"Suster! Suster, tolong temen eike cedera!" seru Haikal ketika dua paramedis mendorong brankar berisi Emmy yang tak sadarkan diri masuk ke poli IGD.
"Bawa ke bilik dua yang kosong!" perintah Suster Dewi menunjuk ke tempat yang kosong di ruangan IGD itu.
Segera saja Emmy diperiksa oleh dokter jaga poli IGD dengan cermat. Kemudian Haikal yang menemani Emmy ke rumah sakit pun dipanggil karena dokter ingin menjelaskan kondisi pasien.
"Jadi, Mas, pasien ini perlu cek MRI untuk tahu di mana saja cederanya karena masih hilang kesadaran akibat benturan keras. Saya menduga ada gegar otak ringan atau medium karena kecelakaan jatuh dari tangga itu! Bagaimana, boleh?" tutur Dokter Bima Susanto.
"Boleh, Dok. Biar bisa diobatin sampai sembuh. Silakan saja!" sahut Haikal harap-harap cemas. Pasalnya, majikannya akan pulang hari ini juga dari New York. Celaka dua belaslah kalau sampai gadis imut kesayangan Mister William Samsons MacRay itu kenapa-kenapa.
Brankar berisi Emmy segera didorong menuju ke laborarorium MRI setelah Haikal mengisi formulir data pasien. Surat rujukan dari Dokter Bima Susanto pun diserahkan ke perawat jaga di sana.
Sementara Emmy menjalani MRI siang itu, sesuai rencana memang pesawat yang membawa pulang William telah mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Dia heran karena Mang Ali yang seharusnya menjemputnya justru terlambat tiba bukannya malah menunggu kedatangannya.
"Ckk ... si Mamang apa minta dipecat, kok malah bikin gue nunggu mpe kering kayak ikan asin di bandara?!" gerutu William sambil bertolak pinggang di pintu keluar penumpang terminal penerbangan internasional.
Sekitar setengah jam menunggu akhirnya pria tua bergigi ompong separuh itu pun dengan tergopoh-gopoh muncul di hadapan tuan mudanya. "Ampun, Tuan. Apa sudah lama nunggunya?" tanya Mang Ali cengengesan.
William mencebik kesal tak menjawab seraya mengendikkan dagunya memberi kode agar Mang Ali membawakan kopernya ke bagasi. Sedangkan, dia ngeloyor naik ke mobil Mercy kesayangannya. Ketika tak sengaja melihat ada tisu bernoda darah di atas bangku belakang mobilnya tersebut, William pun bertanya galak, "Ini siapa yang jorok? Kenapa ada tisu berdarah di mobil gue, Mang?!"
"Ehh ... anu ... anu, Tuan. Tadi Neng Emmy sebelum ini cedera, jidatnya berdarah karena jatuh dari tangga lantai dua—"
Belum selesai Mang Ali berbicara, William yang panik langsung memotong, "APA?! Terus dia di mana sekarang?"
"Di rumah sakit, Tuan. Neng Emmy ditemenin si Momo berdua aja tadi di IGD!" jawab Mang Ali karena dia sendiri yang mengantar makanya jadi terlambat menjemput tuan mudanya yang paling anti jam karet.
"Kita susul ke rumah sakit sekarang, Mang Ali!" titah William yang segera dipatuhi sopir pribadinya.
Mang Ali memilih jalur berkebalikan arah dengan rumah majikannya yang menuju ke tempat Emmy dirawat. Dia menaikkan kecepatan mobil Mercy yang dikendarainya agar mereka bisa segera sampai di tujuan karena William yang cemas mulai merepet dengan sumpah serapahnya.
'Mampus kamu, Mo ... Mo ... tuan muda ngamuk gede kali ini!' batin Mang Ali prihatin dengan rekan kerjanya yang dititipi untuk menjaga Emmy selama William pergi ke luar negeri.
Sesampainya di rumah sakit, William segera turun dari mobilnya lalu berlarian ke meja informasi untuk menanyakan di mana Emmy dirawat. Ternyata gadis itu berada di ruang ICU karena masih tak sadarkan diri. Dokter masih melakukan observasi ketat karena memang hasil MRI menunjukkan adanya gegar otak sedang akibat benturan di sisi depan kepala yang terkena pagar tangga dan sisi kiri kepala sesuai posisi Emmy jatuh di lantai dasar tangga.
