"Om Nanda, gimana pacarannya sama Kak Maya?" selidik Edward saat mereka berdua dalam perjalanan ke Bandara Soekarno-Hatta menjemput kakek neneknya yang baru saja pulang dari London.Paman Edward itu hanya tertawa penuh rahasia sembari menggeleng-gelengkan kepalanya tak ingin bercerita kepada keponakannya yang kepo dengan hubungannya bersama penulis dongeng idolanya. "Mau tahu aja sih?" tukasnya."Yaelah, Om. Pelit amat ditanyain gitu doang!" protes Edward dengan bibir manyun. "Biarin—anak kecil dilarang ikut campur. Oya, Om pesan ke kamu, jangan cerita tentang Kak Maya ke kakek nenek ya!" pesan Ananda sesaat dia membelokkan mobilnya memasuki area parkir mobil bandara.Edward berdecak tak setuju. "Ckkk ... kenapa memangnya, Om? Kok pake main rahasia-rahasiaan sama kakek nenek sih?" "Ada deh. Lagian nanti mereka ikutan kepo kayak kamu, Om nggak mau—" Ananda memasang hand rem lalu mengajak keponakan kesayangannya itu turun dari mobil. Sesuai perkiraan jam pesawat Emirates Airlines dar
Meskipun Ananda bungkam sepanjang sisa makan malam dengan tujuan perjodohan terselubung itu, nampaknya orang tua kedua pihak antusias meresmikan hubungan anak mereka ke jenjang yang lebih serius. Sebagai pewaris Grup Kusuma Mulia, Ananda tidak bisa bersikap semau dia sendiri. Peran papa mamanya untuk merestui wanita pilihannya terbilang penting.Dia pun menghindari kedekatan yang berlebihan dengan Deana hingga akhir acara makan malam itu. Ananda menolak ajakan berbicara banyak dari gadis cantik pewaris Grup Hartadinata. "Baiklah ... sepertinya hari semakin larut malam. Nanti ngobrol-ngobrolnya dilanjut lain waktu ya, Ananda dan Deana!" ujar Pak Arifian Hartadinata sembari terkekeh senang.Dengan buru-buru Ananda bangkit berdiri dari kursinya lalu mengulurkan tangan kanannya untuk menjabat tangan Pak Arifian. "Sampai jumpa di lain waktu, Om," ujarnya sambil tersenyum palsu yang tampak simpatik. Kemudian dia memyalami mama Deana dan juga gadis itu sebelum beranjak meninggalkan ruangan
Seperti biasa setelah selesai memberikan fisioterapi untuk kaki Maya, CEO yang menyamar menjadi perawat pasien kelumpuhan itu kembali bekerja di kantornya. Dia baru saja keluar dari lift khusus untuk direksi perusahaan dan disambut oleh sekretaris sekaligus asprinya, Aji Prasetyo."Selamat siang, Pak Nanda," ucap Aji sambil berdiri di balik meja kerjanya. Namun, dia tidak hanya bermaksud menyapa Ananda karena ada hal lain yang di luar kebiasaan. Dia bergegas mengikuti bosnya sembari berkata, "Pak, Anda ada tamu di ruang CEO—"Ananda pun sontak membalikkan badannya hingga Aji spontan mengerem karena nyaris menubruk badan bosnya. Dia terdiam dengan ekspresi cemas menatap Ananda. "Siapa?!" tanya Ananda bernada galak mengenai identitas tamunya. Dia tak biasa mendapat tamu dadakan dan sekretarisnya memberi izin orang tersebut menunggu di ruangan kerjanya.Setelah menelan air liurnya, Aji menjawab polos, "Katanya calon tunangan, Bapak. Mbak Dea, gitu namanya."Mendengar jawaban Aji, dia pu
