"Yang sabar ya," bisik Shasy.
"Kamu tau berita ini dari siapa?"
"Danang 'kan teman aku SMA, Ardi. Kamu lupa?"
"Iya."
"Satu hal lagi, Sayang. Aku enggak percaya sama sekali dia bunuh diri!" tegas Shasy membuat Lazuarrdi terbalalak.
"Kecilkan suara kamu, Shas!"
"Sorry, aku keceplosan."
"Bagaimana kamu bisa menebak seperti itu?"
"Dia bisa melakukan apa saja pada kita, Ardi. Apa-pun ... yang akan membunuh nyawa kita. Kamu harus sadari hal ini. Bahwa dia benar-benar jahat!"
Kali ini Lazuarrdi tak melepaskan pandangannya pada Shasy yang juga menatap dirinya.
"Kamu bawa mobil?"
"Iya. Kenapa, Ardi?"
"Sama sopir?"
"Enggak!"
"Ya, udah biar aku yang nyetir mobil kamu. Aku ingin bicara!"
"Oke." Seraya Shasy tersenyum lebar.
Tak lama, Lazuarrdi pun berpamitan pada orang tua Danang. Dia juga menyelipkan amplop coklat di tangan lelaki tua itu.
"Kami permisi pulang dulu, Pak."
"Peluk aku Shas!"Tanpa bicara sepetah kata. Shasy langsung memeluk erat tubuh Lazuarrdi yang kekar dan kokoh."Kenapa kamu setakut ini?""Entahlah, Shas!"Lazuarrdi semakin merapatkan tubuhnya pada Shasy. Layaknya seorang anak yang sedang ketakutan. Dan sembunyi dalam pelukan sang ibu."Kamu harus bisa hilangkan perasaan bersalah! Itu yang membuat kamu menjadi takut kayak gini. Ardi.""Aku memang merasa bersalah atas kematian Danang, Shas. Apa yang bisa menghilangkan ketakutan ini? Aku tak mau dituduh orang-orang telah mengorbankan teman sendiri, Shas."Beberapa kali Shasy mengambil napas berat. Lalu mengembuskan perlahan."Apa kamu mau tidur sini?""Dilihat orang tak enak, Shas. Apalagi kamu kan publik figur. Takutnya kamu nanti malah dapat gosip.""Ihhh, ngapain dipikirin sih. Udah, ayo! Kmau istirahat aja dulu. Ngapain mikirin omongan orang lain. Aku malah suka kalau kamu nginap ada temannya.""Ta
Dia hanya menatap dengan pandangan yang nyalang. Ke arah pintu kamar yang mulai ikutan aneh. Sampai Shasy bisa mendengar, tapak kaki seseorang menaiki anak tangga. Menuju ke ruangan kamar.Seketika Shasy beralih turun dari tempat tidur. Dia mencoba untuk mengintip dari pintu yang sedikit terbuka. Pandangannya mengarah pada tangga. Namun dia tak melihat seorang pun juga."Aneh? Lagian masih siang juga."Shasy pun mencoba keluar kamar. Dia berjalan menuju pagar pembatas ruang atas. Dia melongok ke abwah."Dartiiiiiik!"Tak ada sahutan dari wanita itu."Dartiiiiiiik!"Terdengar derap langkah kaki yang berlari. Lalu muncul Dartik dari arah dapur."Kamu ngapain?""Masak, Mbak.""Barusan kamu naik ke atas?"Wanita itu hanya menggeleng, dengan kebingungan."Ya, udah. Masaklah lagi! Jangan lupa jus jambu aku!""Iya, Mbak. Ini lagi bikin."Shasy kembali masuk ke dalam kamar. Betapa terkejutnya d
"Kamu yakin jika itu seperti tulisan Danang?""Sangat yakin!""Apa maksud dia menampakkan seperti ini?""Inilah yang buat aku takut. Aku enggak mau kejadian itu terjadi lagi, Ardi. Dia seperti mengejar aku."Tak ada yang bisa dikatakan oleh Lazuarrdi. Dia hanya merasa, kenapa sosok ini seperti marah."Apa karena aku menyuruh Danang untuk mencari tahu cara membuang pedang itu beserta kekuatannya?""Jadi, lantaran itu dia bisa ada di jalan tol itu?"Lazuarrdi tak menjawab. Dia langsung menundukkan kepalanya."Apa kamu juga akan menyalahkan aku?""E-enggak, Ardi. Buat apa aku menyalahkan kamu?"Seketika itu juga, Shasy memeluknya erat."Kamu jangan lemah akibat kematian Danang. Masih ada aku, Satriyo. Yang pasti akan membantu kamu, Sayang."Lazuarrdi yang merasa dikuatkan oleh kata-kata Shasy, membalas pelukannya."Sekarang aku bantu atur kertas-kertas ini lagi!" ajak Lazuarrdi."Iya
