Sesaat setelah obat yang kusuntikkan ke tubuh Lidia, gadis itu berseru keras, "Aaargghh!!!"
"Lidia, kamu kenapa?" tanya Mas Adi dengan nada cemas."Sakit, Pa. Disuntik Mama tadi. Dan anuku sakit. Kram. Kapan kita bisa terlepas? Kenapa setelah disuntik obat tadi, tidak terjadi apapun pada kita? Jangan-jangan obatnya palsu?!" tanya Lidia emosi."Heh, kamu ya. Sudah jadi pelakor, nggak percaya juga padaku. Nggak tahu malu. Sudah merusak rumah tangga orang yang telah merawat kamu, minta tolong padaku dan sekarang malah menuduhku memberikan kamu obat yang salah? Wah, kamu keterlaluan, Lid. Ups, apa malah seharusnya tadi aku memberikan kamu suntikan euthanasia*?" tanyaku seraya tersenyum manis.Mas Adi seketika menoleh padaku. "Hesti, apa yang kamu lakukan pada Lidia? Obat apa yang kamu berikan pada Lidia? Ingat dia kan anak angkat kita!"Aku menatap mas Adi dan Lidia. "Anak angkat? Hahahaha! Jangan ngelawak, Mas. Bagiku sekarang Lidia juga tak ubahnya seperti pelakor pada umumnya. Mana ada anak angkat tidur sama papa angkatnya?!"Wajah Mas Adi dan Lidia memerah. "Kita bahas itu nanti. Tolong lepaskan dulu gancet ini. Anuku sakit!" rintih mas Adi.Aku tertawa. "Makanya jangan selingkuh. Tadi galak banget. Sekarang tidak berdaya. Lucu sekali kamu, Mas.""Hes, sudahlah. Jangan tertawa terus! Ini obatnya akan bereaksi kapan?" tanya Mas Adi dengan wajah memerah."Berhitung saja. Sampai lima. Nanti kalian akan terlepas sendiri."Mas Adi dan Lidia saling berpandangan. "Jangan bercanda, Hesti!""Aku enggak bercanda, Mas. Hitung saja dari sekarang!""Satu ...,""Wah, Pa. Anuku sudah mulai melonggar!" seru Lidia bahagia."Alatku juga mulai lemas.""Kalau sudah bereaksi, hati-hati melepasnya. Nanti putus lo!" ledekku.Terlihat mas Adi dan Lidia memandang ku dengan ekspresi bercampur aduk. Seperti marah, kesal, malu, dendam, atau terimakasih? Tapi aku sudah tidak peduli lagi. Rencanaku harus tetap kulaksanakan."Tolong semua pergi dari sini!" teriak Mas Adi pada beberapa orang yang berkerumun.Karyawan hotel dan karyawan ruang sakit menurut dan keluar dari kamar hotel."Kenapa kamu enggak keluar? Kami mau ganti baju!" seru Mas Adi sambil menutup tubuh polosnya setelah berhasil duduk. Sedangkan Lidia mulai memakai baju yang berceceran di lantai."Wah, setelah ditolong, aku malah diusir? Hebat sekali kamu, Mas? Aku disini untuk melihat efek obat kedua," ujarku dengan tawa tertahan."Efek obat kedua? Apa maksud kamu?" tanya mas Adi bingung."Pa, Lidia mendadak mengantuk,'" ucap Lidia sambil memejamkan mata."Astaga, Lidia! Kamu kenapa, Sayang? Bangunlah, buka mata kamu!" seru Mas Adi sambil menatap tubuh di bawahnya lalu segera menatapku nyalang."Obat ap- ...,"Terlihat Mas Adi pun mulai mengantuk dan mendadak kepalanya terkulai lemas."Maaf, Mas. Obat relaxan nya kucampur dengan obat tidur dosis rendah. Nanti kamu akan segera bangun."Aku memanggil kembali petugas medis yang ada di luar dan meminta tolong mereka untuk memakaikan baju pada mas Adi dan Lidia.Aku mengedarkan mata mencari sesuatu yang kemungkinan ada di kamar hotel ini. Sesuatu yang memungkinkan terjadinya gancet pada kedua makhluk itu.Kubuka satu per satu tas dan laci hotel. Dan pandanganku tertumbuk pada beberapa bungkus obat di tempat sampah hotel. Segera kuambil bungkus obat itu dan kumasukkan ke dalam tas."Dasar bod*h! Pantas kalian gancet, kalian terlalu memaksakan diri," gumamku lirih.