William pun menemukan ruangan ICU itu lalu meminta pakaian steril ke perawat sebelum masuk menjenguk Emmy yang sedang ditemani Haikal.
Ketika melihat kedatangan majikannya, Haikal langsung pucat pasi dan berkeringat dingin. Wajah William menunjukkan berbagai emosi jiwa yang salah satunya adalah kemarahan.
"Momo, gimana sih loe kerja jagain cewek seekor doang kagak becus!?" omel William seraya meraih telapak tangan mungil yang terkulai lemas itu ke tangan lebarnya yang hangat.
Melihat bahasa tubuh William yang begitu care dengan Emmy, kepala ART tersebut membatin, 'Iiish ... kok so sweet gitu? Jangan-jangan big boss ada rasa sama si Emmy!'
William mengabaikan tatapan kepo dari Haikal terhadap dirinya. Dia mengecup punggung tangan dan jemari Emmy. Sambil duduk di bangku samping tempat tidur pasien, William memandangi gadis imut yang membuatnya merasakan sesuatu hal aneh yang menyesakkan dada itu.
"Terus gimana ini kata dokter tentang kondisi Emmy?" tanya William mengalihkan tatapannya ke Haikal.
"Nunggu observasi 24 jam dulu, Pak William. Semoga sudah siuman jadi bisa diputuskan apa cukup dengan bedrest serta obat minum saja atau gimana gitu!" jawab Haikal sesuai penjelasan dokter saraf yang merawat Emmy tadi.
Mendengar penjelasan Haikal, pria blasteran bercambang tipis itu pun mengangguk-angguk tanda mengerti. "Okay, kalau gitu ditunggu aja. Btw, kok bisa Emmy jatuh dari lantai 2. Dia 'kan bukan anak-anak, Mo, pasti ada penyebabnya!" ujar William curiga.
"Maaf, Sir. Tadi nggak sempat buat nyelidikin penyebabnya karena panik. Eike tuh kaget pas Bu Rita tahu-tahu ngejerit kenceng di deket tangga. Pas lihat Emmy terkapar berdarah-darah, eike langsung panggil Mang Ali buat nganter ke RS. Coba cek CCTV rumah aja, pasti bakal jelas penyebabnya," jawab Haikal dengan logis.
William mendengkus kesal. Sepertinya aneh saja bila Emmy terguling tanpa sengaja. Dia lalu berkata, "Ya sudah, Mo, gue balik ke rumah dulu. Loe jaga yang bener di sini. Kayaknya gue mesti kabarin kakek neneknya Emmy juga nih. Masa baru kerja beberapa hari udah kecelakaan di kantor sih, ckkk ... jadi nggak enak!"
"Boss, kemarin juga sepeda motor Emmy tuh ban depan belakangnya digembosin sama temen sekantornya. Mang Ali yang nganterin pulang ke rumah dan jemput ke kantor tadi pagi!" cerita Haikal.
William merasa ada yang salah dengan rekan-rekan sekantor Emmy. Sepertinya kejadian naas yang menimpa Emmy sengaja dibuat dengan alasan tertentu. Dia tak berkomentar mengenai cerita Haikal lalu berpamitan meninggalkan ruang ICU usai membelai pipi mulus gadis itu.
Pria itu mengajak Mang Ali pulang ke rumah dan lebih banyak diam merenung di sepanjang perjalanan. Sopir pribadinya pun tak berani berbicara apa pun dan hanya sesekali melirik William dari kaca spion tengah.
Setelah mereka tiba di rumah megah milik William, dia segera bergegas masuk ke ruang kantor pribadi rumahnya di lantai dua, berbeda dengan ruang kerjanya di lantai satu. Di sana ada komputer khusus yang terhubung dengan kamera CCTV seisi rumah.
William segera memutar ulang rekaman CCTV semenjak dia berangkat ke New York dimulai dari ruang kerja Emmy. Keempat karyawati yang melakukan bullying terhadap Emmy terekam semua tingkah menyebalkan mereka lengkap dengan suara mereka yang memaki-maki kasar ke gadis itu.
