"Sesuai kesepakatan, kematian Bapak di tanggung oleh Sarni. Karena dia yang akan memiliki bagian tanah terbanyak dari saudara-saudaranya. Jangan ada yang mengungkit di kemudian hari!" ucap Kang Tarjo saat bermusyawarah untuk biaya kematian Pak Sugi. "Ada yang keberatan?"Semua yang hadir menggeleng, kemudian Kang Tarjo melanjutkan ucapannya. Bukan bermaksud untuk durhaka dan kurang ajar karena memimpin musyawarah dalam keluarganya. Kang Joko, yang mana sebagai Kakak yang lebih tua dari Kang Tarjo tidak terlalu lancar dalam berbicara. Kang Joko akan selalu gagu jika ada saudaranya yang akan membantah atau melawan. Dia lebih banyak diam tanpa harus berbicara banyak seperti saudara perempuannya. Itulah mengapa, Kang Joko menyerahkan tugas memimpin ke adiknya."Gampang itu, duitku masih banyak kok," jawab Lusi, anak dari Yu Sarni. Anak cucu dari Pak Sugi semua berkumpul demi mendengar apa yang akan menjadi keputusan bersama. Menjadi saksi, supaya kelak di suatu hari jika ada yang berbel
Kehidupan berjalan normal seperti layaknya sebuah keluarga yang nyaman, tidaklah ada yang saling menyikut seperti tahun-tahun yang telah berlalu. Berkali-kali Kang Paimin dan Yu Surti berkunjung ke rumah Kang Tarjo untuk sekedar berbincang-bincang sesuatu yang nggak jelas. "Aku mau membuatkan rumah untuk Tyo, Kang. Disebelah sini, nanti tolong di bantu!" pinta Yu Surti dengan berjalan mondar-mandir di depan rumah Kang Tarjo. "Iya," jawab Kang Tarjo singkat."Lho, tanah ini kamu kasih ke Tyo?" tanya Yu Mini datar. "Iya, mau ke siapa lagi? Purwo sudah mempunyai rumah sendiri di tempat istrinya sana, sudah aku buatkan rumah juga. Memang darimana dia punya uang banyak? Anak satu itu memang pemalas, nggak pernah bekerja padahal sudah aku kasih modal tetap saja tidak mau bergerak." Yu Surti menggerutu kesal saat bercerita tentang anak sulungnya itu.Tanah kosong sebelah selatan rumah Kang Tarjo bagian untuk Yu Surti, rencananya akan di bangun rumah untuk sang anak lelaki, Tyo. Entah apa
"Kang Wardi sakit stroke, Kang. Aku mau dia dirawat di rumah saja. Kasihan, istrinya tidak mau merawatnya sama sekali," ucap Yu Surti saat sedang berkunjung ke rumah Yu Sarni. "Yakin? Masak istrinya tidak mau merawat. Jangan berpikir buruk tentang orang lain kamu!" balas Kang Tarjo dengan menyulut rokok yang sedari tadi dipegangnya.Yu Surti menggerutu dalam hati, niatnya untuk memiliki tanah kosong bagian dari Kang Wardi hampir saja pupus karena tidak setujunya Kang Tarjo atas usulannya. Seperti saat Yu Sumi di rumah dan meninggal dulu. Yu Surti berpikir jika merawat Kang Tarjo dan hingga nanti akan berpulang maka, semua warisan bagian yang dimiliki Kang Wardi akan menjadi hak Yu Surti. Akan tetapi, rencananya terhalang persetujuan Kang Tarjo. Akhirnya Yu Surti pulang ke rumahnya dengan hati yang dongkol. Menggerutu sepanjang jalan dan memaki Kang Tarjo dengan segala sumpah serapah.☀️☀️"Kalau rumah kamu jadi, lalu akan pindah tidur, Sarni?" tanya Kang Tarjo saat melihat barang ba
Pagi ini Tyo datang lagi ke rumahnya sendiri dengan membawa satu jerigen oli penuh. Tanpa bicara dia langsung menumpahkan oli hitam itu di tanah yang ada pohon mangga berdiri dengan kokoh. Sekeliling pohon di siramnya dengan senyum miring. "Oh, seperti itu kelakuan kamu? Nggak ibu, nggak anak kok sama saja. Jahat dan curang!'' pekik Reni dengan mendekati Tyo yang masih duduk dan menyiram.Tanpa menjawab, Tyo terus melakukan aksinya dengan tersenyum miring. Dia bahkan enggan menatap mata Reni yang sedari tadi melihatnya tanpa kedip. "Kamu pikir hidup kamu sudah baik? Hah! Diminta musyawarah dulu nggak mau, orang muda kok pikirannya picik seperti itu, pantas saja kamu nggak punya tetangga disana!" Amarah Reni tersulut dan membara. Ingin saja dia mencakar wajah Tyo yang sangat memuakkan itu. Namun, dengan wajah dingin Tyo tidak menjawab sedikitpun kalimat yang diucapkan oleh Reni meski gemuruh di hati ingin memuntahkan segalanya. Aksinya tetap saja dilanjutkan."Coba kamu lihat itu po
