"May, buruan kamu ke Hotel Cakrawala Indonesia. Mas Nanda pagi ini nongol di lobi, aku udah lihat!" ucap Virna di telepon kepada sepupunya di pojok ruangan lobi agar tidak kedengaran rekan-rekan kerjanya.Memang tepat pukul 08.00 WIB pria ganteng bersetelan jas hitam necis itu melenggang melintasi lantai lobi yang luas menuju ke lift khusus direksi diikuti oleh sekretarisnya dan beberapa orang yang Virna tak kenal. Kehadiran Ananda selalu menjadi pusat perhatian para karyawati hotel yang diam-diam mengaguminya dan sebagian juga berandai-andai bisa menjadi kekasihnya. Namun, mereka tak berani coba-coba mendekati Ananda karena bos mereka itu terkenal galak dan dingin.Menurut kabar burung yang beredar di kalangan karyawan karyawati hotel dan mall jaringan Grup Kusuma Mulia, pernah ada beberapa karyawati yang nekad menyampaikan kekaguman dan perasaan istimewa mereka kepada Ananda. Sayangnya ... itu justru jadi bumerang yang merugikan mereka karena Ananda langsung memecat orang-orang nek
Seperti biasanya setiap dua hari sekali Ananda memberikan fisioterapi untuk kaki Maya. Sudah banyak kemajuan yang didapat berkat kombinasi obat dari Mr. Claudio serta terapi Ananda, kaki yang tadinya mati rasa itu mulai bisa bergerak sedikit-sedikit meskipun lemah dan belum bisa menyangga tubuh Maya tanpa alat bantu."May, mungkin ada baiknya kalau aku belikan walker 4 kaki untuk alat bantu jalan. Kamu bisa latihan di rumah juga lebih sering, gimana?" tanya Ananda sambil mengurut kaki Maya dengan krim pelancar sirkulasi darah dan saraf. "Boleh juga, Mas Nanda. Nanti Maya coba pelan-pelan buat belajar jalan-jalan di dalam rumah sini sendiri," jawab Maya antusias.Kemudian Ananda pun mengambil ponsel di tas selempangnya untuk melihat penjual yang menjual walker 4 kaki itu di toko online terdekat. Dia lalu menghubungi nomor kontak yang tertera dan melakukan pemesanan yang akan dikirim hari itu juga."Mas Nanda semangat banget sih! Langsung dipesenin alatnya—makasih ya!" Maya sedikit tak
"Mas Nanda, aku ke mari karena ortu kita ngajakin buat acara makan siang bareng di restoran Nyiur Melambai yang ada di hotel ini juga 'kan?" ucap Deana Isyana Hartadinata membujuk Ananda agar mau menghabiskan waktu bersamanya. Kebetulan kedua orang tua mereka memang mendukung pendekatannya ke Ananda.Dengan enggan Ananda menjawab ajakan gadis sombong itu, "Maaf, kamu aja yang makan siang. Saya masih kenyang, tadi sudah makan siang di luar.""Jangan nolak, Mas. Sebentar kutelepon Tante Belina aja deh biar beliau tahu sendiri kalau anaknya itu yang nggak mau diajak makan siang bareng!" ancam Deana dengan sengaja. Dia tidak senang bila tawarannya ditolak seenak jidat pria itu."Mesti banget sih begitu? Pekerjaan kantorku ini nggak akan selesai kalau sering diganggu dengan acara ramah tamah nggak penting yang memakan waktu di jam kantor. Ini tuh sudah jam 1 siang, semua karyawan juga pastinya mulai bekerja lagi," protes Ananda masih menghadap layar laptopnya. Ada banyak email baru di inbo
