Saat Danang mencoba memeriksa. Tak terlihat kejanggalan atau hal aneh di bagian leher. Akan tetapi Wanita tua ini semakin mengerang kesakitan. Bahkan sampai menjerit dan berteriak.
Danang pun mulai panik. Seketika dia berteriak memanggil Narmi.
"Ada apa, Mas Danang?"
"Lihat Eyang kenapa tuh?!" teriak Danang cemas. Dia pun mulai kalut sambil berteraik memanggil Satriyo yang belum datang. "Di mana masjidnya, Mbak?"
Tanpa menoleh Narmi mengangkat tangannya mengarah selatan. Tak menunggu lama Danang berlari kencang keluar rumah. Dari kejauhan dia melihat sosok Satriyto yang berjalan santai mengarah padanya.
"Saaaat ... Satriyo!"
Melihat Danang yang berteriak dan berlari ke arahnya. Satriyo mulai merasa ada sesuatu yang telah terjadi. Membuat dia ikut berlari kencang ke arahnya.
"A-ada apa Mas?" Satriyo masih terengah-engah. Begitu juga dengan Danang. Yang tak bisa bicara dia hanya menunjuk ke arah rumah Eyang Sulasih.
Tanpa banyak
Narmi ragu saat hendak meneruskan kalimatnya."Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?""Sebaiknya Mas Danang segera telepon Mas Ardi. Lebih cepat dia sampai sini lebih baik!"Danang manggut-manggut. Tapi, dia baru teringat ponsel miliknya untuk merekam kamar itu. Lalu, dia menghampiri Satriyo. Danang mencolek bahunya pelan."Ada apa, Mas Danang?""Telpon Lazuarrdi cepat!""Baik, Mas."Danang pun kembali masuk kamar. Dia melihat Pak Modin memberikan air minum yang baru diberi doa-doa."Bu RT bisa bantu saya?""Apa Pak Modin?""Tolong berikan air ini agar diminum Bu Sulasih.""Ba-baik."Belum sampai wanita itu melakukan. Narmi nyelonong masuk. "Biar saya aja Bu RT.""Ohhh, ada Mbak Narmi. Monggo Mbak cepetan kasih airnya ke Eyang.""Iya, Bu."Narmi mengangkat leher Sulasih yang sudah terlihat sangat lemas. Setelah emminumnya sedikit demi sedikit. Lelaki berkopiah itu menyuruh N
"Apa karena pedang itu?" bisik Danang.Semua terdiam, tak ada yang memberikan jawaban. Narmi pun merebahkan tubuh Sulasih. Lalu memberihkan pakaian dari semua muntah darahnya."Ya, udah Pak RT. Beritahukan sama warga, kalau Bu Sulasih sudah meninggal," pinta Pak Modin."Baik, Pak!""Mbak Narmi, keluarganya sudah diberitahu?"Danang langsung menjawab, "Masih ditelpon, Pak.""Ya, sudah kalau gitu."Sedang di luar kamar. Satriyo berusaha keras menelepon Lazuarrdi. Sampai akhirnya telepon diterima."Mas ... Mas Ardi!""Ada apa, Sat?" Suara Lazuarrdi terdengar malas. Seperti bangun tidur."Eyang, Mas. Eyang ...!""Ke-kenapa dengan Eyang, Sat?"Dari suara Lazuarrdi yang terucap. Sangat terdengar dia terkejut dan cemas."Maaf, Mas. Eyang sudah meninggal.""A-apaaaa?" Hampir berteriak Lazuarrdi mengatakannya. "Pemakaman tunggu aku. Detik ini juga aku checkout. Semoga bisa dapat tiket penerbanga
Lalu, Danang mendekati Lazuarrdi. Dia sudah berdiri di samping lelaki tampan itu. seraya berbisik,"Maaf, Bro. Gue sempat merekam semua kejadian saat Eyang masih kesakitan. Ada hal yang aneh.""Apa maksud lu?""Ikutlah!"Lazuarrdi mengikuti Danang dan meninggalkan Azuna yang masih mengamati pedang samurai. Lalu dia tertarik dengan cermin yang berada di bawahnya. Entah mengapa, tiba-tiba cermin yang awalnya tampak bening. Berubah menjadi buram berkabut.Membuat Azuna penasaran dan merasa heran."Kenapa cermin ini jadi berkabut?"Tangannya bergerak untuk mengusap pelan-pelan. Hingga tangkapan manik matanya, pada sesuatu yang berkelebat. Tepat di belakang. Membuat Azuna menoleh. Lalu, raut wajahnya mulai berubah."Aku seperti melihat sesuatu? Tapi apa ya?" Azuna berbisik dalam hati.Kemudian dia kembali melihat cermin itu lagi. Betapa dia tersentak. Saat terdapat sebuah kalimat singkat dalam. Yang tertulis samar di an