"Ohh Gosh, kasihan sekali Emmy. Mereka berempat sungguh keterlaluan!" ujar William lalu memutar juga rekaman CCTV parkiran kendaraan karyawan. Ternyata pelaku yang menggembosi ban sepeda motor Emmy masih sama dengan yang melakukan bullying tadi. Dan yang terakhir adalah rekaman CCTV tangga menuju lantai dua.
"Bingo, pelakunya ketemu! Awas saja kalian berempat, akan kupastikan kalian meminta maaf ke Emmy setelah dia sembuh!" William mengertakkan rahangnya dengan kesal sambil melihat kejadian saat Emmy terguling-guling mengenaskan di anak tangga hingga terkapar di lantai bawah.
"TOK TOK TOK.""Ya, sebentar!" sahut suara wanita renta dari dalam rumah bertipe sederhana yang genting cokelatnya telah berlumut di sana sini itu.William yang berprofesi sebagai arsitek ternama pun menilai dalam hatinya tentang tempat tinggal gadis imut kesayangannya yang kini tergolek di ranjang rumah sakit. Halaman depan yang asri dengan pohon mangga Manalagi, alpukat, dan durian. Tanaman bunga hias juga menghiasi sepetak tanah berukuran kurang lebih 20 meter persegi itu. Semuanya tanpa sengaja membuat pria itu membersitkan senyuman mahal di bibirnya."Alami banget, sepertinya kakek nenek Emmy suka berkebun!" gumam William sebelum pintu di balik punggungnya terbuka."Ohh ... selamat malam. Anda mencari siapa ya?" sapa Nenek Dahlia kepada pria ganteng yang tinggi menjulang di hadapannya.Mobil sedan Mercy hitam yang tadi pagi dan kemarin sore mengantar jemput cucu kesayangannya terparkir di depan pagar. Wanita berusia lanjut itu menduga bahwa pria ini mungkin bos Emmy. William seg
Seperti saran Dokter Chandra Lukmana, memang Emmy menjalani bed rest selama lima hari penuh di rumah sakit. Kakek neneknya yang menjaga gadis itu. Namun, setiap pagi dan malam bosnya selalu menjenguk dia sambil membawakan makanan favorit Emmy yang dibuat oleh Chef Juno."Siomay udang dan springroll rebung, pesanan kamu, Emmy Sayang! Momo nitip salam buat kamu juga," ujar William menyodorkan kotak bekal berisi makanan ringan berjenis dimsum itu ke hadapan gadis kesayangannya.Wajah Emmy berseri-seri menerimanya lalu mulai mencicipi sebuah siomay udang. "Mmm ... yummy, Kak Willy. Thank you bingits ya, udah lama lho nggak makan ini. Di Amrik agak susah carinya, dan semenjak pulang ke Jakarta belum sempat jalan-jalan!" ujar gadis itu bersemangat lalu mengambil sebuah siomay udang lagi untuk disuapkan ke mulut William."Lezat memang, Chef Juno pinter bikinnya!" puji William untuk koki rumahnya.Emmy pun menyahut, "Sampein terima kasihku buat Chef Juno ya, Kak!" "Okay, besok pas sarapan ku
"Ssttt ... gelo bingits! Ver, kok si bos ganteng sampe bela-belain jemput cewek alay itu buat ke kantor?!" seru heboh Yuni ketika melihat dari balik kaca jendela ruang kerja Fame Palette Artisans Co pagi itu.Vera yang tadinya sedang menata barang bawaan ke mejanya pun buru-buru menghampiri Yuni. "Mana ... mana sih?" ucapnya kepo. Segera sumpah serapah dan kata makian pedas menghambur dari bibir berlipstick plump red devil itu.Rekan-rekannya yang lain pun tak ingin ketinggalan melihat tontonan heboh pagi itu di dekat Yuni dan Vera. Sementara Bu Rita yang bersikap netral menggelengkan kepalanya lalu keluar dari ruangan kerja bersama itu untuk menemui William.Di ruang tengah, William menggandeng Emmy yang melingkarkan tangan dengan manis di lekuk lengannya. Gadis itu menyapa Bu Rita, "Selamat pagi, Bu!""Selamat pagi, Emmy. Syukur kamu sudah pulih kembali. Semangat kerja ya hari ini!" balas Bu Rita dengan senyuman tulus. Dia lalu bertanya ke bosnya, "Pak Willy, apa jadi meeting pagi?"
