Wanita seksi dengan tinggi 170 cm itu membanting pintu mobilnya dengan kesal saat sampai di garasi rumah. Dia merasa mantan suaminya itu semakin lama semakin menyebalkan. Kemarin-kemarin dia masih bisa bertemu Tasya, putrinya, walau dengan sembunyi-sembunyi menunggu Daniel pergi ke kantornya. Tapi sekarang, pria itu benar-benar menutup aksesnya untuk menemui putrinya. Pembantu rumah tangganya juga mendukungnya melakukan hal itu. "Brengs*k!!" umpatnya kesal sambil menghempaskan diri di sofa ruang tamu. Tangannya mengacak-acak rambut ikal berhigh light merahnya dengan sangat frustasi. "Ada apa sih, Kak?" Suara serak Vina bertanya dari arah ruang tengah. Lalu sejurus kemudian gadis yang pergelangan tangannya masih dibalut perban itu menghampiri Clarissa di sofa ruang tamu. "Daniel!" sebut Clarissa dengan nada kesal. "Maunya apa sih dia? Aku nggak dibolehin ketemu Tasya. Dia sendiri selalu menghindar waktu kuhubungi, sekarang nomerku malah diblokirnya. Lama-lama str
Sudah sekitar dua minggu Adam tidak lagi datang kerumahku. Tapi lucunya, dia mengirimkan seorang karyawan pria bernama Riko, ke rumah kontrakanku. Dan sudah seminggu lebih, pekerjaan Adam dihandle oleh orang bernama Riko ini. Beberapa kali aku mencoba mengirim pesan pada Adam untuk meminta maaf. Tapi pesanku tak satu pun dibalas oleh lelaki itu. Panggilanku pun tak pernah diangkatnya. Apa Adam semarah ini padaku? Melihat kemarahan Adam ini membuatku hingga tak berani menemuinya langsung baik di kantor maupun di rumah orang tuanya. Beberapa hari setelah kedatangan Mas Reyfan waktu itu, aku terus kepikiran tentang modal usaha yang dimintanya. Bagaimanapun, melihat hidupnya yang sulit seperti sekarang membuatku miris. Setidaknya dia harus punya pekerjaan untuk menghidupi istri dan anaknya. Maka saat bapak menelponku mengatakan bahwa sudah ada yang menawar rumahku, aku bergegas mengajak Keenan ke rumah bapak untuk membicarakan masalah itu. "Kamu mau lepas rumahmu di ha
Mas Reyfan mengajakku duduk di kursi teras. Entah, mungkin dia tidak punya meja kursi tamu di dalam rumah kontrakannya itu. Daniel segera mendudukkan diri di sebelahku, sementara Mas Reyfan berada di depanku. Tak lama berselang, Shasha muncul dengan pakaian yang sedikit lebih sopan dari yang dia kenakan tadi. Lalu dia pun duduk berdempetan dengan mantan suamiku. "Maaf Mas, aku nggak bisa bantu banyak. Hanya ini yang bisa kuberikan untuk kamu. Sisanya tetap aku simpan untuk masa depan Keenan," kataku sambil menyerahkan amplop coklat berisi uang 75 juta. Mas Reyfan hanya mengangguk saja tanpa berani bertanya apapun. "Jumlahnya hanya 75 juta Mas, semoga bisa kamu jadikan modal usaha," kataku lagi. Mas Reyfan tetap tak bereaksi, hanya menunduk menatap ke arah amplop yang kuketakkan di meja itu. Tapi justru Shasha yang nampak bereaksi cepat. "Kok cuma segitu Kak? Bukannya rumah Mas Reyfan itu besar. Pasti harganya mahal kan?" Dahinya nampak berkerut menatap ke arahku.
