Mendapat tawaran untuk mengunjungi rumah Daffin tentu tidak akan Serena lewatkan begitu saja. Sejak awal Serena memang sudah berencana untuk ikut pulang ke tempat Daffin, bukan ke apartementnya sendiri. Ia juga sudah menyiapkan seribu alasan agar laki-laki itu mau membawanya pulang, tapi ternyata Daffin sendiri yang mengajaknya duluan.
Itu berarti setidaknya Daffin sudah mulai menggulung jarak yang sedari awal dia bentangkan. Serena tak bisa menyembunyikan senyumnya selama perjalanan. Walau kemudian agak sedikit terkejut ketika sampai di tempat tujuan.
"Lo seriusan tinggal di sini?"
Daffin mendelik. "Apa? Sebuah tindak kriminal kalau mahasiswa tinggal di kost-kostan?"
"No, bukan gitu. It's odd in a weird way."
"Justru yang lebih aneh itu kalau ada mahasiswa tinggal di apartement mewah."
"Itu sindiran?"
Daffin mengangkat bahunya. "Khusus buat lo enggak aneh, karena bokap lo Ragnala Wijaya." Sahutnya dengan
Mau tahu alasan kenapa Daffin tidak bisa terima saat Serena mengatakan ingin tidur di tempatnya? Karena di dalam ruangan ini, pertahanan terakhir Daffin hanyalah dirinya sendiri. Dan laki-laki itu tak bisa percaya dengan dirinya sendiri. Daffin memulai ciumannya dengan sedikit hentakan sampai Serena terdorong sedikit ke belakang. Gadis itu cukup terkejut hingga tangannya mencengkram erat-erat lengan Daffin. Jari-jari lentik Serena mulai naik menyusuri rahang Daffin dan berakhir di surai laki-lakinya. Serena menyukai sensasi pahit kopi yang menguar begitu saja ketika ia membalas lumatan Daffin. Satu lengan Daffin turun, memeluk pinggang ramping Serena agar makin rapat padanya. Serena mengerti, dalam satu gerakan ia berpindah ke pangkuan Daffin. Hoodie cokelatnya yang hanya menutupi setengah paha makin tersingkap karena posisi yang Serena ambil. Daffin mengelus punggung Serena lembut bersamaan dengan lidahnya yang mulai ikut bermain. Serena mengerang pelan karena lidah mereka yan
Dengan diselimuti cahaya matahari tipis yang menyeruak dari sela jendela, Serena memperhatikan Daffin yang sedang menunggu kopinya dari mesin kopi. Gadis itu menopang kepalanya dengan sebelah tangan tetap pada posisi berbaring menyebabkan kain selimut sedikit jatuh memperlihatkan pundak mulusnya. "Kenapa lo suka kopi?" Daffin berdiri di sana sambil berkacak pinggang dan shirtless. Tubuh Daffin bagus dan cukup, otot-ototnya tercetak samar. Ah, Serena ingin melihat pemandangan seperti ini setiap pagi. "Kenapa gue enggak boleh suka kopi?" Tanya Daffin balik tanpa beralih. "Kalau-kalau lo enggak tahu, cuma ada yang namanya question and answer. Enggak ada konsepnya question and question. Enggak ada yang lebih menyebalkan dari pertanyaan yang juga dijawab dengan pertanyaan." Daffin tersenyum tipis lalu menoleh kemudian meninggalkan mesin kopinya dan berpindah menjejakan tubuh ke pinggir ranjang menghampiri Serena. Tangannya
"Lo masih mau di sini?"Tanya Daffin ketika malam ini Serena keluar dari kamar mandi masih dengan mengenakan hoodie miliknya yang berwarna biru navy. Tak sedikit pun menunjukan tanda-tanda ingin pergi dari kamar kostan milik Daffin.Tapi Serena tak menanggapi hanya melirik pada Daffin yang berada di depan komputer sekilas. Ia lebih memilih untuk fokus mengeringkan rambut panjangnya yang basah dengan handuk."Ck, lo enggak punya hair dryer apa?" Tanya Serena agak sebal karena tangannya mulai lelah mengusap kepala dengan handuk agar rambutnya kering."Rambut gue enggak sepanjang itu sampai butuh pengering rambut." Daffin menyentuh helai rambutnya sendiri yang sudah hampir kering padahal laki-laki itu juga membasahi rambut saat mandi tadi."Okay, besok gue beli satu buat ditaruh di sini."Daffin hanya melengos pelan terlalu malas untuk mendebat hal remeh seperti ini.Akhirnya Serena menyerah. Tangannya sudah pegal dan rambutnya