***"Hei, sudah sadar?" tegurku saat melihat Lidia dan Mas Adi yang baru saja membuka mata bersamaan.Sepertinya mereka benar-benar soulmate. Bahkan untuk sadar saja mereka barengan. Hm. Namun mereka tidak sadar bahwa mereka akan mendapatkan omelan berhadiah"Adi, kamu malu-maluin Mama saja! Sudah punya istri malah main gila. Dengan anak angkat pula! Mau ditaruh mana muka Mama dan Papa kalau sampai Bupati tahu dan memecat kamu?!"Mas Adi yang baru saja duduk sambil memegangi kepalanya yang pusing memandangi ku dengan wajah penuh dendam."Hesti, tega kamu! Setelah mempermalukan aku di hadapan karyawan hotel dan karyawan rumah sakit, kamu masih tega mempermalukan aku di hadapan keluarga?" tanya mas Adi sambil menudingku tanpa menghiraukan perkataan Mamanya."Adi! Kamu nyuekin Mama? Bagaimana tanggung jawab kamu sekarang?" tanya mertuaku dengan garang. "Bisa-bisanya kamu melepas intan berlian untuk pecahan botol orson? Apa kamu gila?" sambung mama mertuaku.Mas Adi tertunduk."Tenang Papa dan Mama, saya mengumpulkan para orang tua di sini karena saya ingin menyampaikan permintaan saya. Saya ingin berpisah secara baik-baik dengan Mas Adi, karena ...,""Kamu minta berpisah? Oke! Tidak apa-apa. Tapi jangan lupa pembagian harta gono-gini dan Verico ikut aku!"Kamu minta berpisah? Oke! Tidak apa-apa. Tapi jangan lupa pembagian harta gono-gini dan Verico ikut aku!""Wah, kamu serakah sekali ya? Aku tidak menyangka kamu segitu enggak tahu malunya," tugasku dengan menghela nafas."Ya, kalau kamu tidak mau pembagian harta gono-gini dan Verico ikut sama aku, simpel sih. Kita enggak usah cerai saja," sahut Mas Adi dengan senyum penuh kemenangan."Hm, menggelikan. Aku tidak akan pernah mau berbagi alat tempur kamu dengan orang lain. Apalagi memelihara pengkhianat seperti Lidia," sahutku kalem.Lidia mendelik dan seketika merengkuh lengan mas Adi."Pa, bukannya Papa janji akan menikahiku?" tanya Lidia menghiba."Kamu tenang saja. Jangan khawatir. Tentu saja aku akan menikahimu tapi aku tidak ingin berpisah dengan Hesti.""Hei Mas! Kalau kamu tidak mau menceraikan aku dan mengikhlaskan hak asuh Verico padaku, aku yang akan menggugat kamu ke pengadilan agama. Dan kita lihat, siapa yang menang karena aku telah mempunyai bukti dan saksi cukup banyak.""Bu, lihat itu anak kalian. Sudah diangkat anak oleh anak saya, disekolahkan dan dirawat dengan baik, tapi justru berbuat khianat!" seru Mamiku yang sedari tadi diam.Ibu Lidia yang menunduk mendadak mengangkat kepalanya."Saya mau kok kalau Lidia menikah dengan Adi," sahut Ibu Lidia lirih membuatku terkejut."Jangan bilang kalau Ibu sudah tahu dengan perselingkuhan anak Ibu dan justru mendukungnya?" tanyaku dengan menahan amarah."Iya. Sebenarnya saya tahu. Sekarang, siapa yang tidak ingin mempunyai menantu seorang ASN? Kaya dan terhormat? Itu bisa mengangkat martabat keluarga kami," sahut Ibu Lidia."Astaga! Ibu macam apa yang justru membela putri nya yang menjadi pelakor? Miris banget. Kayak nggak ada laki-laki lain?" sahut Mamiku dengan ekspresi jijik."Mi, jangan ikut campur. Ini urusan saya dengan Hesti," kata Mas Adi pada Mami lalu menoleh padaku."Hesti, jadi kamu tetap mau mengajukan cerai?! Tapi ingat Verico ikut aku dan pembagian harta gono-gini secara adil."Aku tersenyum melihat keyakinan Mas Adi. "Mas, Verico masih balita. Aku yakin hakim akan memberikan hak asuhnya padaku. Lagipula, aku punya saksi dan bukti yang akan kubawa ke pengadilan agama sehingga memberatkan kamu."Mas Adi menelan ludah. "Apa maksud kamu dengan bukti?"