"Aku selain nggak suka cewek agresif juga nggak suka cewek yang kasar kelakuannya! Kamu kenapa main tampar pipi orang?!" sembur Ananda dengan emosional menatap tajam ke arah Deana yang mulai menangis tersedu-sedu."Mas Nanda yang mulai duluan tadi, omongannya nyinyir. Aku masih perawan TING-TING! Seenaknya nge-judge aku macam-macam pas kuliah dulu di Oxford!" balas Deana tak kalah sengit dengan Ananda.Mereka berdiri berhadapan saling melotot satu sama lain. Dalam hati Ananda dia sangat tidak menyukai Deana setelah kunjungannya siang ini ke kantor. Kemudian Ananda pun berkata, "EGP, sudah kamu mendingan pulang aja ke hotelmu. Aku sibuk banget dan malas bicara sama kamu, Dea. Sudah ya!""Ckkk ... aku akan lapor ke papa mamaku kalau kamu kasar sama aku, Mas!" ancam Deana lalu ia bergegas mengambil tas tangannya di kursi sebelum melangkah cepat di atas sepatu berhak 12 centimeter yang mengetuk-ngetuk lantai marmer kantor Ananda menuju ke pintu keluar ruang CEO yang kemudian dibanting hin
Sore itu bel pintu rumah Maya berbunyi, kebetulan papa mamanya sedang pergi berbelanja ke supermarket karena banyak persediaan barang kebutuhan sehari-hari yang habis di rumah. Virna juga belum pulang dari kerja magangnya di Hotel Cakrawala Indonesia. Akhirnya Maya sendiri yang keluar dari kamar tidurnya dengan kursi rodanya untuk melihat siapa tamu yang datang berkunjung.Pintu teras terbuka dan sepasang pria wanita paruh baya berpakaian rapi yang nampak berkelas berdiri di hadapan Maya yang duduk di kursi roda. "Selamat sore. Cari siapa ya?" sapa Maya biasa saja karena tidak mengenali kedua orang asing itu.Wajah wanita dan pria itu mengernyit seolah jijik melihat Maya, tentu saja perasaan gadis itu sedikit terluka, tak enak hati. Kemudian sang wanita berkata, "Apa kamu mengenal Ananda Kusuma?"Sebersit keterkejutan bercampur kebingungan melintas di raut wajah Maya. Dia heran apa hubungan mereka dengan kekasihnya. Namun, Maya berusaha menjaga sopan santun seraya menjawab, "Iya, ken
Ketika Virna mengunjungi Maya di kamar tidur sepupunya itu, dia sedang berbaring di atas ranjangnya dengan bahu terguncang-guncang membelakangi pintu."May, kamu lagi nangis kah?" tanya Virna kepo seperti biasa. Dia lalu melanjutkan ucapannya, "apa kamu putus sama Mas Nanda?"Setelah berdecak dan membersit hidungnya, Maya duduk bersandar di kepala ranjang bertelekan bantal. "Kamu mau ngapain ke kamarku, Vir? Aku lagi males ngobrol!" balas Maya galak karena memang dia tidak suka dengan kebiasaan buruk sepupunya yang doyan nyinyir.Virna duduk di tepi ranjang sepupunya sembari mengamati sepasang mata cantik yang sembab dan merah itu. Dia yakin pasti ada yang tidak beres dengan hubungan pacaran Maya dan Ananda. Setelah mendesah lelah ia pun berkata, "Aku 'kan sudah bilang tempo hari kalau Mas Nanda itu bukan sekadar perawat biasa melainkan juga CEO di tempat magangku. Kamu sih nggak percaya! Kalau dianya gampang move on sama cewek lain ... wajar dong!"Mendengar perkataan nyinyir sepupun
"May, buruan kamu ke Hotel Cakrawala Indonesia. Mas Nanda pagi ini nongol di lobi, aku udah lihat!" ucap Virna di telepon kepada sepupunya di pojok ruangan lobi agar tidak kedengaran rekan-rekan kerjanya.Memang tepat pukul 08.00 WIB pria ganteng bersetelan jas hitam necis itu melenggang melintasi lantai lobi yang luas menuju ke lift khusus direksi diikuti oleh sekretarisnya dan beberapa orang yang Virna tak kenal. Kehadiran Ananda selalu menjadi pusat perhatian para karyawati hotel yang diam-diam mengaguminya dan sebagian juga berandai-andai bisa menjadi kekasihnya. Namun, mereka tak berani coba-coba mendekati Ananda karena bos mereka itu terkenal galak dan dingin.Menurut kabar burung yang beredar di kalangan karyawan karyawati hotel dan mall jaringan Grup Kusuma Mulia, pernah ada beberapa karyawati yang nekad menyampaikan kekaguman dan perasaan istimewa mereka kepada Ananda. Sayangnya ... itu justru jadi bumerang yang merugikan mereka karena Ananda langsung memecat orang-orang nek