Hari ini hujan begitu deras membasahi bumi, wangi khas dari tanah kering yang telah basah membuat hidung begitu senang karena mencium aromanya. Meski petir menggelegar laksana bom atom nagashima namun, tak menyurutkan kegiatan Reni dan Yu Mini untuk membuat cemilan singkong rebus beserta wedang jahe hangat. Angin besar meniupkan segala pepohonan yang sedang berdiri tegak menjulang, terkadang menyapu beberapa daun kering yang berguguran sehingga semuanya berserakan tanpa batas. Suara gemuruhnya seakan membuat nyali menciut hingga anak-anak Reni terdiam duduk di kursi dengan berselimutkan sarung kecil."Kang …" suara Yu Surti memecah keramaian setelah badai menerpa kampung mereka. Dengan tangis air mata dan wajah masam, Yu Surti datang ke kediaman sang Kakak ingin memberitahukan sebuah berita besar. Nafas Kang Tarjo memburu saat semua mata tertuju kepada tamu yang datang dengan kaki yang tanpa alas itu. "Kang, Yu Sarni meninggal," kata Yu Surti dengan bibir bergetar. Kang Tarjo yang
"Pokoknya tanah ini adalah milikku, uang dua puluh juta sudah aku berikan pada Pakde Wardi. Dia meminta uangku sebanyak itu, kamu jangan coba-coba serakah!" pekik Tyo saat melihat tanah bagian Kang Wardi akan dibangun sebuah toko oleh Lusi. Dua anggota keluarga saling bersitegang dengan pembenarannya masing-masing. Tyo yang bersuara lantang mencoba untuk mendominasi keadaan dan menang. Sedang Yu Surti mencoba melawan tanpa rasa takut dihatinya.Kang Tarjo yang mendengar suara berisik mencoba untuk mendengarkan dulu dari rumahnya. Hembusan nafasnya yang kasar menandakan kalau pikirannya sedang berkecamuk menahan amarah. Saudara yang seharusnya saling menyayangi dan menghargai harus di nodai dengan perseteruan perihal warisan. Harta yang turun dari orang tua. Bahkan Kang Tarjo menggeleng pelan saat melihat yang bersikukuh atas tanah yang terbentang disamping kanan Kang Tarjo adalah Tyo. Seorang cucu yang seharusnya diam dan berterima kasih banyak kepada orang tuanya yang telah memberi
Kang Tarjo menikmati kopinya di teras rumah, semilir angin membuat dedaunan kering ikut terbang. Sesekali lelaki itu melihat ke arah langit yang mulai gelap.“Sebentar lagi hujan, Alhamdulillah, berarti pekerjaan sawah akan segera dimulai,” ucapnya sambil menyesap kopinya.Musim kemarau sudah usai dan datanglah musim penghujan yang mana selalu dinantikan para petani yang daerahnya tadah hujan. Hanya mengandalkan air hujan sebab jika musim kemarau tiba maka kekeringan melanda.Wajah sumringah terbit kala gerimis mulai turun diiringi petir yang menggelegar bak irama yang saling bersahutan di sore hari itu.“Kang, hujan, masuk!” ajak Yu Mini pada suaminya yang masih duduk di teras, aroma tanah yang basah di hirupnya dalam-dalam.Kang Tarjo sangat menikmatinya hingga ajakan sang istri hanya dibalas dengan anggukkan kepala. Lelaki itu masih terpejam dan berbisik syukur kepada Tuhan semesta alam yang mana telah menurunkan hujan di sore itu. Harapan dia semoga air yang turun bisa memberikan
Kang Tarjo pulang dengan napas memburu, amarahnya masih saja tersisa di dada. Apalagi saat di rumah melihat ayamnya mati semua, dengan menggerutu Kang Tarjo memungut semua hewan ternaknya satu persatu untuk di kubur.“Bagaimana bisa mati dalam bersamaan, apa yang terjadi?” gumam Kang Tarjo dengan tangan cekatan.“Ya Allah, Kang, apa yang terjadi? Kenapa ini?” tanya Yu Mini kaget.Saking terkejutnya Yu Mini terdiam di tempatnya tanpa bergerak sedikitpun. Ada rasa sakit dan ingin menangis kala melihat semua hewan ternaknya tidak bernyawa. Lalu Yu Mini pun ikut membantu sang suami memunguti hewannya tersebut. Air mata wanita itu pun menetes tanpa henti, ayam adalah salah satu tabungan yang dijaga.“Kang!” Suara Yu Mini terdengar parau. Dia menyapu air yang mengalir deras di pipi tersebut dengan cepat. Hatinya masih sakit melihat kejadian yang terjadi di depan mata itu.“Bukan rezeki kita, nanti kalau ada uang bisa membeli lagi,” hibur Kang Tarjo bijak meski dalam hati sudah teramat pilu.