"Hm, jadi saat aku menyelamatkan kalian dari gancet, aku telah merekam pose kalian saat gancet."
Mas Adi mendelik. Sedangkan Lidia tampak ketakutan."Dasar licik! Bagaimana kamu bisa melakukan hal itu?""Yah, tentu saja untuk mengantisipasi kamu agar tidak mengancamku seperti ini. Sekarang, talak aku sekarang juga agar kita resmi cerai secara agama dan biarkan Verico ikut denganku secara damai.Dan kamu juga harus tanda tangan untuk harta yang kita kumpulkan selama menikah, agar menjadi harta milik anak kita. Untuk persidangan sampai surat cerai keluar, biar kita serahkan pada pengacara."Mas Adi memandangku dengan tatapan memelas."Kenapa? Jangan ruwet Mas, tadi kamu bilang mau menceraikan aku. Sekarang aku kabulkan permintaan mu untuk bercerai dengan ku tapi kamu harus merelakan harta yang telah kita hasilkan bersama selama ini untuk anak kita.""Tapi itu tidak adil, Ma! Papa tidak akan mendapat banyak harta padahal Papa yang telah bekerja keras selama ini!" seru Lidia."Hei Lidia, dengarkan aku baik-baik. Satu, jangan panggil aku Mama. Dua, aku tidak akan pernah rela untuk membagi semua harta yang telah kuhasilkan untuk kamu nikmati! Paham?!""Aku juga keberatan, Hes! Bagilah dengan adil harta gono gini dan Verico ikut aku!""Hah? Apa kamu tidak tahu malu? Kamu mau Verico ikut pengkhianat seperti kalian? Tidak! Kamu harus menyerahkan harta gono gini ini atas nama aku untuk Verico, atau kamu harus mau menanggung malu karena video ini tersebar di media sosial, kantor bupati dan ... sekolah Lidia.""Astaga! Kamu benar-benar licik!""Pa, aku takut! Aku tidak mau dikeluarkan dari sekolah. Aku hanya perlu ujian saja dan lulus. Aku enggak mau dikeluarkan dari sekolah sekarang, Pa."Lidia dengan tidak tahu malunya memeluk lengan suamiku. Tapi aku sedikit pun tidak cemburu. Hanya ada rasa sesal karena pernah sempat mencintai orang tidak setia seperti dia."Tenang Sayang, aku akan melindungi kamu."Mas Adi lalu menoleh padaku, "Tunjukkan dulu padaku video yang sudah kamu rekam!"Aku tersenyum. "Wow, kamu meragukan ancaman aku? Oke, sekarang aku kirim video yang sudah kurekam saat di hotel tadi."Aku lalu mengirimkan video ke ponsel Mas Adi dan Lidia dan seketika mereka terkejut. Melihat video saat karyawan membuka pintu hotel sampai aku memisahkan mereka yang sudah pingsan."Kapan kamu merekam kami?" tanya Mas Adi parau."Hm, ada deh. Sekarang bagaimana? Mau video ini tersebar atau kamu penuhi permintaan ku?" tanyaku dengan tangan bersidekap di depan dada.Mas Adi menghela nafas. "Baiklah. Aku turutin semua mau kamu. Verico dan harta gono-gini menjadi milik kamu. Dan sekarang di hadapan semua keluarga kita, aku ... aku menyatakan bahwa kamu bukan istriku lagi karena telah jatuh talak satu ku padamu.""Astaga, Hesti, Adi! Jangan bercerai, Nak!"Mertuaku histeris dan seketika ambruk ke lantai ruang tamu."Mama!"Serentak mas Adi mendekat ke arah Mamanya yang sedang pingsan. Aku dan kedua orang tua ku juga mengerumuni Mami."Hesti! Ini gara-gara kamu ya! Awas saja kalau terjadi sesuatu pada Mamaku, aku akan balas dendam padamu!"Kutatap mas Adi dengan tatapan mencemooh. "Mas, benar-benar enggak ngaca ya?! Sekarang Mas bagaikan buruk muka cermin dibelah!" desisku tertahan sambil mengeluarkan ponsel dan mulai menghubungi ambulance dari