Ruangan luas itu dihiasi oleh cahaya redup dari lampu kristal di langit-langit, menciptakan suasana yang tenang namun tegang. Dindingnya dipenuhi dengan lukisan-lukisan mahal dan perabotan mewah yang menunjukkan kekayaan tanpa perlu kata-kata. Di tengah ruangan, sebuah meja kayu ek besar berdiri kokoh, di mana dua gelas anggur merah hampir kosong menunjukkan bahwa percakapan yang terjadi bukanlah sekadar perbincangan biasa.
Victor duduk di ujung meja dengan sikap angkuh, tangannya menggenggam erat gelas anggur, matanya menatap tajam ke arah Christian, seolah mencari jawaban yang memuaskannya. Christian, duduk di seberang, tampak santai namun ada kilatan kemarahan di matanya. Dia meneguk anggurnya dengan perlahan, mencoba menenangkan pikiran yang bergolak.
"Ada urusan apa sehingga Papa datang sendiri?" tanya Christian dengan nada datar, namun pandangannya tak lepas dari wajah Victor.
Victor menarik napas dalam sebelum menjawab, tatapannya tak pernah lepas dari an
Jam dinding menunjukkan pukul 21.00. Moon masih belum kembali, sementara Christian duduk di ruang tamu dengan tatapan tajam pada jam tangannya, tampak gelisah."Ke mana dia, kenapa belum pulang juga?" gumam Christian pada dirinya sendiri, ketidaknyamanan jelas terlihat di wajahnya.Saat itu, sebuah pesan tiba-tiba masuk ke ponselnya. Christian membuka pesan tersebut dan melihat sebuah foto yang dikirim oleh Mike. Foto itu memperlihatkan Moon duduk termenung di taman."Kenapa gadis ini duduk di taman sampai malam begini?" gumam Christian lagi, merasa semakin cemas.Moon, yang tampak terlarut dalam pikirannya, akhirnya berdiri dari bangku taman dan mulai melangkah tanpa arah. Wajahnya menunjukkan kesedihan mendalam, sementara pikirannya dipenuhi oleh kata-kata Christian."Lebih baik aku menjauh darinya. Tapi aku harus kemana? Jika mereka tahu aku tinggal bersama orang yang ingin merebut tanah desa mereka, pasti aku akan dianggap rendah da
Jacob berkeringat dingin, tetesan keringat mengalir deras membasahi wajahnya. Ia bisa merasakan betapa dingin dan tajamnya pisau yang digenggam erat oleh Christian. Hawa dingin menjalar hingga ke sumsum tulangnya, membuat jantungnya berdegup kencang."Bicara atau tetap diam?" tanya Christian dengan senyuman sinis yang membuat bulu kuduk Jacob meremang. Senyuman itu bukan sekadar ancaman, melainkan janji akan kekejaman yang siap dituangkan.Jacob menelan ludah, tenggorokannya terasa kering seolah terkunci dalam cengkeraman ketakutan. Namun, meski suaranya bergetar, ia menegaskan, "Aku tidak akan mengkhianati tuan Calvin." Kata-kata itu keluar dari mulutnya dengan keyakinan yang pudar oleh rasa takut yang semakin menghimpit.Christian mengangguk pelan, seolah menghargai keteguhan hati Jacob. "Baiklah," ujarnya ringan, "Tidak masalah kalau kau masih membelanya. Setelah kaki tanganmu aku ambil, apakah kakakku itu masih akan membutuhkanmu?" Tanpa menunggu jawaban, Ch
Moon dan Victor bertemu di sebuah restoran dengan suasana yang dipenuhi aroma kopi dan suara dentingan peralatan makan. Mereka duduk saling berseberangan di meja yang dikelilingi oleh keheningan, menciptakan suasana canggung yang begitu nyata hingga rasanya bisa diraba.Victor, seorang pria dengan wajah dingin dan penuh wibawa, menatap Moon dengan pandangan yang tajam. "Namamu adalah Moon?" tanyanya, suaranya tegas namun dengan nada penuh kehati-hatian.Moon menunduk sejenak, seolah mencari kekuatan dari dalam dirinya. "Iya," jawabnya singkat, kedua tangannya terkepal di bawah meja, berusaha menahan gugup yang perlahan merayap naik ke permukaan.Victor mengangguk kecil, menyadari ketegangan di udara. "Kamu sudah tahu siapa aku?" tanyanya lagi, kali ini suaranya sedikit lebih lembut, namun tetap dengan kesan penuh otoritas.Moon mengangkat wajahnya, menatap Victor dengan mata yang penuh keyakinan. "Sudah tahu! Anda adalah pendiri Capital Kim," jawabnya den
Victor masih menatap gelang itu, tangannya sedikit gemetar seolah-olah kenangan dari masa lalu menyeruak kembali ke dalam pikirannya.Moon memperhatikan perubahan pada pria tua di hadapannya. Sesuatu tentang cara Victor menatap gelang itu membuatnya merasa tidak nyaman, seperti ada sesuatu yang disembunyikan pria itu. "Ada apa?" tanyanya dengan nada penuh curiga, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Victor mendesah berat, mencoba mengendalikan emosi yang mulai membuncah di dalam dirinya. Dengan suara yang terdengar sedikit serak, ia akhirnya bertanya, "Apakah anggota keluargamu hanya nenekmu? Bagaimana dengan orang tuamu?" Ada kegetiran dalam suaranya yang tak bisa ia sembunyikan.Moon menegakkan tubuhnya, tatapannya berubah dingin. "Aku rasa tidak perlu menjawab pertanyaanmu, karena ini adalah masalah keluargaku," jawabnya dengan dingin, menunjukkan bahwa dia tidak akan membiarkan Victor memasuki ruang pribadinya.Victor menarik napas