"Ta-tapi ... apa enggak akan membahayakan?" "Insyaallah nanti akan Mbah tangani dari sini yo, Nduk. Gunakan mata batin kamu. Mbah akan bicara lewat bisikan." "Baik, Mbah. Kalau gitu Annisa pulang. Setelah sholat Maghrib berangkat." "Iya, Nduk. Ingat pesan Mbah ya!" "Njih, Mbah." Gadis itu pun segera meninggalkan rumah menuju rumah orang tuanya. Yang lebih dekat jaraknya dari rumah Fachri. Dengan mengendarai motor matic. Gadis cantik itu, mulai melaju dengan motornya. Sembari melambaikan tangan pada sang kakek. Sesampai di rumah. Buru-buru dia mandi dan bersiap-siap. "Memangnya kamu mau ke mana, Nisa? Ini dah mau malam lho." "Nisa berangkat setelah Maghrib, Umi. Mau ke rumah Bapak Tarji." "Juragan tebu itu?" Annisa mengangguk. "Tapi, untuk apa?" Tak lama seorang lelaki paruh baya datang dan ikut nimbvrung di kamar Annisa. "Ada apa, Mi?" "Ini loh, Bah. Si Annisa mau pergi ke
Mereka bertiga melangkah menuju pos keamanan di depan rumah Lazuarrdi. "Pakai keamanan juga. Padahal enggak jauh amat dengan pos keamanan loh." "Ini namanya wong sugih, Mas," celetuk Erna, membuat Fachri terkikik. (Wong = orang, sugih = kaya) "Eheeemm!" Naryo mendekati mereka dengan berdehem. "Mas ini mau cari siapa?" Sembari melirik ke arah mobil Fachri, yang diparkir di depan pagar. "Saya Fachri, Pak. Ingin ketemu sama Lazuarrdi ada?" "Mas Ardi lagi ke Jakarta. Memangnya ada perlu apa ya? Biar kalau datang nanti saya sampaikan." "Wahhh, memang pulangnya kapan ya, Pak?" "Sepertinya malam ini, Mas." Fachri menoleh ke arah Annisa yang terdiam. Dan sedang berpikir. Sesuai pesan Mbah Sukro, dia harus bisa melihat dan memegang pedang itu. "Perkiraan jam berapa ya Pak?" tanya Annisa berjalan menghampiri Naryo. "Kalau itu saya kurang paham." Dari arah dalam rumah Mbok Yani berjalan keluar. Saat melihat
Saat sibuk berbincang serius. Sekilas Annisa seperti melihat sebuah bayangan hijau, melesat dari arah ruang tamu menuju arah belakang. Sampai membuat Annisa terhenyak. Dengan pandangan mata yang nyalang mengarah pada dalam rumah. "Mbak ... Mbak Ann, lihat apa?" tanya Erna yang juga melihat aneh gelagat Annisa yang berubah. Annisa langsung gelagapan. Saat Erna menepuk punggung telapak tangannya. Sampai membuat Annisa menghela napas panjang. "A-apa pedang samurai itu ada di rumah ini?" Pertanyaan Annisa membuat Naryo dan Mbok Yani serta Yanti memandang ke arahnya. "Kok Mbak nya ini bisa tau?" "Alamarhum Mas Danang sempat cerita, Bu. Tentang pedang samurai ini. Bahkan--" Saat hendak terus bercerita. Annisa kembali melihat sosok wanita berkimono hijau itu tengah duduk di lantai dengan kedua kaki yang bersimpuh. Dan .... "Aaaahhhh!" Sontak Annisa menjerit membuat yang lainnya terkejut. Suasana malam itu mulai
