Pagi itu seperti biasa Ananda Kusuma berangkat ke kantornya yang terletak di lantai teratas gedung Mall Cakrawala Indonesia diikuti oleh asisten sekaligus sekretaris pribadinya. Namun, langkah cepatnya itu mendadak terhenti. Dia memandangi poster model iklan mall dan jaringan hotel miliknya yang dipajang di dinding sebelum pintu masuk kantor top managemen.
"Aji, ini kemana poster model cantik yang biasanya? Kok diganti nggak bilang ke saya?" cecar Ananda bernada kesal.
Sedikit syok karena bosnya peduli dengan 'sebuah poster iklan', Aji pun terbata-bata menjawab, "Ma—maaf Pak Nanda. Ehh ... jujur saya kurang tahu kenapa posternya diganti. Mungkin untuk perubahan suasana saja atau alasan lainnya—"
Wajah bosnya tampak mendung di pagi hari yang cerah, itu membuat Aji Prasetyo mendadak berkeringat dingin di sekujur tubuhnya. Dia menunggu instruksi berikutnya seperti apa. CEO Kusuma Mulia Grup memang sulit ditebak karena sifatnya yang introvert dan sedikit moody.
Suara maskulin itu berdentum dengan intonasi naik turun sesuai mood swing. "Tanyakan ke bagian pemasaran dan advertising! Model yang ini saya kurang suka tampangnya angkuh sekalipun ... yaa ... cukup sexy sih—" Dia lalu berdecak kesal sembari meneruskan langkahnya masuk ke ruangan CEO di ujung kantor managemen mall itu.
Aji pun berlari-lari kecil mengikuti langkah lebar bosnya yang bertubuh jangkung itu hingga ia berdiri di hadapan meja kerja Ananda Kusuma. "Apa ada lagi yang bisa saya bantu pagi ini, Pak Nanda?" tanyanya dengan hati-hati.
Tatapan mata Ananda berpindah dari laptop yang terbuka di mejanya ke wajah sekretarisnya itu. Dia pun berkata, "Yang tadi saya suruh apa kamu sudah lupa?!"
'Aduh geblekk mah gue kenapa lupa?!' rutuk Aji dalam hatinya lalu ia menjawab, "Siap, Pak Nanda. Saya segera tanyakan—permisi!" Dengan segera Aji kabur dari hadapan bosnya sebelum pria itu mengamuk atau memecatnya.
Setelah meninggalkan ruangan CEO, Aji pun berlari-lari kecil menuju ke ruang managemen pemasaran dan advertising untuk menanyakan perihal pergantian poster model di samping pintu kantor itu.
Sambil ngos-ngosan Aji pun duduk di kursi yang ada di hadapan meja kepala bagian pemasaran dan advertising.
"Loe ngapain sih, Ji? Kayak habis dikejar setan apa demit aja!" seru Doni Subrata keheranan.
"Tskkk ... gue mau nanya, itu kenapa poster di samping pintu kantor diganti nggak bilang-bilang dulu ke Pak Nanda?!" cecar Aji meluapkan kekesalannya.
Doni malah melongo mendengar pertanyaan rekannya itu. Kemudian ia pun mengerutkan keningnya. "Tumben banget si bos kok kepo masalah remeh beginian sih, Ji?" balasnya.
"Alaa ... jawab aja buruan. Ditunggu Pak Nanda nih!" sahut Aji tak sabar.
Akhirnya Doni pun menceritakan alasan pergantian poster iklan mall dan jaringan hotel milik Kusuma Mulia Indonesia Grup itu. Aji mendengarkan dengan seksama setiap patah kata dari Doni, dia harus menyampaikan selengkapnya ke bosnya setelah ini.
"Pantesan aja, Don. Oke gue paham sekarang. Ya udah, thank you buat penjelasan loe. Gue pamit deh. Bye," ujar Aji buru-buru lalu melesat meninggalkan ruang kerja rekannya itu untuk kembali menghadap bosnya.