rumah sakit tempatku bekerja.Mas Adi masih melirikku dengan tatapan penuh kebencian. "Aku tak akan memaafkan kamu, kalau terjadi sesuatu pada Mama karena kamu minta cerai!""Hei, ngaca dong! Seharusnya kamu tuh yang harus malu pada diri kamu sendiri. Lagipula siapa sih yang mau pernikahan nya dikhianati oleh suami?" tanya Mami membelaku."Mas Adi, kamu memang lucu sekali. Sudahlah, yang penting aku sudah lega bisa berpisah dari kamu. Dan untuk saat ini kamu fokus dulu saja pada keselamatan TANTE MIRNA, bukan pada permintaan cerai kita. Oke?!"Mas Adi mendelik saat mendengar ucapanku yang memanggil mamanya dengan sebutan 'tante.''Ah, bodo amat. Sekarang toh kami tidak ada hubungan apapun.'***Aku baru saja menyerahkan Tante Mirna pada dokter UGD yang saat ini sedang bertugas, saat mas Adi menghampiri ku."Sudah puas kamu melihat Mamaku terkapar lemah di rumah sakit?" tanyanya dengan penuh kekesalan."Heh, kamu benar-benar nggak ngaca ya, Di!"Aku memegang bahu Papi yang sedari tadi terdiam saat Papi bergerak maju ke arah mas Adi. Aku tidak ingin Papi membuat keributan di rumah sakit."Mas Adi, asal Mas tahu saja ya. Aku meminta cerai sama sekali tidak berharap Tante Mirna akan pingsan. Itu hanya konsekuensi dari kelakuan kamu yang tidak tahu malu dan berkhianat padaku.Kamu sudah cukup beruntung karena aku tidak langsung mengadukan kamu ke tempat kamu bekerja. Kalau kamu mau menyalahkan, salahkan saja diri kamu sendiri. Ngaca dulu sebelum menyalah kan orang lain. Sudahlah, semoga Mama kamu cepat sembuh."Mas Adi terlihat hendak membuka mulut, saat aku lebih dulu bersuara. "Dan Lidia, kamu sekarang harus mulai belajar untuk mengurus calon mertua kamu. Eh, tapi itu urusan kamu pribadi sih. Aku cuma menyarankan saja agar belajar untuk mengurus suami dan mertua. Karena nikah itu enggak cuma ngurus ranjang saja."Lidia terlihat termenung dan tercengang dengan perkataanku. Dan dia hanya bisa tertunduk."Oh iya, sesuai janji, kamu hanya pergi dengan menggunakan harta bawaan. Yaitu mobil kamu. Harta gono-gini berupa rumah akan kujual untuk tabungan Verico. Lagipula, aku tidak mau untuk menempati rumah yang hanya membuat ku terluka saja.Ingat, jangan mengingkari janji. Karena video Mas pasti akan kusebarluaskan kalau menyalahi janji tentang harta gono-gini yang hanya untuk Verico. Karena harus Mas tahu aku tidak akan pernah ikhlas kalau rumah yang sebagian merupakan hasil jerih payah ku dinikmati oleh pelakor itu!" seruku sambil menunjuk ke arah Lidia.Mas Adi kehilangan kata-kata. Tangannya mengepal dan wajahnya memerah. Tapi aku tidak peduli lagi."Ayo kita pergi dulu Pi, Mi," ajakku melenggang keluar dari koridor rumah sakit.Aku menghentikan langkahku sejenak dan menoleh lagi pada mas Adi. "Baju kamu dan baju Lidia, akan kukirim ke rumah Mama," ucapku singkat dan tanpa menunggu tanggapan dari Mas Adi, aku kembali berjalan menuju ke halaman parkir rumah sakit.