POV AuthorTernyata supir Joe membawa Awan ke kantornya terlebih dahulu. Entah apa yang di rencanakan oleh Joe pada Awan, tapi sepertinya ia sengaja membawa Awan ke tempat kerjanya terlebih dahulu untuk mempelajari potensi dan latar belakang Awan yang sebenarnya."Hai, selamat datang anak muda", sambut Joe begitu melihat Awan masuk ke ruang kerjanya."Halo om", sapa Awan sambil menjabat tangan Joe."Gimana keadaanmu ? udah pulih sepenuhnya ?", tanya Joe basa – basi."Yah, seperti yang Om lihat. Udah fit kembali nih", kata Awan tersenyum santai.Setelah berbasa – basi sebentar, Joe mengajak Awan keliling perusahaannya. Tidak terasa hari sudah larut sore ketika mereka selesai berkeliling sekitar perusahaan Joe yang terbilang lumayan besar besar.Saat malam, Joe sengaja mengajak Awan untuk mampir di salah satu night club yang di kelolanya."Tempat apa ni om ?", tanya Awan heran, karena memang itu pertama kalinya ia mampir ke tempat seperti itu."Ini namanya dunia malam ibu kota anak muda"
"Lihat ke arena yang dibawah", kata Joe sambil menunjuk ke arah Arena yang ada di lantai bawah. Ternyata di sana sudah ada orang yang lagi bertarung, dan dari bangku penonton terdengar sorak sorai dari penonton mendukung masing – masing jagoan mereka. di arena sendiri kedua petarung sudah saling berdarah – darah, namun tetap saling serang dengan semangat tinggi dan keahlian beladiri masing – masing. Seolah saling menunjukkan siapa diantara mereka yang paling jago, karena siapa yang bisa merobohkan lawannya, maka dia lah yang akan jadi pemenangnya. Namun karena Awan dan Joe saat ini sedang berada di ruang VIP sehingga suara sorakan penonton tidak terdengar menganggu ke dalam ruangan. "Maksud om apa menunjukkan tempat ini pada saya ?" tanya Awan. "Dan pertarungan itu, apa maksudnya ?", sambung Awan. "hehehe ternyata kamu orangnya tidak suka basa – basi yah", kata Joe sambil melirik Awan sebentar. Lalu ia membakar cerutunya sambil menatap ke arah depan. Awan menunggu Joe menjelaskan
"Ya udah, kamu boleh kembali bekerja", perintah Joe pada anak buahnya tersebut. Junet mengangguk hormat pada Joe dan Awan, lalu ia permisi keluar ruangan. "Junet itu yang memimpin bisnis disini sementara", kata Joe lagi sambil melihat ke arah Awan. "Sementara ? memang siapa yang menghandle sebelumnya om ?" "Bosky", jawab Joe. "Bosky ?", ulang Awan, seperti pernah mendengar nama tersebut, namun lupa ia pernah mendengarnya dimana. "Iya!, orang yang kamu bikin babak belur sebelum masuk ruang utama di gudang tempo hari", dengan tawa yang agak sumbing mengingat bagaimana tangan kanannya tersebut di kalahkan oleh Awan waktu itu. "Oh, saya benar – benar minta maaf om. saya gak tahu kalau itu anak buah om", kata Awan menyesal. "Hehehe, gak usah dipikirkan. Seorang petarung justru akan bangga kalah dipertarungan daripada kalah diatas ranjang, iya kan!", kata Joe santai dengan memberi analogi yang aneh. "Om bisa aja!. Tapi saya merasa tidak enak karena telah membuat anak buah om cidera
POV AwanPagi ini aku terbangun dengan badan yang kurang enak, lagi aku merasakan perasaan yang tidak enak ketika bangun pagi ini. entah kenapa setiap ada persoalan yang rasanya masih menggantung pasti membuat istirahatku jadi tidak tenang begini. Eh, kok rasanya aku tidak bangun dikamarku yah ? Astaga, aku baru ingat jika semalam tidur dirumahnya om Joe. Untung dikamar ini ada kamar mandi didalamnya, sehingga aku bisa cuci muka dan membersihkan diri seadanya.Begitu aku turun kebawah, ternyata om Joe dan keluarganya sedang berkumpul di ruang makan. Ruang makan rumah om Joe terbilang unik, karna desainnya yang klasik dan terbuka langsung ke halaman belakang, sehingga rasanya sangat asri yang membuatku serasa berada dikampung halamanku, Bukititnggi."Pagi om", sapaku pada om Joe."Hai, dah bangun kamu Awan ?", sapa om Joe begitu melihatku datang menghampiri mereka."Ini loh ma, anaknya yang papah bilang semalam", kata om Joe pada istrinya."Halo tante", sapaku pada istri om Joe sambil m
