Raffa dan Embun menjawab salamnya, lantas menatapnya penuh tanya."Ka-kalian, ngapain di sini?" tanya Nurul."Mas sudah bilang, bukan, akan berkunjung.""Kamu baru pulang? Oh, iya, sejak kami datang, Satya tidak ada di rumah. Ke mana dia?" cecar Embun, sudah sangat tak sabar ingin tahu mengapa lansia serenta Pak Sujita dibiarkan sendirian di rumah."Mas Satya kerja.""Oh, belum pulang?" tanya Raffa. Karena jika mengikuti jam kantor, seharusnya Satya sudah pulang."Baru berangkat, biasanya. Kami sengaja ambil shift berbeda, agar bisa menjaga Bapak." Gadis yang dipaksa dewasa itu pun mendekat, menarik tangan kanan ayahnya untuk diciumnya. Kemudian melakukan hal yang sama pada Embun dan Satya."Oh ... apa yang sebetulnya terjadi, Nurul? Boleh, Mas tau?" selidik Raffa, menatap sedih pada mantan adik iparnya."Ya ... beginilah hidup kami, Mas." Nurul mengedarkan bola matanya ke sekeliling rumah, seraya menyembunyikan embun kesedihan yang bergelayut di matanya, nyaris tumpah."Katakanlah ..
PoV AuthorSatu tahun yang lalu, Yulia dinyatakan menjadi korban meninggal dalam kecelakaan yang disebabkan olehnya sendiri. Sopir dan petugas keamanan yang kebetulan berada dalam satu mobil dengan Yulia, mengatakan jika Yulia ingin kabur ke rumah mertuanya. Wanita itu tahu jika mantan suaminya sedang pulang kampung karena akan mengadakan acara syukuran, juga akan pergi berbulan madu ke luar negeri."Mbak Yulia tidak rela membiarkan mantan suami yang masih sangat dicintainya harus pergi berlibur berdua dengan wanita baru di dalam hidupnya. Itu sebabnya Mbak Yulia ingin menyusul, namun kami mencoba menahan dan malah mendapatkan pu_kulan benda tumpul." Pengakuan petugas keamanan kepada keluarga Yulia.Jenazah Yulia dibawa ke rumah sakit yang pertama merawatnya dengaan sang bayi. Selain masih memiliki tunggakan, pihak rumah sakit pun mulanya ingin bertanggung jawab atas kecelakaan yang diduga disebabkan oleh sopirnya. Tapi setelah tahu kecelakaan itu diakibatkan oleh Yulia sendiri, pihak
"Kamu hebat, Nurul. Di usiamu yang masih sangat muda, kamu mampu memaknai semua ini dengan begitu sempurna sehingga tidak ada lagi benci akan keadaan yang terasa tidak adil." Embun memuji gadis di sampingnya, mengelus lembut bahu gadis itu."Nurul terlalu kecil untuk memaksa keadilan pada Tuhan. Apa yang Tuhan berikan, hanya itu yang bisa Nurul syukuri. Mas Satya benar, semua akan terasa lebih menenangkan jika kita mampu memandangnya dengan syukur."Tangisan Embun semakin pecah, memeluk tubuh gadis yang masih terbilang kecil itu. Ia pernah menderita, namun tidak pernah menyangka ada gadis lain yang jauh lebih menderita dibanding dirinya."Satya kerja di mana? Berapa gajinya?" tanya Raffa pada gadis dalam pelukan istrinya."Di minimarket, Mas. Cuma pekerjaan itu yang sedikit lebih besar gajinya di sini, dengan ijazah tinggi yang Mas Satya punya.""Ya Allah ..." Raffa menghela napas dalam-dalam. Ia merasa seharusnya Satya bisa mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik. "Kamu sendiri, g
"Dasar, ya, pikiran Mas ini, ituu ... melulu. Nanti jadi kenyataan, bagaimana? Masa, anak bayi mau dikasih adik bayi," ketus Embun, mencubit pipi suaminya dengan gemas."Eh, eh, eh, sakit! Ini bulunya kecabut," keluh Raffa."Mas serius, bukan sedang becanda. Alhamdulillah, dong, kalo jadi kenyataan. Artinya, Allah kasih kita kepercayaan yang banyak, setelah sekian lama menunggu." Raffa menatap ceria sang istri, yang masih terkekeh geli.Namun di detik berikutnya, reaksi Embun tiba-tiba berubah. Wajah yang semula tampak senang, kini berubah menjadi murung."Yang nunggu lama, 'kan, Mas dengan yang terdahulu. Bukan aku," tukasnya tanpa ekspresi yang jelas. Datar."Ah, ya, maksudnya, setelah Mas menunggu lama. Sudah, ah, jangan dibahas. Semua ada saja hikmah yang bisa kita petik. Jangan pernah menyalahkan masa lalu yang mungkin terlihat buram, karena masa lalu lah kita bisa secerah ini di masa sekarang."Raffa langsung peka jika ucapannya tadi terdengar seperti sedang mengingat masa lalu.
