"Mbah enggak berani bilang apa-apa, Nduk. Takut mendahului takdir. Kita lihat saja nanti."
"Ta-tapi, Mbah Sukro tau kabarnya hanya dari air kembang kanthil aja?"
"Iya!"
Lelaki tua itu pun pergi menuju kamarnya. Meninggalkan Annisa yang masih dalam keraguan dan pertanyaan yang saat ini memenuhi kepalanya.
"Memangnya apa yang telah dilihat sama Mbah?" bisik Annisa, dengan pandangan yang tal lepas dari sosok sang kakek.
Annisa pun mengalihkan pandangannya pada kembang kanthil, yang tergeletak di keramik teras depan. Dahinya berkerut-kerut. Seakan ada sesuatu yang aneh dan menarik perhatiannya.
Wanita berjilbab itu, berjalan pelan menuju arah luar. Dia masih terpaku melihat kembangnya yang tadi dilempar oleh sang kakek.
"Darah ... warna merah pekat tadi jadi darah akhirnya. Dan, kelopaknya kayak hancur. Memar kayak habis ditumbuk."
Rasa penasaran membuat Annisa akhirnya berjongkok. Saat jemari tangan hendak mengambil kembang itu. T
Annisa segera mengambil kertas dan korek api. Lalu, membakar darah itu. Sepintas Annisa mencium bau daging yang tengah dibakar."Cium apa lagi kamu?""Bau daging, Mbah. Apa Mbah juga cium?"Lelaki tua itu mengangguk."Setelah itu sapu, Nduk. Sampai bersih.""Njih, Mbah."Sedang di tempat lain. Danang dan Fachri baru saja sampai rumah."Kayaknya gue harus segera pulang, Ri.""Enggak mampir ngopi dulu?""Enggak usah deh. Nanti Lazuarrdi nungguin enggak enak."Tampak Fachri manggut-manggut, mencoba untuk mengerti."Ehhh, Lazuarrdi masih di rumah yang besar dulu, Nang?""Masih. Makin besar aja rumah itu. Masih ingat kamu alamatnya?""Kayaknya masih ingat sih.""Ya, udah. Kapan gitu kalau lu libur main ke sana.""Oke ... oke!"Tak lama, Danang sudah mengendarai mobilnya. Melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi. Dalam pikiran Danang saat ini. Dia harus segera sampai rumah.&nbs
Saat melihat beberapa menu yang dia pesan. Danang sudah tak sabar. Untuk segera melahap makanan yang dipesan.Namun, dia merasa ada yang aneh pada makanannya. Seperti ada bau busuk dan sangat anyir. Segera Danang muntahkan lagi makanan yang sudah ada di dalam mulutnya.Pandangannya pun jatuh pada piring. Beberapa kembang kanthil yang bercampur darah. Membuat Danang terhenyak."Apa ini?" Dia pun terkesiap. Tangannya melambai tinggi pada seorang pelayan. Emosinya memuncak."Ada apa ya, Mas?""Coba kamu lihat ini apa?!" sentak Danang emosi. "Kamu ingin aku tuntut ya restonya?""Ma-maksudnya apa ya? Saya kok bingung nih Mas.""Loh, kamu ini apa enggak lihat ini?!" Sembari Danang menuding ke arah bunga kanthil yang dia lihat."Itu ayam geprek kan Mas.""Loh, kamu ini apa enggak lihat sih? Ini ada kembang berdarah-darah di piring aku ini apa enggak lihat?! Haahhhh ....?"Pelayan itu pun garuk-garuk kepala."T-tun
Saat melihat isi mulutnya. Danang seperti ada yang sedang memperhatikan dirinya. Dari arah belakang leher. Danang pun perlahan mulai mengalihkan pandangannya. Sedikit demi sedikit.Dan ....Dia melihat seraut wajah pucat dengan mata yang terpejam. Berada tepat di belakang sandaran kursi mobilnya."Aaaaaaarghhh!"Sontak Danang terperanjat dan ketakutan setengah mati. Dia langsung melompat keluar mobil dan berlari kencang menuju beberapa orang yang berkerumun. Napasnya pun terengah-engah. membuat orang disekitarnya menoleh ke arah Danang."Kenapa, Mas?" tanya penjual cilok yang sedari tadi sudah memperhatikan Danang. Sewaktu masih di dalam mobil. Danang tak segera menjawab. Dia masih mengatur tarikan napasnya, sampai kembali normal."I-ini pentolnya tadi kok ada darahnya, Mas?""Darah? Mana ada Mas?""Adaaa!!!" bentak Danang kesetanan.Entah mengapa Danang merasa tak bisa mengendalikan dirinya lagi. Beberapa orang mu