Tanpa Azuna sadari. Perlahan darah yang menetes semakin terlihat deras mengalir. Membuat gadis itu semakin ketakutan, sampai gayungnya terlepas.Dan ....Nyata di hadapan Azuna, wanita tua itu kepalanya menggelinding tak jauh dari dia berdiri."Aaaaarghhh!"Sontak dia berteriak kencang. Tak lama Lazuarrdi dan Danang berlari masuk kamar. Mendapati Azuna yang terduduk di lantai kamar mandi."Azuna! Ada apa kamu di sini?"Lazuarrdi langsung menggendong tubuhnya. Membawa ke kamar yang dipakai Danang."Nang, lu panggilin Mbak Narmi sekarang!""Oke, Boss!""Ada apa kamu kok bisa ada di kamar mandi Eyang?"Azuna terus menggeleng."Aku takut Lazuarrdi. Benar-benar takut sekali.""Apa yang kamu lihat, Azuna?"Azuna semakin merapatkan kepalanya pada dada bidang Lazuarrdi. Gadis ini benar-benar ketakutan"Jangan tinggalkan aku, Lazuarrdi.""Aku di sini temani kamu. T
"Lihat ini, Boss!"Mereka seperti melihat ada percikan darah di sekitar leher Sulasih. Seperti ada luka yang mengelilingi leher. Dan terlihat darah segar yang mengucur deras."I-ini, seperti?" Suara Lazuarrdi tertahan.Danang mengangguk pelan. Lazuarrdi menatapnya lekat."Seperti leher yang ditebas oleh senjata tajam? Begitu juga permikiran lu, Nang?""Iya, Bro. Makanya waktu gue lihat nih video. Banyak sekali yang kabur. Setelah gue zoom, memang sosok Kazumi itu ada di kamar."Seketika Lazuarrdi tertunduk. Akhirnya lelaki tampan dan terlihat tegar itu, tak lagi mampu menguasai perasaan yang sedih. Hatinya hancur, tak menyangka sang nenek akan pergi meninggkan dia secepat ini.Isak tangis Lazuarrdi terdengar. Walau mati-matian dia menahan. Tetap saja tak mampu membendung air mata yang sudah sedari tadi malam dia tahan."Kenapa gue tak ikutin kemauan dia, Nang? Gue malah sibuk ama urusan kerjaan. Coba kita bertiga beran
"Kenapa gue jadi ingat omongan Shasy terus ya? Dia sempat bilang kalau di belakang wanita itu, ada sosok yang sangat jahat, mengerikan. Apa, mungkin dia pernah ngelihat?""Coba lu telpon, Bro!""Oke, nantilah habis ini."Setelah itu mereka keluar sentong. Dari ujung ruang tengah. Mereka melihat Azuna tengah duduk di sebuah kursi. Seperti sedang menunggu mereka. Lazuarrdi pun menghampirinya."Kenapa duduk sendirian di sini?""Aku cari kamu tapi tak ada di kamar. Jadi aku duduk di sini aja.""A-pa, menurut kamu pedang ini ada kaitan dengan keluargamu? Atau hal yang lain, Azuna?""Memangnya kenapa?""Dalam kematian Eyang banyak hal tak wajar."Wanita cantik itu mengernyit."Apa maksud perkataan kamu ini?"Lazuarrdi memegang kepalanya dengan kedua tangan. Terlihat dia pusing dengan masalah pelik yang dihadapinya saat ini."Sepertinya aku harus segera bertemu Papa kamu, Azuna. Banyak yang aku ingin