Suara ketokan di pintunya terdengar dan Ananda pun berkata, "Masuk!"
Sekretarisnya telah kembali untuk melapor, dia menyuruh Aji duduk di kursi yang ada di hadapannya. "Oke, gimana hasilnya?" ucapnya santai sembari menatap wajah Aji.
"Jadi ... model yang sebelumnya, Maya Angelita itu sudah pensiun jadi model, Pak Nanda. Dia diberhentikan oleh managemen artis yang menaunginya dulu," tutur Aji sebagai pembuka penjelasannya.
Ananda pun berpikir keras kenapa model cantik itu diberhentikan. Terus terang paras gadis itu selain cantik juga memancarkan aura yang menyenangkan. Sorot matanya bukan sexy menggoda melainkan welas asih. Itu yang kerap membuatnya terpesona saat memandangi poster promosi perusahaannya setiap melewati dinding samping pintu kantornya.
Dia pun bertanya, "Apa alasan managemennya memberhentikan Maya Angelita ini? Kamu sudah tanyakan juga apa belum?"
Sesudah menghela napas, Aji pun melanjutkan, "Sudah, Pak Nanda. Mbak Maya ini habis mengalami kejadian naas, dia kecelakaan tertabrak mobil hingga kedua kakinya lumpuh. Maka dari itu dia sudah nggak bisa lagi jadi model."
Kisah model cantik itu sempat membuat Aji turut bersimpati, tetapi dia tidak mengenal wanita itu secara personal. Dia hanya sering melihat sosoknya bersliweran di layar kaca sebagai model iklan atau melihatnya di baliho iklan ibu kota dan juga di outlet-outlet baju serta kosmetik di mall. Sebenarnya Maya Angelita sangat terkenal.
"Aji, cari alamat rumah model itu lalu kirimkan karangan bunga mawar merah muda. Tuliskan di pesannya 'semoga lekas sembuh', tapi jangan sertakan namaku. Buatlah itu kiriman anonim dari penggemar rahasianya!" perintah Ananda Kusuma dengan mendetail kepada sekretaris sekaligus asprinya itu.
Aji menganggukkan kepalanya paham. Dia lalu pamit keluar ruangan untuk mengerjakan perintah bosnya itu. Dia segera berangkat sendiri ke florist yang ada di dekat gedung mall tempatnya bekerja. Segalanya harus detail dan tepat seperti yang diinginkan Pak Nanda.
Dua puluh lima tangkai mawar merah muda cantik yang sedang mekar dipilih dan dirangkai dengan baby breath putih dengan kertas hias putih bermotif hati merah jambu mengelilinginya. Pemilik florist berwajah manis itu bertanya, "Apa karangan bunganya untuk pacarnya Mas?"
"Bukan, Mbak. Ini pesanan bos saya untuk pacarnya!" kelit Aji sembari melemparkan senyum tampannya. Wajahnya malahan merona sendiri. Aji masih jomblo dan juga perjaka ting-ting, jadi dia grogi kalau berinteraksi dengan gadis muda yang cantik.
Usai karangan bunga itu selesai dirangkai dan Aji membeli sebuah kartu ucapan kosong bermotif pemandangan senja di pantai yang isinya dia tulis sesuai pesan dari bosnya, pemuda itu pun membayar lalu berpamitan dengan pemilik florist.
Alamat yang ia dapatkan dari Doni tadi jelas, ia membuka aplikasi gmaps di ponselnya dan dengan sepeda motor matic miliknya, Aji melaju menuju ke rumah Maya Angelita.
Sesuai panduan gmaps Aji pun berhenti di depan gerbang pagar besi rumah yang setinggi kepalanya bercat putih. Dia membuka gerbang besi yang tidak digembok itu sembari membawa karangan bunga cantik itu di tangan kirinya. Kemudian ia menekan tombol bel rumah di dinding samping pintu teras depan.
"TING TONG!"