Bruaaaakkk!Tubuh danang terpental cukup jauh. Bersamaan dengan truk container yang mendekat dan menyambar tubuh Danang hingga terhempas di aspal."Allaaaaahhh!""Aaaaarghhhh!""Mati anak itu!"Tiiiit! Sensor.Suara orang-orang berteriak dari kedua seberang jalan sangat ramai. Mereka sudah berusaha mencegah Danang saat itu. Namun, dia seperti masuk dalam dunianya sendiri. Dunia yang dipengaruhi oleh keberadaan energi jahat milik Kazumi.Hanya dalam sekejap jalanan macet total. Beberapa orang langsung menghubungi pihak PJR dan ambulance. Tak sedikit yang menangis menyaksikan kejadian ini. Ada yang sampai tak berani melihat kondisi Danang. Sampai seseorang datang membawa karung dan menutupi sebagian tubuhnya yang masih utuh._20.10 WIB_Pyaaarrrrr!Gelas yang dibawa lazuarrdi tiba-tiba terjatuh tanpa sebab. Hancurt berkeping di lantai. Sontak membuat Satriyo dan Yanti yang tengah menyiapkan makan malam ikut te
"Iya, Pak. Dia teman saya. Ada apa ini ya Pak?""Kami dari pihak kepolisian, melihat kontak anda yang terakhir kali menghubungi saudaraDanang. Karenanya kami menghubungi Bapak.""I-iya, Pak. Tapi, ada apa ini dengan Danang?"Sekian detik suara dari seberang terdiam. Kemudian ...."Kami sampaikan bahwa teman anda mengalami kecelakaan. Dengan sengaja saudara Danang menabrakkan badannya sendiri ke arah mobil yang sedang melaju di jalan.""Apa?!" teriak lazuarrdi seolah tak percaya. Dia tak bisa mempercayai apa yang baru saja dikatakan lelaki ini. "Bapak ini bukan penipu 'kan?" "Tidak Bapak. Bapak bisa datang ke lokasi di sekitaran tol arah Surabaya. Dan jasad saudara Danang akan kami bawa ke rumah sakit daerah setempat."Dan tak lama. telepon ditutup. Lazuarrdi memejamkan kedua matanya. Tubuhnya terasa lemas dan lingung. Dia terduduk di lantai dengan ponsel yang ikut terjatuh. Buru-buru Yanti memungut ponsel tuannya. Sedang Mbok
Laju mobil yang dikendarai oleh Satriyo bergerak cukup kencang. Mereka menuju arah rumah sakit tempat jasad Danang berada."Mas Lazuarrdi sudah hubungi keluarganya Mas Danang?""Sudah, barusan Sat!""Akan dimakamkan di mana?""Langsung dibawa balik ke Jakarta malam ini juga! Aku akan urusi semuanya. Kamu ikut aku ke pemakaman Danang. Cari tiket pesawat malam ini juga.""Baik, Mas. Terus ke Jakarta jenazah naik apa, Mas?""Sepertinya mobil ambulance. Kalau pesawat terlalu lama prosesnya nanti."Satriyo hanya manggut-manggut. Sesampai di pelataran parkir rumah sakit. Lazuarrdi segera turun diikuti oleh Satriyo. Mereka berlari kecil menuju ruang resepsionis."Malam, Mbak. Mau tanya, apa jenazah atas nama Danang Hermansyah sudah datang?""Sudah, Mas. Tadi ada saudaranya yang langsung minta untuk segera dimandikan. Dan sekarang siap mau berangkat ke Jakarta.""Saudaranya ada di mana, Mbak?""Coba Mas cari di sek