"Lho, kamu habis nangis ya, Emmy?" tanya William sambil bangkit dari kursi kerjanya menghampiri pacar barunya yang baru saja masuk ke ruang kantor.Namun, gadis itu menggelengkan kepalanya lesu. "Nggakpapa kok, Kak Willy. Aku agak ngantuk aja jadi mataku merah," kelit Emmy mencari alasan yang tentunya sulit dipercaya begitu saja oleh William.Kemudian tangan Emmy ditarik untuk mengikuti pria itu ke meja kerja lalu dia didudukkan di pangkuan William. "Kamu jangan suka bohong ya, nanti hidung kamu tambah panjang kayak pinokio!" tegur kekasihnya dengan cara yang lembut hingga hati Emmy serasa meleleh. "Hmm ... aku nggak mau jadi tukang ngadu. Kakak Sayang jangan tanya kenapa aku tadi nangis, janji ya?" jawab Emmy menghela napas dengan berat. Para karyawati senior itu diam-diam ngefans kepada bos mereka dan efeknya instan kepadanya, dia harus menerima bullyan wanita-wanita berdempul tebal itu.William pun mengerti situasinya, dia telah melihat di rekaman ulang CCTV rumahnya tentang perun
"Kak Willy, aku mau kirim hasil kerjaanku ke Mbak Vera dulu ya. Nanti sebentar aku langsung balik kok!" pamit Emmy ketika mereka sampai ke ruang kantor seusai makan siang.Sebelum melepas kepergian pacar imutnya, William berpesan, "Okay, kamu cuekin aja ya kalau mereka ngebully kamu lagi. Nah, ntar lapor aja ke aku seandainya udah keterlaluan. Pasti kamu kubelain dan mereka bakalan aku tegur!" Emmy pun mengangguk patuh lalu membawa kertas yang berisi gambar buatannya tadi turun ke lantai satu. Jantungnya berdebar tak menentu karena cemas menghadapi senior-seniornya yang benci setengah mati kepadanya. Dengan langkah tak yakin Emmy pun memasuki ruang kerja bersama yang berisi banyak meja kubikel karyawan-karyawati William itu.Hal yang tidak diketahui oleh Emmy maupun para seniornya adalah William sengaja melihat apa yang terjadi di ruangan tersebut dari kamera CCTV secara live di layar laptopnya."Permisi, Mbak Vera. Aku mau ngumpulin tugas yang tadi, ini—" Emmy menyerahkan kertas di
"Kita sudah sepakat tadi di mobil, kamu cobain baju dan lain-lain lalu lihatin ke aku. Jangan pikirin harganya, okay Darling?!" ujar William mengedipkan mata kirinya ke Emmy lalu mendorong punggung gadis itu masuk ke Praada outlet. Tentu saja Emmy mendadak kikuk ketika dikerumuni shopassistant butik ternama berkelas internasional itu. Dia bingung harus mulai belanja dari mana dulu karena terlalu banyak pilihan."Selamat sore, ada yang bisa saya bantu, Sir, Miss?" sapa manager toko dengan nametag Diana di dada kiri seragam berbahan sutera hitam seraya menghampiri William dan Emmy."Sore, Bu Diana. Ini saya ingin membelikan pacar saya baju kantor dan juga outfit bepergian, mungkin rekan-rekan Anda bisa membantunya mencari baju yang bagus di sini?" jawab William mewakili kekasihnya yang memegangi lengannya dengan cemas.Wanita berusia 35 tahun dengan rambut hitam tersanggul rapi itu pun menjawab, "Mari ikuti saya, Miss. Karyawati toko kami akan membantu mencarikan baju yang sesuai untuk
"Ohh, ternyata Nak William yang antar Emmy pulang! Nenek cemas kok sampai petang belum juga sampai ke rumah. Mari masuk dulu, mau Nenek buatin teh hangat ya?" sambut Nenek Dahlia begitu ramah di teras depan rumah kuno bermodel sederhana itu.Tentunya William tidak menolak kebaikan hati perempuan tua yang menjadi wali pengasuh pacarnya sejak kecil. Pria itu duduk di sofa ruang tengah setelah membantu Mang Ali menurunkan tas-tas belanjaan Emmy dari berbagai outlet di mall tadi.Kakek Hasan yang baru keluar dari kamar tidurnya mendengar suara istrinya mengobrol pun mengerutkan kening. "Ini tas-tas isinya apa? Kok banyak banget, punya siapa?" cecar pria tua berambut putih itu kepada Emmy."Ini isinya; baju, sepatu, dan tas, Kek. Semua yang beli tuh Kak William, tapi bukan Emmy lho yang minta!" terang Emmy kuatir sang kakek akan salah paham. Mereka berempat pun duduk bersama sambil minum teh di ruang tengah. William pun menjelaskan, "Saya memang sengaja belikan untuk Emmy, Kek. Pakaian ke