***"Hesti, apa Verico tidak bertanya kemana Ayahnya?" tanya Mami saat kita sedang makan bersama.Aku mengangguk seraya menghela nafas."Yah, Verico memang bertanya kenapa ayahnya tidak ikut kesini.""Lalu, kamu jawab apa?""Hm, Hesti cuma menjawab kalau ayahnya menjaga nenek yang sedang opname di rumah sakit."Mami dan Papi terlihat mengangguk-angguk. "Dimana Verico sekarang?" tanya Mami seraya celingukan mencari cucu bungsunya."Tadi sih taman depan, Mi. Bersama Mbok Yem.""Hm, sebenarnya Mami penasaran dengan gancet dan penyebabnya. Emang apa sih gancet itu?" tanya Mami penasaran.Kulirik wajah Papi pun juga menandakan rasa ingin tahu. Orang tuaku memang bukan dari lingkungan medis.Papi dan Mami dulu merupakan ASN tenaga pendidik di sebuah SMA yang baru saja pensiun."Jadi gancet itu artinya adalah saat organ reproduksi laki-laki tersangkut dalam organ reproduksi wanita dan tidak bisa terlepas satu sama lain."Terlihat Mami dan Papi bergidik ngeri dan berpandangan."Terus penyebabnya apa? Serem amat sih? Terus apa semua pasangan bisa mengalami hal itu?" tanya Mami penasaran.Aku tersenyum."Ada macam-macam sebabnya sih, Mi. Pertama, gancet atau disebut pen*s captivus itu bisa terjadi saat organ reproduksi laki-laki terisi darah dan terus membesar secara berlebihan dsaat melakukan hubungan. Sedangkan pada organ reproduksi wanita terjadi v*ginismus. Yaitu organ reproduksi wanita yang mengembang dan berkontraksi secara berlebihan saat melakukan hal itu. Sehingga akhirnya nyangkut.""Waduh, kenapa bisa berlebihan kontraksi nya?" tanya Mami."Yah bisa saja. Tadi pagi, Hesti nemu obat kuat dan obat pengencang organ reproduksi wanita di tempat sampah hotel. Pasti mas Adi dan Lidia minumnya terlalu banyak jadi keduanya over dosis. Untung saja enggak sampai jantung, efek sampingnya."Mami dan Papi manggut-manggut. "Sepertinya di hotel tadi bukan merupakan pertama kalinya mereka melakukan hubungan suami istri."Aku mengangkat bahu. "Entahlah Mi. Hesti tidak peduli. Hesti hanya merasa sakit hati sekali sekarang. Padahal Hesti juga tidak pernah curiga pada mereka.""Oh ya. Selain overdosis obat kuat dan obat pengencang, apa ada penyebab lain terjadinya gancet?" tanya Mami. "Ada. Faktor psikologis, faktor trauma dari masa lalu, faktor emosi dan mengidap penyakit kelamin.""Hm, serem. Apa memang bisa terjadi pada pasangan sah juga?"Aku mengangguk. Dan saat aku akan membuka mulut untuk menanggapi ucapan Mami, mendadak ponselku berdering. Aku melihat layar ponsel dan langsung terkejut melihat siapa yang menelpon ku malam-malam. Asisten bupati!!!Aku melihat layar ponsel dan langsung terkejut melihat siapa yang menelpon ku malam-malam. Asisten bupati!!!Aku segera melangkah kan kaki meninggalkan ruang makan dan menuju ke ruang tamu. Perasaan ku mengatakan bahwa asisten bupati menelepon ku karena kasus yang menimpa mas Adi. Dan aku tidak mau jika orang tuaku mengetahui dan kepikiran tentang ka
POV penulisFlash back On :"Pa, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Lidia ketakutan. Adi menghela nafas di samping Lidia. Lelaki berusia 35 tahun itu juga merasa sakit kepala saat sedang menunggu mamanya yang masih pingsan. Tapi Adi masih saja berusaha mengulas senyum dan berpura-pura tenang di hadapan Lidia. "Ssst, kamu akan selalu aman. Aku akan menjagamu, Sayang."Adi memeluk Lidia perlahan dan mencium kening gadis itu. "Adi ...."Adi segera melepas pelukannya saat mendengar Mamanya yang baru saja membuka mata. "Apa Mama tidak apa-apa? Mana yang sakit, Ma?" tanya Adi sambil menghambur ke arah Mamanya. Lidia mengikuti langkah Adi dengan takut-takut. "Mama masih pusing. Apa kata Dokter tentang Mama?" tanya Mama Adi. "Hm, dokternya bilang kalau jantung Mama normal. Mama hanya mengalami tensi rendah dan asam lambung nya naik. Terus dokter nya juga bilang kalau gula darah Mama drop. Apa Mama belum sarapan?" tanya Adi sambil menatap wajah mamanya. Mamanya menatap sang a