."Hm, jadi saat aku menyelamatkan kalian dari gancet, aku telah merekam pose kalian saat gancet."Mas Adi mendelik. Sedangkan Lidia tampak ketakutan. "Dasar licik! Bagaimana kamu bisa melakukan hal itu?""Yah, tentu saja untuk mengantisipasi kamu agar tidak mengancamku seperti ini. Sekarang, talak aku sekarang juga agar kita resmi cerai secara agama dan biarkan Verico ikut denganku secara damai. Dan kamu juga harus tanda tangan untuk harta yang kita kumpulkan selama menikah, agar menjadi harta milik anak kita. Untuk persidangan sampai surat cerai keluar, biar kita serahkan pada pengacara."Mas Adi memandangku dengan tatapan memelas."Kenapa? Jangan ruwet Mas, tadi kamu bilang mau menceraikan aku. Sekarang aku kabulkan permintaan mu untuk bercerai dengan ku tapi kamu harus merelakan harta yang telah kita hasilkan bersama selama ini untuk anak kita.""Tapi itu tidak adil, Ma! Papa tidak akan mendapat banyak harta padahal Papa yang telah bekerja keras selama ini!" seru Lidia. "Hei Lidi
Aku mengangkat bahu. "Entahlah Mi. Hesti tidak peduli. Hesti hanya merasa sakit hati sekali sekarang. Padahal Hesti juga tidak pernah curiga pada mereka.""Oh ya. Selain overdosis obat kuat dan obat pengencang, apa ada penyebab lain terjadinya gancet?" tanya Mami. "Ada. Faktor psikologis, faktor trauma dari masa lalu, faktor emosi dan mengidap penyakit kelamin.""Hm, serem. Apa memang bisa terjadi pada pasangan sah juga?"Aku mengangguk. Dan saat aku akan membuka mulut untuk menanggapi ucapan Mami, mendadak ponselku berdering. Aku melihat layar ponsel dan langsung terkejut melihat siapa yang menelpon ku malam-malam. Asisten bupati!!!Aku melihat layar ponsel dan langsung terkejut melihat siapa yang menelpon ku malam-malam. Asisten bupati!!!Aku segera melangkah kan kaki meninggalkan ruang makan dan menuju ke ruang tamu. Perasaan ku mengatakan bahwa asisten bupati menelepon ku karena kasus yang menimpa mas Adi. Dan aku tidak mau jika orang tuaku mengetahui dan kepikiran tentang ka
POV penulisFlash back On :"Pa, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Lidia ketakutan. Adi menghela nafas di samping Lidia. Lelaki berusia 35 tahun itu juga merasa sakit kepala saat sedang menunggu mamanya yang masih pingsan. Tapi Adi masih saja berusaha mengulas senyum dan berpura-pura tenang di hadapan Lidia. "Ssst, kamu akan selalu aman. Aku akan menjagamu, Sayang."Adi memeluk Lidia perlahan dan mencium kening gadis itu. "Adi ...."Adi segera melepas pelukannya saat mendengar Mamanya yang baru saja membuka mata. "Apa Mama tidak apa-apa? Mana yang sakit, Ma?" tanya Adi sambil menghambur ke arah Mamanya. Lidia mengikuti langkah Adi dengan takut-takut. "Mama masih pusing. Apa kata Dokter tentang Mama?" tanya Mama Adi. "Hm, dokternya bilang kalau jantung Mama normal. Mama hanya mengalami tensi rendah dan asam lambung nya naik. Terus dokter nya juga bilang kalau gula darah Mama drop. Apa Mama belum sarapan?" tanya Adi sambil menatap wajah mamanya. Mamanya menatap sang a