Mendengar istilah incest langsung membuat hati Serena terasa mencelos seketika. Dadanya terasa sesak. Walaupun tidak sepenuhnya benar, kata itu entah kenapa terdengar sangat menjijikan di telinganya. Tapi sudah terlanjur terucap, Serena berusaha kembali mengais keberaniannya untuk bercerita.“Gue boleh tanya?”Serena menatap pada Bianca sesaat sebelum mengangguk pelan.“Sejak kapan?”“Entah sejak kapan. Tapi gue udah bareng Galendra dari kecil. Ya semuanya berjalan gitu aja, until we realized that we—” Serena melanjutkan dengan suara pelan. “—Loved each other.”Sarah mengulum bibirnya kuat-kuat, dia terlalu bingung hingga sulit sekali kepalanya untuk menyusun kata-kata.Di mata Sarah dan Bianca, dua kakak beradik itu hanya terlihat sebagai kakak-adik biasa yang saling menyayangi. Ternyata rasa itu bukan sekedar rasa sayang untuk saudara. Bahkan Serena terang-terangan menggoda banyak laki-laki. Jadi bagaimana bisa?“Jadi ini alasan selama ini lo enggak pernah mau punya pacar.” Sarah me
Serena sadar bahwa ia harus bicara dengan Galendra secepatnya. Sayangnya Serena masih belum bisa mempercayai dirinya sendiri. Masalah terbesarnya adalah Galendra yang sama sekali tak merubah pandangannya pada Serena. Sebenarnya kenapa? Kenapa Serena harus terlibat dengan masalah perasaan tak berujung begini? Memang seharusnya ia tidak usah memulai sejak awal. “Woy! Capek banget gue ngomong lo-nya malah bengong.” Daffin membanting pelan kertas di gengganan tangannya. Serena agak mengerjap kaget kemudian melengos pelan. “Berarti penjelasan lo yang terlalu membosankan.” “Yaudah lo kerjain aja sendiri!” Sudah seperti kutukan baginya, Serena memang tidak pernah berhasil mengerjakan proyek bersama karena pendapat yang selalu berbeda. Musyawarahnya tak pernah bisa mencapai kata mufakat. Begitu juga dengan tugas kelompok kali ini walaupun partnernya adalah Daffin. “Yaudah enggak usah ngumpul.” Saran Serena kemudian. Paling benar harusnya ia tidak usah mengambil kelasnya Galendra, mengulan
Biasanya setiap orang itu selalu menantikan kebersamaan dalam keluarga. Tanpa terkecuali mereka yang juga mempunyai tittle broken home. Tapi sejak beranjak remaja dan mengerti tentang banyak hal, Serena tak lagi mendambakan sebuah kebahagiaan dalam keluarga meskipun hubungan antara ayah dan ibunya baik-baik saja. Hubungan Serena dengan orang tuanya juga tak bermasalah. Sebagai salah satu keluarga konglomerat, keluarga Wijaya terkenal sebagai keluarga yang harmonis bersih tanpa skandal apa pun—setidaknya terlihat begitu dari luar. Serena mencemooh diri sendiri dalam hati. Bisa-bisanya ia melangkahkan kakinya sendiri menuju acara makan malam keluarganya kali ini. Alasan terbesarnya adalah karena tidak mau terlibat adegan seret-menyeret antara ibu dan anak. Tapi ketika melihat sosok pasangan yang baru menikah beberapa waktu lalu di seberang sana, Serena merasa adegan seret menyeret akan jauh lebih baik. Pandangan Serena tak sengaja bertubrukan dengan Cath. Gadis itu langsung memutar kep
Suhu udara yang rendah di pagi hari ditambah dengan hembusan angin dingin dari air conditioner membuat wanita di dalam pelukan Daffin itu mengetatkan tubuh tidak nyaman. Jari-jari Daffin yang sedang mengelus lembut surai gadis itu berpindah sejenak untuk menaikan selimut mereka hingga menutup bahu polos Serena yang sedikit terekspos. Jejak-jejak merah yang tercetak jelas di sana membuat Daffin tersenyum tipis. Tidak tahu kenapa akhir-akhir ini Daffin sulit sekali mengendalikan dirinya jika sudah berhadapan dengan Serena. Tingkah laku gadis itu yang dulu ia anggap menyebalkan, sekarang justru ingin ia lihat setiap hari, tidak, bahkan setiap detik. Serena itu misteri. Ia bisa dengan mudah memanipulasi lawan bicaranya tanpa sadar. Menyembunyikan suatu hal dengan sangat natural. Beberapa kali Daffin menyadari hal tersebut, tentu saja. Tapi untuk sekarang, Daffin merasa memang belum waktunya untuk bertanya. Jika dipaksa, Daffin yakin gadis itu akan mengalihkan seperti yang sudah-sudah.