"Hampir jam sembilan, kok Mas Lazuarrdi belum datang juga."Tepat di pukul sembilan, lonceng berdiri dengan tinggi satu meter setengah berbunyi nyaring. Mengejutkan mereka. Seolah suara dentang jarum jam yang berbunyi, seirama dengan degup jantung yang berdetak kencang."Aku ... mules, Mas Fachriii!""Tahanlah, Mah!"'Aku harus bisa melihat pedang itu. Seperti kata Mbah Sukro. Aku harus memegangnya,' batin Annisa.Mbok Yani yang juga ketakutan, mencolek paha Annisa. Membuatnya menoleh pada Mbok Yani, yang menyeringai tipis."Ada apa, Bu?""I-itu suara yang jalan-jalan tadi apa ya, Mbak?""Yang saya lihat bayangannya Mas Danang. Tapi, saya enggak perlu cerita perwujudannya, Bu."Seketika Mbok Yani dan Yanti menjerit kencang."Memangnya Mas Danang terlihat seperti apa, Mbak?" Naryo tampaknya penasaran. Namun Annisa menggeleng. Dia tak ingin menceritakan apa yang dia lihat.Andai saja mereka tah
Hanya sekali mengerjap. Annisa seperti merasakan lehernya tercekik dan sangat panas. "Aaaarghhh. Allahu Akbar!" Dalam penglihatan yang semakin nanar dan samar. Annisa seperti merasakan berada di sebuah hutan. Begitu banyak pepohonan. 'Di mana aku ini? Bukannya tadi di rumah mewah itu?' batin Annisa. Lalu Annisa seperti mendengar suara seseorang. Yang tengah terisak. Segera langkah Annisa mengitari tempat itu. Mencari sumber dari suara seorang wanita. Seketika pandangan matanya tertuju pada seorang wanita yang tengah duduk bersimpuh di tanah. Dia terlihat sangat cantik dengan berpakaian seorang Geisha lengkap. "Hidupku telah kamu hancurkan Hayato! Aku akan membalas semua kekejaman kamu. Baik padaku juga keluargaku! Dan, kamu Hassan. Aku juga tak bisa memaafkan dirimu! Aku setia menunggu kamu, yang katanya akan menjemput aku. Tapi kenyataannya apa? Kamu lebih memilih wanita lain! Aku membenci semuanyaaa ... aku membe
Tepat pukul dua belas siang. Mereka baru terbangun. Dan bergegas berkemas. Annisa yang sudah sedari tadi siapa sedang berjongkok di makam Kazumi atau Karmila.Dia membacakan Yasin dan doa untuknya. Dari ambang pintu Lazuarrdi melihat ke arahnya dengan wajah yang segar. Lalu berjalan mendekati Annisa."Maaf, enggak bisa seperti rencana semula Nis.""Enggak apa-apa kok Mas Ardi. Saya juga baru bangun kok. Buru-buru mandi terus ke sini sebentar.""Berarti belum makan?"Annisa menggeleng."Yuk, makan dulu. Kayaknya Marni sudah siapkan semuanya.""Baik, Mas."Langkah keduanya menuju ruang makan. Terlihat Marni yang sibuk menata piring."Kamu masak apa beli, Mbak?""Saya beli nasi padang Mas. Takut kalau di warung yang lain, Mas Ardi enggak suka. Soalnya agak manis masakannya."Apa yang dikatakan Marni dibenarkan Lazuarrdi. Segera dia duduk dan memanggil Satriyo yang sibuk memasukkan barang-barang."Kamu m
Hampir satu jam mereka merawat jasad yang sudah jadi tengkorak itu. Tepat pukul tiga pagi. Mereka kembali mengebumikan Kazumi atau Karmila."Innalillahi Wainna Ilaihi Rojiun!" ucap para warga serempak."Bahwa apa yang berasal dari-Nya. Pasti akan kembali kepada pemilik-NYa."Setelah prosesi pemakaman selesai. Beberapa warga beristirahat dengan suguhan yang dibikin oleh Marni."Annisa! Apa yang sebenarnya terjadi saat di dekat sungai tadi?""Maksud Mas Lazuarrdi?""Apa benar Kazumi meminta kamu mencari Kenanga?"Cukup lama Annisa terdiam."Kenapa kamu diam?""Ehhh ...."Wanita cantik menghela napas panjang. Lalu mengangguk."Tapi saya tak mau berjanji padanya. saya sudah tegaskan itu Mas. Akan semakin panjang kalau kita mencari Kenanga. Kita enggak tau harus bermulai dari mana juga 'kan?""Cuman yang aku takutkan, suatu saat nanti. Dia akan menganggu kita lagi, dengan meminta janji itu.""Mas,