Lidia berpegangan pada bangkunya. "Ini tidak mungkin," desisnya geram. "Lid, kok malah diam?" tanya Mita. Lidia mendadak berdiri dan tanpa mempedulikan teriakan Mita, Lidia itu berlari keluar kelas. Beberapa murid yang berdiri di kanan kiri sisi koridor menatap Lidia. Sebagian tersenyum sinis. Sebagian menyorakinya."Wah, ada pelakor junior nih. Woy Mbak, kalau mau jadi pelakor jangan ke sekolah dong. Noh, ke salon dan spa untuk perawatan, biar tetap wangi dan rapet!" seru salah seorang siswi yang iri oleh Lidia. Lidia yang memang cantik dan seksi dan merupakan anak angkat orang kaya membuat beberapa temannya iri. Apalagi Lidia juga termasuk pemilih dalam berteman. Lidia berlari ke dalam toilet perempuan dan masuk ke dalamnya. Dia meraih ponsel dengan tangan gemetar dan membuka akun sosial media berlogo F miliknya. Dan banyak sekali inbok yang masuk ke akun nya bersamaan dengan banyak japri yang diterima di whatsapp nya."Astaga! Sial*n betul Tante Hesti! Berani-beraninya mengin
"Atau kalau memang kamu mau melaporkan saya, silakan saja. Tapi asal kamu tahu jangan-jangan malah kamu yang ditangkap polisi karena berzina dengan suami orang. Ada pasalnya lo," ucap Hesti membuat nyali Lidia semakin menciut. Lidia terdiam sejenak. "Ta-tapi Tante juga mengingkari janji untuk tidak menyebarkan video penggerebekan aku dan Papa kan?"Hesti tersenyum. Kedua tangannya bersidekap di depan dada. "Sekali lagi kutegaskan padamu kalau bukan aku memviralkan video itu.""Tidak mungkin. Cuma Tante yang merekam kami saat tertangkap kemarin. Sudahlah, nggak usah ngeles. Tante benar-benar jahat dan tega sama saya dan Papa! Seharusnya Tante harus tahu, apa yang dirasakan Verico nanti kalau tahu Papanya viral karena video mes*m?" tanya Lidia dengan tatapan menghiba. "Hm, Baiklah. Ada dua hal yang perlu kamu tahu saat ini. Satu, kamu tahu sendiri saat aku ada di hotel kemarin, ada lima orang dari pihak hotel dan tiga orang dari pihak rumah sakit. Yah, siapa tahu saja, salah satu dari
Lidia segera menuju pintu dan membukanya, dan sesaat kemudian dia terkejut. "Astaga, ada apa ini?" tanya Lidia kaget saat ada dua mobil pick up yang datang ke rumah ibunya. Berbagai barang tampak teronggok di atas pick up. "Pa ...! Papa! Kemari Pa, cepat!" seru Lidia memanggil Adi. Adi segera berdiri dan menuju ke pintu depan lalu melongo melihat ada koper, tivi, meja dan kursi belajar, lemari, komputer dan banyak barang lainnya. "Ada apa ini?" Seorang laki-laki membuka pintu kemudi lalu mendekat ke arah Adi. "Permisi Pak. Apa ini benar rumah Mbak Lidia? Kami hanya ingin mengantar barang saja."Lidia mengangguk dengan kaku lalu menyingkir untuk memberi ruang pada sopir dan temannya untuk memasukkan barang yang ada di atas mobil pick up. "Dimana kami meletakkan barang-barang ini, Pak?" tanya supir pick up pada Adi. Adi yang sedang tercengang segera duduk di kursi sofa sambil memegangi kepalanya yang mendadak terasa pusing. "Loh, ada apa ini? Kamu beli perabotan baru untuk Ibu?