"Sebentar!" teriak seorang wanita dari arah dalam rumah bertipe sederhana sama seperti perumahan tipe 90/110.
Aji pun sabar berdiri di depan pintu hingga dibukakan dari dalam rumah. Seorang wanita paruh baya berparas keibuan yang cantik menyapanya, "Selamat siang, Mas. Anda mencari siapa ya?"
Aji pun berpura-pura sebagai kurir toko bunga dimana tadi ia membeli karangan bunga untuk Maya. "Siang, Tante. Ehh ... ini saya hanya ingin mengirimkan karangan bunga pesanan pelanggan florist Colour Everywhere. Tujuan penerima atas nama Maya Angelita, apa alamatnya benar di sini?"
"Ohh ... benar, itu puteri saya. Baik, saya terima karangan bunganya. Terima kasih ya, Mas. Apa mau minum dulu?" balas mamanya Maya ramah.
"Saya terusan saja, Tante. Terima kasih. Permisi!" tolak Aji seraya berpamitan lalu bergegas meninggalkan teras rumah berhalaman asri itu.
Nyonya Melita Wahyuni pun mengendikkan bahunya lalu menutup kembali pintu teras rumahnya. Ia membawa karangan bunga mawar merah muda cantik itu ke kamar puterinya seraya berseru, "May, ada kiriman bunga cantik lho buat kamu!" Dia membuka pintu kamar tidur Maya dan melihat puterinya sedang sibuk di depan laptopnya.
Maya pun menoleh ke belakang punggungnya untuk menanggapi mamanya, "Ohh ... cantik sekali bunganya! Dari siapa, Ma?"
"Ada kartu pesannya tuh!" sahut mamanya seraya menyerahkan karangan bunga itu ke tangan Maya.
"Emm ... nggak ada namanya sih. Cuma pesan 'semoga lekas sembuh' aja." Maya pun tertawa satir dengan sebersit rasa pedih di hatinya, dia melanjutkan, "mungkin pengirimnya nggak tahu kalau sakit yang aku derita nggak akan bisa sembuh selamanya, Ma."
Nyonya Melita Wahyuni menahan air matanya mendengar perkataan Maya. Dia memeluk puterinya seraya membelai puncak kepala Maya. "Jangan begitu, May. Berdoalah agar suatu hari kamu bisa sembuh!" ucapnya mencoba menguatkan Maya.
Namun, Maya hanya terdiam membisu, dia sudah mendengar diagnosa dokter dengan jelas. Selamanya ia akan duduk di kursi roda. Kata-kata penghiburan mamanya justru membuat dadanya semakin sesak saja.
"Permisi, Bu. Saya mau mengirim undangan, apa benar ini alamat Maya Angelita?" Seorang pemuda kurir yang sepertinya masih remaja itu mengulurkan sepucuk surat undangan tebal berwarna merah hati dengan nama tujuan dan alamat yang benar kepada Nyonya Melita Wahyuni."Ohh iya, memang benar ini rumah Maya, dia puteri saya. Oke, saya terima ya undangannya, Mas!" jawab Nyonya Melita seraya tersenyum ramah. Kurir pengantar undangan itu pun pamit meninggalkan depan pintu teras. Dia menstarter sepeda motornya yang tadi dia parkir di depan pintu gerbang yang terbuka itu.Kemudian Nyonya Melita menutup pintu teras depan rumahnya dan membaca surat undangan acara pertunangan dengan inisial A dan S. Sebelum menyerahkan surat undangan itu kepada puterinya, ia memutuskan untuk membacanya terlebih dahulu. Decakan kesal meluncur dari mulut wanita paruh baya itu, dia berpikir bahwa yang mengirim undangan pertunangan itu pastilah mantan calon besannya, Nyonya Astrid Wijaya. Janda beranak satu itu adala
Sebenarnya niat Maya datang ke acara pertunangan Andre dan Sherrin hanya untuk memberi ucapan selamat lalu pulang. Dia telah menerima kenyataan bahwa sang mantan terindah sudah bisa move on dengan cepat darinya. Tiga bulan saja cukup untuk berganti tunangan bagi Andre.Blitz kamera wartawan menyerbu sosoknya di atas kursi roda. Mamanya menemaninya dengan mendorongnya dari belakang. "Mbak Maya, apa Mbak sakit hati mengetahui Mas Andre sudah bertunangan lagi?!""Mbak Maya, kapan bisa kembali jadi model lagi?!""Apa Mbak Maya ingin menggagalkan acara pertunangan Andre dan Sherrin malam ini?!"Rentetan pertanyaan yang tumpang tindih dilontarkan oleh mulut-mulut usil wartawan majalah gosip dan infotainment terus dilontarkan kepada Maya Angelita. Namun, gadis di atas kursi roda itu hanya bungkam tanpa satu jawaban pun meluncur dari mulutnya."Ma, bawa Maya ke pelaminan saja ya. Kita kasih Kak Andre selamat lalu pulang!" ujar Maya setengah berteriak melawan suara berisik di sekelilingnya.