"Masakan chef di restoran hotel ini lezat sekali, Jeng Belina," puji Nyonya Shinta Hartadinata berbasa-basi. "Ohh—pastinya, Jeng Shinta. Chef Rudy Sudarmaji ini termasuk chef bintang Michelin lho, kami menggaji beliau tinggi sekali!" jawab Nyonya Belina Kusuma dengan kesombongan yang tersirat. Kemudian karena melihat makan siang sudah berakhir, Ananda pun berniat untuk pamit kembali ke kantornya dari pada menunggu basa-basi membosankan orang tuanya dan orang tua Deana. Dia pun berdehem lalu berkata, "Ehm, maaf. Saya ingin berpamitan kembali ke kantor, Semuanya—""Tunggu, Nanda!" sergah papanya menghentikan Ananda yang sudah siap berdiri, "duduklah dahulu, kami ingin menyampaikan sesuatu yang penting!"Kening Ananda berkerut, dia tak sabar menghadapi basa-basi bertele-tele yang tidak penting, apa yang akan dikatakan oleh papanya? Dia pun duduk kembali dan bersedekap menunjukkan gestur tak sabar sekalipun tiada kata terucap dari bibirnya."Siapa yang mau bicara, Mas Arifian?" tanya pa
Alih-alih kembali ke kantornya di lantai 30, Ananda turun ke parkiran mobil basement untuk mengambil mobilnya. Dia sulit untuk fokus kembali bekerja setelah moodnya dibuat berantakan di restoran tadi. Di jalan menuju ke mobilnya yang kebetulan Ferrari merah dibawa ke kantor hari ini, Ananda menelepon Aji. Nada dering kedua langsung dijawab oleh sekretaris andalannya itu. "Halo, Aji? Ji, aku nggak balik ke kantor. Ini mau keluar—kalau ada yang cari, kamu buatkan janji saja besok pagi lagi, oke?""Siap, Pak Nanda," sahut Aji sigap. Dia paling paham apa yang dimau oleh bosnya.Ananda bergegas naik ke mobil Ferrari merahnya lalu tanjap gas menuju ke rumah Maya. Memang tadi pagi sudah fisioterapi, tetapi kedatangannya beda tujuannya kali ini. Kali ini dia ingin mencurahkan isi hatinya dan berbicara serius dengan kekasihnya."Apa masalahnya dengan kaki Maya yang lumpuh? Itu bukan cacat permanen, ngapain papa mama kayak kebakaran jenggot begitu sih?!" gerutu Ananda sambil menyetir mobilnya
"Gimana sih Ma?! Papa malu sama Mas Fian tadi sama istrinya gara-gara si Nanda buru-buru kabur!" gerutu Pak Alan sesampainya di rumah. Dia membanting tubuhnya di sofa ruang tengah sembari memijit pelipisnya karena pusing.Nyonya Belina juga duduk di sebelahnya, dia justru terdiam memikirkan cara yang jitu untuk memisahkan Ananda dari gadis cacat tak tahu diri itu. Rupanya pertunangan dadakan yang awalnya ia usulkan tak mempan untuk memaksa Ananda mengikuti keinginan mereka.Kemudian wanita itu pun menjentikkan jarinya dengan wajah licik. "Pa, besok kita datangi lagi rumah gadis cacat itu. Kita tekan secara mental agar dia sadar diri dan meninggalkan Nanda dengan keinginannya sendiri. Atau ... bisa juga kita berikan uang yang cukup besar sebagai kompensasi dia mengakhiri hubungannya dengan Nanda selamanya!" usul Nyonya Belina sembari menatap suaminya."Boleh juga usul Mama. Memang seharusnya begitu. Semua orang miskin tuh sama saja, mereka ijo matanya kalau sudah dikasih duit banyak. S
Seusai keberangkatan Ananda dan Edward dari rumah, pasangan suami istri Kusuma juga menyuruh sopir pribadi mereka mengantarkan ke rumah Maya. Rencana untuk menekan Maya ingin segera mereka jalankan. Segalanya sudah dipersiapkan dengan matang. Surat perjanjian yang harus ditanda tangani gadis cacat itu pun sudah mereka bawa, semalam notaris keluarga Kusuma Mulia mengirimkan file itu via email dan Pak Alan mencetaknya di ruang kantor rumahnya."Nanti mendingan Mama aja yang bujuk si Maya ya?" pinta Pak Alan yng duduk bersebelahan dengan istrinya dalam mobil sedan BMW hitam yang melaju itu."Beres, Pa. Pokoknya surat perjanjian ditanda tangani gadis lumpuh itu dan uang nanti kita transfer. Mustahil dia akan menolak uang sebanyak itu 'kan?" ujar Nyonya Belina dengan yakin. Di matanya semua orang kalangan menengah ke bawah itu doyan duit tak terkecuali Maya.Sekitar pukul 09.00 WIB mobil yang membawa pasangan Kusuma sampai di depan pintu gerbang halaman rumah Maya. Kebetulan sekali gadis y
