Jantung Maya mendadak aritmia, dia tidak menyangka di siang hari berpenghujan deras ini seorang pria akan menembaknya menjadi pacar. Dia dan Ananda masih tergolong baru berkenalan, terlalu dini rasanya bila menjalin sebuah hubungan spesial."Mas Nanda, kalau aku minta waktu lebih lama buat pikir-pikir dulu apa boleh?" tanya Maya hati-hati. Dia merasa trauma di hubungan cintanya dengan Andre yang kandas jelang pernikahannya masih terasa menyakitkan.Sebuah jawaban tak terduga dari Maya membuat Ananda justru menaikkan penilaiannya kepada gadis di hadapannya. Seharusnya karena kondisinya yang cacat, Maya akan dengan mudah menerima tawaran cintanya. Namun, gadis itu malah minta waktu berpikir matang."Baiklah. Ambil waktu yang kau perlukan, May. Ketahuilah bahwa perasaanku kepadamu tulus," ujar Ananda lalu bangkit berdiri dan duduk di kursi samping Maya.Dengan cekatan Maya melayani Ananda untuk mengambilkan menu makan siang yang telah disiapkan oleh mamanya sebelum berangkat ke Bekasi. M
Ketika melihat Ananda yang berdiri di bingkai pintu teras depan dalam kondisi basah kuyup, hati Maya seolah jatuh iba. Pria muda itu hanya ingin membantunya mandi, tetapi malah terpeleset sabun cair yang menetes di lantai dan tercebur ke dalam bathtub bersamanya tadi. Maya menjalankan kursi rodanya mendekati Ananda seraya berkata, "Mas Nanda, ganti baju dulu ya pakai pakaian punya papaku? Ukuran kalian sepertinya mirip kok."Mendengar suara Maya maka Ananda pun menoleh ke belakang. "Oke, aku pinjam baju papamu dulu ya, May!" ujarnya seraya menerima sepasang kaos dan celana jins selutut beserta celana dalam pria yang diulurkan oleh Maya kepadanya."Kalau mau sekalian mandi di kamar mandiku boleh, Mas Nanda!" seru Maya saat Ananda bergegas masuk ke kamar tidunya.Ananda menoleh ke arah Maya lalu menganggukkan kepalanya. Rasanya lengket juga tubuhnya setelah beraktivitas seharian ditambah basah-basahan bersama Maya di bathtub. Dia pun menutup pintu kamar Maya lalu meletakkan pakaian gan
Dalam benak Ananda Kusuma, dia ingin berjuang sekuat tenaga untuk membuat Maya dapat berjalan lagi. Itu pun termasuk menyuntik modal berupa pembelian saham perusahaan farmasi asal Filipina. Dia ingin agar pabrik obat terkemuka itu meneliti formula suplemen dan obat kimia maupun herbal yang dapat menyembuhkan kelumpuhan saraf terutama di kaki.Pagi itu dia menemui delegasi dari Filipina yang dipimpin sendiri oleh owner sekaligus presdir perusahaan farmasi itu, Mr. Claudio Gonzacio. Mereka bertemu di convention hall berukuran sedang di Hotel Cakrawala Indonesia lantai 10. Ananda menyambut hangat kehadiran Mr. Claudio dengan jabat tangan dan pelukan. Dia mempersilakan semua delegasi dari Filipina untuk duduk di kursi rapat yang mengelilingi meja meeting oval.(Percakapan diterjemahkan langsung dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia)"Selamat pagi, Semuanya. Mister Claudio, selamat datang di Indonesia! Terima kasih telah berkunjung ke kantor Grup Kusuma Mulia," sambut Ananda langsung ta