Lidia berpegangan pada bangkunya. "Ini tidak mungkin," desisnya geram. "Lid, kok malah diam?" tanya Mita. Lidia mendadak berdiri dan tanpa mempedulikan teriakan Mita, Lidia itu berlari keluar kelas. Beberapa murid yang berdiri di kanan kiri sisi koridor menatap Lidia. Sebagian tersenyum sinis. Sebagian menyorakinya."Wah, ada pelakor junior nih. Woy Mbak, kalau mau jadi pelakor jangan ke sekolah dong. Noh, ke salon dan spa untuk perawatan, biar tetap wangi dan rapet!" seru salah seorang siswi yang iri oleh Lidia. Lidia yang memang cantik dan seksi dan merupakan anak angkat orang kaya membuat beberapa temannya iri. Apalagi Lidia juga termasuk pemilih dalam berteman. Lidia berlari ke dalam toilet perempuan dan masuk ke dalamnya. Dia meraih ponsel dengan tangan gemetar dan membuka akun sosial media berlogo F miliknya. Dan banyak sekali inbok yang masuk ke akun nya bersamaan dengan banyak japri yang diterima di whatsapp nya."Astaga! Sial*n betul Tante Hesti! Berani-beraninya mengin
"Atau kalau memang kamu mau melaporkan saya, silakan saja. Tapi asal kamu tahu jangan-jangan malah kamu yang ditangkap polisi karena berzina dengan suami orang. Ada pasalnya lo," ucap Hesti membuat nyali Lidia semakin menciut. Lidia terdiam sejenak. "Ta-tapi Tante juga mengingkari janji untuk tidak menyebarkan video penggerebekan aku dan Papa kan?"Hesti tersenyum. Kedua tangannya bersidekap di depan dada. "Sekali lagi kutegaskan padamu kalau bukan aku memviralkan video itu.""Tidak mungkin. Cuma Tante yang merekam kami saat tertangkap kemarin. Sudahlah, nggak usah ngeles. Tante benar-benar jahat dan tega sama saya dan Papa! Seharusnya Tante harus tahu, apa yang dirasakan Verico nanti kalau tahu Papanya viral karena video mes*m?" tanya Lidia dengan tatapan menghiba. "Hm, Baiklah. Ada dua hal yang perlu kamu tahu saat ini. Satu, kamu tahu sendiri saat aku ada di hotel kemarin, ada lima orang dari pihak hotel dan tiga orang dari pihak rumah sakit. Yah, siapa tahu saja, salah satu dari
Lidia segera menuju pintu dan membukanya, dan sesaat kemudian dia terkejut. "Astaga, ada apa ini?" tanya Lidia kaget saat ada dua mobil pick up yang datang ke rumah ibunya. Berbagai barang tampak teronggok di atas pick up. "Pa ...! Papa! Kemari Pa, cepat!" seru Lidia memanggil Adi. Adi segera berdiri dan menuju ke pintu depan lalu melongo melihat ada koper, tivi, meja dan kursi belajar, lemari, komputer dan banyak barang lainnya. "Ada apa ini?" Seorang laki-laki membuka pintu kemudi lalu mendekat ke arah Adi. "Permisi Pak. Apa ini benar rumah Mbak Lidia? Kami hanya ingin mengantar barang saja."Lidia mengangguk dengan kaku lalu menyingkir untuk memberi ruang pada sopir dan temannya untuk memasukkan barang yang ada di atas mobil pick up. "Dimana kami meletakkan barang-barang ini, Pak?" tanya supir pick up pada Adi. Adi yang sedang tercengang segera duduk di kursi sofa sambil memegangi kepalanya yang mendadak terasa pusing. "Loh, ada apa ini? Kamu beli perabotan baru untuk Ibu?