"Semoga perjalanan akan lancar dan dimudahkan. Tepat jam dua belas malam, mobil berangkat. Perkiraan sampai Jakarta antara pukul delapan sampai sembilan pagi. Bismillah, tidak ada halangan yang ditemui!""Aaamiin!"Tiba-tiba, Lazuarrdi kembali merasakan ada yang menepuk pundaknya. Dia langsung menoleh. Sosok Danang sudah berdiri di belakangnya."Bro ...!""Haaaahhh!"Lazuarrdi tersentak. Membuat Satriyo dan Lutfi ikut terkejut dengan pendangan yang heran mengarah padanya."Mas Ardi enggak apa-apa toh?""Ehhhh ... e-enggak Sat."Tampak Lazuarrdi berusaha menutupi kegelisahannya. Seiring dengan keberangkatan mobil ambulan yang semakin menjauh."Ayo, kita berangkat sekarang! Apa kamu sudah dapat tiketnya?""Sudah, Mas. Cuman adanya jam 5 Sriwijaya. Gimana Mas?""Ya, udah. Ambil tiga tiket!""Baik, Mas Ardi.""Sepertinya Lutfi menginap di rumahku aja dulu. Nanggung banget kan kalau kam
Dalam perjalanan menuju rumah. Lazuarrdi lebih banyak terdiam. Sesekali Satriyo menoleh ke arahnya. Dia pun heran dengan perubahan pada Lazuarrdi yang tiba-tiba.Untuk kesekian kalinya Satriyo menanyakan keadaan tuannya. Namun tetap saja Lazuarrdi menjawab, dia dalam kondisi yang baik. Walaupun yang tertangkap oleh Satriyo malah sebaliknya.Perjalanan tak hampir satu jam. Sudah membawa mereka akhirnya sampai di rumah. Mereka keheranan melihat Yanti, Mbok Yani yang masih di luar."Kenapa kalian ini di luar? Apa darahnya sudah dibersihkan?""Su-sudah, Mas Ardi. Kita cuman nungguin kabar dari Mas Ardi soal Mas Danang. Apa itu benar Mas?" sahut Mbok Yani.Lazuarrdi hanya mengangguk dan langsung melangkah masuk. Satriyo mmeberi tanda untuk tiadak bertanya lebih lanjut. Dengan menggelengkan kepala ke arah Mbok Yani."Mbak Yan, kamu siapkan kamar buat Mas Lutfi. Ini sepupunya Mas Danang.""Baik, Mas. Di kamar atas apa bawah?""A
Tepat pukul dua belas siang. Mereka baru terbangun. Dan bergegas berkemas. Annisa yang sudah sedari tadi siapa sedang berjongkok di makam Kazumi atau Karmila.Dia membacakan Yasin dan doa untuknya. Dari ambang pintu Lazuarrdi melihat ke arahnya dengan wajah yang segar. Lalu berjalan mendekati Annisa."Maaf, enggak bisa seperti rencana semula Nis.""Enggak apa-apa kok Mas Ardi. Saya juga baru bangun kok. Buru-buru mandi terus ke sini sebentar.""Berarti belum makan?"Annisa menggeleng."Yuk, makan dulu. Kayaknya Marni sudah siapkan semuanya.""Baik, Mas."Langkah keduanya menuju ruang makan. Terlihat Marni yang sibuk menata piring."Kamu masak apa beli, Mbak?""Saya beli nasi padang Mas. Takut kalau di warung yang lain, Mas Ardi enggak suka. Soalnya agak manis masakannya."Apa yang dikatakan Marni dibenarkan Lazuarrdi. Segera dia duduk dan memanggil Satriyo yang sibuk memasukkan barang-barang."Kamu m
Hampir satu jam mereka merawat jasad yang sudah jadi tengkorak itu. Tepat pukul tiga pagi. Mereka kembali mengebumikan Kazumi atau Karmila."Innalillahi Wainna Ilaihi Rojiun!" ucap para warga serempak."Bahwa apa yang berasal dari-Nya. Pasti akan kembali kepada pemilik-NYa."Setelah prosesi pemakaman selesai. Beberapa warga beristirahat dengan suguhan yang dibikin oleh Marni."Annisa! Apa yang sebenarnya terjadi saat di dekat sungai tadi?""Maksud Mas Lazuarrdi?""Apa benar Kazumi meminta kamu mencari Kenanga?"Cukup lama Annisa terdiam."Kenapa kamu diam?""Ehhh ...."Wanita cantik menghela napas panjang. Lalu mengangguk."Tapi saya tak mau berjanji padanya. saya sudah tegaskan itu Mas. Akan semakin panjang kalau kita mencari Kenanga. Kita enggak tau harus bermulai dari mana juga 'kan?""Cuman yang aku takutkan, suatu saat nanti. Dia akan menganggu kita lagi, dengan meminta janji itu.""Mas,