Pagi ketika kami sarapan, Ren hanya diam saja tanpa bicara dan menatapku sama sekali. Kelopak matanya terlihat agak sembab dan bengkak, apa Ren tidak tidur semalaman yah ? atau ia masih sedih karena kejadian kemarin ? Begitupun ketika kami dalam mobil, Ren diam saja tidak menyapaku sama sekali, apalagi menatapku. Suasana benar – benar terasa canggung diantara kami. Bahkan pak Usman pun tidak berani bicara melihat Ren yang diam saja semenjak berangkat. Ketika sampai di depan gerbang sekolah, Ren keluar duluan dan langsung masuk ke dalam gerbang sekolah tanpa bicara denganku. Hufftt huuu Aku menghela nafas menenangkan diri. Mungkin begini lebih baik, biarlah Ren membenciku, daripada ia malu karena statusku, pikirku. Begitu masuk ke dalam gerbang, kulihat dua temanku juga baru datang. "anjay baru datang jagoan kita", kata Novi menyambutku. "Asem, kok wajah loe gak ada bekas luka sama sekali bray ?", kata Radit heran memandangku heran, soalnya aku yang cideranya paling parah, sedang
"siapa yang memasang ini ?", teriak Veby memandang ke arah siswa yang tadi bergerombol di depan mading. Namun tidak satupun diantara mereka yang menjawabnya, selain tatapan aneh dan senyum sinis yang diarahkan ke arahku. "Ada apa sih Veb?", tanyaku sambil mendekat kerah mading. "Awan gak usah baca artikelnya", kata Sherla coba menutupi Mading dengan punggungnya, namun terlambat karena aku cepat menahan bahu kanannya dan terlanjur membaca sebuah artikel yang ada di mading. Lidahku terasa kelu, begitu membaca sebuah artikel. "ANAK PEMBANTU YANG COBA MENOMPANG TENAR DENGAN MEMACARI SEORANG ANAK KONGLOMERAT" Begitu judul artikelnya, lengkap dengan foto – foto ku dan Ren di dalamnya, itu foto ketika di kantin sekolah. Entah siapa dan kapan diambilnya, yang paling menusuk adalah kata - kata di bawahnya. Seorang anak pembantu yang berasal dari kampung, Dengan ilmu peletnya memacari Renata Wijaya, majikannya tempat ibunya bekerja. .... .... Dan banyak lagi kata – kata kasar dan tida
Awalnya aku akan membalas ucapannya, namun begitu melirik ke arah Ren, matanya terlihat sembab, muka Ren terlihat agak pucat, sehingga membuat amarahku seakan langsung sirna seketika.Hufftt huuuAku menghela napas dalam.Aku memutuskan pergi dan membawa makananku untuk pindah ke meja lainnya, daripada suasana semakin tidak enak atau emosiku jadi semakin menggila, bisa – bisa aku beneran membunuh orang disini nantinya."Kalian disini saja, biar aku yang pergi", kataku pada teman – temanku begitu melihat mereka ikutan berdiri ketika melihatku pergi.Tampak tatapan tidak enak dari teman – temanku, namun ketika aku akan pergi Radit dan Novi tetap mengikuti langkahku sambil membawa makanan mereka."Awan", panggil seseorang dari meja pojok belakang. ternyata itu suaranya Ilham, yang tampak sedang mengangkat tangannya memanggilku. Aku dan kedua temanku menghampiri tempat duduknya. Namun begitu aku sampai di dekat Ilham, tampak beberapa teman Ilham langsung berdiri dengan menyediakan tempat d
Ternyata Angel membawaku ke ruang VIP yang ada di samping ruang kepala sekolah, tempat ia mengajakku pertama kali melalui Roy. "Apa maksudnya kamu bawa aku kesini ?", tanyaku begitu kami sampai dalam ruangan. "aku benar – benar kesal denganmu", kata Angel datar lalu duduk di sofa panjang yang ada ditengah ruangan. "Loh, memangnya apa yang terlah kulakukan sehingga membuatmu kesal", tanyaku heran. Perasaan aku tidak ada bertemu dengan sejak kejadian itu. Aku duduk di sampingnya, Cuma agak sedikit berjarak biar lebih enak mengobrolnya. "Pertama, kamu tidak memberi kabar kalau kamu sudah sembuh. Kedua, kamu membiarkan dirimu di hina seperti itu tanpa membalas sama sekali. Bodoh!", katanya kesal. Loh, memang apa hubunganya toh aku tidak memberi kabar sama dia. Lah aku yang dihina kok Angel yang sewot, benar – benar dah. "Gimana mau menghubungi, nomor kamu aja aku gak ada", jawabku jujur. Begini deh kalau dihadapan wanita, lain yang dpikir kan malah lain yang diucapkan. Angel tampak