"Kenapa jadi begini, Mas Alan? Saya pikir kemarin kita sudah sepakat untuk menjodohkan Deana dengan Ananda!" ucap Pak Arifian dalam teleponnya. Dia cemas akan kehilangan besan potensial yang dapat membantu kesulitan bisnis Grup Hartadinata."Maaf, Mas Fian. Sayangnya Ananda bersikeras untuk menikahi gadis cacat yang tak bisa berjalan itu. Kami sudah melakukan usaha semaksimal mungkin, sayangnya memang itu keputusan final dari Ananda sendiri," jawab Pak Alan dengan rasa sungkan.Sejenak mereka terdiam saling menimbang-nimbang langkah berikutnya karena situasi yang berkembang seolah berlawanan dengan ekspektasi pihak kedua orang tua pasangan yang dijodohkan itu. Kemudian Pak Arifian pun mengusapkan salam perpisahan sebelum menutup panggilan telepon itu."Ma, kita harus bertindak agresif bila masih ingin Deana berjodoh dengan Ananda Kusuma. Pemuda itu tangkapan yang sangat bagus untuk jodoh anak kita," tutur Pak Arifian sambil berjalan mondar mandir di ruang keluarga kediaman Hartadinata
Beberapa bulan kemudian sesuai janji Maya kepada Dokter Joyo Baskara, usai kelahiran anak kembar laki-laki dan perempuannya berselang masa nifasnya. Dia mengunjungi TPU Tanah Kusir bersama suaminya kali ini. Mereka hanya berdua saja dan ketiga anak mereka dititipkan di rumah kakek neneknya.Langit pagi itu biru cerah dengan gumpalan awan putih di angkasa. Musim kemarau baru berjalan tak lama di Indonesia waktu itu. Angin di taman pemakaman yang asri dan tenang itu bertiup sepoi-sepoi menerbangkan rambut panjang Maya yang tergerai. Suara serangga tongeret terdengar nyaring mengisi kesunyian tempat dimana ratusan jasad terkubur di bawah tanah berlapis rumput hijau yang terpangkas rapi.Ananda berjalan sembari menggenggam tangan kanan Maya dengan tangan satunya membawakan keranjang bunga mawar tabur untuk makam mendiang Andre dan mamanya.Dari kejauhan mereka dapat mengenali nisan putih bertuliskan nama sepasang ibu dan anak yang telah tiada tak lama berselang itu. Mereka berdua melangka
"Maafkan kami, Bu Maya. Kondisi fisik Nyonya Astrid semakin hari semakin melemah. Secara kejiwaan dan juga pikiran memang terapi psikologisnya berhasil membawa akal sehatnya kembali normal. Hanya saja—semangat hidupnya telah sirna, di situlah letak kesulitannya," terang Dokter Joyo Baskara yang merawat mama Andre selama berbulan-bulan terakhir ini.Maya pun menanggapi perkataan Dokter Joyo melalui sambungan telepon antar negara itu, "Baik, Dok. Kalau boleh saya tahu apakah Tante Astrid masih mau makan teratur setiap hari?""Masih, hanya terlalu sedikit. Dia juga lebih banyak tidur dibanding beraktivitas. Jarang berkomunikasi dengan orang lain yang ada di sekitarnya. Saya yang paling sering berbicara dengan beliau untuk menjalani konseling kejiwaan," ujar Dokter Joyo berusaha menjelaskan situasi sulit yang dihadapinya terkait pasien yang ditanganinya.Setelah berpikir sejenak, Maya pun bertanya, "Seandainya saya datang ke sana, apa beliau mau berbicara dengan tenang?""Nyonya Astrid me