Hari baru lagi bagi Ananda Kusuma untuk merawat pujaan hatinya. Dia bersiul-siul riang selama perjalanan menuju ke rumah Maya. Sepertinya naik sepeda motor matic sudah menjadi kebiasaan barunya yang tak lagi menyebalkan. Beberapa bulan lalu ia mungkin merasa uring-uringan setiap kali menaiki mode transportasi yang kurang nyaman itu. Namun, sekarang Ananda sudah terbiasa.Sesampainya di halaman depan teras rumah yang asri itu, Ananda memarkir sepeda motor matic miliknya yang berwarna hitam itu. Pintu teras depan dibukakan oleh mama Maya, wanita itu telah mendengar suara sepeda motor milik Ananda dari dalam rumah."Pagi, Bu. Apa Maya ada?" sapa Ananda menjabat tangan Nyonya Melita Wahyuni dengan sopan.Wanita paruh baya itu tersenyum senang, dia pun menjawab, "Pagi juga, Mas Nanda. Pasti ada dong, tapi Maya lagi sibuk di dapur tuh.""Ehh—apa dia lagi masak, Bu?" Ananda mendadak penasaran."Coba kamu tengok sendiri, oke? Ayo masuk aja ke dalam," sahut mama Maya menyunggingkan senyum mist
"May, kamu mau nggak seandainya kuajak pergi jalan-jalan keluar rumah? Yaa—nggak hari ini sih tapi lusa atau kapan kamu siap," tanya Ananda kepada Maya sambil mengurut kaki kanan gadis itu.Tatapan ragu itu seolah memberi pertanda akan sebuah penolakan dari Maya. Namun, Ananda tak mudah menyerah. Dia berkata lagi, "Aku pengin ajakin kamu ke taman yang dekat saja di sekitar Jakarta sini. Bukan mau culik kamu ke tempat antah barantah, jangan kuatir!" "Emm ... boleh deh, Mas. Kapan aja aku bisa asalkan nggak hujan, sepertinya juga sudah saatnya buatku refreshing otak. Sebulan ini memang menulis cerita dongengnya terlalu aku paksain—nggak baik deh!" ujar Maya mengiyakan permintaan Ananda. Senyum ceria menghiasi wajah pria muda tampan itu, sesuatu yang jarang bisa dilihat orang lain darinya. Karyawan di perusahaannya menilai dirinya sebagai bos yang serius serta cenderung galak pada bawahannya."Lusa ya, May?" tanya Ananda memastikan jadwal jalan-jalan mereka berdua.Maya menganggukkan k
Sesuai janjinya kepada Maya, pukul 10.00 WIB mereka berdua berangkat ke sebuah taman bunga yang masih berada di kawasan Jakarta. Ananda mengendarai mobil pinjaman dari mama Maya."Hati-hati bawa mobilnya ya, Mas Nanda!" pesan Nyonya Melita Wahyuni saat melepas kepergian puterinya bersama perawat gadis itu di halaman depan garasi rumahnya."Tenang, Bu Melita. Saya sudah biasa bawa mobil kok, nggak akan saya bikin penyok apa gores," sahut Ananda sembari tertawa pelan. Maya pun berkata gemas kepada mamanya, "Mama ini baru kuatirnya sekarang! Kemarin diiya-iyain Mas Nanda pas pinjam mobil. Jadi gimana nih, Ma, berangkat atau batal pergi jalan-jalannya?" "Ckkk ... Maya!" Nyonya Melita menatap puterinya dengan kesal. Lalu ia pun berkata kepada Ananda, "Sudah—berangkat sekarang aja ya Mas Nanda, nanti keburu siang malah hujan pula!""Baik, Bu. Saya bawa Avanza-nya dan juga Maya. Permisi—" Ananda pun melambaikan tangan kanannya ke mama Maya lalu melajukan mobil Avanza putih itu meninggalkan
"Sherrin!" teriak Andre lalu mengejar tunangannya yang berlari menjauh dari kerumunan.Tangan Andre terulur menangkap pergelangan tangan gadis itu dan merengkuhnya ke dalam dekapannya di tepi danau. "Hey ... hey ... kamu salah paham, Sher. Nggak ada apa-apa antara aku dan Maya. Kami sudah selesai, dia bukan siapa-siapaku lagi," tutur Andre berusaha meyakinkan tunangannya yang terisak-isak di pelukannya.Wajah Sherrin yang tersembunyi dari tatapan Andre di dada pria itu menyeringai licik. Dia senang karena kini tak ada lagi tempat untuk Maya kembali ke sisi Andre. 'Dasar gadis lumpuh! Lihat nih, siapa yang dipilih sama Andre ... gue bukan loe 'kan?' batinnya puas.Sementara itu Maya yang menatap kemesraan Andre dan Sherrin dari kejauhan memalingkan wajahnya yang memerah menahan air matanya luruh. Mantan rekan modelnya, Belvania menepuk-nepuk bahu Maya seraya berkata, "May, lupakan saja Andre. Dia sudah memilih kekasihnya yang baru. Jangan mengharapkan dia kembali, kamu hanya akan kecew