Pagi-pagi sebelum jam kantor dimulai, Emmy sudah sibuk di dapur rumah William. Dia memang telah berjanji membuatkan sarapan untuk pacarnya. Di island table, Chef Juno menemani gadis imut dengan celemek putih melapisi bagian depan bajunya."Neng Cantik, apa nggak takut bau bawang sama asap sih? Kok masak sebelum mulai kerja begini!" goda Chef berusia kepala tiga itu sembari tersenyum tengil menatap Emmy yang lincah bergerak ke sana ke mari menyiapkan menu masakannya."Tenang aja, Chef. Nanti aku ganti baju kok sehabis memasak. Moga-moga Kak Willy suka nasi goreng bikinanku ini!" sahut Emmy ceria sembari menuang nasi goreng buatannya ke piring keramik lebar. Tak lupa omelet spesial dengan isian sosis, keju, dan paprika cincang melengkapi menu sarapan buatannya dan juga acar mentimun. "Nah, beres deh! Makasih ya buat pinjaman dapurnya, Chef Juno. Aku mau taruh ini ke meja makan lalu bangunin big boss. Ciao!" pamit Emmy dengan gaya riangnya yang khas seraya mencopot celemek pinjaman Chef
"Kids, apa kalian sudah siap?!" seru William dari dasar tangga rumahnya. Emmy bergelanyut manja di sisinya menunggu ketiga anak mereka menuruni tangga dari lantai dua diikuti baby sitter mereka yang membawakan koper pakaian masing-masing."Ayo berangkat sekarang, Daddy, Mommy!" seru ketiga bocah itu kompak sambil melonjak-lonjak bersemangat. Emmy merangkul Josephine, sedangkan kedua putranya digandeng oleh si daddy di kanan kiri pria bertubuh jangkung itu Mereka naik ke mobil MPV yang dikemudikan oleh Mang Ali menuju ke Bandara Soekarno-Hatta. Di kursi samping pengemudi, Haikal duduk tenang sambil bertanya kepada bosnya, "Pak Willy pergi ke California berapa lama rencananya?""Mungkin seminggu aja sih, kami cuma pengin jalan-jalan ke Disneyland buat ngisi liburan kenaikan kelas anak-anak. Jaga rumah baik-baik ya, Mo!" jawab William dari bangku tengah mobil bersebelahan dengan Emmy dan Josephine. Kedua anak laki-laki mereka duduk di bangku belakang bersama seorang baby sitter. Isaac
Rak pajang kayu Eboni dekoratif di ruang keluarga Willems telah dipenuhi berderet foto dari masa ke masa semenjak pasangan William dan Emmy menikah, beberapa foto prewedding yang menyimpan kenangan indah, foto bersama Isaac yang berusia beberapa hari hingga mulai bertumbuh menjadi bayi yang bisa merangkak, berjalan, hingga berlari-lari bersama mommy cantiknya di halaman belakang rumah yang tertata apik. Daddy Will nampak selalu tertawa riang di setiap moment yang berkesan itu.Disusul deretan kenangan indah adiknya Isaac yang bernama Jacob Samsons Willems dan si bungsu yang cantik Josephine Emily Willems. Keluarga kecil dengan tiga putra-putri mereka yang menggemaskan itu sangat kompak mengukir setiap bingkai memori yang terpajang di sana Jacob hadir di usia pernikahan orang tuanya yang ketiga dan Josephine agak cepat menyusul kakak keduanya ketika delapan bulan usia Jacob dan masih disusui oleh Emmy. Memang William sengaja melakukan kekhilafan itu agar usianya ketika memiliki anak p