PoV Author"Assalamu'alaikum," ucap seseorang di depan pagar rumah Raffa dan Embun.Pria berkaus putih dengan celana pendek di atas lutut sang pemilik rumah itu pun keluar, melongok dari balik pintu rumahnya untuk melihat siapa yang datang malam-malam begini.Raffa menajamkan pandangan, tak mengenal siapa yang datang sebab dua orang tersebut mengenakan helm. Dengan sangat hati-hati ia menghampiri dengan jarak yang tidak terlalu dekat."Wa'alaikumussalam ... cari siapa, Mas?" balas Raffa ramah, kemudian bertanya."Mas Raffa, ini aku, Satya!" ujar pria di luar pagarnya."Ya Allah ... Mas pikir siapa. Masuk, masuk!" Dengan segera Raffa membukakan pintu pagar rumahnya, lalu mempersilakan mantan adik iparnya masuk ke halaman.Tamu tersebut memasukan roda duanya, bersama satu penumpang wanita di belakangnya yang juga mengenakan helm.Embun menunggu di gawang pintu rumah, sudah penasaran dengan tamu yang baru saja datang.Satya dan penumpangnya turun, membuka helmnya, kemudian menghampiri Ra
PoV Author"Kami pulang, ya, Mbak, Mas. Assalamu'alaikum ..."Dua pemuda yang bekerja di kantor dan kota yang sama itu pun pamit untuk pulang ke rumah orang tua Dhisa di kota itu. Keduanya sama-sama mengambil cuti esok hari untuk perjalanan kembali ke kota Jember, dan kembali bekerja pada hari selasa."Wa'alaikumussalam ... kalian hati-hati, ya. Kabari Mas jika sudah sampai. Dan besok, harus lebih hati-hati lagi karena perjalanan panjang. Ingat, jika lelah istirahat, jangan memaksakan." Raffa mengingatkan layaknya seorang kakak."Iya, Mas. Terima kasih banyak.""Satu lagi, undang kami jika sudah waktunya tiba," ingat Raffa lagi, mengedipkan satu matanya ke arah Satya hingga pemuda itu tertawa sekilas."Pasti, pasti. Mas Raffa dan Mbak Embun ini spesial bagi kami. Inshaa Allah bulan depan, Mas. Do'akan semoga tidak ada halangan yang berarti.""Aamiin ..." Embun menyahut cepat, mengamini. Wanita hamil itu pun lantas memeluk Dhisa penuh hangat, ketika gadis itu menyalaminya.Setelah kepe
PoV Author"I-iya. Audy, kamu di sini ngapain?" Raffa balik bertanya meski dengan ucapan yang terbata-bata. Ya, gadis itu adalah Audy."Lho, kamu lupa? Dhisa itu sepupu aku." Audy menunjuk ke arah mempelai wanita yang tengah tersenyum bahagia di atas pelaminan."Oh, ya?" Namun Raffa justeru menautkan alis, mencoba mengingat-ingat.Di masa kuliah dulu, Audy merupakan teman Embun dan juga cukup dekat dengan Raffa. Mereka bertiga pernah saling mengunjungi keluarga teman satu sama lain. Audy pun pernah mengatakan akan pergi berlibur ke ibukota, ke rumah tantenya. Dan tante yang dimaksudnya itu adalah ibunya Dhisa. Namun karena suatu masalah yang Raffa tidak tahu, tiba-tiba saja Audy menjauhi Embun."Dih, sudah lupa 'kan! Sudah, nanti kuceritakan lagi. Tapi ada hal yang lebih penting yang ingin aku ceritakan," kata Audy menggebu-gebu."Apa, itu?" tanggap Raffa, melirik gadis berambut gulali tersebut yang tanpa malu-malu duduk di kursi sebelahnya."Aku, tuh, kesel! Marah, pengin mengamuk di