Seperti biasanya setiap dua hari sekali Ananda memberikan fisioterapi untuk kaki Maya. Sudah banyak kemajuan yang didapat berkat kombinasi obat dari Mr. Claudio serta terapi Ananda, kaki yang tadinya mati rasa itu mulai bisa bergerak sedikit-sedikit meskipun lemah dan belum bisa menyangga tubuh Maya tanpa alat bantu."May, mungkin ada baiknya kalau aku belikan walker 4 kaki untuk alat bantu jalan. Kamu bisa latihan di rumah juga lebih sering, gimana?" tanya Ananda sambil mengurut kaki Maya dengan krim pelancar sirkulasi darah dan saraf. "Boleh juga, Mas Nanda. Nanti Maya coba pelan-pelan buat belajar jalan-jalan di dalam rumah sini sendiri," jawab Maya antusias.Kemudian Ananda pun mengambil ponsel di tas selempangnya untuk melihat penjual yang menjual walker 4 kaki itu di toko online terdekat. Dia lalu menghubungi nomor kontak yang tertera dan melakukan pemesanan yang akan dikirim hari itu juga."Mas Nanda semangat banget sih! Langsung dipesenin alatnya—makasih ya!" Maya sedikit tak
Beberapa bulan kemudian sesuai janji Maya kepada Dokter Joyo Baskara, usai kelahiran anak kembar laki-laki dan perempuannya berselang masa nifasnya. Dia mengunjungi TPU Tanah Kusir bersama suaminya kali ini. Mereka hanya berdua saja dan ketiga anak mereka dititipkan di rumah kakek neneknya.Langit pagi itu biru cerah dengan gumpalan awan putih di angkasa. Musim kemarau baru berjalan tak lama di Indonesia waktu itu. Angin di taman pemakaman yang asri dan tenang itu bertiup sepoi-sepoi menerbangkan rambut panjang Maya yang tergerai. Suara serangga tongeret terdengar nyaring mengisi kesunyian tempat dimana ratusan jasad terkubur di bawah tanah berlapis rumput hijau yang terpangkas rapi.Ananda berjalan sembari menggenggam tangan kanan Maya dengan tangan satunya membawakan keranjang bunga mawar tabur untuk makam mendiang Andre dan mamanya.Dari kejauhan mereka dapat mengenali nisan putih bertuliskan nama sepasang ibu dan anak yang telah tiada tak lama berselang itu. Mereka berdua melangka
"Maafkan kami, Bu Maya. Kondisi fisik Nyonya Astrid semakin hari semakin melemah. Secara kejiwaan dan juga pikiran memang terapi psikologisnya berhasil membawa akal sehatnya kembali normal. Hanya saja—semangat hidupnya telah sirna, di situlah letak kesulitannya," terang Dokter Joyo Baskara yang merawat mama Andre selama berbulan-bulan terakhir ini.Maya pun menanggapi perkataan Dokter Joyo melalui sambungan telepon antar negara itu, "Baik, Dok. Kalau boleh saya tahu apakah Tante Astrid masih mau makan teratur setiap hari?""Masih, hanya terlalu sedikit. Dia juga lebih banyak tidur dibanding beraktivitas. Jarang berkomunikasi dengan orang lain yang ada di sekitarnya. Saya yang paling sering berbicara dengan beliau untuk menjalani konseling kejiwaan," ujar Dokter Joyo berusaha menjelaskan situasi sulit yang dihadapinya terkait pasien yang ditanganinya.Setelah berpikir sejenak, Maya pun bertanya, "Seandainya saya datang ke sana, apa beliau mau berbicara dengan tenang?""Nyonya Astrid me
