"Pak William, apa Anda mengkonsumsi makanan pantangan penderita GERD? Saya akan berikan obat suntik dan beberapa obat oral untuk rawat jalan selama sepuluh hari silakan dihabiskan secara rutin!" ujar Dokter Michael Gunawan usai memeriksa kondisi pasien langganannya dengan USG di poli IGD Rumah Sakit Permata Indah Medika."Bisa jadi, Dok. Ini tidak sengaja bukan karena saya yang nekad makan larangan dari Dokter Michael! Okay, saya akan patuhi terapi pengobatannya nanti. Apa sudah boleh pulang setelah ini?" jawab William tanpa memberi tahu detail kejadian pagi tadi.Dokter Michael pun mengangguk. "Disuntik sekali dulu ya lalu bisa membereskan administrasi dan menebus resep di bagian Farmasi."Dugaannya benar, kemungkinan ada yang sengaja menaruh bubuk cabe di nasi goreng buatan Emmy tadi saat ditinggalkan di meja makan. Haikal Sutrimo yang membereskan semuanya dari membayar tagihan rumah sakit sampai menebus resep obat. Setelah itu, mereka bertiga pun pulang ke rumah William lagi."Gima
"Uukh!" William terbangun setelah lama tertidur sepanjang sore hingga langit berubah menjadi gelap. Dia terduduk lalu mengedarkan pandangannya ke kamar tidurnya yang remang-remang. Pria itu mencari sosok Emmy.Ternyata gadis imut kesayangannya sedang terlelap di sofa tunggal dengan buku di pangkuannya. Lampu baca yang terang menyala di sebelahnya. Kemudian William pun bangkit dari ranjang. Dia menghampiri Emmy lalu mengambil buku tebal World Architecture, The Masterworks karya Will Pryce dari genggaman gadis itu dan menaruhnya di meja sofa.Sekalipun sedang sakit, William masih kuat membopong tubuh ramping kekasihnya. Dia membawa Emmy dengan hati-hati ke tempat tidur agar bisa meluruskan badan dalam posisi nyaman. Sebuah kecupan ringan dia berikan di kening Emmy sebelum meninggalkan kamar. William mulai merasa lapar karena saat itu sudah jam delapan malam.Pria itu membawa laptopnya menuruni tangga dari lantai dua menuju ke arah dapur. Kebetulan Chef Juno sedang makan malam bersama Ha
Setelah melewati dua kali transit penerbangan selama 19 jam dari Jakarta dengan pesawat Qatar Airways. Mereka pun mendarat di Bandar Udara Internasional Mohammed V, Maroko. Negara maju di benua Afrika itu memang menjadi magnet bagi wisatawan asing karena keindahan pantainya yang menghadap Laut Mediterania dan Samudera Atlantik. Kontur alamnya yang berupa perbukitan, gunung, dan gurun pun begitu menarik. "Mari Emmy kubawakan kopermu dengan troli. Kita harus mencari taksi untuk pergi ke hotel di Rabat terlebih dahulu. Rencananya siang nanti klienku akan mendatangi hotel tempat kita menginap dan mengobrol di lobi sebentar," tutur William sembari berjalan dengan langkah cepat menuju pintu keluar bandara yang ramai itu.Di samping William, gadis itu berusaha menyamakan langkahnya dan menjawab, "Aku ikut rencana Kak Willy aja. Apa kliennya bisa berbahasa Inggris?" "Bisa, dia pengusaha berkelas internasional. Kami baru akan bertemu kali ini, salah seorang klienku asal Cape Town yang merek