Beberapa tahun lalu... Tidak seperti kebanyakan anak kelas 12 lainnya yang sibuk mengurus ini dan itu, Serena cukup santai. Sudah hampir satu minggu ini kegiatan rutin setiap harinya selalu sama. Yaitu duduk nyaman di depan komputer sambil menonton beberapa drama Korea yang direkomendasikan oleh Bianca, temannya. Peralihan dari fase remaja ke dewasa. Sesuatu yang sangat dinanti boleh semua remaja, termasuk Serena. Bahkan untuk saat ini, ia sudah sangat tidak sabar meski hanya dengan memikirkan tentang kehidupan kampus.Pintu kamarnya terketuk dua kali kemudian terbuka. Kepala Galendra menyembul dari sana lengkap dengan senyum terindah yang selalu Serena ingin lihat. “Lagi apa?” Sapa Galendra sebelum melangkah masuk.Serena tak beralih dari komputernya. “Lagi nonton aja. Kenapa?”Galendra memperhatikan sekilas tampilan monitor Serena lalu menjejakan bokongnya pada ranjang empuk Serena.“Enggak apa-apa cuma pengen lihat kamu aja.”“Oh, ya? Bukan karena ada udang di balik bakwan?”“Ud
Memang benar kata Bianca, film semi sama realita mah enggak ada apa-apanya. Serena sangat-sangat menyetujui statement itu ketika berhadapan dengan Daffin yang sedang dalam mode dominant seperti sekarang ini. Ketika kulit telanjangnya menyentuh dinginnya porcelain bathup kamar mandi, Serena lagi-lagi hanya bisa memasrahkan segalanya pada Daffin. Hangatnya air mengalir mulai terasa membasahi kain yang masih tersisa di badan. Serena bahkan tidak mau memikirkan lagi kapan dan bagaimana Daffin menyalakan air itu. “Bilang kalau kamu enggak nyaman,” Daffin membelai sisi wajah Serena. Tapi Serena malah melayangkan kecupan di bibir. “It is okay. No need to hold your feelings tho,” katanya sekaligus isyarat bagi Daffin agar tak perlu menahan diri. “Sure. I don't even trying.”Kalimat terakhir Daffin sebelum merobek kain terakhir Serena dan membuangnya keluar bathup. Serena langsung merasakan dua jari merambah ke dalam sana. Ia memekik dan melenguh kemudian. Lima jari Daffin melingkari lehe
Gue cabut, makasih buat tumpangannya. I'm better now, don't worry :) Serena membaca berkali-kali tulisan pada memo yang ada di genggamannya kurang lebih dalam lima menit pertama. Baru menit selanjutnya ia mengeluarkan ponsel dan men-dial nomor si penulis memo, Sarah. Dering demi dering terus terlewat namun jawaban tidak kunjung didapatkan. Tidak menyerah Serena mencoba sekali lagi, membiarkan memo yang ada di tangannya diambil alih oleh tangan lain. “Gue kira lo benar-benar enggak tahu dimana keberadaan Sarah.” Daffin bergumam setelah membaca kertas di tangannya. Rencananya sore ini mereka mampir ke unit Serena hanya untuk mengantarkan makanan kesukaan Sarah. Akan tetapi saat mengambil air minum untuk membasahi tenggorokan, Serena malah menemukan sepotong sticky note tertempel di lemari pendinginnya.Serena berdecak karena deringnya lagi-lagi tidak terjawab. “Kemana pula sih manusia ini?!”“Fase denial-nya udah selesai. Mungkin sekarang she wants to clean up everything.” “Kalau ju