Adi tercengang mendengar ide Lidia. "Hah? Apa kamu bilang?"Lidia mengedikkan bahunya. "Yah, bisa saja dong. Apanya yang salah? Kita cuma pura-pura menculik Verico agar dapat uang dari Tante Hesti.Begitu mendapat uang, tentu saja Verico kita lepaskan dengan selamat," tukas Lidia masih berusaha mengompori Adi. Adi terdiam dan merenung. "Papa tidak setuju, kamu pikir Hesti bisa begitu saja dikibulin? Hesti bisa melakukan apapun untuk membuat kita semakin sial. Sudahlah, kamu terima saja dulu soal Hp kamu. Papa sedang pusing karena memikirkan cari pekerjaan baru.""Huh, Papa ini gimana sih? Katanya sayang sama cinta? Cuma janji doang. Enggak ada bukti! Lidia kecewa sama Papa!" seru Lidia merengek. "Aduh, kamu itu semakin membuat Papa pusing. Kalau begitu, Papa akan langsung cairkan deposito untuk membelikan kamu Hp baru.""Nah, gitu dong. Papa memang yang terbaik. Lidia sayang banget sama Papa. Dan juga Lidia mau minta tolong, tapi Lidia takut Papa marah.""Kamu mau minta tolong apa,
Flash back on : "Kamu yakin ingin membawa Verico liburan ke pantai berdua?" "Ya Mi. Hesti sudah ijin ke TKnya Verico. Rasanya Hesti butuh piknik.""Hm, biarkan saja Mi. Kasihan Hesti. Dia baru saja menerima kenyataan pahit akibat perbuatan Adi dan Lidia. Jadi lebih baik, memang Hesti pergi berlibur dengan Verico," tukas Papi Hesti. Maminya menghela nafas. "Baiklah. Kalau begitu, Mami hanya bisa mendoakan kamu, Hes. Semoga menikmati jalan-jalannya. Kamu yakin Papi dan Mami tidak perlu menemanimu?"Hesti mengangguk mantap. "Iya. Hesti cuma ingin berlibur berdua dengan Verico. Yah, menenangkan diri dan menghibur diri.""Baiklah. Ngomong-ngomong apa yang akan kamu lakukan dengan rumah yang kamu bangun bersama dengan Adi?""Hesti akan menjualnya, Mi. Dan uangnya untuk membeli rumah baru. Untung saja dulu sertifikat nya atas nama Hesti. Ditambah pula ada perjanjian tentang harta gono-gini yang menjadi milik Verico membuat Hesti mudah memproses penjualan rumah itu.""Yah, baguslah kalau k
Tamu lelaki itu tersenyum dan berkata, "Saya kurir, Bu. Hendak mengantarkan buket bunga."Hesti memandangi sekeliling ruang tamu nya dengan terheran-heran. Masalahnya tidak ada satupun buket bunga ada terlihat di ruangan itu. "Buket bunga? Dimana?"Kurir itu tersenyum. "Buketnya besar. Ada di dalam mobil kami. Sebentar saya ambil dulu."Lelaki itu tanpa menunggu persetujuan Hesti keluar dari ruang tamunya dan menuju ke halaman, tempat mobilnya terparkir. Lalu beberapa saat kemudian kembali ke ruang tamu dengan seorang temannya."Ini Bu."Lelaki itu menyerahkan sebuah standing buket bunga besar dengan isi mawar merah segar, uang seratus ribu rupiah berlembar-lembar, dan beberapa batang coklat silverqueen. Berbungkus kertas cellophane berwarna hitam dan putih bening. Dan menggunakan penyangga kayu. Mata Hesti membulat melihat buket bunga yang dibawa oleh kedua kurir tersebut. "Siapa yang mengirim ini?" tanya Hesti dengan rasa yang masih tercengang. "Ada dalam kertas pengirim di dala
Hesti dan Narendra serentak menoleh dan terkejut melihat kedatangan Adi. "Kamu?!""Iya aku. Kenapa? Kalian kaget?" tanya Adi dengan tertatih berjalan mendekat ke arah Hesti dan Narendra."Kamu ngapain ke sini Mas?" tanya Hesti. "Aku kangen dengan Verico. Memang kenapa? Aku kan ayah kandungnya, apa tidak boleh aku menemuinya?" tanya Adi ketus.Hesti dan Narendra saling berpandangan. "Halo Pa? Papa darimana?" tanya Verico mendekat ke arah Adi."Dari rumah saja. Kamu mau ikut Papa ke rumah Papa?" tanya Adi penuh harap. Sementara Hesti terlihat keberatan tapi menahan diri untuk tidak mengucapkan sepatah katapun. Verico menggeleng kan kepalanya dengan cepat. Lalu beralih mendekati Hesti. "Verico di sini saja sama Mama dan Eyang," tukas bocah lelaki itu sambil memeluk lengan Mamanya. Adi terlihat berdecak kesal. Tapi tanpa putus asa, dia terus berusaha merayu Verico untuk ikut dengannya. "Kenapa kamu tidak mau, Nak? Di sana kan ada Eyang juga? Ada Papa juga. Apa selama ini Mama meng