"Mister Aamir, sketsa untuk rumah pribadi Anda beserta blueprint keseluruhan bangunan akan kami serahkan dalam dua hari. Nanti saya hubungi nomor ponsel Anda untuk pertemuan selanjutnya. Terima kasih!" ujar William seraya berjabat tangan dengan klien asal Maroko yang baru saja selesai meeting membahas proyek rumah mewah di atas lahan 500 meter persegi.Emmy pun ikut bangkit berdiri lalu menjabat tangan Mister Aamir Khalid Wattasid yang penampilannya mirip seorang syeikh kaya raya. Pria berkebangsaan Maroko itu berusia setengah abad dan menikahi tiga orang wanita berusia jauh lebih muda. Dia menatap Emmy dengan penuh penilaian lalu berkata, "Beautiful!"Dengan segera William merangkul bahu kekasihnya, dia tak ingin kliennya mencoba bermain mata dengan gadis imut kesayangannya. "Selamat jalan, Mister Aamir. Hati-hati di jalan!" ucap William mengusir dengan cara halus.Emmy menunggu pria asal Maroko itu meninggalkan lobi Hotel Dawliz Rabat Art and Spa. Dia lalu bertanya kepada William, "
"Apa Salmon Steak itu sesuai selera kamu, Kakak Sayang?" tanya Emmy menyunggingkan senyum manis di bibirnya. Dia menemui chef restoran hotel secara langsung dan menjelaskan menu yang disukai William. Pria itu ingin makan ikan, tetapi tidak bisa asal sembarang masakan karena GERD yang dideritanya. Sambil mengunyah daging Salmon lembut dengan saus Carbonara gurih, William menjawab gadis imut kesayangannya, "Enak sekali sesuai yang kuinginkan. Thanks, Darling. Kamu perhatian banget sama aku!""You're welcome. Menurutku masakan chef restoran hotel ini memang lezat dan unik, akhirnya bisa juga mencicipi Couscous dan Chicken Tajine khas Maroko yang terkenal di seluruh dunia. Aku harus berterima kasih karena sudah diajak ke mari, Kakak Sayang!" balas Emmy antusias. Memang William tidak bisa menemaninya berwisata kuliner, tetapi di hotel tempat mereka menginap pun gadis itu bisa mencicipi hidangan-hidangan khas Maroko yang berbeda dari lainnya.(Couscous: hidangan yang terbuat dari butiran g
"Ohh ... baiklah. Saya puas dengan hasil pekerjaan Anda, Mister William MacRay. Kontraktor terpilih akan membangun rumah pribadi saya sesuai blue print yang Anda buat ini!" tutur Mister Aamir Khalid Wattasid yang bertemu kembali dengan William dan Emmy di sofa lobi hotel. Dia lalu bertanya, "kapan rencananya kalian pulang ke Jakarta?" "Nanti malam kami akan berangkat dari bandara. Kalau ada yang tidak dimengerti oleh pihak kontraktor, silakan hubungi saya saja langsung, Mister Aamir!" jawab William lalu bangkit dari sofa dan berjabat tangan dengan pria konglomerat asal Maroko tersebut. Dia kurang suka melihat cara kliennya menatap Emmy dengan terlalu perhatian.Maka pria asal Maroko itu menerima uluran tangan dari William dan pamit meninggalkan lobi Hotel Dawliz Rabat Art and Spa. Urusannya telah selesai dengan ringkas dan hasil pekerjaan arsitek asal Indonesia itu berada dalam CD yang dibawanya pulang."Kita mau ke mana sekarang, Kak Willy?" tanya Emmy yang dirangkul bahunya memasuk
"Kakek, aku memang menyayangi Kak Willy, tetapi usiaku masih 22 tahun. Seharusnya aku masih giat bekerja agar kelak tidak menjadi beban suamiku!" kelit Emmy tak ingin menerima ide menikah di usia dini yang baginya menyeramkan karena akan merampas kebebasannya berkarya.Namun, Nenek Dahlia mengingatkan cucunya, "Kalau begitu jaga dirimu baik-baik bila bepergian ke luar negeri bersama William. Yang namanya khilaf itu susah ditebak kapan datangnya, kalau sudah nasi menjadi bubur baru menyesal. Itu pun tak ada gunanya tanpa ikatan pernikahan yang resmi!"Gadis manis itu pun menganggukkan kepalanya dengan serius. Dia juga mengerti kebenaran perkataan kakek neneknya yang sangat menyayanginya dan tak ingin dia terjerumus ke dalam pergaulan bebas atau menjadi perempuan simpanan om-om. "Ya sudah, kamu pasti capek sehabis penerbangan jauh dari Afrika. Mandi terus tiduran saja, kalau kamu lapar, Nenek sudah siapkan menu lauk pauk di meja makan yang bisa kamu makan kapan saja!" ujar Nenek Dahlia