Adi tercengang mendengar ide Lidia. "Hah? Apa kamu bilang?"Lidia mengedikkan bahunya. "Yah, bisa saja dong. Apanya yang salah? Kita cuma pura-pura menculik Verico agar dapat uang dari Tante Hesti.Begitu mendapat uang, tentu saja Verico kita lepaskan dengan selamat," tukas Lidia masih berusaha mengompori Adi. Adi terdiam dan merenung. "Papa tidak setuju, kamu pikir Hesti bisa begitu saja dikibulin? Hesti bisa melakukan apapun untuk membuat kita semakin sial. Sudahlah, kamu terima saja dulu soal Hp kamu. Papa sedang pusing karena memikirkan cari pekerjaan baru.""Huh, Papa ini gimana sih? Katanya sayang sama cinta? Cuma janji doang. Enggak ada bukti! Lidia kecewa sama Papa!" seru Lidia merengek. "Aduh, kamu itu semakin membuat Papa pusing. Kalau begitu, Papa akan langsung cairkan deposito untuk membelikan kamu Hp baru.""Nah, gitu dong. Papa memang yang terbaik. Lidia sayang banget sama Papa. Dan juga Lidia mau minta tolong, tapi Lidia takut Papa marah.""Kamu mau minta tolong apa,
Flash back on : "Kamu yakin ingin membawa Verico liburan ke pantai berdua?" "Ya Mi. Hesti sudah ijin ke TKnya Verico. Rasanya Hesti butuh piknik.""Hm, biarkan saja Mi. Kasihan Hesti. Dia baru saja menerima kenyataan pahit akibat perbuatan Adi dan Lidia. Jadi lebih baik, memang Hesti pergi berlibur dengan Verico," tukas Papi Hesti. Maminya menghela nafas. "Baiklah. Kalau begitu, Mami hanya bisa mendoakan kamu, Hes. Semoga menikmati jalan-jalannya. Kamu yakin Papi dan Mami tidak perlu menemanimu?"Hesti mengangguk mantap. "Iya. Hesti cuma ingin berlibur berdua dengan Verico. Yah, menenangkan diri dan menghibur diri.""Baiklah. Ngomong-ngomong apa yang akan kamu lakukan dengan rumah yang kamu bangun bersama dengan Adi?""Hesti akan menjualnya, Mi. Dan uangnya untuk membeli rumah baru. Untung saja dulu sertifikat nya atas nama Hesti. Ditambah pula ada perjanjian tentang harta gono-gini yang menjadi milik Verico membuat Hesti mudah memproses penjualan rumah itu.""Yah, baguslah kalau k
"Hah? Apa kamu bilang Mas?" seru Hesti dengan ekspresi kesal dari samping tempat duduk Narendra.Narendra tertawa dan merasa tidak enak berada diantara kedua mantan pasangan suami istri tersebut. "Iya deh. Aku ngaku. Hesti mantan istriku. Kami baru saja berpisah," sahut Adi lirih. Narendra menghela nafas panjang. "Yah, itu urusan pribadi kalian sih. Maaf tadi sempat bertanya apa kamu kenal dengan Mbak Hesti atau tidak.""Iya. Nggak apa-apa. Eh, tapi kok kamu bisa semobil dengan Hesti?" tanya Adi penasaran. "Hm, yah. Ceritanya panjang. Enggak enak kalau cerita sekarang. Aku lagi nyetir nih.""Hm, nggak enak cerita karena lagi nyetir apa karena kalian berdua ada hubungan?" tanya Adi membuat Narendra kaget sehingga mengerem mobilnya mendadak. Ccittt!Hesti dan Verico nyaris terjungkal karena Narendra yang mengerem mobilnya secara tiba-tiba. Untung saja jalan raya dalam kondisi sepi. "Maaf, maafkan saya Mbak Hesti, tadi saya terkejut sekali."Hesti menarik nafas panjang. "Iya. Nggak