PoV Embun"Maashaa Allah, cantik ... terima kasih, Nak, kamu sudah mau berjuang bersama Bunda." Kuciumi pipi merah jambu bayi perempuanku. Allah ... terima kasih atas kelahiran bayi ini. Meski di usia yang rentan untuk hamil, aku membuktikannya bahwa aku bisa.Hidup, mati, jodoh dan rezeki adalah kuasamu, ya, Rabb. Tidak ada yang bisa memprediksi, apalagi menentukan. Meski kala itu dokter sempat khawatir, sempat berpesan banyak hal padaku karena usiaku sudah hampir kepala empat, namun kini kubuktikan bahwa aku mampu menjaga bayiku selama sembilan bulan. Aku bahkan mampu melahirkannya dengan proses normal.Ibu mertua yang sangat baik, selalu khawatir dengan kondisiku. Apalagi hari ini, ketika ia melihatku meringis merasakan kontraksi, beliau sampai tak bisa menahan kemih. Sebetulnya aku tak tega sampai membuatnya seperti itu, tapi ada saja rasa ingin menertawakan. Dasar, aku!Masalah jodoh pun tidak ada yang bisa menebak. Siapa yang bisa menyangka, jika aku dan Mas Raffa akan bersatu?
PoV AuthorDengan gagah Raffa keluar dari ruang persidangan. Senyum kepuasan tersirat di wajahnya yang kali ini mengenakan kacamata hitam. Setelan jas warna hitam dengan celana senada, membuatnya terlihat sangat elegan dan misterius.Hasil putusan sidang benar-benar telah memberinya kepuasan. Jeremy mendapatkan hukuman lebih dari delapan belas tahun, karena terjerat pasal berlapis. Kekerasan hingga percobaan pem_bu_nuhan, penggunakan obat-obatan keras dan telah membuka tempat haram berkedok gym."Terima kasih banyak, Pak Endri. Sudah ke sekian kalinya Bapak membantu saya dalam proses hukum yang terpaksa saya ambil. Kalau bukan Bapak yang menjadi pengacara saya, entahlah.""Kembali kasih, Pak. Tapi saya yakin, siapa pun itu, jika Pak Raffa kliennya sudah pasti menang. Bapak tidak bersalah dan terbilang cerdik dalam mengumpulkan bukti. Juga tidak mudah terperangkap oleh lawan," puji Pak Endri pada pria di hadapannya."Ya, berdasarkan pengalaman mungkin ya, Pak." Raffa terkekeh di akhir
PoV RaffaMalam ini, di rumah sakit kembali kami berada. Sore tadi, saat tengah menemani Embun memilih tas, sambil menunggu jam tayang film yang kami tonton, tiba-tiba saja ponselku berdering."Pak, maaf, ini Cyra badannya panas banget." Suara Bi Murni di ujung telepon, sontak saja membuyarkan konsentrasiku. Kutatap Embun yang tengah memandangku penuh khawatir."Ya Allah ... oke, Bi, saya segera pulang." Tanpa memberitahu Embun lebih dulu, kuputuskan untuk membatalkan acara nonton film."Ada apa, Yah?" tanya Embun tak sabar, ketika kumatikan panggilan."Cyra sakit, Sayang. Badannya panas," jelasku."Ya Allah! Ayo, Mas, kita pulang sekarang." Embun menarik jemariku, melupakan hasratnya untuk membeli tas.Kami berjalan cepat keluar dari mal, sore tadi. Melupakan tiket menonton yang sudah terlanjur dibeli, serta meninggalkan mobil yang belum selesai dipoles di bengkel.Sepanjang perjalanan, Embun sangat gelisah. Sesekali ia mengusap ujung netranya dengan tisyu, seperti tengah merasakan p
PoV Author"Saya minta maaf, Pak atas kejadian ini. Anak saya baru belajar nyetir," ucap seorang wanita berusia kisaran 60 tahun. Sementara anaknya yang menabrak adalah seorang gadis muda berpakaian seksi."Ndin, minta maaf!" suruh sang Ibu yang dandanannya tak kalah mentereng.Embun dan Raffa yang sejak tadi diam di depan mobil mereka, tampak risih melihat kedua wanita beda usia yang terlihat kurang senonoh."Ma-maaf, Mas, aku gak sengaja," ucap gadis bertubuh tinggi itu, sedikit terbata-bata."Ya, sudah, gak