"Makasih ya, Mang Ali sudah dianter jemput ke kantor!" ucap Emmy ceria kepada sopir pribadi William sebelum turun dari mobil Maybach hitam pagi itu.Di teras depan rumahnya yang bak istana negeri dongeng Disneyland, William berdiri bersedekap menunggu gadis imutnya berjalan mendekatinya. Emmy menggigit bibir bawahnya cemas melihat sugar daddynya yang nampaknya masih mengambek efek dia menemui Evan di mall semalam."Selamat pagi, Kakak Sayang!" sapa Emmy menyunggingkan senyum termanisnya. "Pagi! Kamu tahu aku lagi bad mood?" balas William seraya meraih punggung Emmy hingga gadis itu berdiri bergelanyut di dadanya karena terkejut dan menjadi sedikit limbung.Emmy mendongak menatap wajah bercambang tipis dengan sepasang mata beriris cokelat yang memicing dingin. Dia pun tergagap menjawab, "A—aku ... aku tahu, tapi Kak—" Detik selanjutnya bibir Emmy sudah berada di dalam mulut William yang menyedotnya bak vacum cleaner full power. Lututnya terasa melunak bagaikan terbuat dari jeli. Cium
"Kids, apa kalian sudah siap?!" seru William dari dasar tangga rumahnya. Emmy bergelanyut manja di sisinya menunggu ketiga anak mereka menuruni tangga dari lantai dua diikuti baby sitter mereka yang membawakan koper pakaian masing-masing."Ayo berangkat sekarang, Daddy, Mommy!" seru ketiga bocah itu kompak sambil melonjak-lonjak bersemangat. Emmy merangkul Josephine, sedangkan kedua putranya digandeng oleh si daddy di kanan kiri pria bertubuh jangkung itu Mereka naik ke mobil MPV yang dikemudikan oleh Mang Ali menuju ke Bandara Soekarno-Hatta. Di kursi samping pengemudi, Haikal duduk tenang sambil bertanya kepada bosnya, "Pak Willy pergi ke California berapa lama rencananya?""Mungkin seminggu aja sih, kami cuma pengin jalan-jalan ke Disneyland buat ngisi liburan kenaikan kelas anak-anak. Jaga rumah baik-baik ya, Mo!" jawab William dari bangku tengah mobil bersebelahan dengan Emmy dan Josephine. Kedua anak laki-laki mereka duduk di bangku belakang bersama seorang baby sitter. Isaac
Rak pajang kayu Eboni dekoratif di ruang keluarga Willems telah dipenuhi berderet foto dari masa ke masa semenjak pasangan William dan Emmy menikah, beberapa foto prewedding yang menyimpan kenangan indah, foto bersama Isaac yang berusia beberapa hari hingga mulai bertumbuh menjadi bayi yang bisa merangkak, berjalan, hingga berlari-lari bersama mommy cantiknya di halaman belakang rumah yang tertata apik. Daddy Will nampak selalu tertawa riang di setiap moment yang berkesan itu.Disusul deretan kenangan indah adiknya Isaac yang bernama Jacob Samsons Willems dan si bungsu yang cantik Josephine Emily Willems. Keluarga kecil dengan tiga putra-putri mereka yang menggemaskan itu sangat kompak mengukir setiap bingkai memori yang terpajang di sana Jacob hadir di usia pernikahan orang tuanya yang ketiga dan Josephine agak cepat menyusul kakak keduanya ketika delapan bulan usia Jacob dan masih disusui oleh Emmy. Memang William sengaja melakukan kekhilafan itu agar usianya ketika memiliki anak p