Narmi mengantarkan kepergian majikannya, dengan rasa kesedihan yang menggelayut. Dalam perjalanan, sesekali Danang melihat ke arah jok belakang."Kenapa lu?""Ngerasa aneh aja.""Sat, kita langsung ke rumah sakit. Tuan Roy lagi kritis.""Memangnya sakit apa, Mas Ardi?""Entah? Azuna juga tak jelas. Dia sepertinya juga bingung mau gambarkan penyakit Tuan Roy seperti apa."Apa kagak ada hubungan sama tuh pedang, Bro?""Entah, Nang. Cuman menurut gue, dia ada hubungan sama pedang itu. Ehhh ... foto Kakung gue sama foto si Karmila tak lupa 'kan?""Kagak! Tuh ada gue simpan dalam tas.""Oke."Mobil pun melaju kencang membelah kepadatan jalan. Hanya dalam waktu empat jam. Mobil pun memasuki kota Surabaya. Tepat pukul sebelas malam.Sebelum turun dari mobil. Lazuarrdi menelepon Azuna. Memberitahukan bahwa dia telah sampai di halaman parkir rumah sakit."Kamu tunggu saja di sana. Biar pengawalku
"Seorang wanita? Siapakah dia Tuan?"Lelaki itu kembali menggeleng."Dia yang sekarang selalu menghantuiku. Pedang itu dulu diberikan padaku dengan sebuah buku diari. Mungkin tulisan dari wanita itu. Aku pun lupa di mana buku itu sekarang.""Apa ... Tuan tahu mengenai sebuah kotak dari besi baja yang berlamang sebuah matahari?""Itu milik Kakek kamu. Aku sewaktu menaruh pedang di rumah Kakek kamu, dia pernah memperlihatkannya. Katanya itu milik dari almarhum kakek buyut kamu.""Kakek buyut?""Iya. Tidak lupak kamu bawa pulang 'kan?""Tidak, Tuan. Tapi, sebelumnya saya ingin bertanya dulu. Kenapa teman Tuan meninggal? Maksud saya apa penyebab teman Tuan meninggal."Seketika manik mata Roy Kenzo berkaca-kaca."Pedang itu! Dia yang membunuhnya."Sontak jawabannya membuat Lazuarrdi menoleh pada Danang dan Azuna."Saya tidak mengerti Tuan. Membunuh bagaimana?""Dia menebas lehernya sendiri. Aku melihat se
Tepat pukul dua belas siang. Mereka baru terbangun. Dan bergegas berkemas. Annisa yang sudah sedari tadi siapa sedang berjongkok di makam Kazumi atau Karmila.Dia membacakan Yasin dan doa untuknya. Dari ambang pintu Lazuarrdi melihat ke arahnya dengan wajah yang segar. Lalu berjalan mendekati Annisa."Maaf, enggak bisa seperti rencana semula Nis.""Enggak apa-apa kok Mas Ardi. Saya juga baru bangun kok. Buru-buru mandi terus ke sini sebentar.""Berarti belum makan?"Annisa menggeleng."Yuk, makan dulu. Kayaknya Marni sudah siapkan semuanya.""Baik, Mas."Langkah keduanya menuju ruang makan. Terlihat Marni yang sibuk menata piring."Kamu masak apa beli, Mbak?""Saya beli nasi padang Mas. Takut kalau di warung yang lain, Mas Ardi enggak suka. Soalnya agak manis masakannya."Apa yang dikatakan Marni dibenarkan Lazuarrdi. Segera dia duduk dan memanggil Satriyo yang sibuk memasukkan barang-barang."Kamu m
Hampir satu jam mereka merawat jasad yang sudah jadi tengkorak itu. Tepat pukul tiga pagi. Mereka kembali mengebumikan Kazumi atau Karmila."Innalillahi Wainna Ilaihi Rojiun!" ucap para warga serempak."Bahwa apa yang berasal dari-Nya. Pasti akan kembali kepada pemilik-NYa."Setelah prosesi pemakaman selesai. Beberapa warga beristirahat dengan suguhan yang dibikin oleh Marni."Annisa! Apa yang sebenarnya terjadi saat di dekat sungai tadi?""Maksud Mas Lazuarrdi?""Apa benar Kazumi meminta kamu mencari Kenanga?"Cukup lama Annisa terdiam."Kenapa kamu diam?""Ehhh ...."Wanita cantik menghela napas panjang. Lalu mengangguk."Tapi saya tak mau berjanji padanya. saya sudah tegaskan itu Mas. Akan semakin panjang kalau kita mencari Kenanga. Kita enggak tau harus bermulai dari mana juga 'kan?""Cuman yang aku takutkan, suatu saat nanti. Dia akan menganggu kita lagi, dengan meminta janji itu.""Mas,