Diam-diam Ananda Kusuma menatap kepergian mobil milik hotelnya yang mengantarkan gadis lumpuh yang tadi tercebur di kolam renang dan juga ibundanya pulang ke rumah. Sungguh pertemuan tak terduga baginya karena tadi ia sebenarnya hanya memeriksa event akbar pertunangan artis yang menyewa tempat di hotelnya. Langkahnya terhenti saat hendak meninggalkan venue acara yang tiba-tiba heboh dengan teriakan histeris minta tolong. Namun, herannya tak ada satu orang pun yang tergerak menolong sosok yang tenggelam di kolam renang hotelnya. Ananda sempat merutuk karyawannya yang seharusnya bertanggung jawab di area kolam renang, mereka tidak stand by di posisi tugas seharusnya.Alhasil dia sendiri yang berlari melompat ke dalam air karena cemas dengan kasus tenggelam di kolam renang hotelnya yang bisa mencoreng reputasi hotel bintang 5 miliknya. Namun, ketika melihat sosok gadis yang tenggelam di dasar kolam sedalam 2.5 meter itu, jantung Ananda serasa terpukul. Seraut wajah cantik yang tak akan
Ketika Ananda Kusuma melangkahkan kakinya menuju ke ruang makan, dari kejauhan dia sudah mendengar adik perempuan semata wayangnya sedang merayu putera tunggalnya untuk makan pagi. Dia pun tertawa kecil sembari duduk di samping keponakannya."Kalau rewel sarapannya, janji kita semalam batal aja deh!" ancam Ananda dengan efektif kepada bocah laki-laki 8 tahun itu.Edward mengerutkan alisnya dengan sengit lalu duduk bersedekap menoleh ke pamannya. "Om Nanda curang kalau begitu! Janji adalah janji," protesnya.Namun, Ananda hanya menanggapinya santai sambil mengambil satu porsi sandwich daging asap keju ke piringnya. "Kalau begitu selesaikan sarapanmu cepat. Om selalu makan tanpa harus dipaksa sejak kecil. Sarapan itu penting untuk mengisi energi sebelum beraktivitas!" ujar Nanda ringan sembari memberikan wejangannya untuk keponakan kesayangannya.Sebuah helaan napas terpaksa lalu Edward membiarkan maminya menyuapinya dengan menu nasi kuning yang sebetulnya lezat. Dia hanya terlalu malas
"Halo ... namanya siapa ini?" Maya menyapa bocah laki-laki tampan yang ditemani oleh pria yang tadi membetulkan posisi mikrofon untuknya.Edward menyeringai lebar tertular senyuman seterang lampu LED 100 watt itu. Dia pun menyahut, "Namaku Edward, Kak. Ohh ... iya, kenalkan juga pamanku, ini Om Nanda!" Dia menyikut paha pamannya yang jangkung itu dengan agak keras."Ehh ... Ananda," ucap Nanda mengulurkan tangan kanannya kepada Maya. Dia sedikit terkejut karena tak menyangka akan dikenalkan kepada gadis itu oleh keponakannya yang getol menjodohkannya dengan penulis idolanya."Maya—" Gadis itu menatap lurus wajah Nanda yang sama-sama merona seperti dirinya dan agak salah tingkah.Namun, ia pun teringat antrean yang mengular dibelakang Ananda dan Edward. Lalu ia pun menanda tangani buku dongeng milik bocah itu sembari berkata, "Apa mau foto bareng aku juga?""Mau dong, Kak Maya! Ayo Om, buruan banyak yang antre tuh. Pake ponsel Om Nanda aja ya?" Edward segera berpindah posisi ke samping