"Kuliah kita siang ini cukup sekian dulu ya, Rekan-rekan Mahasiswa!" ucap Emmy menyudahi perkuliahan yang dia bawakan untuk kelas semester enam. Sedikit tak nyaman karena perutnya mengalami kontraksi hebat, tetapi dia berusaha menahan dan bersikap segalanya baik-baik saja hingga air hangat itu mengalir dari bagian paha dalamnya. "Ohh ... tidak, aku pecah ketuban di kampus!" cicit Emmy panik.Reynaldi yang lewat di depan meja dosen pun mendengar perkataan wanita yang pernah disukainya itu. Dia membatalkan niatnya ke kantin kampus untuk makan siang alih-alih memilih menolong Emmy. "Gimana, Bu Emmy? Apa butuh bantuan untuk dianterin ke rumah sakit?" tawarnya dengan perhatian.Dengan terpaksa Emmy mengangguk setuju. "Iya, sebaiknya begitu. Aku pecah ketuban, Rey. Tolong ya!" balasnya seraya bangkit dari kursi dosen."Valdo, Revan, bantuin sini dong! Lo pada bawain tasnya Bu Emmy deh. Gue papah dia ke depan, ntar jagain sampe gue dateng dari parkiran mobil!" pesan Reynaldi yang segera dim
"Okay, saya tunggu kedatangannya di kantor baru yang di Bandung, Pak Anton. Lokasinya saya kirim via shareloc. Terima kasih!" ujar William di telepon saat dia mengantar Emmy ke kampus.Aktivitas rutin paginya itu telah berjalan selama berbulan-bulan semenjak mereka pindah tinggal ke Bandung. Istrinya yang hamil semakin buncit saja perutnya. "Nanti sore kita jalan ke mall yuk buat beli keperluan baby Isaac, sudah dekat juga waktu melahirkan kamu. Biar semua kebutuhannya siap dan nggak ada yang terlewat, gimana?" ajak William sambil memeluk dan mengecup puncak kepala Emmy."Boleh, sepulang dari kampus aja kali ya biar nggak bolak-balik keluarin mobil, Kak?" usul Emmy yang disetujui oleh William.Mang Ali menghentikan mobil di pintu masuk lobi kampus tempat Emmy mengajar. Dia menunggu pasangan mesra itu saling berpamitan seperti biasanya. "Byebye, Kakak Sayang. Sampai nanti sore ya ... muuaaachh!" Emmy melambaikan tangan lalu meniupkan kissbye ke arah William yang melongokkan kepala di
Sore itu sepulang kerja, Emmy dibawa ke rumah baru yang dibeli William di Bandung. Kedua matanya ditutup dengan selembar kain hitam oleh sang suami. "Kita sudah sampai, Sayang. Yuk turun!" ajak William sembari menuntun istrinya melangkah keluar dari bangku penumpang mobil yang terparkir di depan teras rumah bergaya Bali tradisional itu.Emmy menurut saja dengan bimbingan tangan William lalu dia berhenti melangkah dan mulai dibuka kain penutup matanya. Dia mengedarkan pandangan yang sedikit berkunang-kunang akibat ditutup kain gelap ke sekeliling ruangan. "Wow ... keren banget deh, ini rumah kita, Kak?" desah kagum Emmy seraya melangkah berkeliling ruang tengah yang mulai terisi furniture dan tertata elegan."Kamu suka 'kan sama rumah ini, Baby?" tanya William dari samping Emmy."Iya. Siapa yang jadi penata artistik interior rumah ini, Hubby?" balas Emmy sambil senyum-senyum.William terkekeh, dia pun menyahut, "Kalau yang pilih furniture sih aku. Cuma yang ngatur posisinya si Momo. A
"Tiiinn tiiinn!" Suara klakson mobil sedan hitam itu membuat Emmy tersenyum lalu berlari-lari kecil menghampirinya. Dari dalam mobil, suaminya membukakan pintu dan Emmy pun duduk di samping William. Hari pertama dia mengajar kuliah kembali agak melelahkan karena ada tiga mata kuliah yang dibawakannya tadi. "Oya, Kak Willy mau ajakin aku ke mana nih? Bingung juga mau menginap di mana kita malam ini, apa mau di rumah kakek nenek saja dulu sementara belum ada tempat tinggal di Bandung?" tanya Emmy dengan pemikiran yang sederhana.William pun menjawab, "Malam ini kita tidur di rumah Kakek Hasan boleh juga. Besok ya baru pindahan!" "Hahh?! Pindah ke mana tuh, Kak?" Emmy terkejut sekaligus bingung. Bagaimana bisa suaminya mendapatkan rumah secepat itu?"Surprise pokoknya besok. Malam ini aku mau menginap di pondok indah mertua aja deh sekali-sekali!" ujar William mencandai istrinya."Nggakpapa kok, Kakek Hasan dan Nenek Dahlia pasti senang kalau cucu menantu mereka mau tidur di rumah kec