Ketika Ananda sarapan pagi bersama Maya dan Bayu, di sekeliling meja makan juga ada Aji dan Marcella yang sudah dianggap seperti anggota keluarga kecil mereka."Ji, bikinin janji ke rumah sakit sepulang kerja nanti buat Maya ya. Kami mau periksa kehamilan," ujar Ananda santai sambil menikmati menu sarapan paginya.Mendengar perintah bosnya, Aji dan Marcella saling bertukar pandang kikuk. Mereka lalu diam-diam tersenyum satu sama lain. Aji pun menjawab, "Siap, Pak Nanda. Nanti saya buatkan janji ke dokter Obsgyn. Oya, kalau nanti kami nebeng berangkat ke rumah sakit apa boleh, Pak?"Kali ini Maya dan Ananda yang heran lalu Maya yang bereaksi terlebih dahulu, "Siapa yang sakit nih?""Cella juga mau periksa kehamilan sore ini, Bu Maya!" jawab Aji yang membuat seisi meja makan tertawa.Ananda pun menanggapi, "Kok bisa barengan nih jadinya. Padahal bikinnya nggak janjian 'kan?" Mendengar candaan suaminya, Maya mencubit pinggang pria itu hingga mengaduh-aduh. "Mas Nanda ini bisa-bisanya—"
"Hai, Hubby ... apa kamu capek?" sambut Marcella Wrigley saat bayi besarnya memeluknya erat-erat di balik pintu kamar tidur mereka sepulang kerja.Dengan manja Aji menyurukkan wajahnya di lekuk leher istrinya yang menguarkan aroma parfum feminin nan lembut. Dia menyesap kulit putih terang itu, tetapi Marcella membiarkannya begitu sekalipun akan membekas tanda kepemilikan berwarna merah tua nantinya yang tentu saja bertahan cukup lama."Baby Cella, Sayangku ...," gumam Aji sembari meraup tubuh istrinya menuju ke tempat tidur mereka.Wanita berambut pirang dengan sepasang mata biru itu melingkarkan kedua lengannya di leher Aji sambil menatap wajah pemuda berondong menggemaskan yang sedang menggendongnya. "Ji ... aku punya kabar mengejutkan untukmu," ujar Marcella hati-hati saat tubuhnya dibaringkan di atas ranjang. "Apa tuh, Cella?" sahut Aji santai seolah yakin dia tak akan terkejut mendengar pemberitahuan istrinya. Mereka sudah menikah berbulan-bulan dan kipernya telalu ahli menjaga
"Terdakwa penculikan putera dari CEO Grup Kusuma Mulia yaitu pasangan ibu dan anak Hartadinata telah menerima vonis bersalah dari pengadilan dan dijatuhi hukuman kurungan selama 5 tahun. Demikian laporan Desti Triana dan cameraman Rizky Setiadi dari depan ruang sidang. Kembali ke studio 5 Surya TV!" Berita siaran petang itu menjadi tayangan yang menyita perhatian Pak Alan dan Nyonya Belina. Mereka saling bertukar pandang prihatin. Kemudian Nyonya Belina berkata, "Kasihan sebenarnya, Pa. Sekeluarga kok bisa masuk bui semua. Mas Arifian juga masih 14 tahun penjara hukumannya."Pak Alan mendesah lelah, dia pun menanggapi, "Itu keluarga kacau balau, Ma. Kita telah salah mengenali di awal berteman dengan mereka. Tadinya konglomerat, sekarang malah sudah jatuh miskin masih harus tinggal di hotel prodeo. Malunya berlipat-lipat kalau dulu kita jadi berbesan sama mereka, tingkah mereka aneh-aneh begini!""Benar, Pa. Memang Mama dulu salah menilai, justru keluarganya Maya yang baik-baik saja m
Selang 24 jam pasca menghilangnya Bayu dari kediaman Kusuma Mulia. Pihak kepolisian dan juga Ananda Kusuma ditemani oleh sekretarisnya mendatangi Royal Heir Dharmawangsa apartment."TING TONG." Bunyi bel apartment milik Nyonya Shinta terdengar mengejutkan dia dan puterinya yang memang sengaja tidak keluar kemana pun dari apartment itu sejak kemarin malam."Ehh—siapa tuh, Ma?" tanya Deana cemas bertukar pandang dengan mamanya di sofa.Kemudian Nyonya Shinta berjalan ke pintu keluar unit apartmentnya dan mengintip siapa tamunya dari lubang intip. Ketika dia melihat petugas polisi berseragam, makin paniklah dia. "Dea ... Dea, ada polisi di depan!" serunya berlari menuju ke sofa.Namun, gedoran di pintu terdengar bersama suara amarah Ananda. "Buka pintunya atau perlu didobrak?!" teriaknya mengancam dari balik pintu. "Waduh Ma, gimana nih? Kok Mas Nanda tahu kita ada di sini?" Deana mencicit panik.Sementara Bayu yang tadinya diam mulai menjerit-jerit, "PAAPAA ... PAAAPAAA ...."Setelah m