"Mas Satriyo! Bisakah ambilkan dua lembar daun itu?""Bisa, Mbak. Sebentar!"Kedua kakinya berlari kecil meninggalkan Annisa dan Lazuarrdi yang masih terduduk di tanah."Kenapa perasaan aku sedih sekali, Nis? Seperti hancur, gelap, tak berdaya. Seolah hidup aku ini tak ada artinya lagi.""Mas Ardi banyak istigfar ya. Terus baca aya Qursi tiga kali, serta surat pendek tiga Qul. Mas Ardi bisa?"Lelaki tampan menggeleng dengan pandangan yang mengarah pada Annisa."Kalau begitu sholawat yang banyak saja Mas. Sama istigfar ya, biar perasaan Kazumi enggak terbawa Mas Lazuarrdi.""Baik, Nis."Tak lama. Satriyo sudah datang dengan memebawa dua lembvar daun keladi. Lantas memberikan pada Annisa.Sebelum mengambil kepala Kazumi, Annisa membaca doa terlebih dahulu. Setelah selesai. Dia memungut dengan kedua tangan beralaskan daun talas."Biar saya yang bawa!" tegas Annisa.Mereka pun berjalan pulang menuju rumah
"Kazumi sangat terluka. Aku kesakitan bukan saja raga aku. Tapi, jiwa aku. Apalagi saat aku mendengar kabar, Hayato membunuh semua keluargaku. Saat itu kehidupanku seperti runtuh. Aku ingin mati ... aku ingin mati! Apalagi Takashimo yang menyayangi aku penuh ketulusan. Dibunuh oleh bajingan laknat itu! Belum lagi Kenanga. Di manakah Kenanga berada? Sampai kematian aku pun tak mendapatkan lagi kabar tentang dia. Di mana diaaa ... Kenanga saat itu masih berumur muda sekali. Dan Hayato sudah menjadikannya Jugun Ianfu. Karena kemarahannya padaku," isak tangis Lazuarrdi dengan suara yang berbeda. "Apa aku salah membunuhnya dengan keji?!"Kali ini Lazuarrdi yang duduk bersimpuh menoleh perlahan ke arah Annisa yang berdiri di sampingnya. Sorot matanya tajam, menatap Annisa dengan berurai air mata."Jika memang kau ingin memakamkan aku dengan layak. Ada satu syarat yang aku pinta!"Annisa yang masih terperanjat tak langsung menjawab. Dia masih terpaku dengan mata yang m
"Ke-kenapa, Mas?"Dia terus menggeleng dengan raut wajah yang sangat tegang. Tarikan napasnya terdengar memburu. Lazuarrdi ikut merebahkan tubuhnya di sebelah Annisa yang terus menatap lelaki tampan itu."Mas Ardi kenapa sih?""A-aku lihat dia Nisa.""Terus?""Awalnya dia terlihat layaknya seorang wanita berkimono. Tapi ... tiba-tiba, kepalanya kayak terpenggal begitu saja. Dan jatuh ke tanah."Sontak mendengar penjelasan seperti itu. Annisa langsung berusaha bangkit dari tempat dia berbaring. Membuat Lazuarrdi menatap tajam ke arahnya, dengan pandangan heran."Mau ke mana kamu?""Ayo, Mas! Aku sudah tau di mana letak kepalanya.""Maksud kamu?""Ayo, Mas!"Dibantu Lazuarrdi, Annisa berjalan lembat menuju pohon gayam itu. Diikuti oleh Satriyo yang terus menyorot ke arah mereka."Tunjukkan di mana Kazumi berdiri Mas!""Di tempat aku berdiri sekarang.""Oke, tunggu bentar Mas!"Anni