"Ohh ... jadi kamu berani mengancamku ya? Aku lupa kamu 'kan memang barbar karena berasal dari kelas sosial strata bawah!" Vanessa membalas teguran Emmy sambil masih mendekap erat William dari belakang erat-erat.Para tamu pesta berkerumun mengelilingi ketiga orang yang berseteru dengan rasa penasaran. Beberapa mengenali siapa Vanessa Tobias dan William Samsons MacRay yang sempat bertunangan. Namun, mereka baru melihat Emmy kali ini karena berbeda lingkup pergaulan. Wanita-wanita tua muda berbisik-bisik heboh menantikan pertengkaran bak drama sinetron atau opera sabun TV itu.William melepaskan kedua lengan Vanessa yang meliliti badannya seperti tali tambang. "Hey, miliki sedikit harga diri, Vanessa. Jangan jadi pelakor setelah pertunangan kita dulu kandas!" tegur pria itu bernada tajam. Dia tak ingin Emmy salah paham dan terluka perasaannya karena keagresifan Vanessa Tobias."Will, pertunangan kita kandas karena wanita penggoda itu!" tunjuk Vanessa memfitnah Emmy yang terkesiap mende
"Kakak Sayang, gaunnya mana yang paling cocok? Semua pilihan si Momo bagus kok, aku suka!" Emmy berdiri di hadapan rak gantung dress keluaran butik internasional dalam balutan handuk putih setengah basah sehabis mandi.William yang melihat istrinya nyaris polos itu sulit berkonsentrasi. Dia menelan air liurnya dengan tatapan mendamba. Sedangkan, Emmy yang tak mendapat sepatah kata jawaban dari suaminya segera menoleh. "Kok bengong sih, Hubby?" tegurnya mencebik karena merasa diabaikan. "Ehh ... a—aku nggak bengong kok!" kelit William, dia lalu kembali fokus memilihkan pakaian pesta untuk Emmy. Pilihannya jatuh kepada sebuah gaun maxi Givenchy warna hitam dari bahan beledru halus. "Ini coba kamu pakai, menurutku anggun sekaligus sexy berkelas!" ujar William mengambil sebuah gaun dari rak gantung.Emmy juga tadi memilih gaun yang sama, hanya saja karena warnanya hitam dia jadi ragu. "Okay, nanti bantuin pasang resleting punggungnya ya, Kak Willy!" ucapnya sebelum melangkah keluar dari
Pesawat Emirates Airlines yang ditumpangi Eilliam dan Emmy mengangkasa dengan mulus selama berjam-jam semenjak lepas landas dari Bandara Milan Malpensa, Italia. Akhir dari rangkaian perjalanan bulan madu mereka yang penuh romantisme dan kegairahan di Furore begitu mengesankan. Rasanya dua hari saja masih kurang bagi pasangan pengantin baru itu.Ketika di bandara tadi menunggu boarding, William membaca email dari ayahnya tentang pesta soft opening komplek industri sahabat Mr. Garreth MacRay yang desainnya dikerjakan William tahun lalu. Mereka diundang hadir ke acara tersebut sepulang dari Eropa."Emmy, kita harus hadir di sebuah pesta di Jakarta nanti malam. Kuharap kamu bisa mendampingiku!" pinta William seraya menatap wajah istrinya yang baru bangun tidur di kabin pesawat."Okay, aku akan menemani Kak Willy ke pesta. Aku harus pakai baju yang seperti apa?" sahut Emmy yang menangkap kesan bahwa ini adalah acara resmi dan penting bagi William.William menghela napas lega karena tak har