"Mbak Maya, selamat ya—Anda terpilih menjadi model ambassador produk Flexi Wheel Chair. Kalau pengambilan fotonya siang ini pukul 12.00 WIB apa bisa?" tutur manager bagian promosi perusahaan kursi roda impor asal Jerman di sambungan telepon.Maya yang memang sempat dihubungi sebelumnya oleh Bu Monica Berliana, manager yang sedang meneleponnya saat ini pun merasa gembira. Dia memang sudah tak bisa lagi berjalan melenggak-lenggok di atas sepatu high heels, tetapi dia masih bisa duduk dan berpose dengan menarik di depan lensa kamera. Ada rasa rindu di hatinya menjadi seorang model seperti dulu."Ohh ... siap, Bu Monic. Dimana lokasi pemotretannya ya?" balas Maya dengan sopan."Di Studio Ice-Xpression, Jakarta Selatan. Tahu 'kan, Mbak Maya?" jawab Bu Monica Berliana. Maya pun mengonfirmasi pertanyaan Bu Monica dan mengatakan akan datang ke pemotretan tepat waktu sebelum mengakhiri sambungan telepon mereka. Setelah itu Maya mencoba untuk berpindah dari atas ranjangnya ke kursi roda sendir
"TOK TOK TOK." Suara ketukan jamak di pintu ruangannya membuat Ananda menghentikan pekerjaannya dan berseru, "Masuk!"Aji Prasetyo, sekretaris sekaligus asprinya masuk diikuti seorang pria paruh baya berkepala botak dengan rambut berseling uban di sana sini. "Pak Nanda, ini Pak Rudiyanto yang tadi sudah Anda tunggu kedatangannya," ujar Aji seraya mempersilakan tamu bosnya duduk di seberang meja CEO."Oke, Ji. Kamu boleh keluar. Kalau ada yang cari saya—suruh kembali besok saja atau buat janji lagi, oke?" balas Ananda Kusuma yang duduk di kursi CEO dengan jemari tangan terlipat di meja menatap Aji."Baik, Pak Nanda. Saya permisi kalau begitu," jawab Aji lalu bergegas keluar dan menutup pintu ruangan bosnya rapat-rapat. Kini hanya tinggal Ananda bersama pria yang ia tunggu-tunggu di ruangan itu. Dia pun berdehem lalu menyambut kedatangan tamunya, "Ehm ... selamat datang, Pak. Jadi—Anda Pak Rudiyanto Situmorang? Saya baca di internet kalau Bapak ini instruktur profesional yang bisa mene
Sesuai pelajaran yang ia terima dari kursus kilat fisioterapi Pak Rudiyanto, pria tampan itu menyiapkan seember air hangat yang ia ambil dari keran bathtub serta beberapa krim khusus yang mengandung obat pelancar peredaran darah serta merangsang impuls saraf. Maya duduk berselonjor di kursi panjang khusus untuk terapi kakinya yang lumpuh. Ia membaca majalah mode Famous sembari menunggu kesibukan perawat barunya yang masih belum selesai juga."Maaf nunggu agak lama, May. Yuk kita mulai saja terapinya!" ucap Ananda sambil duduk di bangku pendek di samping kursi panjang Maya. Dengan wajah merona Maya menganggukkan kepalanya seraya menjawab, "Silakan saja, Mas Nanda. Aku siap kok."Tangan Ananda terampil mencelupkan dua handuk berukuran kecil ke dalam air hangat di ember lalu memerasnya sebelum dikompreskan ke kaki bagian betis Maya kanan kiri. Dia mengusap-usapkan handuk setengah basah itu dengan teratur ke sepanjang kaki Maya. Ketika sampai di lutut, ia terhenti dan menatap wajah Maya