"Mas Satriyo! Bisakah ambilkan dua lembar daun itu?""Bisa, Mbak. Sebentar!"Kedua kakinya berlari kecil meninggalkan Annisa dan Lazuarrdi yang masih terduduk di tanah."Kenapa perasaan aku sedih sekali, Nis? Seperti hancur, gelap, tak berdaya. Seolah hidup aku ini tak ada artinya lagi.""Mas Ardi banyak istigfar ya. Terus baca aya Qursi tiga kali, serta surat pendek tiga Qul. Mas Ardi bisa?"Lelaki tampan menggeleng dengan pandangan yang mengarah pada Annisa."Kalau begitu sholawat yang banyak saja Mas. Sama istigfar ya, biar perasaan Kazumi enggak terbawa Mas Lazuarrdi.""Baik, Nis."Tak lama. Satriyo sudah datang dengan memebawa dua lembvar daun keladi. Lantas memberikan pada Annisa.Sebelum mengambil kepala Kazumi, Annisa membaca doa terlebih dahulu. Setelah selesai. Dia memungut dengan kedua tangan beralaskan daun talas."Biar saya yang bawa!" tegas Annisa.Mereka pun berjalan pulang menuju rumah
"Kazumi sangat terluka. Aku kesakitan bukan saja raga aku. Tapi, jiwa aku. Apalagi saat aku mendengar kabar, Hayato membunuh semua keluargaku. Saat itu kehidupanku seperti runtuh. Aku ingin mati ... aku ingin mati! Apalagi Takashimo yang menyayangi aku penuh ketulusan. Dibunuh oleh bajingan laknat itu! Belum lagi Kenanga. Di manakah Kenanga berada? Sampai kematian aku pun tak mendapatkan lagi kabar tentang dia. Di mana diaaa ... Kenanga saat itu masih berumur muda sekali. Dan Hayato sudah menjadikannya Jugun Ianfu. Karena kemarahannya padaku," isak tangis Lazuarrdi dengan suara yang berbeda. "Apa aku salah membunuhnya dengan keji?!"Kali ini Lazuarrdi yang duduk bersimpuh menoleh perlahan ke arah Annisa yang berdiri di sampingnya. Sorot matanya tajam, menatap Annisa dengan berurai air mata."Jika memang kau ingin memakamkan aku dengan layak. Ada satu syarat yang aku pinta!"Annisa yang masih terperanjat tak langsung menjawab. Dia masih terpaku dengan mata yang m
"Ke-kenapa, Mas?"Dia terus menggeleng dengan raut wajah yang sangat tegang. Tarikan napasnya terdengar memburu. Lazuarrdi ikut merebahkan tubuhnya di sebelah Annisa yang terus menatap lelaki tampan itu."Mas Ardi kenapa sih?""A-aku lihat dia Nisa.""Terus?""Awalnya dia terlihat layaknya seorang wanita berkimono. Tapi ... tiba-tiba, kepalanya kayak terpenggal begitu saja. Dan jatuh ke tanah."Sontak mendengar penjelasan seperti itu. Annisa langsung berusaha bangkit dari tempat dia berbaring. Membuat Lazuarrdi menatap tajam ke arahnya, dengan pandangan heran."Mau ke mana kamu?""Ayo, Mas! Aku sudah tau di mana letak kepalanya.""Maksud kamu?""Ayo, Mas!"Dibantu Lazuarrdi, Annisa berjalan lembat menuju pohon gayam itu. Diikuti oleh Satriyo yang terus menyorot ke arah mereka."Tunjukkan di mana Kazumi berdiri Mas!""Di tempat aku berdiri sekarang.""Oke, tunggu bentar Mas!"Anni
