"Kang Wardi sakit stroke, Kang. Aku mau dia dirawat di rumah saja. Kasihan, istrinya tidak mau merawatnya sama sekali," ucap Yu Surti saat sedang berkunjung ke rumah Yu Sarni. "Yakin? Masak istrinya tidak mau merawat. Jangan berpikir buruk tentang orang lain kamu!" balas Kang Tarjo dengan menyulut rokok yang sedari tadi dipegangnya.Yu Surti menggerutu dalam hati, niatnya untuk memiliki tanah kosong bagian dari Kang Wardi hampir saja pupus karena tidak setujunya Kang Tarjo atas usulannya. Seperti saat Yu Sumi di rumah dan meninggal dulu. Yu Surti berpikir jika merawat Kang Tarjo dan hingga nanti akan berpulang maka, semua warisan bagian yang dimiliki Kang Wardi akan menjadi hak Yu Surti. Akan tetapi, rencananya terhalang persetujuan Kang Tarjo. Akhirnya Yu Surti pulang ke rumahnya dengan hati yang dongkol. Menggerutu sepanjang jalan dan memaki Kang Tarjo dengan segala sumpah serapah.☀️☀️"Kalau rumah kamu jadi, lalu akan pindah tidur, Sarni?" tanya Kang Tarjo saat melihat barang ba
Pagi ini Tyo datang lagi ke rumahnya sendiri dengan membawa satu jerigen oli penuh. Tanpa bicara dia langsung menumpahkan oli hitam itu di tanah yang ada pohon mangga berdiri dengan kokoh. Sekeliling pohon di siramnya dengan senyum miring. "Oh, seperti itu kelakuan kamu? Nggak ibu, nggak anak kok sama saja. Jahat dan curang!'' pekik Reni dengan mendekati Tyo yang masih duduk dan menyiram.Tanpa menjawab, Tyo terus melakukan aksinya dengan tersenyum miring. Dia bahkan enggan menatap mata Reni yang sedari tadi melihatnya tanpa kedip. "Kamu pikir hidup kamu sudah baik? Hah! Diminta musyawarah dulu nggak mau, orang muda kok pikirannya picik seperti itu, pantas saja kamu nggak punya tetangga disana!" Amarah Reni tersulut dan membara. Ingin saja dia mencakar wajah Tyo yang sangat memuakkan itu. Namun, dengan wajah dingin Tyo tidak menjawab sedikitpun kalimat yang diucapkan oleh Reni meski gemuruh di hati ingin memuntahkan segalanya. Aksinya tetap saja dilanjutkan."Coba kamu lihat itu po
Hari ini hujan begitu deras membasahi bumi, wangi khas dari tanah kering yang telah basah membuat hidung begitu senang karena mencium aromanya. Meski petir menggelegar laksana bom atom nagashima namun, tak menyurutkan kegiatan Reni dan Yu Mini untuk membuat cemilan singkong rebus beserta wedang jahe hangat. Angin besar meniupkan segala pepohonan yang sedang berdiri tegak menjulang, terkadang menyapu beberapa daun kering yang berguguran sehingga semuanya berserakan tanpa batas. Suara gemuruhnya seakan membuat nyali menciut hingga anak-anak Reni terdiam duduk di kursi dengan berselimutkan sarung kecil."Kang …" suara Yu Surti memecah keramaian setelah badai menerpa kampung mereka. Dengan tangis air mata dan wajah masam, Yu Surti datang ke kediaman sang Kakak ingin memberitahukan sebuah berita besar. Nafas Kang Tarjo memburu saat semua mata tertuju kepada tamu yang datang dengan kaki yang tanpa alas itu. "Kang, Yu Sarni meninggal," kata Yu Surti dengan bibir bergetar. Kang Tarjo yang
"Pokoknya tanah ini adalah milikku, uang dua puluh juta sudah aku berikan pada Pakde Wardi. Dia meminta uangku sebanyak itu, kamu jangan coba-coba serakah!" pekik Tyo saat melihat tanah bagian Kang Wardi akan dibangun sebuah toko oleh Lusi. Dua anggota keluarga saling bersitegang dengan pembenarannya masing-masing. Tyo yang bersuara lantang mencoba untuk mendominasi keadaan dan menang. Sedang Yu Surti mencoba melawan tanpa rasa takut dihatinya.Kang Tarjo yang mendengar suara berisik mencoba untuk mendengarkan dulu dari rumahnya. Hembusan nafasnya yang kasar menandakan kalau pikirannya sedang berkecamuk menahan amarah. Saudara yang seharusnya saling menyayangi dan menghargai harus di nodai dengan perseteruan perihal warisan. Harta yang turun dari orang tua. Bahkan Kang Tarjo menggeleng pelan saat melihat yang bersikukuh atas tanah yang terbentang disamping kanan Kang Tarjo adalah Tyo. Seorang cucu yang seharusnya diam dan berterima kasih banyak kepada orang tuanya yang telah memberi