Tamu lelaki itu tersenyum dan berkata, "Saya kurir, Bu. Hendak mengantarkan buket bunga."Hesti memandangi sekeliling ruang tamu nya dengan terheran-heran. Masalahnya tidak ada satupun buket bunga ada terlihat di ruangan itu. "Buket bunga? Dimana?"Kurir itu tersenyum. "Buketnya besar. Ada di dalam mobil kami. Sebentar saya ambil dulu."Lelaki itu tanpa menunggu persetujuan Hesti keluar dari ruang tamunya dan menuju ke halaman, tempat mobilnya terparkir. Lalu beberapa saat kemudian kembali ke ruang tamu dengan seorang temannya."Ini Bu."Lelaki itu menyerahkan sebuah standing buket bunga besar dengan isi mawar merah segar, uang seratus ribu rupiah berlembar-lembar, dan beberapa batang coklat silverqueen. Berbungkus kertas cellophane berwarna hitam dan putih bening. Dan menggunakan penyangga kayu. Mata Hesti membulat melihat buket bunga yang dibawa oleh kedua kurir tersebut. "Siapa yang mengirim ini?" tanya Hesti dengan rasa yang masih tercengang. "Ada dalam kertas pengirim di dala
Hesti dan Narendra serentak menoleh dan terkejut melihat kedatangan Adi. "Kamu?!""Iya aku. Kenapa? Kalian kaget?" tanya Adi dengan tertatih berjalan mendekat ke arah Hesti dan Narendra."Kamu ngapain ke sini Mas?" tanya Hesti. "Aku kangen dengan Verico. Memang kenapa? Aku kan ayah kandungnya, apa tidak boleh aku menemuinya?" tanya Adi ketus.Hesti dan Narendra saling berpandangan. "Halo Pa? Papa darimana?" tanya Verico mendekat ke arah Adi."Dari rumah saja. Kamu mau ikut Papa ke rumah Papa?" tanya Adi penuh harap. Sementara Hesti terlihat keberatan tapi menahan diri untuk tidak mengucapkan sepatah katapun. Verico menggeleng kan kepalanya dengan cepat. Lalu beralih mendekati Hesti. "Verico di sini saja sama Mama dan Eyang," tukas bocah lelaki itu sambil memeluk lengan Mamanya. Adi terlihat berdecak kesal. Tapi tanpa putus asa, dia terus berusaha merayu Verico untuk ikut dengannya. "Kenapa kamu tidak mau, Nak? Di sana kan ada Eyang juga? Ada Papa juga. Apa selama ini Mama meng
"Bu Ayu. Bu Ayu ini kan, ibunya Lidia?" tanya Mami Adi seraya menunjuk kan ponsel Adi pada sang suami.Papi Adi mengangguk. "Coba angkat aja telepon nya. Barangkali ada hal penting yang ingin disampaikan oleh ibunya Lidia."Mami Adi menoleh pada Anaknya. "Gimana, Di? Boleh kah Mami terima telepon nya?"Adi terlihat berpikir sejenak. "Oke. Boleh, Mi.""Halo," sapa Mami Adi setelah menekan tombol hijau. "Halo. Adi nya ada? Saya ingin meminta tolong. Ini berkaitan dengan Lidia," sahut suara Ibu Lidia panik. Mami Adi melihat ke arah anaknya. Adi mengangguk. Mami Adi lantas menekan tombol loud speaker lalu mendekatkan nya ke arah Adi yang sedang berbaring. "Halo, Adi. Tolong Lidia. Lidia dua Minggu lagi menghadapi persidangan.""Lalu kenapa?" tanya Adi aduh tak acuh. "Loh, kok tanya kenapa sih? Bantuin dong Nak Adi, kamu kan calon suami Lidia."Adi nyaris tertawa mendengar perkataan ibu Lidia. Tapi rasa nyeri setelah dioperasi dan perasaan kaget pasca mengetahui bahwa dirinya mengalam