Dia mengangkat botol yang diberikan Mbah Sukro. Lalu mulai memercikkan air di sekitaran pohon gayam yang terlihat kokoh beridri di hadapan mereka.Saat Annisa sibuk mengucurkan air. Dedaunan pohon gayam seperti bergerak-gerak. Sampai menjatuhkan dedaunan yang kering.Sontak ketiganya melihat ke atas. Mereka seperti melihat dua titik cahaya merah. Seperti bola mata yang terus menatap ke arah mereka."I-itu ... apa Mbak Annisa?" teriak Satriyo membuat mereka berlari sedikit menjauh. Diikuti Annisa.Saat Annisa mendongak, dua titik berwarna kemerahan tak lagi terlihat."Aku masih belum selesai Mas. Kurang sisi utara aja," bisik Annisa."Ayo, kita kembali ke pohon itu!" ajak Lazuarrdi.Suasana benar-benar mencekam. Angin semakin berembus kencang."Bismillah, ya Allah bantu kami," bisik Annisa.Saat mereka kembali mendekati pohon gayam itu. Annisa merasa ada seseorang yang tengah memandang mereka. Sontak dia
Rupa-rupanya sosok hitam pekat itu, kembali akan melayangkan hantaman untuk yang keempat kalinya. Namun, sekilas cahaya putih menangkis serangan itu. Cahaya berbentuk butiran-butiran kecil menyerupai tasbih, menghalangi tubuh Mbah Sukro dari kekuatan hitam.Dalam genggaman tangan Mbah Sukro, dia terus menggulirkan tasbih yang sedari tadi dipegangnya. Terdengar lelaki itu mulai bergumam lirih. Dia terus berdzikir menghadapi serangan makhluk iblis itu.Sontak membuat kedua bayangan hitam itu, menghentikan serangannya dan mundur. Mbah Sukro memejamkan kedua mata dengan rapat. Tak henti bibirnya berdzikir. Walau tubuh tua terasa sakit akibat serangan itu. Dia terus berusaha untk membantu Annisa. Yang jauh darinya."Semoga kamu segera menemukannya, Nduk! Mbah akan mengawal kamu dari sini dengan doa."***Terlihat Annisa masih duduk dengan tafakur. Tiba-tiba dalam bayangan yang samar. Dirinya seperti melihat cahaya kemerahan yang berkelebat melintas Seir
Hanya dalam hitungan sekian detik. Sosok wanita itu sudah berdiri di hadapan lelaki itu. Wajah mereka begitu dekat. Tanpa jeda. Sampai Mbah Sukro bisa mencium embusan napas makhluk yang berada di hadapannya.Manik mata mereka salling beradu. Hingga sorot mata yang tajam tak bisa membuat Mbah Sukro tunduk.Tiba-tiba, di alam yang nyata. Pintu rumah terbuka lebar dengan sendirinya. Bagai ada seseorang yang telah membuka dengan paksa. Namun, tak terlihat siapa pun juga."Mau apa kamu ke rumahku? Kedatanganmu, secara paksa seperti ini apa maksudnya?" Mbah Sukro dengan mata yang terpejam."Hentikan pencarianmu! Atau kau akan mati! Sama seperti mereka semua." Terlihat bayanganhitam yang tak tampak perwujudannya.Masih dengan mata yang terpejam, Mbah Sukro melempar kembang-kembang itu dengan pelan."Mrene ... mrene! Ini makanan kamu!" seru Mbah Sukro.(Mrene = ke sini)Tampak gumpalan asap yang menyerupai sosok seorang lak
Seketika Satriyo mengarahkan senter yang ada di tangannya. Saat cahaya mulai menerangi pohon itu. Sontak dia melemparkan senter jumbo ke tanah. Dengan tubuh yang hampir terjungkal. Untung Lazuarrdi menahan keseimbangan tubuhnya, dengan menarik lengan Satriyo."Aaaaarghhhh!"Tubuh Satriyo akhirnya terduduk di dekat kaki Lazuarrdi. Napasnya tersengal-sengal."A-ada apa kamu?""Ayo, Mas. Kita pergi dari sini. Ini lebih seram dari rumah kita, Mas!" tegas Satriyo."Memangnya apa yang kamu lihat?"Satriyo tak mau menjawab. Dia menggeleng kuat-kuat. Lazuarrdi mengambil senter jumbo yang terbalik dan mati. Sekali tekan dan sedikit mengguncang akhirnya, senter menyala lagi.Lazuarrdi kembali menyorotkan cahaya pada pohon kelapa yang tak jauh dari mereka. Tak terlihat apa pun. Lalu dia menundukkan kepala."Kamu kenapa Sat? Coba bilang!""Ta-tanyakan Mbak Annisa, Mas!" Dengan suara bergetar dan tubuh Satriyo seperti orang yang kedi