Lelaki itu menutup pintu ruang kerjanya rapat-rapat. Lalu memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya melangkah ke sofa. Vina, dengan pakaian sedikit berantakan menatapnya masih dengan penuh hasrat. "Pulanglah sekarang! Katakan pada Clarissa kesepakatan yang kita buat tadi," kata Adam sambil menghempaskan diri ke sofa. "Tapi kita belum menyelesaikan yang tadi, Sayang," protes gadis bergincu warna gelap itu. "Kamu pikir tadi itu apa? Maaf, aku nggak sengaja. Pulang saja sana! Kerjakan yang aku bilang," ketua Adam. "Adam, kok kamu gitu sih? Apa kamu benar-benar sudah nggak mau bersamaku?" "Vinaaa ... kamu dengar aku kan? Kamu turuti perintahku atau kita tidak akan pernah bertemu lagi." Adam mulai mengancam. Dan Ancaman Adam selalu menakutkan bagi gadis bernama Vina itu. Akhirnya dengan kesal karena hasrat yang belum tuntas, dia menghentakkan kakinya keluar ruangan. 'Kamu sudah melukaiku sangat dalam, Hani. Aku ingin suatu hari kamu bertekut lutut me
Sepagian aku tak keluar kamar. Saat tengah malam, aku tiba-tiba merasa badanku panas. Mbok Jum yang kupanggil subuh itu tentu saja panik. Dia segera mencari minyak angin dan koin untuk mengeroki bagian punggungku seperti biasa saat aku meriang. Setelah Mbok Jum selesai, aku kembali meringkuk dengan selimut tebal. Menyelimuti badanku yang sedang menggigil parah. Hera dan Santi yang datang seperti biasa pukul 8 pagi menjengukku ke lantai atas. Keduanya muncul dengan wajah-wajah polos mereka yang penuh simpati padaku. "Mbak Hani sudah minum obat? Apa aku anterin ke dokter aja, Mbak?" tanya Santi khawatir. Aku menggeleng lemah. "Nggak usah, San. Udah dikerokin tadi sama Simbok. Paling bentar lagi juga sembuh," ucapku dengan nada serak. "Aku minta tolong ya kerjaanku hari ini kamu handle dulu? Kayaknya aku masih perlu istirahat," jelasku padanya. Keduanya mengangguk dan kemudian kembali turun untuk memulai aktifitas seperti biasa. Setelah menghabiskan bubur
Setelah menerima transferan uang dengan jumlah lumayan fantastis dari Adam hari itu. Clarissa pun segera memacu mobilnya kencang untuk menemui seseorang. Entah apa yang dia bicarakan dengan lelaki yang ditemuinya di sudut sebuah mall itu, tapi yang jelas sepertinya sangat serius. Setelah menyelesaikan urusan dengan si lelaki misterius, Clarissa bergegas menuju ke sebuah klinik milik seorang sahabatnya untuk melancarkan rencana keduanya. Dan dia menghubungi ponsel adik sepupunya selama dalam perjalanan menuju ke arah klinik. "Vin, Kamu sudah berangkat kan?" tanyanya. "Sudah Kak. Aku hampir sampai." "Oke, jangan lupa kasih kabar ya. Lewat pesan saja." "Oke, Kak." Dan sambungan telepon mereka pun berakhir saat Clarissa sampai di depan sebuah Klinik. Setelah memarkirkan mobilnya, Clarissa bergegas memasuki lobby klinik, berjalan dengan pasti dengan stiletto tingginya dan kaca mata hitam menutupi matanya. . . . Sementara itu di sudut lain kota itu, V
Tanpa tidur semalaman, Daniel berangkat pagi-pagi sekali meninggalkan rumah. Dia biasanya orang yang tidak pernah suka menyelesaikan urusan pribadinya dengan memanfaatkan fasilitas kantor. Tapi kali ini sepertinya harus dia lakukan demi mencari tau kebenaran. Ada beberapa rumah sakit di kota ini yang harus dia datangi. Hanya akan ada dua kemungkinan jika memang Hani benar-benar sakit, yaitu bahwa wanita itu sengaja menghindarinya atau memang disembunyikan. Instingnya sebagai penegak hukum memang jarang salah selama ini karena seringnya menemui kejanggalan pada kasus-kasus yang dia tangani di lapangan. Daniel hanya butuh kepastian apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh kekasihnya itu. Jika dia memang ingin bersembunyi darinya, artinya Daniel akan mundur. Walaupun sifat posesifnya terhadap Hani sangat besar hingga dia bahkan rela kehilangan seorang sahabat seperti Adam, namun jika wanita itu sendiri yang tidak menginginkannya, maka dia tidak bisa memaksanya. Dan