Beberapa bulan kemudian sesuai janji Maya kepada Dokter Joyo Baskara, usai kelahiran anak kembar laki-laki dan perempuannya berselang masa nifasnya. Dia mengunjungi TPU Tanah Kusir bersama suaminya kali ini. Mereka hanya berdua saja dan ketiga anak mereka dititipkan di rumah kakek neneknya.Langit pagi itu biru cerah dengan gumpalan awan putih di angkasa. Musim kemarau baru berjalan tak lama di Indonesia waktu itu. Angin di taman pemakaman yang asri dan tenang itu bertiup sepoi-sepoi menerbangkan rambut panjang Maya yang tergerai. Suara serangga tongeret terdengar nyaring mengisi kesunyian tempat dimana ratusan jasad terkubur di bawah tanah berlapis rumput hijau yang terpangkas rapi.Ananda berjalan sembari menggenggam tangan kanan Maya dengan tangan satunya membawakan keranjang bunga mawar tabur untuk makam mendiang Andre dan mamanya.Dari kejauhan mereka dapat mengenali nisan putih bertuliskan nama sepasang ibu dan anak yang telah tiada tak lama berselang itu. Mereka berdua melangka
"Maafkan kami, Bu Maya. Kondisi fisik Nyonya Astrid semakin hari semakin melemah. Secara kejiwaan dan juga pikiran memang terapi psikologisnya berhasil membawa akal sehatnya kembali normal. Hanya saja—semangat hidupnya telah sirna, di situlah letak kesulitannya," terang Dokter Joyo Baskara yang merawat mama Andre selama berbulan-bulan terakhir ini.Maya pun menanggapi perkataan Dokter Joyo melalui sambungan telepon antar negara itu, "Baik, Dok. Kalau boleh saya tahu apakah Tante Astrid masih mau makan teratur setiap hari?""Masih, hanya terlalu sedikit. Dia juga lebih banyak tidur dibanding beraktivitas. Jarang berkomunikasi dengan orang lain yang ada di sekitarnya. Saya yang paling sering berbicara dengan beliau untuk menjalani konseling kejiwaan," ujar Dokter Joyo berusaha menjelaskan situasi sulit yang dihadapinya terkait pasien yang ditanganinya.Setelah berpikir sejenak, Maya pun bertanya, "Seandainya saya datang ke sana, apa beliau mau berbicara dengan tenang?""Nyonya Astrid me
Ketika Ananda sarapan pagi bersama Maya dan Bayu, di sekeliling meja makan juga ada Aji dan Marcella yang sudah dianggap seperti anggota keluarga kecil mereka."Ji, bikinin janji ke rumah sakit sepulang kerja nanti buat Maya ya. Kami mau periksa kehamilan," ujar Ananda santai sambil menikmati menu sarapan paginya.Mendengar perintah bosnya, Aji dan Marcella saling bertukar pandang kikuk. Mereka lalu diam-diam tersenyum satu sama lain. Aji pun menjawab, "Siap, Pak Nanda. Nanti saya buatkan janji ke dokter Obsgyn. Oya, kalau nanti kami nebeng berangkat ke rumah sakit apa boleh, Pak?"Kali ini Maya dan Ananda yang heran lalu Maya yang bereaksi terlebih dahulu, "Siapa yang sakit nih?""Cella juga mau periksa kehamilan sore ini, Bu Maya!" jawab Aji yang membuat seisi meja makan tertawa.Ananda pun menanggapi, "Kok bisa barengan nih jadinya. Padahal bikinnya nggak janjian 'kan?" Mendengar candaan suaminya, Maya mencubit pinggang pria itu hingga mengaduh-aduh. "Mas Nanda ini bisa-bisanya—"