Kang Tarjo menikmati kopinya di teras rumah, semilir angin membuat dedaunan kering ikut terbang. Sesekali lelaki itu melihat ke arah langit yang mulai gelap.“Sebentar lagi hujan, Alhamdulillah, berarti pekerjaan sawah akan segera dimulai,” ucapnya sambil menyesap kopinya.Musim kemarau sudah usai dan datanglah musim penghujan yang mana selalu dinantikan para petani yang daerahnya tadah hujan. Hanya mengandalkan air hujan sebab jika musim kemarau tiba maka kekeringan melanda.Wajah sumringah terbit kala gerimis mulai turun diiringi petir yang menggelegar bak irama yang saling bersahutan di sore hari itu.“Kang, hujan, masuk!” ajak Yu Mini pada suaminya yang masih duduk di teras, aroma tanah yang basah di hirupnya dalam-dalam.Kang Tarjo sangat menikmatinya hingga ajakan sang istri hanya dibalas dengan anggukkan kepala. Lelaki itu masih terpejam dan berbisik syukur kepada Tuhan semesta alam yang mana telah menurunkan hujan di sore itu. Harapan dia semoga air yang turun bisa memberikan
Kang Tarjo pulang dengan napas memburu, amarahnya masih saja tersisa di dada. Apalagi saat di rumah melihat ayamnya mati semua, dengan menggerutu Kang Tarjo memungut semua hewan ternaknya satu persatu untuk di kubur.“Bagaimana bisa mati dalam bersamaan, apa yang terjadi?” gumam Kang Tarjo dengan tangan cekatan.“Ya Allah, Kang, apa yang terjadi? Kenapa ini?” tanya Yu Mini kaget.Saking terkejutnya Yu Mini terdiam di tempatnya tanpa bergerak sedikitpun. Ada rasa sakit dan ingin menangis kala melihat semua hewan ternaknya tidak bernyawa. Lalu Yu Mini pun ikut membantu sang suami memunguti hewannya tersebut. Air mata wanita itu pun menetes tanpa henti, ayam adalah salah satu tabungan yang dijaga.“Kang!” Suara Yu Mini terdengar parau. Dia menyapu air yang mengalir deras di pipi tersebut dengan cepat. Hatinya masih sakit melihat kejadian yang terjadi di depan mata itu.“Bukan rezeki kita, nanti kalau ada uang bisa membeli lagi,” hibur Kang Tarjo bijak meski dalam hati sudah teramat pilu.
Namun, Kang Tarjo masih enggan untuk bergerak. Napasnya memburu dengan dada yang mengikuti irama jantung. Amarahnya semakin memuncak dan setelah mereka saling beradu pandang, Kang Tarjo mencoba untuk maju selangkah.“Kang, istighfar! Jangan sampai kamu kalah dengan setan yang membisikkan kalimat jahat, ingat jika nggak ada manfaatnya terpancing emosi. Kamu akan menyesal!” bujuk Yu Mini masih setengah berbisik.Dengan hati yang was-was wanita itu berusaha membujuk sang suami supaya tidak tersulut emosi yang tersimpan dalam hati. Dia berharap api itu segera padam dan bisa mendinginkan pikiran yang kacau bersama angin yang datang. Jantung pun mulai tak menentu dengan aliran darah yang mulai cepat hingga membuat tubuhnya terasa dingin.“Kang!” panggil Yu Mini dengan bibir bergetar.“Kamu pikir dengan sikap yang sok hebatmu itu bisa membuat aku takut? Nggak sama sekali!” gertak Tyo dengan pandangan nyalang.“Makan dengan hasil warisan saja mau belagu, ingat jika kamu itu laki-laki kosong,
“Tanah yang kamu buat rumah itu adalah hakku dan seharusnya kamu mengembalikan semuanya apa yang kamu punya pada kami! Dasar nggak punya muka, milik orang kok di klaim!” seru Tyo tanpa embel-embel hormat, malu dan juga sungkan.Kang Tarjo yang sedang minum kopi, tersedak. Semua apa yang sudah di dalam mulut seketika keluar dan membasahi meja. Mata itupun membelalak lebar bahkan nyaris keluar dari lubangnya. Terkejut bukan main mendengar suara yang sudah membuat mendidih darah tersebut.Laki-laki itu lantas berdiri dengan tatapan tajam bak elang yang siap menerkam mangsanya. Cuaca pun seolah tahu sehingga angin yang tadinya berhembus sepoi-sepoi menyejukkan jiwa kini berubah menjadi panas seperti musim kemarau.“Dasar setan! Kamu itu terlahir dari seorang ibu atau batu?” murka Kang Tarjo lantang.Yu Mini yang sejak tadi sibuk di dapur seketika berlari menuju ke teras, pemandangan yang membuat jantung wanita itu berdetak kencang dari biasanya. Ia pun panik, keringat dingin membasahi pun