Ketika Ananda sarapan pagi bersama Maya dan Bayu, di sekeliling meja makan juga ada Aji dan Marcella yang sudah dianggap seperti anggota keluarga kecil mereka."Ji, bikinin janji ke rumah sakit sepulang kerja nanti buat Maya ya. Kami mau periksa kehamilan," ujar Ananda santai sambil menikmati menu sarapan paginya.Mendengar perintah bosnya, Aji dan Marcella saling bertukar pandang kikuk. Mereka lalu diam-diam tersenyum satu sama lain. Aji pun menjawab, "Siap, Pak Nanda. Nanti saya buatkan janji ke dokter Obsgyn. Oya, kalau nanti kami nebeng berangkat ke rumah sakit apa boleh, Pak?"Kali ini Maya dan Ananda yang heran lalu Maya yang bereaksi terlebih dahulu, "Siapa yang sakit nih?""Cella juga mau periksa kehamilan sore ini, Bu Maya!" jawab Aji yang membuat seisi meja makan tertawa.Ananda pun menanggapi, "Kok bisa barengan nih jadinya. Padahal bikinnya nggak janjian 'kan?" Mendengar candaan suaminya, Maya mencubit pinggang pria itu hingga mengaduh-aduh. "Mas Nanda ini bisa-bisanya—"
"Hai, Hubby ... apa kamu capek?" sambut Marcella Wrigley saat bayi besarnya memeluknya erat-erat di balik pintu kamar tidur mereka sepulang kerja.Dengan manja Aji menyurukkan wajahnya di lekuk leher istrinya yang menguarkan aroma parfum feminin nan lembut. Dia menyesap kulit putih terang itu, tetapi Marcella membiarkannya begitu sekalipun akan membekas tanda kepemilikan berwarna merah tua nantinya yang tentu saja bertahan cukup lama."Baby Cella, Sayangku ...," gumam Aji sembari meraup tubuh istrinya menuju ke tempat tidur mereka.Wanita berambut pirang dengan sepasang mata biru itu melingkarkan kedua lengannya di leher Aji sambil menatap wajah pemuda berondong menggemaskan yang sedang menggendongnya. "Ji ... aku punya kabar mengejutkan untukmu," ujar Marcella hati-hati saat tubuhnya dibaringkan di atas ranjang. "Apa tuh, Cella?" sahut Aji santai seolah yakin dia tak akan terkejut mendengar pemberitahuan istrinya. Mereka sudah menikah berbulan-bulan dan kipernya telalu ahli menjaga
"Terdakwa penculikan putera dari CEO Grup Kusuma Mulia yaitu pasangan ibu dan anak Hartadinata telah menerima vonis bersalah dari pengadilan dan dijatuhi hukuman kurungan selama 5 tahun. Demikian laporan Desti Triana dan cameraman Rizky Setiadi dari depan ruang sidang. Kembali ke studio 5 Surya TV!" Berita siaran petang itu menjadi tayangan yang menyita perhatian Pak Alan dan Nyonya Belina. Mereka saling bertukar pandang prihatin. Kemudian Nyonya Belina berkata, "Kasihan sebenarnya, Pa. Sekeluarga kok bisa masuk bui semua. Mas Arifian juga masih 14 tahun penjara hukumannya."Pak Alan mendesah lelah, dia pun menanggapi, "Itu keluarga kacau balau, Ma. Kita telah salah mengenali di awal berteman dengan mereka. Tadinya konglomerat, sekarang malah sudah jatuh miskin masih harus tinggal di hotel prodeo. Malunya berlipat-lipat kalau dulu kita jadi berbesan sama mereka, tingkah mereka aneh-aneh begini!""Benar, Pa. Memang Mama dulu salah menilai, justru keluarganya Maya yang baik-baik saja m
Selang 24 jam pasca menghilangnya Bayu dari kediaman Kusuma Mulia. Pihak kepolisian dan juga Ananda Kusuma ditemani oleh sekretarisnya mendatangi Royal Heir Dharmawangsa apartment."TING TONG." Bunyi bel apartment milik Nyonya Shinta terdengar mengejutkan dia dan puterinya yang memang sengaja tidak keluar kemana pun dari apartment itu sejak kemarin malam."Ehh—siapa tuh, Ma?" tanya Deana cemas bertukar pandang dengan mamanya di sofa.Kemudian Nyonya Shinta berjalan ke pintu keluar unit apartmentnya dan mengintip siapa tamunya dari lubang intip. Ketika dia melihat petugas polisi berseragam, makin paniklah dia. "Dea ... Dea, ada polisi di depan!" serunya berlari menuju ke sofa.Namun, gedoran di pintu terdengar bersama suara amarah Ananda. "Buka pintunya atau perlu didobrak?!" teriaknya mengancam dari balik pintu. "Waduh Ma, gimana nih? Kok Mas Nanda tahu kita ada di sini?" Deana mencicit panik.Sementara Bayu yang tadinya diam mulai menjerit-jerit, "PAAPAA ... PAAAPAAA ...."Setelah m