"Hai, Hubby ... apa kamu capek?" sambut Marcella Wrigley saat bayi besarnya memeluknya erat-erat di balik pintu kamar tidur mereka sepulang kerja.Dengan manja Aji menyurukkan wajahnya di lekuk leher istrinya yang menguarkan aroma parfum feminin nan lembut. Dia menyesap kulit putih terang itu, tetapi Marcella membiarkannya begitu sekalipun akan membekas tanda kepemilikan berwarna merah tua nantinya yang tentu saja bertahan cukup lama."Baby Cella, Sayangku ...," gumam Aji sembari meraup tubuh istrinya menuju ke tempat tidur mereka.Wanita berambut pirang dengan sepasang mata biru itu melingkarkan kedua lengannya di leher Aji sambil menatap wajah pemuda berondong menggemaskan yang sedang menggendongnya. "Ji ... aku punya kabar mengejutkan untukmu," ujar Marcella hati-hati saat tubuhnya dibaringkan di atas ranjang. "Apa tuh, Cella?" sahut Aji santai seolah yakin dia tak akan terkejut mendengar pemberitahuan istrinya. Mereka sudah menikah berbulan-bulan dan kipernya telalu ahli menjaga
"Terdakwa penculikan putera dari CEO Grup Kusuma Mulia yaitu pasangan ibu dan anak Hartadinata telah menerima vonis bersalah dari pengadilan dan dijatuhi hukuman kurungan selama 5 tahun. Demikian laporan Desti Triana dan cameraman Rizky Setiadi dari depan ruang sidang. Kembali ke studio 5 Surya TV!" Berita siaran petang itu menjadi tayangan yang menyita perhatian Pak Alan dan Nyonya Belina. Mereka saling bertukar pandang prihatin. Kemudian Nyonya Belina berkata, "Kasihan sebenarnya, Pa. Sekeluarga kok bisa masuk bui semua. Mas Arifian juga masih 14 tahun penjara hukumannya."Pak Alan mendesah lelah, dia pun menanggapi, "Itu keluarga kacau balau, Ma. Kita telah salah mengenali di awal berteman dengan mereka. Tadinya konglomerat, sekarang malah sudah jatuh miskin masih harus tinggal di hotel prodeo. Malunya berlipat-lipat kalau dulu kita jadi berbesan sama mereka, tingkah mereka aneh-aneh begini!""Benar, Pa. Memang Mama dulu salah menilai, justru keluarganya Maya yang baik-baik saja m
Selang 24 jam pasca menghilangnya Bayu dari kediaman Kusuma Mulia. Pihak kepolisian dan juga Ananda Kusuma ditemani oleh sekretarisnya mendatangi Royal Heir Dharmawangsa apartment."TING TONG." Bunyi bel apartment milik Nyonya Shinta terdengar mengejutkan dia dan puterinya yang memang sengaja tidak keluar kemana pun dari apartment itu sejak kemarin malam."Ehh—siapa tuh, Ma?" tanya Deana cemas bertukar pandang dengan mamanya di sofa.Kemudian Nyonya Shinta berjalan ke pintu keluar unit apartmentnya dan mengintip siapa tamunya dari lubang intip. Ketika dia melihat petugas polisi berseragam, makin paniklah dia. "Dea ... Dea, ada polisi di depan!" serunya berlari menuju ke sofa.Namun, gedoran di pintu terdengar bersama suara amarah Ananda. "Buka pintunya atau perlu didobrak?!" teriaknya mengancam dari balik pintu. "Waduh Ma, gimana nih? Kok Mas Nanda tahu kita ada di sini?" Deana mencicit panik.Sementara Bayu yang tadinya diam mulai menjerit-jerit, "PAAPAA ... PAAAPAAA ...."Setelah m