Victor merasakan kegelisahan yang semakin menggelayuti hatinya. Meski sudah terbiasa dengan persaingan di antara kedua putranya, kali ini situasinya terasa berbeda—jauh lebih kelam dan berbahaya. Dia memperhatikan dengan seksama wajah Christian yang tersenyum sinis, seolah menikmati setiap momen dari kekacauan ini.Di sisi lain, Calvin, putra sulungnya, tampak semakin tegang, jari-jarinya mengepal kuat di sisi tubuhnya, berusaha keras menahan emosi yang siap meledak."Christian, siapa dia dan kenapa kamu menyiksanya seperti itu?" tanya Victor, nadanya mengandung campuran rasa penasaran dan kekhawatiran yang dalam. Dia tak bisa memahami apa yang membuat putranya berubah menjadi begitu kejam.Christian mendongak sedikit, menatap ayahnya dengan mata dingin yang penuh tipu daya. "Pa, dia adalah Jacob Sebastian, Dengar saja rekamannya!" Lalu, dia melirik ke arah Calvin, menikmati bagaimana kakaknya terlihat semakin gelisah dan penuh amarah.Waktu b
"Setelah dua puluh tiga tahun berlalu, dia muncul dan malah dipertemukan dengan Christian," ujar Victor, suaranya berat dengan penyesalan yang tersembunyi di balik setiap kata.Luwis, yang berdiri di sampingnya, mengernyit. "Tuan, bagaimana kalau kita pikirkan cara memisahkan mereka?" tanyanya dengan hati-hati, mencoba menakar reaksi Victor.Victor mengalihkan pandangannya dari jendela, tatapan tajamnya menusuk ke arah Luwis. "Christian tertarik padanya," ujarnya dengan nada tegas, "Bagaimana caranya aku bisa memisahkan mereka berdua? Kecuali dengan satu cara."Luwis menelan ludah, keberanian untuk melanjutkan pertanyaannya nyaris menguap. Namun, ia tetap berbicara, suaranya hampir berbisik. "Apakah kita harus memberitahu yang sebenarnya?"Victor terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan konsekuensi dari tindakannya. Akhirnya, ia menghela napas panjang, penuh keputusasaan yang jarang terlihat. "Benar," jawabnya, suaranya rendah namun penu
Shane, dengan kemarahan yang membara di matanya, mengepal kedua tangannya erat-erat, seakan ingin menyalurkan semua emosinya melalui tinjunya. Suaranya terdengar tegas dan penuh tekad saat ia berkata, "Jangan membuat keputusan sendiri. Moon bukan milik siapapun. Dia adalah miliknya sendiri." Wajahnya memerah, menunjukkan betapa seriusnya ia mengenai hal itu.Christian, yang terlihat tenang di bawah tekanan, hanya menyunggingkan senyum tipis. Tatapan matanya menilai Shane dengan penuh kesadaran, seolah-olah ia sedang berhadapan dengan seorang anak kecil yang tidak mengerti dunia. Dengan nada penuh keyakinan, dia menjawab, "Apakah kau tidak mengerti? Dua orang yang tinggal bersama, hubungan mereka bukan hanya sekadar berkencan." Kata-katanya seperti pisau yang menusuk, mencoba memotong keyakinan Shane."Apa yang bisa kau berikan padanya?" Shane berkata dengan nada dingin, penuh ketidakpercayaan. "Janji kosong? Jangan karena dia dibesarkan di desa, kau membohonginya
Christian yang baru pulang ke apartemennya segera mencari keberadaan Moon dengan raut wajah muram yang menyiratkan kekesalan. Tanpa banyak berpikir, ia langsung menuju kamar, pintu terbuka dengan bunyi klik yang tajam. Ia melangkah masuk ke dalam ruangan yang remang-remang, matanya segera tertuju pada sosok Moon yang berdiri diam dekat jendela, punggungnya tegak namun terlihat rapuh di bawah sinar bulan yang masuk melalui kaca.“Bukankah sudah kuingatkan, jangan pernah berjumpa dengan dia tanpa izinku. Tapi kau tetap melakukannya,” suara Christian terdengar dingin dan tegas, seperti palu yang jatuh menghantamkan vonis.Moon perlahan berbalik, memperlihatkan ekspresi wajahnya yang dipenuhi amarah dan kekecewaan. "Kamu sudah puas?" tanyanya dengan nada sinis, "Memberitahu kakak Shane kalau kita tinggal serumah? Apa pandangan warga desa terhadapku sekarang? Aku tidak bisa lagi kembali ke sana," ucapnya, suara Moon sedikit bergetar, namun matanya tetap memancarkan ketegasan.Christian men