“Enggak capek? Lo sering plank ya?” Serena bertanya heran karena selama ia berbicara panjang kali lebar, Daffin tidak sedikit pun bergeser dari posisinya. Bertahan di atas Serena dengan siku sebagai tumpuan. Sebenarnya cowok itu tidak terlalu mendengarkan karena fokus pada wajah Serena dan sibuk menaruh kecupan sesekali. Posisi yang rasanya terlalu intim hanya untuk sekedar ber-story telling, tapi berhubung mood Serena sedang bagus, ia tetap menceritakan hal-hal tentang hidupnya dari yang penting tak penting hingga yang benar-benar penting. “Lanjutin aja,” pinta Daffin sambil mengusap lembut garis rahang Serena dengan ibu jarinya. “Bokap kandung lo programmer juga?”Serena menggeleng samar. “He is an artist. Gue masterpiece-nya,” katanya bercanda sambil tertawa kecil tapi kemudian tersenyum sedih, “Sayang umurnya enggak panjang.”“I knew. Bokap lo meninggal waktu lo umur lima tahun kan? Makanya lo ikut tante Jane ke Indo,”Serena mengangkat kedua alisnya tinggi baru saja sadar akan
Serena mematung di anak tangga paling atas ketika melihat seorang gadis berambut pendek keluar dari pintu kamar Daffin. Literally perempuan tulen yang memakai dress one piece sedikit di atas paha. “Makasih, kak. Maaf kalau saya ngerepotin jangan kapok, ya kak,” Dari tempatnya Serena bisa mendengar suara halus gadis itu yang membuatnya bergidik. Ini bisa-bisanya ada ayam dateng darimana anjir?! “Iya, hati-hati.” Suara Daffin terdengar meskipun wujudnya tak terlihat. Serena menggeram dalam hati, semoga ini ayam jatoh keserimpet terus langsung jadi semur kecap! Sambil menaikan dagunya, Serena berjalan mendekat. Suara sepatunya cukup untuk mengalihkan perhatian si gadis ayam bahkan Daffin ikut menyembulkan kepalanya untuk melihat siapa yang datang. Serena bersidekap, menatap gadis berambut pendek di depannya dari atas sampai bawah. “Kak Serena?” Serena mengangguk sambil tersenyum, tapi gadis itu justru membulatkan matanya merasa panik. Baru kemarin ia mendengar soal keributan di de
Sarah mencicipi sup ayam yang masih mendidih di atas kompor dengan penuh kekhawatiran. Setelah otaknya menerima rangsangan rasa, Sarah langsung mengernyit. Rasanya sangat jauh dari kata enak. Ia menghela napas panjang. Memang paling benar seharusnya menunggu Serena pulang saja. Agak tidak sesuai dengan tampang, tapi masakan Serena itu lezat. Sejak Sarah mengabarkan keadaannya pada Serena dan Bianca, perempuan itu tinggal di unit Serena. Tempat yang cukup jauh dari jangkauan Daniel, tanpa harus membuat khawatir orang tuanya. Terdengar suara password ditekan kemudian tak lama pintu terbuka. Senyum Sarah mereka langsung menyambut karena ia kira Serena yang pulang. “Ser, gue laper. Masak ayam tapi—” Yang datang ternyata bukan Serena, melainkan Brian. Cowok itu melihat Sarah dari atas sampai bawah sebelum menyunggingkan senyum. “Tapi apa? Gosong?” Senyum Sarah jadi menghilang. “Anyep, kak.” Sarah kembali ke dapur dan mematikan kompornya. “Ngapain ke sini?” “Mau lihat elo,” Brian men
Di lantai lima gedung jurusan Ilmu Komputer saat pagi hari itu biasanya santai, aman dan tentram karena rata-rata penghuninya adalah mahasiswa semester lanjut. Tapi pagi ini sebuah kebisingan tiba-tiba terdengar ke segala penjuru lantai lima menyebabkan setiap orang setidaknya melongokkan kepala agar bisa mengetahui penyebabnya. Teriakan kesakitan seorang laki-laki menggelegar memanggil mahasiswa di sana untuk berkerumun. “LEPAS DULU LEPAS SAKIT NYET INI RAMBUT GUE MAU COPOT!!!” Itu suara melengking Daniel yang sedang berusaha menarik lepas rambutnya dari genggaman Serena. Jadi akar permasalahannya bermula sejak kemarin, sepulangnya dari kosan Daffin, Serena mendapat telepon dari Sarah. Satu kalimat dari Sarah yang serta merta langsung membuat Serena untuk mendatangi temannya itu. Dan pagi harinya, ketika menemukan Daniel berada di depan lab komputer, Serena tanpa tedeng aling-aling langsung melompat pada laki-laki itu menjambak rambut Daniel sekuat tenaga. Daniel yang sebenarnya se