Suara tangisan dan rengekan bayi terdengar memenuhi mobil Alphard putih yang tengah melaju di jalanan ibu kota yang padat oleh kendaraan bermotor petang itu. Sang sopir melirik curiga melalui spion tengah mobil yang dia kemudikan. 'Perasaan tadi nyonya besar dan nyonya muda berangkat nggak bawa bocah. Lha ini ... lantas anak siapa? Jangan-jangan mereka nyulik anak orang!' batin Pak Suryo gelisah sembari berjibaku dengan lalu lintas yang begitu ramai."Rewel banget sih nih bocah!" keluh Deana yang memangku putera Maya. Dia memang tidak suka anak kecil. "Sabar, Dea. Sebentar lagi juga sampai di apartment," bujuk Nyonya Shinta melirik puterinya dan Bayu yang menangis tak henti-hentinya. Memang mereka berdua tidak mengerti kalau bocah laki-laki itu kelaparan, tadi Suster Sisca pergi ke dapur untuk membuatkan susu untuk Bayu dan Nyonya Shinta membawa pergi bocah itu diam-diam.Mobil Alphard putih itu membelok ke apartment Royal Heir Dharmawangsa yang mewah. Pasca hotel milik keluarga Ha
Sore itu kediaman Keluarga Kusuma Mulia ramai dikunjungi oleh serombongan nyonya-nyonya sosialita. Ada arisan elite bulanan yang digelar di sana. Tempat acara bergengsi itu berpindah-pindah sesuai giliran dan kebetulan kali ini jatuh di rumah mama Ananda.Maya pun diundang bersama putera tunggalnya untuk diperkenalkan ke teman-teman arisan Nyonya Belina. Sekalipun Maya sebenarnya tidak terbiasa mengikuti acara semacam itu, mau tak mau demi menghormati mama suaminya dia pun hadir."Jeng-jeng, kenalkan ini Maya Angelita, menantu saya. Mungkin sebagian sudah kenal ya karena dia ini penulis dongeng anak terkenal lho, nggak cuma di Indonesia ... sampai luar negeri juga bukunya dijual. Dan yang ini cucu saya, namanya Bayu. Lucu ya?!" tutur Nyonya Belina berdiri bersama Maya dan Bayu yang digendong mamanya di hadapan teman-teman arisan yang tajir melintir itu.Apa pun yang bisa disombongkan harus ditonjolkan, itulah prinsip anggota arisan elite yang diikuti Nyonya Belina. Para wanita itu pun
Pagi dengan gerimis rintik-rintik sisa hujan besar semalam masih mengguyur kota Jakarta. Wanita cantik dengan gaun hitam selutut itu menguatkan tekadnya untuk mengunjungi TPU Tanah Kusir, tempat dimana mendiang Andre dimakamkan. Mungkin sedikit terlambat, tetapi dia memang baru mengetahui berita duka cita itu belakangan.Payung hitam yang dia bawa untuk menaungi tubuhnya meneteskan air di ujung-ujung rusuk benda itu. Angin dingin yang menerpanya serasa menusuk tulang, pipinya basah oleh air mata yang mengalir di balik kaca mata hitam yang menutupi sebagian wajahnya.Selangkah demi selangkah Maya menuju ke sebuah gundukan tanah merah yang masih baru dibuat. Ada sebentuk nisan yang tertancap bertuliskan nama familiar seorang pemuda yang pernah begitu berarti dalam hidupnya.Keranjang bunga mawar tabur terayun pelan di tangan kanannya. Semakin dekat ia melangkah, dadanya terasa semakin sesak. Maya mungkin telah memiliki cinta baru yang indah bersama Ananda. Namun, kenangan manis masa pac