Dia mengangkat botol yang diberikan Mbah Sukro. Lalu mulai memercikkan air di sekitaran pohon gayam yang terlihat kokoh beridri di hadapan mereka.Saat Annisa sibuk mengucurkan air. Dedaunan pohon gayam seperti bergerak-gerak. Sampai menjatuhkan dedaunan yang kering.Sontak ketiganya melihat ke atas. Mereka seperti melihat dua titik cahaya merah. Seperti bola mata yang terus menatap ke arah mereka."I-itu ... apa Mbak Annisa?" teriak Satriyo membuat mereka berlari sedikit menjauh. Diikuti Annisa.Saat Annisa mendongak, dua titik berwarna kemerahan tak lagi terlihat."Aku masih belum selesai Mas. Kurang sisi utara aja," bisik Annisa."Ayo, kita kembali ke pohon itu!" ajak Lazuarrdi.Suasana benar-benar mencekam. Angin semakin berembus kencang."Bismillah, ya Allah bantu kami," bisik Annisa.Saat mereka kembali mendekati pohon gayam itu. Annisa merasa ada seseorang yang tengah memandang mereka. Sontak dia
Rupa-rupanya sosok hitam pekat itu, kembali akan melayangkan hantaman untuk yang keempat kalinya. Namun, sekilas cahaya putih menangkis serangan itu. Cahaya berbentuk butiran-butiran kecil menyerupai tasbih, menghalangi tubuh Mbah Sukro dari kekuatan hitam.Dalam genggaman tangan Mbah Sukro, dia terus menggulirkan tasbih yang sedari tadi dipegangnya. Terdengar lelaki itu mulai bergumam lirih. Dia terus berdzikir menghadapi serangan makhluk iblis itu.Sontak membuat kedua bayangan hitam itu, menghentikan serangannya dan mundur. Mbah Sukro memejamkan kedua mata dengan rapat. Tak henti bibirnya berdzikir. Walau tubuh tua terasa sakit akibat serangan itu. Dia terus berusaha untk membantu Annisa. Yang jauh darinya."Semoga kamu segera menemukannya, Nduk! Mbah akan mengawal kamu dari sini dengan doa."***Terlihat Annisa masih duduk dengan tafakur. Tiba-tiba dalam bayangan yang samar. Dirinya seperti melihat cahaya kemerahan yang berkelebat melintas Seir
Hanya dalam hitungan sekian detik. Sosok wanita itu sudah berdiri di hadapan lelaki itu. Wajah mereka begitu dekat. Tanpa jeda. Sampai Mbah Sukro bisa mencium embusan napas makhluk yang berada di hadapannya.Manik mata mereka salling beradu. Hingga sorot mata yang tajam tak bisa membuat Mbah Sukro tunduk.Tiba-tiba, di alam yang nyata. Pintu rumah terbuka lebar dengan sendirinya. Bagai ada seseorang yang telah membuka dengan paksa. Namun, tak terlihat siapa pun juga."Mau apa kamu ke rumahku? Kedatanganmu, secara paksa seperti ini apa maksudnya?" Mbah Sukro dengan mata yang terpejam."Hentikan pencarianmu! Atau kau akan mati! Sama seperti mereka semua." Terlihat bayanganhitam yang tak tampak perwujudannya.Masih dengan mata yang terpejam, Mbah Sukro melempar kembang-kembang itu dengan pelan."Mrene ... mrene! Ini makanan kamu!" seru Mbah Sukro.(Mrene = ke sini)Tampak gumpalan asap yang menyerupai sosok seorang lak
Seketika Satriyo mengarahkan senter yang ada di tangannya. Saat cahaya mulai menerangi pohon itu. Sontak dia melemparkan senter jumbo ke tanah. Dengan tubuh yang hampir terjungkal. Untung Lazuarrdi menahan keseimbangan tubuhnya, dengan menarik lengan Satriyo."Aaaaarghhhh!"Tubuh Satriyo akhirnya terduduk di dekat kaki Lazuarrdi. Napasnya tersengal-sengal."A-ada apa kamu?""Ayo, Mas. Kita pergi dari sini. Ini lebih seram dari rumah kita, Mas!" tegas Satriyo."Memangnya apa yang kamu lihat?"Satriyo tak mau menjawab. Dia menggeleng kuat-kuat. Lazuarrdi mengambil senter jumbo yang terbalik dan mati. Sekali tekan dan sedikit mengguncang akhirnya, senter menyala lagi.Lazuarrdi kembali menyorotkan cahaya pada pohon kelapa yang tak jauh dari mereka. Tak terlihat apa pun. Lalu dia menundukkan kepala."Kamu kenapa Sat? Coba bilang!""Ta-tanyakan Mbak Annisa, Mas!" Dengan suara bergetar dan tubuh Satriyo seperti orang yang kedi