Adam baru menuruni tangga lantai dua rumah orang tuanya, sementara mama dan papa nya sudah bersiap di lantai bawah. "Nanti kamu langsung ke kantor apa nganterin kami pulang dulu, Dam?" tanya sang papa saat Adam sampai di hadapan mereka. "Gampang, nanti Adam anterin pulang, Pa. Adam nggak ngantor hari ini." "Nggak ngantor? Memangnya mau kemana?" tanya sang mama "Di rumah sakit lah, Ma, kemana lagi," ujar Adam pasti. "Ya sudah kalau gitu papa ngga usah bawa mobil sendiri aja kalau gitu," kata sang papa. "Eh, Dam, kenapa sih kamu nggak langsung lamar aja Hani ke orangtuanya?" Sang mama yang duduk di jok belakang memulai percakapan saat mobil melaju pelan meninggalkan rumah. Papa Adam menoleh ke anaknya yang berada di belakang kemudi. Namun sepertinya Adam tak ambil pusing dengan pertanyaan yang dilontarkan sang mama. "Mama ini ngomong apa? Ya terserah Adam lah, jangan dipaksa-paksa nanti jadinya nggak baik," jawab papanya dari jok depan mencoba membela
Satu bulan setelah pertemuannya kembali dengan Santi, hari ini keduanya nampak sedang duduk di sebuah ruang pertemuan di salah satu sudut kantor Adam.Di hadapan keduanya ada 4 orang karyawan inti di perusahaan Adam yang sedang menghadap ke arah mereka. Nampak di depan mereka tumpukan berkas yang baru saja selesai dibahas."Jadi rencanaku bisnis kosmetik ini nantinya akan seperti itu. Bagaimana menurut kalian?" tanya Adam pada keempat anak buahnya."Bagus, Pak. Saya rasa ide ini sangat cemerlang mengingat pasar kosmetik yang saya lihat saat ini sedang lesu-lesunya. Hampir tak ada brand baru yang muncul akhir-akhir ini," ujar salah satu karyawan itu."Iya itu maksudku. Ya sudah kalau gitu kita cukup
Malam itu entah kenapa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Adam. Kedatangan mantan karyawannya dengan penampilan yang sedikit berbeda namun masih sama malu-malunya itu membuatnya justru susah untuk lupa.Dari sejak lelaki itu menginjakkan kaki di rumah orangtuanya, Adam hanya terlihat mondar mandir dari kamar menuju balkon. Secangkir kopi dibawanya ke sana kemari dengan perasaan kacau yang sulit dia mengerti sendiri."Lagi ngapain kamu, Dam? Mama perhatikan dari pintu tadi kayak orang lagi bingung gitu?"Ibunya yang sedari tadi mengamati tingkah aneh putranya menghentikan langkahnya di pintu balkon."Mama ngagetin aja." Muka Adam langsung memerah karenanya.
Beberapa minggu setelah pertemuannya dengan mantan bosnya, gadis itu melakukan treatment di sebuah klinik kecantikan. Hani juga telah membekalinya uang yang cukup untuk dia belanjakan beberapa potong baju yang akan lebih membuatnya percaya diri saat bertemu dengan Adam nanti.Dan siang itu adalah hari yang telah direncanakannya untuk menemui Adam. Santi melangkah dengan penuh kayakinan menuju ke kantor Adam usai turun dari taksi online yang ditumpanginya."Bisa saya bertemu dengan pak Adam?" tanyanya pada resepsionis."Maaf, apa ada sudah janji sebelumnya, Bu?" tanya balik sang gadis dengan seragam warna violet itu."Mmmm."Santi mulai men
Rapatnya Hani menyimpan rasa shock atas pertemuannya dengan Adam, bahkan membuat Daniel pun tak menyadari bahwa istrinya memang sedang sedikit tak enak badan hari itu. Sampai-sampai lelaki itu setengah memaksa mengajak sang istri untuk mau ikut bersamanya keluar larut malam.Hanya untuk membuat Daniel tak cemas dengan kondisi dirinya yang memang sedang kurang baik setelah kejadian yang menimpa siang harinya, Hani pun terpaksa menuruti ajakan suaminya.Daniel membawa istrinya ke sebuah Kafe bernuansa outdoor di daerah pinggiran kota malam itu. Mereka tiba di tujuan saat hari telah lewat. Meski begitu, suasana masih terlihat lumayan ramai. Tempatnya yang didesain sangat romantis ternyata sedikit membawa suasana hati Hani menjadi lebih membaik."Kamu suka temp