Sesampainya di restoran steak, Ananda mendorong kursi roda Maya menuju ke sebuah meja makan kosong. Dia sangat senang karena makan siang yang agak terlambat kali ini untuk merayakan hari jadian mereka berdua. Ananda tak menyangka saat dia mengajak Maya untuk berjalan-jalan ke taman bunga akan berakhir seindah ini, mimpi apa semalam? pikirnya. Setelah mereka duduk bersebelahan di restoran steak itu, seorang waiter menghampiri meja dan menyapa sembari membagikan buku menu, "Silakan, Mbak, Mas. Apa mau lihat-lihat buku menunya dulu atau langsung pesan?""Ehh ... langsung pesan aja, Mas. Sudah lapar nih!" jawab Ananda dengan cepat. Dia lalu memesan menu favoritnya, "Sirloin Wagyu Meltique with Mushroom Brown Sauce satu sama Iced Lemon Tea. Kalau kamu mau pesan apa, May?"Maya yang baru sekali ke restoran itu melihat-lihat buku menu dengan seksama sambil membolak-balik halamannya membandingkan harga dan tampilan menu yang menarik di situ. Kemudian ia memilih pesanan menunya, "Mas, saya p
Beberapa bulan kemudian sesuai janji Maya kepada Dokter Joyo Baskara, usai kelahiran anak kembar laki-laki dan perempuannya berselang masa nifasnya. Dia mengunjungi TPU Tanah Kusir bersama suaminya kali ini. Mereka hanya berdua saja dan ketiga anak mereka dititipkan di rumah kakek neneknya.Langit pagi itu biru cerah dengan gumpalan awan putih di angkasa. Musim kemarau baru berjalan tak lama di Indonesia waktu itu. Angin di taman pemakaman yang asri dan tenang itu bertiup sepoi-sepoi menerbangkan rambut panjang Maya yang tergerai. Suara serangga tongeret terdengar nyaring mengisi kesunyian tempat dimana ratusan jasad terkubur di bawah tanah berlapis rumput hijau yang terpangkas rapi.Ananda berjalan sembari menggenggam tangan kanan Maya dengan tangan satunya membawakan keranjang bunga mawar tabur untuk makam mendiang Andre dan mamanya.Dari kejauhan mereka dapat mengenali nisan putih bertuliskan nama sepasang ibu dan anak yang telah tiada tak lama berselang itu. Mereka berdua melangka
"Maafkan kami, Bu Maya. Kondisi fisik Nyonya Astrid semakin hari semakin melemah. Secara kejiwaan dan juga pikiran memang terapi psikologisnya berhasil membawa akal sehatnya kembali normal. Hanya saja—semangat hidupnya telah sirna, di situlah letak kesulitannya," terang Dokter Joyo Baskara yang merawat mama Andre selama berbulan-bulan terakhir ini.Maya pun menanggapi perkataan Dokter Joyo melalui sambungan telepon antar negara itu, "Baik, Dok. Kalau boleh saya tahu apakah Tante Astrid masih mau makan teratur setiap hari?""Masih, hanya terlalu sedikit. Dia juga lebih banyak tidur dibanding beraktivitas. Jarang berkomunikasi dengan orang lain yang ada di sekitarnya. Saya yang paling sering berbicara dengan beliau untuk menjalani konseling kejiwaan," ujar Dokter Joyo berusaha menjelaskan situasi sulit yang dihadapinya terkait pasien yang ditanganinya.Setelah berpikir sejenak, Maya pun bertanya, "Seandainya saya datang ke sana, apa beliau mau berbicara dengan tenang?""Nyonya Astrid me