"Kuliah kita siang ini cukup sekian dulu ya, Rekan-rekan Mahasiswa!" ucap Emmy menyudahi perkuliahan yang dia bawakan untuk kelas semester enam. Sedikit tak nyaman karena perutnya mengalami kontraksi hebat, tetapi dia berusaha menahan dan bersikap segalanya baik-baik saja hingga air hangat itu mengalir dari bagian paha dalamnya. "Ohh ... tidak, aku pecah ketuban di kampus!" cicit Emmy panik.Reynaldi yang lewat di depan meja dosen pun mendengar perkataan wanita yang pernah disukainya itu. Dia membatalkan niatnya ke kantin kampus untuk makan siang alih-alih memilih menolong Emmy. "Gimana, Bu Emmy? Apa butuh bantuan untuk dianterin ke rumah sakit?" tawarnya dengan perhatian.Dengan terpaksa Emmy mengangguk setuju. "Iya, sebaiknya begitu. Aku pecah ketuban, Rey. Tolong ya!" balasnya seraya bangkit dari kursi dosen."Valdo, Revan, bantuin sini dong! Lo pada bawain tasnya Bu Emmy deh. Gue papah dia ke depan, ntar jagain sampe gue dateng dari parkiran mobil!" pesan Reynaldi yang segera dim
"Okay, saya tunggu kedatangannya di kantor baru yang di Bandung, Pak Anton. Lokasinya saya kirim via shareloc. Terima kasih!" ujar William di telepon saat dia mengantar Emmy ke kampus.Aktivitas rutin paginya itu telah berjalan selama berbulan-bulan semenjak mereka pindah tinggal ke Bandung. Istrinya yang hamil semakin buncit saja perutnya. "Nanti sore kita jalan ke mall yuk buat beli keperluan baby Isaac, sudah dekat juga waktu melahirkan kamu. Biar semua kebutuhannya siap dan nggak ada yang terlewat, gimana?" ajak William sambil memeluk dan mengecup puncak kepala Emmy."Boleh, sepulang dari kampus aja kali ya biar nggak bolak-balik keluarin mobil, Kak?" usul Emmy yang disetujui oleh William.Mang Ali menghentikan mobil di pintu masuk lobi kampus tempat Emmy mengajar. Dia menunggu pasangan mesra itu saling berpamitan seperti biasanya. "Byebye, Kakak Sayang. Sampai nanti sore ya ... muuaaachh!" Emmy melambaikan tangan lalu meniupkan kissbye ke arah William yang melongokkan kepala di
Sore itu sepulang kerja, Emmy dibawa ke rumah baru yang dibeli William di Bandung. Kedua matanya ditutup dengan selembar kain hitam oleh sang suami. "Kita sudah sampai, Sayang. Yuk turun!" ajak William sembari menuntun istrinya melangkah keluar dari bangku penumpang mobil yang terparkir di depan teras rumah bergaya Bali tradisional itu.Emmy menurut saja dengan bimbingan tangan William lalu dia berhenti melangkah dan mulai dibuka kain penutup matanya. Dia mengedarkan pandangan yang sedikit berkunang-kunang akibat ditutup kain gelap ke sekeliling ruangan. "Wow ... keren banget deh, ini rumah kita, Kak?" desah kagum Emmy seraya melangkah berkeliling ruang tengah yang mulai terisi furniture dan tertata elegan."Kamu suka 'kan sama rumah ini, Baby?" tanya William dari samping Emmy."Iya. Siapa yang jadi penata artistik interior rumah ini, Hubby?" balas Emmy sambil senyum-senyum.William terkekeh, dia pun menyahut, "Kalau yang pilih furniture sih aku. Cuma yang ngatur posisinya si Momo. A