Setelah kemarin usahanya untuk mencari Daffin di sekitaran kampus tidak membuahkan hasil, hari ini Serena mendatangi kosan Daffin sebagai bentuk usaha selanjutnya. Walaupun nanti Daffin tidak mau membukakan pintu, setidaknya Serena bisa berteriak saja dari luar. Bodo amat, urusan imagenya yang hancur bisa belakangan.Karena kalau dipikir-pikir ini kan bukan sepenuhnya salah Serena. Serena juga sudah sering menyebut perkara mantan di depan Daffin. Hanya saja—ia tidak menyebutkan siapa orangnya. Kesalahan Serena hanya itu bukan? Urusan Galendra dengan Catherine itu tidak ada sangkut pautnya dengan Serena. Gadis itu juga tidak sama sekali mengganggu Catherine.Pokoknya Serena akan mengatakan semuanya di depan Daffin, terserah mau laki-laki itu dengarkan atau tidak. Sebagai seorang intelektual sudah seharusnya Daffin bisa memakai logika-nya untuk berpikir.Begitu pikir Serena sebelum pintu kosan Daffin langsung terbuka setelah ketukan pertama, menampilkan tubuh tinggi Daffin dalam balutan
Dalam beberapa hari ini Serena berusaha mencari ketenangannya sendiri, mengikuti saran Brian untuk tidak mendatangi Daffin sebelum urusannya dengan Galendra selesai. Toh itu bukan apa-apa, jelas yang terluka malam itu adalah Daffin, bukannya Serena. Harusnya Serena mampu, harusnya Serena bisa baik-baik saja, harusnya Serena bisa tenang, dan harusnya Serena tidak merasa sesak. Akan tetapi kenyataannya, Serena tidak baik-baik saja. Pikiran gadis itu melayang entah kemana. Membayangkan kalau saja malam itu tidak terjadi, atau minimal malam itu dia tidak mabuk sehingga bisa mengusir Galendra bukannya malah melampiaskan kerinduan. Kalau saya begitu, saat ini pasti Serena sedang menghabiskan waktunya bersama Daffin. Mereka akan memperdebatkan hal-hal tak penting, membahas apa saja selama detik masih terus berjalan. Sebagai seseorang yang sangat-sangat berlogika, Saat ini Serena sedang tidak bisa menggunakan logikanya. “Fix, berarti lo baper sama Daffin.” Celetuk Bianca enteng. Ketika me
Setelah mengantar Serena ke gedung apartementnya, Sarah kembali lagi ke night club karena Bianca masih ada di sana. Memang, di antara tiga serangkai itu, Sarah seringkali berperan sebagai ibu yang mengurus dan memastikan keselamatan anak-anaknya. Karena Bianca si childish dan Serena yang terlalu cuek.Tapi Sarah tidak bisa menemukan Bianca. Tadi Sarah meninggalkan Bianca yang masih sibuk di dance floor karena keadaan Serena sudah mabuk terlalu banyak. Dengan mata melotot, Sarah menginspeksi ruangan remang-remang itu hingga ke sudut mencari tanda-tanda eksistensi Bianca.“Takut banget gue mata lo lepas,”Bukannya Bianca malah ada si mantan. Sarah langsung melemparkan tatapan tajamnya.“Nyari Siapa?”“Yang jelas bukan nyari lo,” Sarah lanjut mengedarkan pandangannya.Daniel mengangkat alisnya tinggi dan merapatkan diri pada Sarah. “Kalau adanya gue gimana?”“Enggak minat,” Sarah menyikut tubuh Daniel agar menjauh.“Bianca dah kagak ada. Tadi udah balik, gue pesenin taksi,” kata Daniel e