Dan detik berikutnya, Adipun terguling jatuh dari dua puluh lima anak tangga!!!Hesti dan Narendra tak kalah terkejutnya saat melihat Adi jatuh terguling. "Astaghfirullah, Mas Adi!" seru Hesti berlari mendekat ke tangga."Hes, hati-hati! Kamu memakai high heels!" seru Narendra. Ketiga asisten Narendra yang sedang mengejar Adi juga berlarian turun dari tangga. Adi yang terjatuh terguling sampai di tangga paling bawah mendarat dengan telentang. Ada cairan kental berwarna merah saat Hesti dan yang lainnya sampai di dekat tubuh Adi. "Hesti, darah! Apa kita harus membawa Adi ke rumah sakit sekarang?" tanya Narendra yang berjongkok di samping tubuh temannya. Hesti menghela nafas panjang. Dia sering bertemu dengan pasien yang mengalami luka lebih parah daripada Adi. Tapi saat melihat kondisi mantan suaminya seperti ini, apalagi setelah insiden di aula tadi, mau tidak mau jantung nya berdebar lebih kencang juga. "Jangan, biar aku telepon ambulance saja. Ada perdarahan di otaknya. Aku j
Flash back On :"Ada apa, Nak? Kenapa belum tidur? Sebentar lagi kan ulang tahun show room kamu? Kenapa malah sedih?" tanya Mami Narendra sambil menyentuh bahu anaknya saat melihat Narendra sedang duduk sendiri di kursi taman belakang rumahnya. Narendra menoleh dan tampak Maminya sedang tersenyum. Tapi di matanya tersirat rasa cemas yang tidak bisa disembunyikan.Lelaki itu ikut tersenyum dan menyentuh tangan sang Ibu yang berada di atas bahunya. Lalu menarik sang ibu untuk duduk di sebelah nya. "Rendra ingin tiduran sejenak di pangkuan Ibu," tutur Rendra lirih sambil meletakkan kepalanya di paha ibunya. Ibunya menghela nafas. "Ada masalah apa? Kenapa sampai membuat kamu tidak bisa tidur?" tanya Ibunya sambil mengelus rambut sang anak. "Lah Mami juga, kenapa belum tidur?""Wah, anak ini, ditanya kok nanya balik. Ibu belum tidur karena rindu pada mendiang ayah kamu.""Hm, sama. Hanya aku juga sedang merindukan seseorang yang masih hidup.""Hesti kan?" tebak Mami Rendra. Rendra men
Adi tertegun melihat Verico yang menghambur ke pelukan Narendra. Ada rasa iri yang menusuk di dalam hatinya. "Verico Sayang, kenapa kamu lebih memilih untuk memeluk Om Narendra?! Kenapa kamu tidak memilih memeluk Papa? Papa juga rindu sama kamu," ujar Adi sambil merentangkan kedua tangannya. Meminta pelukan pada sang anak. "Enggak mau. Papa pernah membuat Mama menangis dan sekarang Papa sudah membuat Om Rendra terluka. Verico nggak mau sama Papa!" seru Verico sambil mengeratkan pelukan pada Rendra.Rendra merasakan bibirnya berkedut nyeri setelah mendapat bogem mentah dari Adi. Tapi lelaki itu menyunggingkan senyumnya. 'Kamu terlalu mudah emosi, Di. Sekarang kamu lihat kan bahkan anak kamu pun menjauhi kamu,' bisik Narendra dalam hati. Adi mengepalkan tangannya. "Verico, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Om Rendra itu jahat. Dia punya niat tidak baik pada mu dan Mama.""Adi."Terdengar suara Papi Hesti memanggil nama mantan menantunya. Adi menoleh. "Pi, apa Papi juga akan me