pa-pa. Lain kali hati-hati," pesan Raffa, sambil berjalan ke arah belakang mobilnya untuk mengecek kerusakan yang terjadi."Nanti kami ganti rugi atas kerusakannya, Pak." Ibu dari wanita itu menyusul dan menawarkan ganti rugi.Ada yang terasa tak enak didengar oleh Embun. Ibu dari gadis itu sudah berumur, tetapi memanggil Bapak pada suaminya. Sementara gadis itu, justeru memanggil suaminya dengan sebutan Mas."Ya ... sepertinya memang harus begitu. Tergores cukup dalam bamper mo
"Bunda gak sakit, Yah." Bibir manis istriku justeru melengkungkan senyuman."Mak-maksudnya?" Aku sedikit heran. Jelas-jelas ia sakit sejak tiga hari lalu, bahkan kini sampai tak sadarkan diri dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Mengapa raut wajahnya justeru menampakkan kebahagiaan?"Dareen mau punya adik. Seperti yang Ayah mau, tambah anak biar tambah ramai dan tambah rezeki. Baju-baju hamil aku juga akan terpakai lagi," kekeh Embun, sedikit menggodaku.Allah ... benarkah apa yang barusan kudengar? Embun, istriku tengah mengandung untuk yang ke tiga kalinya, di usianya yang sudah tak muda lagi. Aku sangat bahagia, akan tetapi, ada rasa takut yang menggelayut perlahan. Usianya sudah bukan usia yang pantas untuk melahirkan. Apakah Embun-ku masih mampu melahirkan anak kami? Buah cinta kami yang ke sekian."Bunda serius?" tanyaku, untuk memastikan.Embun-ku mengangguk dengan wajah teduh nun manisnya. Layaknya tetesan embun pagi yang senantiasa memberikan kesejukan, senyumannya terus te
Aku terkejut bukan main. Dalam persidangan, Jeremy mengaku telah mengenal Yulia sejak lama. Ia juga mengaku sudah mengenal Evano. Kedua pasangan selingkuh yang kini telah sama-sama meninggal itu, rupanya sudah menyisakan luka di hati Jeremy."Jika saja saat itu kamu hanya melepaskan Yulia tanpa membu_nuhnya, aku tidak akan segi_la ini ingin menghabisimu!""Apa? Yulia? Membu_nuh? Aku tidak membu_nuh siapa pun. Baik Yulia maupun Evano, sama meninggal karena ulah mereka sendiri.""Ya! Yulia ma_ti karena tergi_la ingin bertahan denganmu!""Dia kecelakaan, karena berusaha mengambil alih kendaraan dalam kondisi yang lemah, Jeremy. Kamu tahu apa soal Yulia?" selidikku saat persidangan itu."Aku tau semua tentang dia. Aku tau betapa besar lukanya karena mencintaimu. Aku tau seberapa hancur Yulia saat kau tinggalkan! Kamu terlalu naif, Baji_ngan!""Mengapa aku yang disalahkan? Mereka telah selingkuh sampai Yulia yang kala itu masih sah menjadi istriku hamil oleh selingkuhannya."Kemarin, amara
Pagi yang begitu cerah, menampakkan semburat jingganya di sela jendela kamar kami. Kubuka selimut berwarna ungu, yang mana sudah tak menampakkan keberadaan wanita tercantik yang selalu tidur di sisiku.Pastilah wanita cantik berwajah teduh itu sudah sibuk mengurus rumah, sebelum anak-anak kami terbangun. Padahal, adzan subuh saja belum berkumandang.Hari ini adalah minggu, yang artinya aku tidak pergi ke kantor. Akan kumanfaatkan hari libur ini untuk membantu meringankan tugas istriku. Salah. Semua tugas rumah adalah tugasku, namun Embun memilih berbakti padaku dan mengurusnya sebagai sebuah ungkapan kasihnya."Sayang ..." Kupanggil wanita berambut hitam sepunggung itu, di balik dinding sekat ruang makan dan dapur."Eh, Yah. Sudah bangun?" tanyanya dengan lembut. Tentu saja wanitaku tak ingin suara kami mengganggu tidur yang lainnya."Udah, dong!" Kulingkarkan tangan di perutnya, menyandarkan dagu di bahunya yang sudah menguarkan wangi sabun dan shampo."Bunda sudah mandi?" selidikku