Tubuh Hani masih gemetar, bahkan ketika mobilnya sudah memasuki halaman rumah. Usai Adam membiarkannya pergi dari parkiran mall, wanita itu mengendarai dengan sangat pelan sembari berusaha menenangkan kembali gejolak di dalam dadanya. Kalimat demi kalimat Adam terngiang-ngiang di kepalanya seolah tak mau pergi."Lho, Bu Hani kenapa?" Bik Marni yang saat itu sedang bermain bersama dengan Tasya dan Keenan di serambi rumah sedikit kaget melihat Hani nampak seperti orang linglung saat keluar dari mobilnya di garasi.Sesaat Hani baru menyadari ada yang memperhatikannya. Buru-buru wanita itu menggeleng."Enggak kok, Bi'. Cuma agak pusing sedikit," jawabnya.Lalu dengan sigap, Bi' Marni pun segera m
"Sudah dibayar sama mas yang di sana, Bu."Hani dan 3 orang teman wanitanya saling pandang. Lalu bersamaan menoleh ke arah yang di tunjuk oleh kasir restoran."Yang mana? Yang di dalam ruangan itu?" tanya salah seorang teman Hani."Iya, yang sedang memimpin rapat itu, Bu."Hani tak mungkin tak mengenalnya. Di dalam ruang meeting dengan dinding kaca itu memang ada Adam dan beberapa orang yang mengenakan seragam yang dia kenali sebagai karyawan kantor Adam."Kamu kenal, Han?" tanya salah seorang temannya lagi, melihat Hani seolah sedang menunggu orang itu membalikkan badan untuk melihat ke arah mereka.
"Setelah sidang putusan minggu depan, datanglah ke kantor. Aku sudah menyiapkan semuanya untuk kamu," ucap Adam siang itu saat bangkit dari tempat duduknya di sebuah restoran mewah di kota itu.Diva mendongak, memandangnya dengan senyuman remeh."Menyiapkan apa?" tanyanya. Sebenarnya Diva sudah tahu apa maksud dari kata-kata lelaki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya itu. Namun Diva tak mudah begitu saja untuk merendahkan dirinya. Apalagi di hadapan Adam, yang menurutnya telah menghancurkan impian dan masa depannya."Bagianmu. Itu sudah kewajibanku sebagai mantan suami," jawab Adam singkat. Diva pun melengos mendengar itu. Baginya, ucapan Adam itu adalah sebuah penghinaan."Ambil saja u
"Kalau boleh aku sarankan, pertimbangkan lagi rencanamu untuk menaikkan kasus direktur PT Diwangga Karya itu, Daniel. Itu tidak akan baik untuk karirmu."Kapten Gunardi, lelaki yang masih nampak gagah di usianya yang sudah hampir menginjak masa pensiun itu menatap lekat bawahannya dari kursi kebesarannya.Daniel baru saja menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya dan keluarganya pada atasannya itu dan semua hal yang berkaitan dengan kasus PT. Diwangga Karya."Tapi saya sudah merasa dirugikan dengan kelakuan direktur itu, Pak. Saya hanya ingin minta keadilan. Lagipula, dia telah melakukan pelanggaran hukum dengan membuat laporan palsunya. Merekayasa kejadian demi untuk mencapai tujuannya.""Aku ta
"Pak, ada perkembangan terbaru kasus Diwangga," kata seorang ajudan yang baru saja masuk ke ruangan Daniel siang itu.Setelah memerintahkan anak buahnya itu untuk duduk, Daniel pun memeriksa berkas yang baru saja diserahkan."Jadi gudang yang terbakar itu sebenarnya sudah tidak dipakai?" tanya Daniel kemudian. Dahinya nampak berkerut."Betul, Pak. Tim sudah menyelidiki semuanya. Bahkan menurut warga setempat, semuanya juga bilang seperti itu. Jadi, ada kemungkinan ini bukan sabotase, melainkan memang sengaja dibakar."Dahi Daniel makin berkerut."Lalu apa kira kira motifnya?""Itu yang