sembuh. Silakan saja!" sahut Haikal harap-harap cemas. Pasalnya, majikannya akan pulang hari ini juga dari New York. Celaka dua belaslah kalau sampai gadis imut kesayangan Mister William Samsons MacRay itu kenapa-kenapa.Brankar berisi Emmy segera didorong menuju ke
"TOK TOK TOK.""Ya, sebentar!" sahut suara wanita renta dari dalam rumah bertipe sederhana yang genting cokelatnya telah berlumut di sana sini itu.William yang berprofesi sebagai arsitek ternama pun menilai dalam hatinya tentang tempat tinggal gadis imut kesayangannya yang kini tergolek di ranjang rumah sakit. Halaman depan yang asri dengan pohon mangga Manalagi, alpukat, dan durian. Tanaman bunga hias juga menghiasi sepetak tanah berukuran kurang lebih 20 meter persegi itu. Semuanya tanpa sengaja membuat pria itu membersitkan senyuman mahal di bibirnya."Alami banget, sepertinya kakek nenek Emmy suka berkebun!" gumam William sebelum pintu di balik punggungnya terbuka."Ohh ... selamat malam. Anda mencari siapa ya?" sapa Nenek Dahlia kepada pria ganteng yang tinggi menjulang di hadapannya.Mobil sedan Mercy hitam yang tadi pagi dan kemarin sore mengantar jemput cucu kesayangannya terparkir di depan pagar. Wanita berusia lanjut itu menduga bahwa pria ini mungkin bos Emmy. William seg
Seperti saran Dokter Chandra Lukmana, memang Emmy menjalani bed rest selama lima hari penuh di rumah sakit. Kakek neneknya yang menjaga gadis itu. Namun, setiap pagi dan malam bosnya selalu menjenguk dia sambil membawakan makanan favorit Emmy yang dibuat oleh Chef Juno."Siomay udang dan springroll rebung, pesanan kamu, Emmy Sayang! Momo nitip salam buat kamu juga," ujar William menyodorkan kotak bekal berisi makanan ringan berjenis dimsum itu ke hadapan gadis kesayangannya.Wajah Emmy berseri-seri menerimanya lalu mulai mencicipi sebuah siomay udang. "Mmm ... yummy, Kak Willy. Thank you bingits ya, udah lama lho nggak makan ini. Di Amrik agak susah carinya, dan semenjak pulang ke Jakarta belum sempat jalan-jalan!" ujar gadis itu bersemangat lalu mengambil sebuah siomay udang lagi untuk disuapkan ke mulut William."Lezat memang, Chef Juno pinter bikinnya!" puji William untuk koki rumahnya.Emmy pun menyahut, "Sampein terima kasihku buat Chef Juno ya, Kak!" "Okay, besok pas sarapan ku
"Kids, apa kalian sudah siap?!" seru William dari dasar tangga rumahnya. Emmy bergelanyut manja di sisinya menunggu ketiga anak mereka menuruni tangga dari lantai dua diikuti baby sitter mereka yang membawakan koper pakaian masing-masing."Ayo berangkat sekarang, Daddy, Mommy!" seru ketiga bocah itu kompak sambil melonjak-lonjak bersemangat. Emmy merangkul Josephine, sedangkan kedua putranya digandeng oleh si daddy di kanan kiri pria bertubuh jangkung itu Mereka naik ke mobil MPV yang dikemudikan oleh Mang Ali menuju ke Bandara Soekarno-Hatta. Di kursi samping pengemudi, Haikal duduk tenang sambil bertanya kepada bosnya, "Pak Willy pergi ke California berapa lama rencananya?""Mungkin seminggu aja sih, kami cuma pengin jalan-jalan ke Disneyland buat ngisi liburan kenaikan kelas anak-anak. Jaga rumah baik-baik ya, Mo!" jawab William dari bangku tengah mobil bersebelahan dengan Emmy dan Josephine. Kedua anak laki-laki mereka duduk di bangku belakang bersama seorang baby sitter. Isaac