"Mas Satriyo! Bisakah ambilkan dua lembar daun itu?""Bisa, Mbak. Sebentar!"Kedua kakinya berlari kecil meninggalkan Annisa dan Lazuarrdi yang masih terduduk di tanah."Kenapa perasaan aku sedih sekali, Nis? Seperti hancur, gelap, tak berdaya. Seolah hidup aku ini tak ada artinya lagi.""Mas Ardi banyak istigfar ya. Terus baca aya Qursi tiga kali, serta surat pendek tiga Qul. Mas Ardi bisa?"Lelaki tampan menggeleng dengan pandangan yang mengarah pada Annisa."Kalau begitu sholawat yang banyak saja Mas. Sama istigfar ya, biar perasaan Kazumi enggak terbawa Mas Lazuarrdi.""Baik, Nis."Tak lama. Satriyo sudah datang dengan memebawa dua lembvar daun keladi. Lantas memberikan pada Annisa.Sebelum mengambil kepala Kazumi, Annisa membaca doa terlebih dahulu. Setelah selesai. Dia memungut dengan kedua tangan beralaskan daun talas."Biar saya yang bawa!" tegas Annisa.Mereka pun berjalan pulang menuju rumah
"Kazumi sangat terluka. Aku kesakitan bukan saja raga aku. Tapi, jiwa aku. Apalagi saat aku mendengar kabar, Hayato membunuh semua keluargaku. Saat itu kehidupanku seperti runtuh. Aku ingin mati ... aku ingin mati! Apalagi Takashimo yang menyayangi aku penuh ketulusan. Dibunuh oleh bajingan laknat itu! Belum lagi Kenanga. Di manakah Kenanga berada? Sampai kematian aku pun tak mendapatkan lagi kabar tentang dia. Di mana diaaa ... Kenanga saat itu masih berumur muda sekali. Dan Hayato sudah menjadikannya Jugun Ianfu. Karena kemarahannya padaku," isak tangis Lazuarrdi dengan suara yang berbeda. "Apa aku salah membunuhnya dengan keji?!"Kali ini Lazuarrdi yang duduk bersimpuh menoleh perlahan ke arah Annisa yang berdiri di sampingnya. Sorot matanya tajam, menatap Annisa dengan berurai air mata."Jika memang kau ingin memakamkan aku dengan layak. Ada satu syarat yang aku pinta!"Annisa yang masih terperanjat tak langsung menjawab. Dia masih terpaku dengan mata yang m
"Ke-kenapa, Mas?"Dia terus menggeleng dengan raut wajah yang sangat tegang. Tarikan napasnya terdengar memburu. Lazuarrdi ikut merebahkan tubuhnya di sebelah Annisa yang terus menatap lelaki tampan itu."Mas Ardi kenapa sih?""A-aku lihat dia Nisa.""Terus?""Awalnya dia terlihat layaknya seorang wanita berkimono. Tapi ... tiba-tiba, kepalanya kayak terpenggal begitu saja. Dan jatuh ke tanah."Sontak mendengar penjelasan seperti itu. Annisa langsung berusaha bangkit dari tempat dia berbaring. Membuat Lazuarrdi menatap tajam ke arahnya, dengan pandangan heran."Mau ke mana kamu?""Ayo, Mas! Aku sudah tau di mana letak kepalanya.""Maksud kamu?""Ayo, Mas!"Dibantu Lazuarrdi, Annisa berjalan lembat menuju pohon gayam itu. Diikuti oleh Satriyo yang terus menyorot ke arah mereka."Tunjukkan di mana Kazumi berdiri Mas!""Di tempat aku berdiri sekarang.""Oke, tunggu bentar Mas!"Anni