Ketika Ananda sarapan pagi bersama Maya dan Bayu, di sekeliling meja makan juga ada Aji dan Marcella yang sudah dianggap seperti anggota keluarga kecil mereka."Ji, bikinin janji ke rumah sakit sepulang kerja nanti buat Maya ya. Kami mau periksa kehamilan," ujar Ananda santai sambil menikmati menu sarapan paginya.Mendengar perintah bosnya, Aji dan Marcella saling bertukar pandang kikuk. Mereka lalu diam-diam tersenyum satu sama lain. Aji pun menjawab, "Siap, Pak Nanda. Nanti saya buatkan janji ke dokter Obsgyn. Oya, kalau nanti kami nebeng berangkat ke rumah sakit apa boleh, Pak?"Kali ini Maya dan Ananda yang heran lalu Maya yang bereaksi terlebih dahulu, "Siapa yang sakit nih?""Cella juga mau periksa kehamilan sore ini, Bu Maya!" jawab Aji yang membuat seisi meja makan tertawa.Ananda pun menanggapi, "Kok bisa barengan nih jadinya. Padahal bikinnya nggak janjian 'kan?" Mendengar candaan suaminya, Maya mencubit pinggang pria itu hingga mengaduh-aduh. "Mas Nanda ini bisa-bisanya—"
"Hai, Hubby ... apa kamu capek?" sambut Marcella Wrigley saat bayi besarnya memeluknya erat-erat di balik pintu kamar tidur mereka sepulang kerja.Dengan manja Aji menyurukkan wajahnya di lekuk leher istrinya yang menguarkan aroma parfum feminin nan lembut. Dia menyesap kulit putih terang itu, tetapi Marcella membiarkannya begitu sekalipun akan membekas tanda kepemilikan berwarna merah tua nantinya yang tentu saja bertahan cukup lama."Baby Cella, Sayangku ...," gumam Aji sembari meraup tubuh istrinya menuju ke tempat tidur mereka.Wanita berambut pirang dengan sepasang mata biru itu melingkarkan kedua lengannya di leher Aji sambil menatap wajah pemuda berondong menggemaskan yang sedang menggendongnya. "Ji ... aku punya kabar mengejutkan untukmu," ujar Marcella hati-hati saat tubuhnya dibaringkan di atas ranjang. "Apa tuh, Cella?" sahut Aji santai seolah yakin dia tak akan terkejut mendengar pemberitahuan istrinya. Mereka sudah menikah berbulan-bulan dan kipernya telalu ahli menjaga
"Terdakwa penculikan putera dari CEO Grup Kusuma Mulia yaitu pasangan ibu dan anak Hartadinata telah menerima vonis bersalah dari pengadilan dan dijatuhi hukuman kurungan selama 5 tahun. Demikian laporan Desti Triana dan cameraman Rizky Setiadi dari depan ruang sidang. Kembali ke studio 5 Surya TV!" Berita siaran petang itu menjadi tayangan yang menyita perhatian Pak Alan dan Nyonya Belina. Mereka saling bertukar pandang prihatin. Kemudian Nyonya Belina berkata, "Kasihan sebenarnya, Pa. Sekeluarga kok bisa masuk bui semua. Mas Arifian juga masih 14 tahun penjara hukumannya."Pak Alan mendesah lelah, dia pun menanggapi, "Itu keluarga kacau balau, Ma. Kita telah salah mengenali di awal berteman dengan mereka. Tadinya konglomerat, sekarang malah sudah jatuh miskin masih harus tinggal di hotel prodeo. Malunya berlipat-lipat kalau dulu kita jadi berbesan sama mereka, tingkah mereka aneh-aneh begini!""Benar, Pa. Memang Mama dulu salah menilai, justru keluarganya Maya yang baik-baik saja m
Selang 24 jam pasca menghilangnya Bayu dari kediaman Kusuma Mulia. Pihak kepolisian dan juga Ananda Kusuma ditemani oleh sekretarisnya mendatangi Royal Heir Dharmawangsa apartment."TING TONG." Bunyi bel apartment milik Nyonya Shinta terdengar mengejutkan dia dan puterinya yang memang sengaja tidak keluar kemana pun dari apartment itu sejak kemarin malam."Ehh—siapa tuh, Ma?" tanya Deana cemas bertukar pandang dengan mamanya di sofa.Kemudian Nyonya Shinta berjalan ke pintu keluar unit apartmentnya dan mengintip siapa tamunya dari lubang intip. Ketika dia melihat petugas polisi berseragam, makin paniklah dia. "Dea ... Dea, ada polisi di depan!" serunya berlari menuju ke sofa.Namun, gedoran di pintu terdengar bersama suara amarah Ananda. "Buka pintunya atau perlu didobrak?!" teriaknya mengancam dari balik pintu. "Waduh Ma, gimana nih? Kok Mas Nanda tahu kita ada di sini?" Deana mencicit panik.Sementara Bayu yang tadinya diam mulai menjerit-jerit, "PAAPAA ... PAAAPAAA ...."Setelah m