Rak pajang kayu Eboni dekoratif di ruang keluarga Willems telah dipenuhi berderet foto dari masa ke masa semenjak pasangan William dan Emmy menikah, beberapa foto prewedding yang menyimpan kenangan indah, foto bersama Isaac yang berusia beberapa hari hingga mulai bertumbuh menjadi bayi yang bisa merangkak, berjalan, hingga berlari-lari bersama mommy cantiknya di halaman belakang rumah yang tertata apik. Daddy Will nampak selalu tertawa riang di setiap moment yang berkesan itu.Disusul deretan kenangan indah adiknya Isaac yang bernama Jacob Samsons Willems dan si bungsu yang cantik Josephine Emily Willems. Keluarga kecil dengan tiga putra-putri mereka yang menggemaskan itu sangat kompak mengukir setiap bingkai memori yang terpajang di sana Jacob hadir di usia pernikahan orang tuanya yang ketiga dan Josephine agak cepat menyusul kakak keduanya ketika delapan bulan usia Jacob dan masih disusui oleh Emmy. Memang William sengaja melakukan kekhilafan itu agar usianya ketika memiliki anak p
"Kuliah kita siang ini cukup sekian dulu ya, Rekan-rekan Mahasiswa!" ucap Emmy menyudahi perkuliahan yang dia bawakan untuk kelas semester enam. Sedikit tak nyaman karena perutnya mengalami kontraksi hebat, tetapi dia berusaha menahan dan bersikap segalanya baik-baik saja hingga air hangat itu mengalir dari bagian paha dalamnya. "Ohh ... tidak, aku pecah ketuban di kampus!" cicit Emmy panik.Reynaldi yang lewat di depan meja dosen pun mendengar perkataan wanita yang pernah disukainya itu. Dia membatalkan niatnya ke kantin kampus untuk makan siang alih-alih memilih menolong Emmy. "Gimana, Bu Emmy? Apa butuh bantuan untuk dianterin ke rumah sakit?" tawarnya dengan perhatian.Dengan terpaksa Emmy mengangguk setuju. "Iya, sebaiknya begitu. Aku pecah ketuban, Rey. Tolong ya!" balasnya seraya bangkit dari kursi dosen."Valdo, Revan, bantuin sini dong! Lo pada bawain tasnya Bu Emmy deh. Gue papah dia ke depan, ntar jagain sampe gue dateng dari parkiran mobil!" pesan Reynaldi yang segera dim
"Okay, saya tunggu kedatangannya di kantor baru yang di Bandung, Pak Anton. Lokasinya saya kirim via shareloc. Terima kasih!" ujar William di telepon saat dia mengantar Emmy ke kampus.Aktivitas rutin paginya itu telah berjalan selama berbulan-bulan semenjak mereka pindah tinggal ke Bandung. Istrinya yang hamil semakin buncit saja perutnya. "Nanti sore kita jalan ke mall yuk buat beli keperluan baby Isaac, sudah dekat juga waktu melahirkan kamu. Biar semua kebutuhannya siap dan nggak ada yang terlewat, gimana?" ajak William sambil memeluk dan mengecup puncak kepala Emmy."Boleh, sepulang dari kampus aja kali ya biar nggak bolak-balik keluarin mobil, Kak?" usul Emmy yang disetujui oleh William.Mang Ali menghentikan mobil di pintu masuk lobi kampus tempat Emmy mengajar. Dia menunggu pasangan mesra itu saling berpamitan seperti biasanya. "Byebye, Kakak Sayang. Sampai nanti sore ya ... muuaaachh!" Emmy melambaikan tangan lalu meniupkan kissbye ke arah William yang melongokkan kepala di
Sore itu sepulang kerja, Emmy dibawa ke rumah baru yang dibeli William di Bandung. Kedua matanya ditutup dengan selembar kain hitam oleh sang suami. "Kita sudah sampai, Sayang. Yuk turun!" ajak William sembari menuntun istrinya melangkah keluar dari bangku penumpang mobil yang terparkir di depan teras rumah bergaya Bali tradisional itu.Emmy menurut saja dengan bimbingan tangan William lalu dia berhenti melangkah dan mulai dibuka kain penutup matanya. Dia mengedarkan pandangan yang sedikit berkunang-kunang akibat ditutup kain gelap ke sekeliling ruangan. "Wow ... keren banget deh, ini rumah kita, Kak?" desah kagum Emmy seraya melangkah berkeliling ruang tengah yang mulai terisi furniture dan tertata elegan."Kamu suka 'kan sama rumah ini, Baby?" tanya William dari samping Emmy."Iya. Siapa yang jadi penata artistik interior rumah ini, Hubby?" balas Emmy sambil senyum-senyum.William terkekeh, dia pun menyahut, "Kalau yang pilih furniture sih aku. Cuma yang ngatur posisinya si Momo. A