Dia mengangkat botol yang diberikan Mbah Sukro. Lalu mulai memercikkan air di sekitaran pohon gayam yang terlihat kokoh beridri di hadapan mereka.Saat Annisa sibuk mengucurkan air. Dedaunan pohon gayam seperti bergerak-gerak. Sampai menjatuhkan dedaunan yang kering.Sontak ketiganya melihat ke atas. Mereka seperti melihat dua titik cahaya merah. Seperti bola mata yang terus menatap ke arah mereka."I-itu ... apa Mbak Annisa?" teriak Satriyo membuat mereka berlari sedikit menjauh. Diikuti Annisa.Saat Annisa mendongak, dua titik berwarna kemerahan tak lagi terlihat."Aku masih belum selesai Mas. Kurang sisi utara aja," bisik Annisa."Ayo, kita kembali ke pohon itu!" ajak Lazuarrdi.Suasana benar-benar mencekam. Angin semakin berembus kencang."Bismillah, ya Allah bantu kami," bisik Annisa.Saat mereka kembali mendekati pohon gayam itu. Annisa merasa ada seseorang yang tengah memandang mereka. Sontak dia
Rupa-rupanya sosok hitam pekat itu, kembali akan melayangkan hantaman untuk yang keempat kalinya. Namun, sekilas cahaya putih menangkis serangan itu. Cahaya berbentuk butiran-butiran kecil menyerupai tasbih, menghalangi tubuh Mbah Sukro dari kekuatan hitam.Dalam genggaman tangan Mbah Sukro, dia terus menggulirkan tasbih yang sedari tadi dipegangnya. Terdengar lelaki itu mulai bergumam lirih. Dia terus berdzikir menghadapi serangan makhluk iblis itu.Sontak membuat kedua bayangan hitam itu, menghentikan serangannya dan mundur. Mbah Sukro memejamkan kedua mata dengan rapat. Tak henti bibirnya berdzikir. Walau tubuh tua terasa sakit akibat serangan itu. Dia terus berusaha untk membantu Annisa. Yang jauh darinya."Semoga kamu segera menemukannya, Nduk! Mbah akan mengawal kamu dari sini dengan doa."***Terlihat Annisa masih duduk dengan tafakur. Tiba-tiba dalam bayangan yang samar. Dirinya seperti melihat cahaya kemerahan yang berkelebat melintas Seir
Hanya dalam hitungan sekian detik. Sosok wanita itu sudah berdiri di hadapan lelaki itu. Wajah mereka begitu dekat. Tanpa jeda. Sampai Mbah Sukro bisa mencium embusan napas makhluk yang berada di hadapannya.Manik mata mereka salling beradu. Hingga sorot mata yang tajam tak bisa membuat Mbah Sukro tunduk.Tiba-tiba, di alam yang nyata. Pintu rumah terbuka lebar dengan sendirinya. Bagai ada seseorang yang telah membuka dengan paksa. Namun, tak terlihat siapa pun juga."Mau apa kamu ke rumahku? Kedatanganmu, secara paksa seperti ini apa maksudnya?" Mbah Sukro dengan mata yang terpejam."Hentikan pencarianmu! Atau kau akan mati! Sama seperti mereka semua." Terlihat bayanganhitam yang tak tampak perwujudannya.Masih dengan mata yang terpejam, Mbah Sukro melempar kembang-kembang itu dengan pelan."Mrene ... mrene! Ini makanan kamu!" seru Mbah Sukro.(Mrene = ke sini)Tampak gumpalan asap yang menyerupai sosok seorang lak
Seketika Satriyo mengarahkan senter yang ada di tangannya. Saat cahaya mulai menerangi pohon itu. Sontak dia melemparkan senter jumbo ke tanah. Dengan tubuh yang hampir terjungkal. Untung Lazuarrdi menahan keseimbangan tubuhnya, dengan menarik lengan Satriyo."Aaaaarghhhh!"Tubuh Satriyo akhirnya terduduk di dekat kaki Lazuarrdi. Napasnya tersengal-sengal."A-ada apa kamu?""Ayo, Mas. Kita pergi dari sini. Ini lebih seram dari rumah kita, Mas!" tegas Satriyo."Memangnya apa yang kamu lihat?"Satriyo tak mau menjawab. Dia menggeleng kuat-kuat. Lazuarrdi mengambil senter jumbo yang terbalik dan mati. Sekali tekan dan sedikit mengguncang akhirnya, senter menyala lagi.Lazuarrdi kembali menyorotkan cahaya pada pohon kelapa yang tak jauh dari mereka. Tak terlihat apa pun. Lalu dia menundukkan kepala."Kamu kenapa Sat? Coba bilang!""Ta-tanyakan Mbak Annisa, Mas!" Dengan suara bergetar dan tubuh Satriyo seperti orang yang kedi