Suara tangisan dan rengekan bayi terdengar memenuhi mobil Alphard putih yang tengah melaju di jalanan ibu kota yang padat oleh kendaraan bermotor petang itu. Sang sopir melirik curiga melalui spion tengah mobil yang dia kemudikan. 'Perasaan tadi nyonya besar dan nyonya muda berangkat nggak bawa bocah. Lha ini ... lantas anak siapa? Jangan-jangan mereka nyulik anak orang!' batin Pak Suryo gelisah sembari berjibaku dengan lalu lintas yang begitu ramai."Rewel banget sih nih bocah!" keluh Deana yang memangku putera Maya. Dia memang tidak suka anak kecil. "Sabar, Dea. Sebentar lagi juga sampai di apartment," bujuk Nyonya Shinta melirik puterinya dan Bayu yang menangis tak henti-hentinya. Memang mereka berdua tidak mengerti kalau bocah laki-laki itu kelaparan, tadi Suster Sisca pergi ke dapur untuk membuatkan susu untuk Bayu dan Nyonya Shinta membawa pergi bocah itu diam-diam.Mobil Alphard putih itu membelok ke apartment Royal Heir Dharmawangsa yang mewah. Pasca hotel milik keluarga Ha
Sore itu kediaman Keluarga Kusuma Mulia ramai dikunjungi oleh serombongan nyonya-nyonya sosialita. Ada arisan elite bulanan yang digelar di sana. Tempat acara bergengsi itu berpindah-pindah sesuai giliran dan kebetulan kali ini jatuh di rumah mama Ananda.Maya pun diundang bersama putera tunggalnya untuk diperkenalkan ke teman-teman arisan Nyonya Belina. Sekalipun Maya sebenarnya tidak terbiasa mengikuti acara semacam itu, mau tak mau demi menghormati mama suaminya dia pun hadir."Jeng-jeng, kenalkan ini Maya Angelita, menantu saya. Mungkin sebagian sudah kenal ya karena dia ini penulis dongeng anak terkenal lho, nggak cuma di Indonesia ... sampai luar negeri juga bukunya dijual. Dan yang ini cucu saya, namanya Bayu. Lucu ya?!" tutur Nyonya Belina berdiri bersama Maya dan Bayu yang digendong mamanya di hadapan teman-teman arisan yang tajir melintir itu.Apa pun yang bisa disombongkan harus ditonjolkan, itulah prinsip anggota arisan elite yang diikuti Nyonya Belina. Para wanita itu pun
Pagi dengan gerimis rintik-rintik sisa hujan besar semalam masih mengguyur kota Jakarta. Wanita cantik dengan gaun hitam selutut itu menguatkan tekadnya untuk mengunjungi TPU Tanah Kusir, tempat dimana mendiang Andre dimakamkan. Mungkin sedikit terlambat, tetapi dia memang baru mengetahui berita duka cita itu belakangan.Payung hitam yang dia bawa untuk menaungi tubuhnya meneteskan air di ujung-ujung rusuk benda itu. Angin dingin yang menerpanya serasa menusuk tulang, pipinya basah oleh air mata yang mengalir di balik kaca mata hitam yang menutupi sebagian wajahnya.Selangkah demi selangkah Maya menuju ke sebuah gundukan tanah merah yang masih baru dibuat. Ada sebentuk nisan yang tertancap bertuliskan nama familiar seorang pemuda yang pernah begitu berarti dalam hidupnya.Keranjang bunga mawar tabur terayun pelan di tangan kanannya. Semakin dekat ia melangkah, dadanya terasa semakin sesak. Maya mungkin telah memiliki cinta baru yang indah bersama Ananda. Namun, kenangan manis masa pac