"Tiiinn tiiinn!" Suara klakson mobil sedan hitam itu membuat Emmy tersenyum lalu berlari-lari kecil menghampirinya. Dari dalam mobil, suaminya membukakan pintu dan Emmy pun duduk di samping William. Hari pertama dia mengajar kuliah kembali agak melelahkan karena ada tiga mata kuliah yang dibawakannya tadi. "Oya, Kak Willy mau ajakin aku ke mana nih? Bingung juga mau menginap di mana kita malam ini, apa mau di rumah kakek nenek saja dulu sementara belum ada tempat tinggal di Bandung?" tanya Emmy dengan pemikiran yang sederhana.William pun menjawab, "Malam ini kita tidur di rumah Kakek Hasan boleh juga. Besok ya baru pindahan!" "Hahh?! Pindah ke mana tuh, Kak?" Emmy terkejut sekaligus bingung. Bagaimana bisa suaminya mendapatkan rumah secepat itu?"Surprise pokoknya besok. Malam ini aku mau menginap di pondok indah mertua aja deh sekali-sekali!" ujar William mencandai istrinya."Nggakpapa kok, Kakek Hasan dan Nenek Dahlia pasti senang kalau cucu menantu mereka mau tidur di rumah kec
"Ohh ... jadi kamu berani mengancamku ya? Aku lupa kamu 'kan memang barbar karena berasal dari kelas sosial strata bawah!" Vanessa membalas teguran Emmy sambil masih mendekap erat William dari belakang erat-erat.Para tamu pesta berkerumun mengelilingi ketiga orang yang berseteru dengan rasa penasaran. Beberapa mengenali siapa Vanessa Tobias dan William Samsons MacRay yang sempat bertunangan. Namun, mereka baru melihat Emmy kali ini karena berbeda lingkup pergaulan. Wanita-wanita tua muda berbisik-bisik heboh menantikan pertengkaran bak drama sinetron atau opera sabun TV itu.William melepaskan kedua lengan Vanessa yang meliliti badannya seperti tali tambang. "Hey, miliki sedikit harga diri, Vanessa. Jangan jadi pelakor setelah pertunangan kita dulu kandas!" tegur pria itu bernada tajam. Dia tak ingin Emmy salah paham dan terluka perasaannya karena keagresifan Vanessa Tobias."Will, pertunangan kita kandas karena wanita penggoda itu!" tunjuk Vanessa memfitnah Emmy yang terkesiap mende
"Kakak Sayang, gaunnya mana yang paling cocok? Semua pilihan si Momo bagus kok, aku suka!" Emmy berdiri di hadapan rak gantung dress keluaran butik internasional dalam balutan handuk putih setengah basah sehabis mandi.William yang melihat istrinya nyaris polos itu sulit berkonsentrasi. Dia menelan air liurnya dengan tatapan mendamba. Sedangkan, Emmy yang tak mendapat sepatah kata jawaban dari suaminya segera menoleh. "Kok bengong sih, Hubby?" tegurnya mencebik karena merasa diabaikan. "Ehh ... a—aku nggak bengong kok!" kelit William, dia lalu kembali fokus memilihkan pakaian pesta untuk Emmy. Pilihannya jatuh kepada sebuah gaun maxi Givenchy warna hitam dari bahan beledru halus. "Ini coba kamu pakai, menurutku anggun sekaligus sexy berkelas!" ujar William mengambil sebuah gaun dari rak gantung.Emmy juga tadi memilih gaun yang sama, hanya saja karena warnanya hitam dia jadi ragu. "Okay, nanti bantuin pasang resleting punggungnya ya, Kak Willy!" ucapnya sebelum melangkah keluar dari
Pesawat Emirates Airlines yang ditumpangi Eilliam dan Emmy mengangkasa dengan mulus selama berjam-jam semenjak lepas landas dari Bandara Milan Malpensa, Italia. Akhir dari rangkaian perjalanan bulan madu mereka yang penuh romantisme dan kegairahan di Furore begitu mengesankan. Rasanya dua hari saja masih kurang bagi pasangan pengantin baru itu.Ketika di bandara tadi menunggu boarding, William membaca email dari ayahnya tentang pesta soft opening komplek industri sahabat Mr. Garreth MacRay yang desainnya dikerjakan William tahun lalu. Mereka diundang hadir ke acara tersebut sepulang dari Eropa."Emmy, kita harus hadir di sebuah pesta di Jakarta nanti malam. Kuharap kamu bisa mendampingiku!" pinta William seraya menatap wajah istrinya yang baru bangun tidur di kabin pesawat."Okay, aku akan menemani Kak Willy ke pesta. Aku harus pakai baju yang seperti apa?" sahut Emmy yang menangkap kesan bahwa ini adalah acara resmi dan penting bagi William.William menghela napas lega karena tak har