"Bu Ayu. Bu Ayu ini kan, ibunya Lidia?" tanya Mami Adi seraya menunjuk kan ponsel Adi pada sang suami.Papi Adi mengangguk. "Coba angkat aja telepon nya. Barangkali ada hal penting yang ingin disampaikan oleh ibunya Lidia."Mami Adi menoleh pada Anaknya. "Gimana, Di? Boleh kah Mami terima telepon nya?"Adi terlihat berpikir sejenak. "Oke. Boleh, Mi.""Halo," sapa Mami Adi setelah menekan tombol hijau. "Halo. Adi nya ada? Saya ingin meminta tolong. Ini berkaitan dengan Lidia," sahut suara Ibu Lidia panik. Mami Adi melihat ke arah anaknya. Adi mengangguk. Mami Adi lantas menekan tombol loud speaker lalu mendekatkan nya ke arah Adi yang sedang berbaring. "Halo, Adi. Tolong Lidia. Lidia dua Minggu lagi menghadapi persidangan.""Lalu kenapa?" tanya Adi aduh tak acuh. "Loh, kok tanya kenapa sih? Bantuin dong Nak Adi, kamu kan calon suami Lidia."Adi nyaris tertawa mendengar perkataan ibu Lidia. Tapi rasa nyeri setelah dioperasi dan perasaan kaget pasca mengetahui bahwa dirinya mengalam
Dan detik berikutnya, Adipun terguling jatuh dari dua puluh lima anak tangga!!!Hesti dan Narendra tak kalah terkejutnya saat melihat Adi jatuh terguling. "Astaghfirullah, Mas Adi!" seru Hesti berlari mendekat ke tangga."Hes, hati-hati! Kamu memakai high heels!" seru Narendra. Ketiga asisten Narendra yang sedang mengejar Adi juga berlarian turun dari tangga. Adi yang terjatuh terguling sampai di tangga paling bawah mendarat dengan telentang. Ada cairan kental berwarna merah saat Hesti dan yang lainnya sampai di dekat tubuh Adi. "Hesti, darah! Apa kita harus membawa Adi ke rumah sakit sekarang?" tanya Narendra yang berjongkok di samping tubuh temannya. Hesti menghela nafas panjang. Dia sering bertemu dengan pasien yang mengalami luka lebih parah daripada Adi. Tapi saat melihat kondisi mantan suaminya seperti ini, apalagi setelah insiden di aula tadi, mau tidak mau jantung nya berdebar lebih kencang juga. "Jangan, biar aku telepon ambulance saja. Ada perdarahan di otaknya. Aku j
Flash back On :"Ada apa, Nak? Kenapa belum tidur? Sebentar lagi kan ulang tahun show room kamu? Kenapa malah sedih?" tanya Mami Narendra sambil menyentuh bahu anaknya saat melihat Narendra sedang duduk sendiri di kursi taman belakang rumahnya. Narendra menoleh dan tampak Maminya sedang tersenyum. Tapi di matanya tersirat rasa cemas yang tidak bisa disembunyikan.Lelaki itu ikut tersenyum dan menyentuh tangan sang Ibu yang berada di atas bahunya. Lalu menarik sang ibu untuk duduk di sebelah nya. "Rendra ingin tiduran sejenak di pangkuan Ibu," tutur Rendra lirih sambil meletakkan kepalanya di paha ibunya. Ibunya menghela nafas. "Ada masalah apa? Kenapa sampai membuat kamu tidak bisa tidur?" tanya Ibunya sambil mengelus rambut sang anak. "Lah Mami juga, kenapa belum tidur?""Wah, anak ini, ditanya kok nanya balik. Ibu belum tidur karena rindu pada mendiang ayah kamu.""Hm, sama. Hanya aku juga sedang merindukan seseorang yang masih hidup.""Hesti kan?" tebak Mami Rendra. Rendra men