Suara tangisan dan rengekan bayi terdengar memenuhi mobil Alphard putih yang tengah melaju di jalanan ibu kota yang padat oleh kendaraan bermotor petang itu. Sang sopir melirik curiga melalui spion tengah mobil yang dia kemudikan. 'Perasaan tadi nyonya besar dan nyonya muda berangkat nggak bawa bocah. Lha ini ... lantas anak siapa? Jangan-jangan mereka nyulik anak orang!' batin Pak Suryo gelisah sembari berjibaku dengan lalu lintas yang begitu ramai."Rewel banget sih nih bocah!" keluh Deana yang memangku putera Maya. Dia memang tidak suka anak kecil. "Sabar, Dea. Sebentar lagi juga sampai di apartment," bujuk Nyonya Shinta melirik puterinya dan Bayu yang menangis tak henti-hentinya. Memang mereka berdua tidak mengerti kalau bocah laki-laki itu kelaparan, tadi Suster Sisca pergi ke dapur untuk membuatkan susu untuk Bayu dan Nyonya Shinta membawa pergi bocah itu diam-diam.Mobil Alphard putih itu membelok ke apartment Royal Heir Dharmawangsa yang mewah. Pasca hotel milik keluarga Ha
Sore itu kediaman Keluarga Kusuma Mulia ramai dikunjungi oleh serombongan nyonya-nyonya sosialita. Ada arisan elite bulanan yang digelar di sana. Tempat acara bergengsi itu berpindah-pindah sesuai giliran dan kebetulan kali ini jatuh di rumah mama Ananda.Maya pun diundang bersama putera tunggalnya untuk diperkenalkan ke teman-teman arisan Nyonya Belina. Sekalipun Maya sebenarnya tidak terbiasa mengikuti acara semacam itu, mau tak mau demi menghormati mama suaminya dia pun hadir."Jeng-jeng, kenalkan ini Maya Angelita, menantu saya. Mungkin sebagian sudah kenal ya karena dia ini penulis dongeng anak terkenal lho, nggak cuma di Indonesia ... sampai luar negeri juga bukunya dijual. Dan yang ini cucu saya, namanya Bayu. Lucu ya?!" tutur Nyonya Belina berdiri bersama Maya dan Bayu yang digendong mamanya di hadapan teman-teman arisan yang tajir melintir itu.Apa pun yang bisa disombongkan harus ditonjolkan, itulah prinsip anggota arisan elite yang diikuti Nyonya Belina. Para wanita itu pun
Pagi dengan gerimis rintik-rintik sisa hujan besar semalam masih mengguyur kota Jakarta. Wanita cantik dengan gaun hitam selutut itu menguatkan tekadnya untuk mengunjungi TPU Tanah Kusir, tempat dimana mendiang Andre dimakamkan. Mungkin sedikit terlambat, tetapi dia memang baru mengetahui berita duka cita itu belakangan.Payung hitam yang dia bawa untuk menaungi tubuhnya meneteskan air di ujung-ujung rusuk benda itu. Angin dingin yang menerpanya serasa menusuk tulang, pipinya basah oleh air mata yang mengalir di balik kaca mata hitam yang menutupi sebagian wajahnya.Selangkah demi selangkah Maya menuju ke sebuah gundukan tanah merah yang masih baru dibuat. Ada sebentuk nisan yang tertancap bertuliskan nama familiar seorang pemuda yang pernah begitu berarti dalam hidupnya.Keranjang bunga mawar tabur terayun pelan di tangan kanannya. Semakin dekat ia melangkah, dadanya terasa semakin sesak. Maya mungkin telah memiliki cinta baru yang indah bersama Ananda. Namun, kenangan manis masa pac