Di kantor polisi, Raffa menyerahkan dua orang pelaku pemu_kulan terhadap dirinya. Keduanya tak menggunakan penutup wajah, sehingga dengan jelas Raffa dan pihak berwajib mengenali pelaku itu.Saat di jalan tadi, beruntung ada petugas keamanan komplek yang sedang berkeliling. Mereka melihat Raffa tengah diserang oleh dua orang pria muda yang membawa sen_jata ta_jam.Raffa dibantu oleh tiga orang petugas keamanan komplek untuk meringkus dua pemuda itu dan membawanya ke kantor polisi."Siapa nama kalian?" tanya Pak Polisi yang menginterograsi pelaku itu."Dindin, Pak," jawab salah satunya, memang tak menyebutkan nama aslinya."Saya Bimo, Pak," kata pemuda lainnya, pun sengaja menyebutkan nama yang digunakan dalam gengnya."Kalian mau mengambil apa dari Bapak Raffa ini?""U--uang, Pak. Apa saja yang bisa diuangkan," kata Dindin setengah terbata."Bohong! Saya yakin, ada orang lain yang mengendalikan kalian. Cepat, katakan!" sentak Raffa tak sabar.Bimo dan Dindin menggeleng dengan cepat. K
PoV Author"Ya Allah, Yah, ini kenapa?" tanya Embun dengan mata berkaca."Gak pa-pa, Sayang. Luka kecil," balas Raffa, menoleh pada sumber suara di mana sang istri sudah berdiri di belakangnya."Sini aku bantu," pinta Embun, merebut plester untuk merekatkan perban."Ayah bisa, kok, Bun. Kamu sudah makan?" tanya Raffa, mendongak ke wajah sang istri yang hanya berjarak beberapa senti saja dari dahinya.Embun menggeleng. Jangankan ingat makan, hati dan perasaannya sudah tak tenang sejak siang."Habis ini kita makan sama-sama. Anak-anak sudah tidur?""Sudah." Embun yang masih dipenuhi akan tanya, masih malas untuk berkata banyak. Namun ia tak dapat menutupi rasa khawatirnya setelah melihat suaminya terluka."Maaf, ya, Ayah pulang telat." Tangan Raffa beralih ke puncak kepala sang istri yang tak tertutup hijab, kemudian mendekat hendak menciumnya.Embun menjauh, tanpa melepaskan tangannya dari dada sang suami. "Jelaskan, ada apa?" pintanya dengan tatapan tak mengenakan bagi Raffa."Oke. Ta
PoV Embun"Siapa Diana, Yah?" tanyaku, segera mengurai pelukan dan menatap sepasang bola matanya dalam. Dada ini terasa bergetar, takut sekali menjadi Mas Raffa di beberapa tahun lalu.Lelakiku meraih ponselnya, lalu membuka chat yang masuk dari kontak bernama Diana itu. Ia tak segera menjawab ucapanku, malah buru-buru membalas chat itu."Siapa?" ulangku, merampas ponsel di tangannya dan menjauhkan dari jangkauannya."Ya ampun, Bunda. Bukan siapa-siapa. Coba dibaca isi chatnya," suruh Mas Raffa, seperti tidak terjadi apa-apa. Ah, ya, mungkin memang hanya ketakutanku saja yang berlebihan.[Bos, besok si Jeje minta diramein lagi gymnya. Sehari lagi saja, buat mancing pengunjung.] Aku membacanya dengan sangat hati-hati. Sekilas memang tidak ada yang aneh. Hanya saja, mengapa nama pengirimnya nama perempuan?"Diana ini teman kamu? Ikut nge-gym juga?" cecarku."Lihat saja profil kontak itu." Mas Raffa bukannya menjawab, malah memintaku memeriksa detail profil kontak bernama Diana ini."Nam