Adi tertegun melihat Verico yang menghambur ke pelukan Narendra. Ada rasa iri yang menusuk di dalam hatinya. "Verico Sayang, kenapa kamu lebih memilih untuk memeluk Om Narendra?! Kenapa kamu tidak memilih memeluk Papa? Papa juga rindu sama kamu," ujar Adi sambil merentangkan kedua tangannya. Meminta pelukan pada sang anak. "Enggak mau. Papa pernah membuat Mama menangis dan sekarang Papa sudah membuat Om Rendra terluka. Verico nggak mau sama Papa!" seru Verico sambil mengeratkan pelukan pada Rendra.Rendra merasakan bibirnya berkedut nyeri setelah mendapat bogem mentah dari Adi. Tapi lelaki itu menyunggingkan senyumnya. 'Kamu terlalu mudah emosi, Di. Sekarang kamu lihat kan bahkan anak kamu pun menjauhi kamu,' bisik Narendra dalam hati. Adi mengepalkan tangannya. "Verico, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Om Rendra itu jahat. Dia punya niat tidak baik pada mu dan Mama.""Adi."Terdengar suara Papi Hesti memanggil nama mantan menantunya. Adi menoleh. "Pi, apa Papi juga akan me
"Berdiri dan pulanglah saja. Daripada saya ikut melaporkan kalian ke polisi dengan tuduhan bekerja sama dalam melakukan tindakan kriminal!" seru Narendra yang mendadak masuk dari pintu gerbang, membuat ibu Lidia tercengang."Pak Narendra tidak bisa seenaknya saja menuduh saya. Bapak tidak punya bukti untuk melaporkan saya pada polisi," seru ibu Lidia mendadak berdiri.Narendra tersenyum. "Kata siapa saya tidak punya bukti? Kalau Ibu mengetahui rencana Lidia untuk menculik Verico tapi diam saja dan tidak melaporkan ke polisi untuk mencegahnya, sama saja Ibu mendukung perbuatan Lidia.""Tapi saya benar-benar tidak tahu kalau Lidia hendak menculik Verico!""Hm, benarkah? Bagaimana kalau Lidia sudah mengaku pada polisi bahwa dia sudah menceritakan tentang semua rencana nya pada keluarga nya? Kalian bisa ikut diperiksa kan?"Ibu Lidia menelan ludah. "Lidia tidak akan mengatakannya. Dia tidak akan menyeret ibu dan kedua adik yang sangat disayanginya walaupun saya tahu rencana nya," tukas I
"Dia tampak lelah sekali ya, Pi?" tanya Narendra pada Papi saat melihat Hesti yang tertidur pulas di samping Verico."Iya. Semalam katanya dia telah menangkap Lidia, saat Lidia mencoba melukai nya," sahut Papi seraya tersenyum melihat cucu dan anaknya yang sedang berbagi ranjang pasien untuk tidur berdua. "Iya. Saat Hesti menghubungi saya untuk meminta bantuan menelepon polisi, Lidia telah diikat dengan baik oleh satpam rumah sakit. Rekaman video yang menunjukkan bahwa Lidia berusaha menyerang Hesti secara membabi buta pun telah diamankan oleh pihak kepolisian.""Lalu bagaimana kelanjutan hukuman Lidia?"Narendra mengedikkan bahu nya. "Entahlah Pi. Yang jelas Lidia dijerat dengan pasal berlapis. Mulai dari penculikan anak, penyalahgunaan obat, penganiayaan, entahlah kalau ada pasal lainnya," sahut Narendra. Papi manggut-manggut. "Hm, Rendra, biarkan Hesti istirahat dulu. Ayo kita keluar dari sini. Ke kantin rumah sakit. Ada yang ingin Papi bicarakan padamu sebagai sesama lelaki."Na
Mendadak tubuh Narendra seolah membeku saat melihat bungkus obat tidur yang tergeletak di atas meja dan sudah kosong!"Astaga, Lidia! Kamu sudah gila?! Kamu telah memberikan obat ini untuk Verico?! Anak sekecil ini kamu beri obat tidur? Apa kamu enggak waras?" tanya Narendra marah.Ingin sekali rasanya Narendra menampar Lidia, tapi karena menurutnya menolong Verico adalah hal yang terpenting untuk saat ini, maka Narendra menahan diri. "Baiklah. Aku akan membawa Verico langsung ke rumah sakit, kalian yang membawa Lidia ke kantor polisi ya," ucap Narendra sambil menatap kepada ketiga anak buahnya.Ketiga anak buahnya mengangguk. Lalu Narendra segera keluar dari rumah itu dan menelepon Hesti. "Halo, Hesti! Verico sudah ketemu! Tapi kondisinya nggak begitu bagus. Kirimkan segera ambulance dari rumah sakit tempat kamu bekerja ke alamat yang sebentar lagi alamatnya aku share loct! Oke!"Terdengar seruan bahagia bercampur harapan dan kecemasan dari seberang telepon sebelum Narendra mengak