Suara tangisan dan rengekan bayi terdengar memenuhi mobil Alphard putih yang tengah melaju di jalanan ibu kota yang padat oleh kendaraan bermotor petang itu. Sang sopir melirik curiga melalui spion tengah mobil yang dia kemudikan. 'Perasaan tadi nyonya besar dan nyonya muda berangkat nggak bawa bocah. Lha ini ... lantas anak siapa? Jangan-jangan mereka nyulik anak orang!' batin Pak Suryo gelisah sembari berjibaku dengan lalu lintas yang begitu ramai."Rewel banget sih nih bocah!" keluh Deana yang memangku putera Maya. Dia memang tidak suka anak kecil. "Sabar, Dea. Sebentar lagi juga sampai di apartment," bujuk Nyonya Shinta melirik puterinya dan Bayu yang menangis tak henti-hentinya. Memang mereka berdua tidak mengerti kalau bocah laki-laki itu kelaparan, tadi Suster Sisca pergi ke dapur untuk membuatkan susu untuk Bayu dan Nyonya Shinta membawa pergi bocah itu diam-diam.Mobil Alphard putih itu membelok ke apartment Royal Heir Dharmawangsa yang mewah. Pasca hotel milik keluarga Ha
Sore itu kediaman Keluarga Kusuma Mulia ramai dikunjungi oleh serombongan nyonya-nyonya sosialita. Ada arisan elite bulanan yang digelar di sana. Tempat acara bergengsi itu berpindah-pindah sesuai giliran dan kebetulan kali ini jatuh di rumah mama Ananda.Maya pun diundang bersama putera tunggalnya untuk diperkenalkan ke teman-teman arisan Nyonya Belina. Sekalipun Maya sebenarnya tidak terbiasa mengikuti acara semacam itu, mau tak mau demi menghormati mama suaminya dia pun hadir."Jeng-jeng, kenalkan ini Maya Angelita, menantu saya. Mungkin sebagian sudah kenal ya karena dia ini penulis dongeng anak terkenal lho, nggak cuma di Indonesia ... sampai luar negeri juga bukunya dijual. Dan yang ini cucu saya, namanya Bayu. Lucu ya?!" tutur Nyonya Belina berdiri bersama Maya dan Bayu yang digendong mamanya di hadapan teman-teman arisan yang tajir melintir itu.Apa pun yang bisa disombongkan harus ditonjolkan, itulah prinsip anggota arisan elite yang diikuti Nyonya Belina. Para wanita itu pun
Pagi dengan gerimis rintik-rintik sisa hujan besar semalam masih mengguyur kota Jakarta. Wanita cantik dengan gaun hitam selutut itu menguatkan tekadnya untuk mengunjungi TPU Tanah Kusir, tempat dimana mendiang Andre dimakamkan. Mungkin sedikit terlambat, tetapi dia memang baru mengetahui berita duka cita itu belakangan.Payung hitam yang dia bawa untuk menaungi tubuhnya meneteskan air di ujung-ujung rusuk benda itu. Angin dingin yang menerpanya serasa menusuk tulang, pipinya basah oleh air mata yang mengalir di balik kaca mata hitam yang menutupi sebagian wajahnya.Selangkah demi selangkah Maya menuju ke sebuah gundukan tanah merah yang masih baru dibuat. Ada sebentuk nisan yang tertancap bertuliskan nama familiar seorang pemuda yang pernah begitu berarti dalam hidupnya.Keranjang bunga mawar tabur terayun pelan di tangan kanannya. Semakin dekat ia melangkah, dadanya terasa semakin sesak. Maya mungkin telah memiliki cinta baru yang indah bersama Ananda. Namun, kenangan manis masa pac