"Berdiri dan pulanglah saja. Daripada saya ikut melaporkan kalian ke polisi dengan tuduhan bekerja sama dalam melakukan tindakan kriminal!" seru Narendra yang mendadak masuk dari pintu gerbang, membuat ibu Lidia tercengang."Pak Narendra tidak bisa seenaknya saja menuduh saya. Bapak tidak punya bukti untuk melaporkan saya pada polisi," seru ibu Lidia mendadak berdiri.Narendra tersenyum. "Kata siapa saya tidak punya bukti? Kalau Ibu mengetahui rencana Lidia untuk menculik Verico tapi diam saja dan tidak melaporkan ke polisi untuk mencegahnya, sama saja Ibu mendukung perbuatan Lidia.""Tapi saya benar-benar tidak tahu kalau Lidia hendak menculik Verico!""Hm, benarkah? Bagaimana kalau Lidia sudah mengaku pada polisi bahwa dia sudah menceritakan tentang semua rencana nya pada keluarga nya? Kalian bisa ikut diperiksa kan?"Ibu Lidia menelan ludah. "Lidia tidak akan mengatakannya. Dia tidak akan menyeret ibu dan kedua adik yang sangat disayanginya walaupun saya tahu rencana nya," tukas I
"Dia tampak lelah sekali ya, Pi?" tanya Narendra pada Papi saat melihat Hesti yang tertidur pulas di samping Verico."Iya. Semalam katanya dia telah menangkap Lidia, saat Lidia mencoba melukai nya," sahut Papi seraya tersenyum melihat cucu dan anaknya yang sedang berbagi ranjang pasien untuk tidur berdua. "Iya. Saat Hesti menghubungi saya untuk meminta bantuan menelepon polisi, Lidia telah diikat dengan baik oleh satpam rumah sakit. Rekaman video yang menunjukkan bahwa Lidia berusaha menyerang Hesti secara membabi buta pun telah diamankan oleh pihak kepolisian.""Lalu bagaimana kelanjutan hukuman Lidia?"Narendra mengedikkan bahu nya. "Entahlah Pi. Yang jelas Lidia dijerat dengan pasal berlapis. Mulai dari penculikan anak, penyalahgunaan obat, penganiayaan, entahlah kalau ada pasal lainnya," sahut Narendra. Papi manggut-manggut. "Hm, Rendra, biarkan Hesti istirahat dulu. Ayo kita keluar dari sini. Ke kantin rumah sakit. Ada yang ingin Papi bicarakan padamu sebagai sesama lelaki."Na
Mendadak tubuh Narendra seolah membeku saat melihat bungkus obat tidur yang tergeletak di atas meja dan sudah kosong!"Astaga, Lidia! Kamu sudah gila?! Kamu telah memberikan obat ini untuk Verico?! Anak sekecil ini kamu beri obat tidur? Apa kamu enggak waras?" tanya Narendra marah.Ingin sekali rasanya Narendra menampar Lidia, tapi karena menurutnya menolong Verico adalah hal yang terpenting untuk saat ini, maka Narendra menahan diri. "Baiklah. Aku akan membawa Verico langsung ke rumah sakit, kalian yang membawa Lidia ke kantor polisi ya," ucap Narendra sambil menatap kepada ketiga anak buahnya.Ketiga anak buahnya mengangguk. Lalu Narendra segera keluar dari rumah itu dan menelepon Hesti. "Halo, Hesti! Verico sudah ketemu! Tapi kondisinya nggak begitu bagus. Kirimkan segera ambulance dari rumah sakit tempat kamu bekerja ke alamat yang sebentar lagi alamatnya aku share loct! Oke!"Terdengar seruan bahagia bercampur harapan dan kecemasan dari seberang telepon sebelum Narendra mengak