"Tiiinn tiiinn!" Suara klakson mobil sedan hitam itu membuat Emmy tersenyum lalu berlari-lari kecil menghampirinya. Dari dalam mobil, suaminya membukakan pintu dan Emmy pun duduk di samping William. Hari pertama dia mengajar kuliah kembali agak melelahkan karena ada tiga mata kuliah yang dibawakannya tadi. "Oya, Kak Willy mau ajakin aku ke mana nih? Bingung juga mau menginap di mana kita malam ini, apa mau di rumah kakek nenek saja dulu sementara belum ada tempat tinggal di Bandung?" tanya Emmy dengan pemikiran yang sederhana.William pun menjawab, "Malam ini kita tidur di rumah Kakek Hasan boleh juga. Besok ya baru pindahan!" "Hahh?! Pindah ke mana tuh, Kak?" Emmy terkejut sekaligus bingung. Bagaimana bisa suaminya mendapatkan rumah secepat itu?"Surprise pokoknya besok. Malam ini aku mau menginap di pondok indah mertua aja deh sekali-sekali!" ujar William mencandai istrinya."Nggakpapa kok, Kakek Hasan dan Nenek Dahlia pasti senang kalau cucu menantu mereka mau tidur di rumah kec
"Ohh ... jadi kamu berani mengancamku ya? Aku lupa kamu 'kan memang barbar karena berasal dari kelas sosial strata bawah!" Vanessa membalas teguran Emmy sambil masih mendekap erat William dari belakang erat-erat.Para tamu pesta berkerumun mengelilingi ketiga orang yang berseteru dengan rasa penasaran. Beberapa mengenali siapa Vanessa Tobias dan William Samsons MacRay yang sempat bertunangan. Namun, mereka baru melihat Emmy kali ini karena berbeda lingkup pergaulan. Wanita-wanita tua muda berbisik-bisik heboh menantikan pertengkaran bak drama sinetron atau opera sabun TV itu.William melepaskan kedua lengan Vanessa yang meliliti badannya seperti tali tambang. "Hey, miliki sedikit harga diri, Vanessa. Jangan jadi pelakor setelah pertunangan kita dulu kandas!" tegur pria itu bernada tajam. Dia tak ingin Emmy salah paham dan terluka perasaannya karena keagresifan Vanessa Tobias."Will, pertunangan kita kandas karena wanita penggoda itu!" tunjuk Vanessa memfitnah Emmy yang terkesiap mende
"Kakak Sayang, gaunnya mana yang paling cocok? Semua pilihan si Momo bagus kok, aku suka!" Emmy berdiri di hadapan rak gantung dress keluaran butik internasional dalam balutan handuk putih setengah basah sehabis mandi.William yang melihat istrinya nyaris polos itu sulit berkonsentrasi. Dia menelan air liurnya dengan tatapan mendamba. Sedangkan, Emmy yang tak mendapat sepatah kata jawaban dari suaminya segera menoleh. "Kok bengong sih, Hubby?" tegurnya mencebik karena merasa diabaikan. "Ehh ... a—aku nggak bengong kok!" kelit William, dia lalu kembali fokus memilihkan pakaian pesta untuk Emmy. Pilihannya jatuh kepada sebuah gaun maxi Givenchy warna hitam dari bahan beledru halus. "Ini coba kamu pakai, menurutku anggun sekaligus sexy berkelas!" ujar William mengambil sebuah gaun dari rak gantung.Emmy juga tadi memilih gaun yang sama, hanya saja karena warnanya hitam dia jadi ragu. "Okay, nanti bantuin pasang resleting punggungnya ya, Kak Willy!" ucapnya sebelum melangkah keluar dari
Pesawat Emirates Airlines yang ditumpangi Eilliam dan Emmy mengangkasa dengan mulus selama berjam-jam semenjak lepas landas dari Bandara Milan Malpensa, Italia. Akhir dari rangkaian perjalanan bulan madu mereka yang penuh romantisme dan kegairahan di Furore begitu mengesankan. Rasanya dua hari saja masih kurang bagi pasangan pengantin baru itu.Ketika di bandara tadi menunggu boarding, William membaca email dari ayahnya tentang pesta soft opening komplek industri sahabat Mr. Garreth MacRay yang desainnya dikerjakan William tahun lalu. Mereka diundang hadir ke acara tersebut sepulang dari Eropa."Emmy, kita harus hadir di sebuah pesta di Jakarta nanti malam. Kuharap kamu bisa mendampingiku!" pinta William seraya menatap wajah istrinya yang baru bangun tidur di kabin pesawat."Okay, aku akan menemani Kak Willy ke pesta. Aku harus pakai baju yang seperti apa?" sahut Emmy yang menangkap kesan bahwa ini adalah acara resmi dan penting bagi William.William menghela napas lega karena tak har